Arjuna memasuki ruangan bercat putih dengan napas tersengal. Lantas pria itu tersenyum lega ketika akhirnya mendapati orang yang yang dicarinya."Ayah." Arjuna berdiri di samping tempat tidur pria paruh baya yang terlihat pucat, tapi masih bisa tersenyum tulus padanya."Juna.""Iya." Arjuna tersenyum tipis, sejujurnya dia masih canggung berhadapan dengan ayah mertuanya. Ini adalah pertemuan mereka yang kedua, setelah akad dulu. Karena dulu Ana mengatakan dia tidak perlu berbicara dengan Pandu untuk meminta izin menikah, wanita itu sendiri yang akan mengatakan pada sang ayah perihal pernikahan mereka."Kamu sendiri?"Arjuna berdecak kecil, menyadari kebodohannya, karena terlalu panik menerima kabar mertuanya sakit sehingga dia lupa mengabari sang istri. "Maaf, Yah. Saya lupa bilang sama Ana. Biar saya telpon dia." Arjuna mengeluarkan ponsel dari saku, tapi belum sempat dia mencari kontak sang istri, Pandu lebih dulu mencegahnya."Ngga usah. Anak itu pasti bakal nangis terus kalau tau a
Ana yang sedang berdiri di tempat parkir, menyipitkan mata saat melihat seseorang yang sudah dia tunggu dari tadi."Revan!" seru wanita itu agar pria yang dipanggilnya berjalan sedikit cepat. Seperti biasa, Ana masa bodoh dengan tatapan penasaran dari beberapa orang yang berada di tempat parkir, sama sepertinya."Ada apa?" Revan menatap aneh pada wanita cantik di depannya. Pikirannya kembali pada pertanyaan sahabatnya tadi siang. Apakah mungkin wanita itu yang bisa membuat Arjuna berpaling dari Rena?Jika memang seperti itu, Revan merasa bukan hal yang salah. Karena dilihat dari segi manapun, Ana tidak kalah cantik dari Rena. Selain itu sikap wanita di depannya juga jauh lebih baik. Ya, meski wajah Ana selalu datar, tapi wanita itu selalu bersikap sopan pada orang lain. Itulah hasil pengamatannya setelah beberapa kali bergabung dengan meja Ana saat makan siang."Arjuna ke mana?" tanya Ana langsung. Dia lelah menunggu sejak tadi."Kamu memang ngga bisa basa-basi dulu, ya? Selalu langs
"Mas Yuda sekarang selalu pulang tepat waktu, ya? Ngga pernah lembur lagi?" Rena membuka percakapan ketika mobil mulai melaju di jalan raya."Tidak."Ana berusaha menahan tawanya mendengar jawaban singkat itu. Dia bisa membayangkan kesalnya Rena mendengar jawaban itu. Salah sendiri tadi marah-marah sekarang sok baik.Dia saja yang terbiasa mendapat perlakuan seperti itu masih sering kesal saat suasana hatinya tengah buruk. Apa lagi Rena yang selalu diperlakukan layaknya ratu oleh Arjuna.Bicara tentang Arjuna, kenapa laki-laki itu? Kenapa belum menghubunginya? Setidaknya untuk mengabarkan tidak bisa pulang bersama.Kalaupun tak menghubunginya bukankah Arjuna bisa mengabari Yuda?Suaminya itu sebenarnya niat atau tidak memulai pernikahan dengan cara yang baik? Karena belum-belum sudah membuat ulah seperti ini. Menghilang tanpa kabar."O ... tapi itu menimbulkan spekulasi di antara karyawan, lo, Mas tau ngga banyak yang bilang Mas lagi pdkt sama Ana," ujar Rena. "Hampir setiap hari, kan
"Aku bilang berhenti sekarang juga!""Sabar, mbak. Ini bukan jalanan kita. Kalau berhenti begitu saja bisa diamuk orang lain," ujar Ana yang semakin mematik kekesalan Rena.Sedangkan Yuda si pengemudi mobil, langsung menyalakan lampu sein dan memberhentikab mobil di bahu jalan. Melaksanakan perintah tanpa berkata apapun.Pintu mobil yang berdebum keras, membuat Yuda dan Ana saling lirik. Keduanya lalu menoleh ke arah Rena yang kini sudah berdiri di trotoar dengan muka di tekuk. Wanita yang tengah bersedekap itu tampak tidak mau menatap ke arah mobil Yuda."Mbak mau ke mana?" tanya Ana yang sudah menurunkan jendela. Dia masih punya hati. Kasihan juga melihat perempuan sendirian di saat matahari hampir tenggelam."Bukan urusan kamu!"Baru saja Ana akan membuka mulut, Yuda lebih dahulu berbicara, "baiklah, kalau begitu hati-hati, Mbak. Kami pergi dulu."Ana melongo, bulu mata lentiknya terlihat begitu jelas kala mengerjap-ngerjap, menatap tidak percaya pada Yuda. Memangnya pria ini tidak
Arjuna menatap jam dinding yang berada di kamarnya. Decakan kesal lagi-lagi keluar dari bibirnya, lalu pria itu kembali berjalan mondar-mandir. Hal yang sejak beberapa saat lalu dia lakukan."Kemana wanita itu?" gerutu Arjuna. Rasa senangnya setelah berjumpa dan bercerita dengan sang mertua langsung sirna, kala dia pulang dan mendapati sang istri tidak ada di rumah. Wa'alaikumsalamKatakanlah dia aneh karena panik saat istrinya belum pulang kerja. Namun, setelah mendengar cerita sang mertua tentang perjalanan hidup Ana, hatinya tiba-tiba merasa senang.Bukan. Bukannya dia tidak berempati pada kehidupan susah sang istri. Hanya saja dia merasa pilihannya memulai hidup baru dengan wanita itu adalah hal yang tepat. Mengingat bagaimana sang mertua dengan bangganya menyebut kalau istrinya adalah wanita yang tulus.Dan selama ini pun dia juga mampu merasakan ketulusan sang istri. Hanya saja kemarin dia sempat denial karena trauma dengan masa lalu, di mana banyak orang yang memanfaatkannya.
Ana mengembalikan ponsel Yuda sambil tersenyum canggung. Mengingat bagaimana kerasnya suara sang suami barusan, dia yakin pria di depannya pasti ikut mendengar."Mas Arjuna marah?"Mengedikkan bahu sebagai jawaban, Ana memberi kode agar Yuda menoleh ke belakang. Di mana kakak pria itu sedang berjalan ke arah mereka."Ibu sudah sadar, sebentar lagi mau dipindahkan ke kamar. Kamu urus administrasinya dulu!" Yuli menepuk pundak adiknya. Meyakinkan bahwa kini ibunya sudah baik-baik saja."Baiklah." Yuda mengalihkan pandangan pada Ana. "Aku tinggal dulu, ya."Ana mengangguk, lalu memperhatikan Yuda yang berlari kecil. Hal yang mengingatkannya tentang bagaimana dulu dia juga pernah seperti itu. Panik, saat ibunya masuk rumah sakit."Ehm, Ana?"Wanita itu tersentak. "Iya, Mbak?""Mbak boleh titip ibu bentar? Ini mau nelpon suami dulu.""Oh, iya Mbak."Dengan langkah terpaksa, Ana berjalan ke pintu UGD. Bukan. Bukannya dia tidak mau membantu, hanya saja kemarahan Arjuna mengusik hatinya.Belu
Sebagai seseorang yang sulit menggambarkan perasaan, Arjuna sering kali meluapkan sesuatu dengan amarah. Bahkan dalam keadaan sedih dia akan marah, karena sejak kecil sang papa selalu berkata agar dia menjadi kuat dan tidak cengeng, sebab dia adalah laki-laki.Juga baginya berkata khawatir terlalu aneh, mengingat selama ini jarang ada yang berkata khawatir padanya. Kebanyakan orang menganggap hidupnya selalu baik-baik saja, karena dia kaya dan bisa mendapat apapun yang dia mau.Maka dari itu, ketika tadi dia khawatir pada sang istri bukannya bertanya keadaan wanita itu, dia malah marah-marah tidak jelas. Berbeda dengan Rena yang tak pernah membuatnya khawatir, Ana justru sering kali menciptakan kepanikan pada dirinya.Bahkan perjalanan yang sudah mereka lalui selama sepuluh menit masih hening. Dia bingung harus memulai pembicaraan dari mana, sedangkan ketika melirik wanita di sampingnya dia mendapati wanita itu tengah menunduk seraya memilin hijab.Apa wanita itu takut?Eh, tapi seper
"Mau ke mana?" tanya Ana pada sang suami yang beranjak dari tempat tidur, padahal pria itu sudah memakai piyama. Padahal tadi berkata mau segera tidur karena badan yang mulai lelah."Ruang kerja kakek, barusan di chat suruh ke sana." Arjuna menggoyang-goyangkan ponselnya seraya tersenyum miring. Dipandangi lekat wajah istrinya. "Kenapa?""Tanya aja." Ana mengedikkan bahu, tahu jika sebentar lagi sang suami pasti menggodanya. Terkadang pria itu mudah dibaca. Apalagi kalau perkata seperti ini, rautnya terlalu kentara."Yakin? Atau ...." Arjuna mengetukkan jari telunjuk ke dagu, seakan berpikir keras. "Kamu ngga mau aku tinggal?"Nah, 'kan! Sisi lain Arjuna yang mulai muncul."Sudah cepat pergi, kasihan kakek mengunggu." Ana membuat gerakan seolah mengusir suaminya. Dia pun menarik selimutnya sampai sebatas leher. "Aku tidur dulu, ya.""Dasar! Istri macam apa kamu? Dan seandainya kamu lupa, ini kamarku," gerutu Arjuna."Sudah pergi sana, kasihan kakek menunggu terlalu lama."Pria itu lan