"Aku bilang berhenti sekarang juga!""Sabar, mbak. Ini bukan jalanan kita. Kalau berhenti begitu saja bisa diamuk orang lain," ujar Ana yang semakin mematik kekesalan Rena.Sedangkan Yuda si pengemudi mobil, langsung menyalakan lampu sein dan memberhentikab mobil di bahu jalan. Melaksanakan perintah tanpa berkata apapun.Pintu mobil yang berdebum keras, membuat Yuda dan Ana saling lirik. Keduanya lalu menoleh ke arah Rena yang kini sudah berdiri di trotoar dengan muka di tekuk. Wanita yang tengah bersedekap itu tampak tidak mau menatap ke arah mobil Yuda."Mbak mau ke mana?" tanya Ana yang sudah menurunkan jendela. Dia masih punya hati. Kasihan juga melihat perempuan sendirian di saat matahari hampir tenggelam."Bukan urusan kamu!"Baru saja Ana akan membuka mulut, Yuda lebih dahulu berbicara, "baiklah, kalau begitu hati-hati, Mbak. Kami pergi dulu."Ana melongo, bulu mata lentiknya terlihat begitu jelas kala mengerjap-ngerjap, menatap tidak percaya pada Yuda. Memangnya pria ini tidak
Arjuna menatap jam dinding yang berada di kamarnya. Decakan kesal lagi-lagi keluar dari bibirnya, lalu pria itu kembali berjalan mondar-mandir. Hal yang sejak beberapa saat lalu dia lakukan."Kemana wanita itu?" gerutu Arjuna. Rasa senangnya setelah berjumpa dan bercerita dengan sang mertua langsung sirna, kala dia pulang dan mendapati sang istri tidak ada di rumah. Wa'alaikumsalamKatakanlah dia aneh karena panik saat istrinya belum pulang kerja. Namun, setelah mendengar cerita sang mertua tentang perjalanan hidup Ana, hatinya tiba-tiba merasa senang.Bukan. Bukannya dia tidak berempati pada kehidupan susah sang istri. Hanya saja dia merasa pilihannya memulai hidup baru dengan wanita itu adalah hal yang tepat. Mengingat bagaimana sang mertua dengan bangganya menyebut kalau istrinya adalah wanita yang tulus.Dan selama ini pun dia juga mampu merasakan ketulusan sang istri. Hanya saja kemarin dia sempat denial karena trauma dengan masa lalu, di mana banyak orang yang memanfaatkannya.
Ana mengembalikan ponsel Yuda sambil tersenyum canggung. Mengingat bagaimana kerasnya suara sang suami barusan, dia yakin pria di depannya pasti ikut mendengar."Mas Arjuna marah?"Mengedikkan bahu sebagai jawaban, Ana memberi kode agar Yuda menoleh ke belakang. Di mana kakak pria itu sedang berjalan ke arah mereka."Ibu sudah sadar, sebentar lagi mau dipindahkan ke kamar. Kamu urus administrasinya dulu!" Yuli menepuk pundak adiknya. Meyakinkan bahwa kini ibunya sudah baik-baik saja."Baiklah." Yuda mengalihkan pandangan pada Ana. "Aku tinggal dulu, ya."Ana mengangguk, lalu memperhatikan Yuda yang berlari kecil. Hal yang mengingatkannya tentang bagaimana dulu dia juga pernah seperti itu. Panik, saat ibunya masuk rumah sakit."Ehm, Ana?"Wanita itu tersentak. "Iya, Mbak?""Mbak boleh titip ibu bentar? Ini mau nelpon suami dulu.""Oh, iya Mbak."Dengan langkah terpaksa, Ana berjalan ke pintu UGD. Bukan. Bukannya dia tidak mau membantu, hanya saja kemarahan Arjuna mengusik hatinya.Belu
Sebagai seseorang yang sulit menggambarkan perasaan, Arjuna sering kali meluapkan sesuatu dengan amarah. Bahkan dalam keadaan sedih dia akan marah, karena sejak kecil sang papa selalu berkata agar dia menjadi kuat dan tidak cengeng, sebab dia adalah laki-laki.Juga baginya berkata khawatir terlalu aneh, mengingat selama ini jarang ada yang berkata khawatir padanya. Kebanyakan orang menganggap hidupnya selalu baik-baik saja, karena dia kaya dan bisa mendapat apapun yang dia mau.Maka dari itu, ketika tadi dia khawatir pada sang istri bukannya bertanya keadaan wanita itu, dia malah marah-marah tidak jelas. Berbeda dengan Rena yang tak pernah membuatnya khawatir, Ana justru sering kali menciptakan kepanikan pada dirinya.Bahkan perjalanan yang sudah mereka lalui selama sepuluh menit masih hening. Dia bingung harus memulai pembicaraan dari mana, sedangkan ketika melirik wanita di sampingnya dia mendapati wanita itu tengah menunduk seraya memilin hijab.Apa wanita itu takut?Eh, tapi seper
"Mau ke mana?" tanya Ana pada sang suami yang beranjak dari tempat tidur, padahal pria itu sudah memakai piyama. Padahal tadi berkata mau segera tidur karena badan yang mulai lelah."Ruang kerja kakek, barusan di chat suruh ke sana." Arjuna menggoyang-goyangkan ponselnya seraya tersenyum miring. Dipandangi lekat wajah istrinya. "Kenapa?""Tanya aja." Ana mengedikkan bahu, tahu jika sebentar lagi sang suami pasti menggodanya. Terkadang pria itu mudah dibaca. Apalagi kalau perkata seperti ini, rautnya terlalu kentara."Yakin? Atau ...." Arjuna mengetukkan jari telunjuk ke dagu, seakan berpikir keras. "Kamu ngga mau aku tinggal?"Nah, 'kan! Sisi lain Arjuna yang mulai muncul."Sudah cepat pergi, kasihan kakek mengunggu." Ana membuat gerakan seolah mengusir suaminya. Dia pun menarik selimutnya sampai sebatas leher. "Aku tidur dulu, ya.""Dasar! Istri macam apa kamu? Dan seandainya kamu lupa, ini kamarku," gerutu Arjuna."Sudah pergi sana, kasihan kakek menunggu terlalu lama."Pria itu lan
Hubungan Arjuna dan Ana semakin dekat, meski perdebatan masih saja mewarnai hari mereka. Setidaknya tak ada lagi saling mendiamkan, mereka selalu berusaha menyelesaikan masalah supaya tak berlarut-larut.Seperti pagi ini, Arjuna yang tengah sibuk mencari dasi agar serasi dengan kemejanya hanya bisa pasrah mendengar omelan sang istri sejak tadi. Perempuan yang mulai mengambil hatinya itu tak lagi gengsi menunjukkan kecerewetannya."Makanya habis subuh jangan tidur!" gerutu Ana sembari mencari benda yang dibutuhkan suaminya. Paginya yang indah berantakan gara-gara kekacauan yang dibuat Arjuna.Tak berhenti di sana, Ana terus saja menggerutu dengan tangan yang masih bekerja."Harus banget, ya, cari dasi yang serasi?""Pakai yang lain saja!""Kita bisa telat! Tau gitu aku bareng Mas Yuda saja!"Kalimat terakhir langsung membuat Arjuna menatap tajam sang istri, yang berada di sampingnya untuk membantu mencari dasi. Tentu saja diselingi omelan tiada henti.Oke, dari tadi dia memang biasa sa
Suasana berubah canggung ketika dua pasang manusia itu berada dalam mobil. Arjuna yang menyetir mobil, sesekali melirik ke samping, tempat istrinya duduk seraya menatap ke jendela. Jelas sekali wanita itu tengah menghindarinya!Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi, mereka yang akan melakukan sesuatu lebih jauh, dikagetkan oleh bunyi ketukan pintu. Hingga menyebabkan mereka langsung membuat jarak, salah tingkah. Meskipun ini bukan yang pertama untuk Arjuna, tapi sensasinya berbeda. Apa ini gara-gara status halal mereka?"Berhenti di situ saja." Ana menunjuk halte yang berjarak beberapa meter dari kantor."Ngga! Turun di parkiran aja!""Biasanya turun disitu, nanti banyak yang tau.""Memangnya kenapa kalau banyak yang tau? Sudahlah kita turun bersama di parkiran. Toh, banyak yang tau pas pulang bareng," ucap Arjuna panjang lebar tak mau kalah.Ana menghela napas panjang, berdebat dengan suaminya selalu menguras energi. "Bukankah kita sepakat, untuk sementara ngga membuka hubungan
Arjuna melirik kesal sang sahabat yang sejak tadi menatapnya lalu tertawa. Begitu terus dari pagi sampai kini menjelang pulang kantor. Bahkan tadi dia sampai memilih makan siang sendirian, daripada terus direcoki sang sahabat. Ya, seseorang yang mengganggunya tadi adalah sahabatnya sendiri, Revan.Masih jelas di ingatannya, bagaimana raut Revan terlihat bodoh ketika mengetahui keberadaan Ana di mobilnya, bahkan pria itu masih melongo saat istrinya pamit pergi lebih dulu.Lantas setelah kembali mendapatkan kesadaran, Revan terus saja mencecarnya dengan rasa penasaran tinggi. Tentang apa sebenarnya hubungan antara dia dan Ana?Bagaimana bisa mereka semobil berdua?Sejak kapan hubungan mereka semakin dekat? Karena Revan berpikir dia masih proses pendekatan."Jadi gimana Ana? Apa yang kalian lakukan tadi?" Revan menaik-turunkan alisnya. "Ngga ngapa-ngapin," jawab Arjuna tanpa menatap sahabatnya."Halah, jangan ngeles deh! Tadi gue berhenti lama di belakang mobil lo. Serius masih mau nyan