Ana melirik suaminya yang baru saja masuk kamar. Ingin rasanya dia bertanya semalam pria itu tidur di mana. Karena sampai dia tertidur Arjuna tidak kembali, begitu pun saat pagi tidak didapatinya sang suami yang biasanya tidur di sisi kiri tempat tidur.Menimbang-nimbang sebentar, Ana menggerakkan telapak kaki yang menapak di karpet super tebal. Sementara matanya masih mengawasi Arjuna yang berdiri di depan lemari. Baru saja keberaniannya muncul, langsung luntur begitu saja saat melihat raut tidak bersahabat sang suami.Pria itu bahkan membanting pintu sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia merasa hubungan mereka kembali ke set awal. Dingin dan kaku.Merasa bahwa niat mengajak Arjuna bicara merupakan kegiatan sia-sia, Ana memutuskan untuk keluar kamar. Biarlah kalau Arjuna marah. Toh, setelah semalaman berpikir, menurutnya memang tidak ada yang sama dengan kalimatnya kemarin.Dan soal perasaannya? Lebih baik disingkirkan sejenak. Belum waktunya dia memupuk perasaan itu, m
30.Katanya tidak tertarik, tapi kenapa ketika mendengar wanita itu bilang jujur tentang perasaannya, rasa nyeri mendadak muncul di hati?Katanya tidak peduli, tapi kenapa ketika wanita itu menyuruh melupakan kejadian yang sama sekali tidak terduga malam itu, dia merasa tidak terima?Ah, ini mungkin efek egonya yang tersakiti. Seharusnya dia yang bilang melupakan. Semestinya dia yang lebih dulu berkata agar wanita itu tidak menyukainya. Bukan malah bertanya dulu tentang pernyataan wanita itu ketika di dapur.Benar semua perasaan tidak nyamannya ini, memang karena hal itu. Bukan sakit hati akibat merasa telah ditolak.Akan tetapi, jika hanya tentang ego kenapa sampai dua hari dia masih menghindari wanita itu? Kenapa sampai saat ini rasanya masih kesal saja setiap kali melihat wanita itu?"Sial!" umpat Arjuna entah untuk keberapa kali dalam dua hari ini. Semenjak aksinya mendiamkan wanita yang sudah membuat dia merasa ditolak.Mengeluarkan ponsel dalam saku, Arjuna segera berselancar di
Arjuna melepaskan tangan Ana begitu mereka sampai dalam kamar. Helaan napas keluar dari bibirnya. Bagaimana bisa dia yang biasanya penuh pertimbangan jika akan memutuskan sesuatu, kini berubah menjadi impulsif hanya gara-gara seorang wanita bernama Berliana Ayunda?Apa yang sebenarnya dilakukan wanita itu padanya?"Ehm ... bisa kita bicara?" Ana memegang ujung kaos sang suami ketika pria itu akan beranjak menuju balkon. Keberaniannya waktu menghadapi Rena tadi seakan hilang, kini rasa gugup menderanya. Apalagi belum ada tanda-tanda sang suami mulai melunak. Masih sama seperti kemarin, berusaha menjauh kala dia mencoba mendekat.Tiap kali mereka berpapasan, Arjuna selalu menghindar. Belum lagi suaminya itu sekarang menyiapkan kebutuhan sendiri, hal yang biasanya menjadi tugasnya. Kentara sekali jika marahnya tak kunjung reda."Apa?" tanya Arjuna tanpa berbalik. Tak segera mendapatkan jawaban, membuat dia kembali merealisasikan niat menuju balkon menyebabkan pegangan Ana dikaosnya terle
Setelah ini apa?Kalimat yang terngiang-ngiang di kepala Ana kala sang suami menyetujui kalimatnya. Oke, sebenarnya sejak nasehat Mirna beberapa waktu lalu, dalam hati dia mulai tergerak untuk menjalani pernikahan sesungguhnya dengan Arjuna.Nah, jalan satu-satunya untuk mencapai hal itu adalah menerima tawaran Arjuna.Lantas yang belum dia pikirkan adalah langkah selanjutnya. Ya, bagaimana cara dia membuat Arjuna dan Rena putus? Bagaimana cara agar Arjuna tertarik padanya? Mengingat dia sendiri belum tau bagaimana perasaannya pada sang suami.Astaga! Dia benar-benar tidak punya pengalaman sama sekali dalam hal percintaan!Apa dia menonton drama saja? Mungkin itu efektif, karena Eka sering kali mempunyai ide konyol gara-gara suka menyaksikan sinetron. Tapi, dia tak terlalu suka? Dia tak yakin bisa menikmatinya.Sementara itu Arjuna yang melihat istrinya diam saja dan terlihat frustasi, merasa waspada. Apa wanita itu ingin membatalkan kesepakatan mereka barusan?Maklum saja meski Ana a
"Wow, tuan muda Arjuna minta maaf?" Ana mengerutkan kening, tidak yakin. Namun, sedetik kemudian rautnya berubah menjengkelkan sebab secara terang-terangan mengejek Arjuna."Ck! Aku masih tau sopan santun. Memangnya apa yang selama ini kamu pikirkan tentang aku?" Arjuna mengepalkan tangannya karena ada keinginan kuat menarik bibir Ana yang tengah mencebik. Menggemaskan sekali istrinya itu."Ehm ... sombong, angkuh, keras kepala, penuh gengsi." Ana menggerakkan jari, menghitung sikap Arjuna yang selama ini tertanam di otaknya."Kenapa ngga ada yang baik sedikitpun?" teriak Arjuna tak terima. Dia menatap tidak percaya pada istrinya. Separah itukah dirinya?Mengedikkan bahu santai, Ana membalas tatapan suaminya dengan tenang. "Mau gimana lagi, yang selama ini terlihat di mataku memang seperti itu.""Aku ngga seburuk itu! Coba tanya pegawai yang lain pasti mereka tau." Arjuna masih mengelak. Mana mungkin dia seburuk itu."Siapa yang harus aku tanya? Aku hanya akrab dengan Eka dan Mbak Mir
Arjuna memasuki ruangan bercat putih dengan napas tersengal. Lantas pria itu tersenyum lega ketika akhirnya mendapati orang yang yang dicarinya."Ayah." Arjuna berdiri di samping tempat tidur pria paruh baya yang terlihat pucat, tapi masih bisa tersenyum tulus padanya."Juna.""Iya." Arjuna tersenyum tipis, sejujurnya dia masih canggung berhadapan dengan ayah mertuanya. Ini adalah pertemuan mereka yang kedua, setelah akad dulu. Karena dulu Ana mengatakan dia tidak perlu berbicara dengan Pandu untuk meminta izin menikah, wanita itu sendiri yang akan mengatakan pada sang ayah perihal pernikahan mereka."Kamu sendiri?"Arjuna berdecak kecil, menyadari kebodohannya, karena terlalu panik menerima kabar mertuanya sakit sehingga dia lupa mengabari sang istri. "Maaf, Yah. Saya lupa bilang sama Ana. Biar saya telpon dia." Arjuna mengeluarkan ponsel dari saku, tapi belum sempat dia mencari kontak sang istri, Pandu lebih dulu mencegahnya."Ngga usah. Anak itu pasti bakal nangis terus kalau tau a
Ana yang sedang berdiri di tempat parkir, menyipitkan mata saat melihat seseorang yang sudah dia tunggu dari tadi."Revan!" seru wanita itu agar pria yang dipanggilnya berjalan sedikit cepat. Seperti biasa, Ana masa bodoh dengan tatapan penasaran dari beberapa orang yang berada di tempat parkir, sama sepertinya."Ada apa?" Revan menatap aneh pada wanita cantik di depannya. Pikirannya kembali pada pertanyaan sahabatnya tadi siang. Apakah mungkin wanita itu yang bisa membuat Arjuna berpaling dari Rena?Jika memang seperti itu, Revan merasa bukan hal yang salah. Karena dilihat dari segi manapun, Ana tidak kalah cantik dari Rena. Selain itu sikap wanita di depannya juga jauh lebih baik. Ya, meski wajah Ana selalu datar, tapi wanita itu selalu bersikap sopan pada orang lain. Itulah hasil pengamatannya setelah beberapa kali bergabung dengan meja Ana saat makan siang."Arjuna ke mana?" tanya Ana langsung. Dia lelah menunggu sejak tadi."Kamu memang ngga bisa basa-basi dulu, ya? Selalu langs
"Mas Yuda sekarang selalu pulang tepat waktu, ya? Ngga pernah lembur lagi?" Rena membuka percakapan ketika mobil mulai melaju di jalan raya."Tidak."Ana berusaha menahan tawanya mendengar jawaban singkat itu. Dia bisa membayangkan kesalnya Rena mendengar jawaban itu. Salah sendiri tadi marah-marah sekarang sok baik.Dia saja yang terbiasa mendapat perlakuan seperti itu masih sering kesal saat suasana hatinya tengah buruk. Apa lagi Rena yang selalu diperlakukan layaknya ratu oleh Arjuna.Bicara tentang Arjuna, kenapa laki-laki itu? Kenapa belum menghubunginya? Setidaknya untuk mengabarkan tidak bisa pulang bersama.Kalaupun tak menghubunginya bukankah Arjuna bisa mengabari Yuda?Suaminya itu sebenarnya niat atau tidak memulai pernikahan dengan cara yang baik? Karena belum-belum sudah membuat ulah seperti ini. Menghilang tanpa kabar."O ... tapi itu menimbulkan spekulasi di antara karyawan, lo, Mas tau ngga banyak yang bilang Mas lagi pdkt sama Ana," ujar Rena. "Hampir setiap hari, kan
Ada pertemuan, ada perpisahan. Bukankah itu siklus kehidupan?Dan sekarang Arjuna berada dalam fase tersebut. Setelah satu bulan lalu mereka bertemu dengan putra yang selama sembilan bulan berada di kandungan Ana, saat ini mereka harus mengalami perpisahan dengan sosok tercinta.Ya, tepat pukul enam pagi tadi Barata yang kemarin penuh suka cita menyambut sang cicit, kini lebih dulu meninggalkan dunia. Laki-laki tua yang yang diberi kepercayaan Arjuna untuk memberi nama pada keturunan Wijaya tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari akibat sakit jantung yang dideritanya.Tak ada yang meyangka, laki-laki yang tampak sehat hingga setiap hari menyempatkan waktu menggendong sang cicit telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, terutama Arjuna."Hubungan kami bahkan baru membaik."Ana mengusap punggung sang suami yang belum mau beranjak sejak tadi. Setia berjongkok di samping makam salah satu orang
"Udah, jangan nangis." Ana meringis karena bukannya mereda, tangis sang suami malah semakin keras. Pelukan di tubuhnya pun semakin erat. Dia merasa sesak, tapi sebaik mungkin menahannya agar sang suami tak bertambah sedih.Setengah jam berlalu, Arjuna masih terus mendekapnya sambil menggumamkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Padahal Ana merasa dirinya baik-baik saja. Entah kenapa setelah bayinya lahir, ketenangannya pun kembali. Dia jadi bisa berpikir lebih jernih, tak lagi menggunakan emosi berlebih.Ya, tepat dua jam lalu dia berhasil melahirkan putranya dalam keadaan sehat dan tanpa kurang satu apapun. Dia bersyukur untuk itu. Sangat.Masalahnya, laki-laki dalam pelukannya itu tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak menemaninya kala berjuang di antara hidup dan mati. Suaminya yang kemarin pergi ke Surabaya, datang setelah anak mereka lahir ke dunia. Arjuna tidak mendapatkan penerbangan tercepat, sementara dia yang merasakan kontraksi dini hari tadi mengalami proses
Arjuna merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu memijat tengkuk hingga bahunya sendiri. Satu bulan sudah dia menjadi pemimpin hotel atas amanah sang kakek. Baru saja dia bersiap pulang dengan merapikan meja serta memilih apa-apa saja yang akan dibawa pulang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, tanpa diketuk dulu.Protes yang akan Arjuna layangkan terpaksa ditelan kembali sebab perasaannya langsung tak enak. Wajah panik dan khawatir Yuda lah yang menjadi alasan. "Ana masuk rumah sakit, dia terpleset di kamar mandi."Satu kalimat yang menyebabkan tubuh Arjuna menegang. Wajahnya pucat seakan tidak ada darah yang mengalir di sana, bahkan bibirnya tak bisa diajak bekerja sama untuk menanggapi Yuda. "Ayo kita ke rumah sakit, Mas."Entah mendapat kekuatan dari mana, Arjuna berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Sampai-sampai Yuda pun tampak kesulitan mensejajarkan langkah. Hampir saja tangan Arjuna menyentuh pintu mobil, tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya."Biar
"Belum tidur?""Kebangun. Mas belum tidur?"Ana merapikan rambut sang suami yang mulai memanjang, tangannya terulur bermaksud menghilangkan kerutan di kening Arjuna. Saat-saat seperti inilah yang dia rindukan. Saling tatap tanpa ada suara apapun. Tenang dan menyenangkan.Dulu awal-awal hubungan mereka membaik, hal seperti itu terjadi setiap hari. Bahkan melakukan pillow talk bisa sampai satu jam lebih. Namun, sekarang? Boro-boro membicarakan keseharian, Arjuna menanggapi ceritanya tanpa tertidur itu saja sudah bagus.Dia tahu beban sang suami semakin besar, tapi entah kenapa justru dirinya yang belum siap. Kedekatan mereka baru terjalin, tak rela rasanya harus kembali berjarak.Memang benar cinta ada di antara mereka, tapi jika tidak dipupuk bukankah akan pudar?Dan baginya komunikasi dan pertemuan adalah salah satu cara menjaga cinta. Sepertinya dia bukan orang yang betah menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi ditambah moodnya yang belakangan naik turun, menyebabkan kekesalannya gampa
Ana menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur, lalu menutupnya dengan selimut hingga kepala. Mengabaikan gerah yang melanda, dia tetap menutup mulut meski berulang kali sang suami mengajak bicara."Maaf, An."Masih tidak ada tanggapan dari Ana menyebabkan Arjuna mengacak kasar rambutnya. Siapa yang menyangka acara perpisahan dengan Rena justru membuat sang istri salah paham.Apalagi sikap Ana yang menjadi aneh. Jika biasanya sang istri menghadapi Rena dengan tenang, tadi justru tak malu menunjukkan amarah secara langsung. Bahkan sampai meninggalkannya lebih dahulu tanpa peduli hal ini menimbulkan pertanyaan para pekerja."Sayang, aku bisa jelasin.""Kalau buat salah baru manggil sayang," gerutu Ana."Jadi kamu maunya dipanggil sayang terus?" tanya Arjuna yang menganggap sikap sang istri sangat menggemaskan. Telunjuknya pun mulai mengetuk-ngetuk punggung sang istri. "Kamu bisa jatuh kalau bergerak terus.""Makanya jangan sentuh!""Ngga bisa, aku kangen."Kalimat itu berhasil memancing Ana
"Baru pulang?""Hmm," jawab Arjuna singkat."Bisa kita bicara? Sebentar saja, tolong."Mudah bagi Arjuna menolak ajakan itu, toh dia tak lagi peduli dengan Rena. Sayangnya sudut hatinya tergerak saat melihat wajah sendu perempuan itu.Bukan, dia bukan luluh hanya saja keputusasaan yang tergambar di raut itu menjadikannya memenuhi keinginan Rena. Tanpa banyak berpikir pun dia tahu jika mantan kekasihnya seolah tengah menanggung beban yang sangat berat. "Di belakang."Setelah mengucapkan itu, Arjuna melangkah lebih dulu. Mencoba tak menghiraukan tatapan penasaran para pekerja, dia terus berjalan ke arah taman belakang. Setidaknya di tempat itu lebih aman sebab di dapur masih banyak pelayan yang tengah bersantai."Kalian tetap di tempat!" perintah Arjuna begitu orang-orang yang dilihatnya berdiri, tampak akan meninggalkan meja bundar yang terdapat di dapur."Ba–baik, Tuan," jawab Eka sembari menunduk. Namun, sesudah majikannya pergi langsung berkasak-kusuk dengan yang lain. "Kira-kira me
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su