Saat itu, Olivia belum mencintai Stefan. Olivia tidak peduli. Sekarang Olivia mencintai Stefan. Setelah tahu semua kebenarannya, hati Olivia terasa sangat sakit. Terlebih jika teringat kejadian beberapa waktu terakhir. Perhatian Stefan, sikapnya, membuat Olivia merasa semakin sakit, semakin marah. Apakah perhatian Stefan selama ini juga bohong?Sialan!Stefan sialan!Bi Sumi dan pembantu yang lain tak tahu harus berbuat apa. Mereka sejak awal tahu Stefan membohongi Olivia. “Kalian ada yang punya charger Samsung? Baterai handphone-ku habis. Aku pinjam sebentar charger-nya.”Saat Bi Sumi hendak menjawab, rekan kerjanya mencoleknya. Bi Sumi paham maksudnya, kemudian menjawab, “Den Stefan punya satu handphone mereknya Samsung, Non. Non Oliv bisa pinjam punya Den Stefan.”Olivia melihat gerakan kecil para pembantu itu. Dia paham bahwa Stefan benar-benar ingin mengurungnya di vila itu. Stefan tidak akan membiarkan Olivia berinteraksi dengan dunia luar. Apa Stefan pikir dengan begitu dia
Olivia memberontak. Dia dengan susah payah melepaskan diri dari Stefan, tapi Stefan masih melanjutkan ciumannya. Saking marahnya, Olivia menampar Stefan. PLAK!Suara tamparannya sangat kencang hingga membuat Pak Marwan dan para pembantu yang lainnya terkaget. Stefan juga tercengang. Wajah Olivia memerah karena marah. Sambil menatap Stefan, mata Olivia terisi air mata yang siap tumpah sewaktu-waktu.Stefan lagi-lagi melakukan hal yang membuat Olivia sedih dan marah. Stefan sangat merasa bersalah. Stefan mengira, kelembutannya akan membuat Olivia tenang. Saat sadar dengan apa yang sedang terjadi, Pak Marwan segera mengirim pesan kepada Pak Arif. Pak Arif-lah yang bisa dianggap sebagai kepala pelayan di sana. Pak Arif sedang izin karena ada sedikit urusan, itulah mengapa Pak Marwan menggantikan posisinya sekarang. Kali ini Pak Marwan sudah merasa tak bisa mengatasi situasi. Dia harus segera memanggil Pak Arif kembali. Menakutkan sekali. Olivia menampar Stefan!Ini adalah adegan yang t
Pak Marwan dan para pembantu yang lain bahkan tak berani menghela napas karena suasana terasa sangat menegangkan. Sesaat kemudian, Stefan bersuara, memerintah Pak Marwan, “Ambil charger Samsung-ku, bantu Olivia charge handphone-nya.”“Baik.” Pak Marwan segera mengambil charger untuk Olivia. Entah apakah memang maksud Stefan mengizinkan Olivia mengisi ulang baterai sama artinya dengan mengizinkan nona muda untuk pergi atau tidak. Sebenarnya Pak Marwan juga merasa tidak seharusnya Stefan mengurung Olivia. Ada baiknya mereka berdua sama-sama menenangkan diri dulu. Akan tetapi, Pak Marwan tidak berani mengungkapkannya. Stefan terlalu mementingkan Olivia. Dia takut jika Olivia pergi, maka Olivia tidak akan pernah kembali. Itulah mengapa Stefan memaksa Olivia untuk terus berada di sisinya. Hanya saja, cara seperti ini hanya akan memperkeruh keadaan. Tak lama kemudian, Pak Marwan telah mengambilkan charger dan menyerahkannya pada Stefan. Stefan memberikan benda itu kepada Olivia. Ketika
Stefan juga merasa lega. Setelah diam beberapa saat, Stefan akhirnya berjalan mendekati Olivia, kemudian duduk di depannya. Dia mengambil sendok, hendak mengambilkan lauk untuk Olivia. Namun, belum saja Stefan meletakkan lauk ke piring Olivia, Olivia sudah menjauhkan piringnya. Dia tidak bersedia memakan makanan yang diambilkan oleh Stefan. Stefan terpaksa menarik kembali tangannya, kemudian meletakkan lauk yang diambil ke piringnya sendiri. “Oliv, ini semua menu masakan kesukaan kamu, lho. Makan yang banyak,” ujar Stefan dengan lembut. Olivia diam, tidak menanggapi, juga tidak melihat Stefan. Dia meneruskan makan seolah tak ada yang berbicara padanya. “Ini udang kesukaan kamu juga, aku kupasin ya kulitnya.”Stefan memasang sarung tangan sekali pakai, kemudian mengupas kulit udang untuk Olivia. Namun, Olivia justru mengambil sendiri udang yang belum dikupas kulitnya, memakannya langsung dengan kulit. Stefan ternganga melihatnya. Nampaknya sang istri sama sekali tidak memberikan
Setelah melihat kedatangan kakaknya, Olivia dengan segera meletakkan peralatan makannya, hendak menghampiri sang kakak. Sedangkan Stefan, dengan refleksnya, menahan lengan Olivia. Olivia memelototinya. “Oliv ….” Odelina dengan cepat melangkah ke arah Olivia, kemudian memeluk adiknya erat. “Oliv, kalau pengin nangis, nangis saja. Ada Kakak.”“Kak ….” Emosi yang sejak tadi dibendung oleh Olivia, akhirnya tumpah di pelukan kakaknya. Stefan yang berdiri tak jauh dari saja merasa sangat sakit saat melihat sang istri menangis sesegukan. Apa daya, Stefan tak bisa melakukan apa pun. Karena, tangisan Olivia, disebabkan oleh dirinya sendiri. Setelah sepuluh menit, Olivia dan kakaknya duduk bersama. Di depan mereka, Stefan duduk sendiri. “Stefan, kedatanganku ke sini adalah untuk menjemput Olivia,” ujar Odelina terus terang. Wajah Stefan tegang, kemudian berkata dengan suara beratnya, “Kak, di sini rumah Oliv, kami adalah suami istri. Di mana aku tinggal, maka di sanalah rumahnya.”Odelina
“Kak, aku nggak mau kehilangan Oliv. Aku nggak mau cerai.” Stefan berkata lebih dulu.“Kak, aku juga tahu bahwa tindakanku nyembunyiin latar belakangku itu sebuah kebohongan bagi Oliv. Olivia nggak sama kayak orang kebanyakan yang jadi seneng banget ketika tahu bahwa aku orang kaya. Aku minta maaf sama Oliv. Dia marahi aku, pukuli aku, aku terima kok. Tapi dia nggak boleh tinggalin aku. Aku nggak mau cerai!”Setelah Stefan berbicara, Odelina mulai bersuara, “Apa kamu pikir jika kamu biarkan Oliv keluar dari vila ini, maka kamu nggak akan bisa lihat dia lagi selamanya?”Stefan diam. Dia takut. Takut jika Olivia keluar dari vila, maka dia benar-benar tidak akan bisa melihat Olivia lagi. “Stefan, Olivia adalah adik kandungku. Sudah sekian tahun kami hidup bersama-sama, nggak ada orang yang lebih mengerti dia dibanding aku. Dia bukan orang yang ciut dan menghindari masalah. Semarah apa pun dia, bahkan sekalipun dia mengajukan cerai, dia nggak akan pernah menghindar. Karena menghindar tida
Russel tidak mau. Dia memaksa turun dari gendongan Daniel lalu mencari ibunya ke seluruh ruangan sambil menangis. Karena dia tidak bisa menemukan ibunya, tangis Russel semakin menjadi-jadi."Russel mau permen? Sudah jangan nangis, ya. Nanti Om Daniel kasih permen.” Daniel mencoba membujuk."Aku nggak mau permen, Aku mau Mama ….""Om Daniel ajak kamu beli kincir angin, yuk. Mau, nggak?""Aku nggak mau kincir angin, aku mau Mama …." Russel menangis lebih kencang lagi.Daniel tidak bisa membujuknya. Dari dulu Daniel tidak pernah tahu bagaimana cara membujuk anak-anak.Akhirnya, Daniel mengeluarkan ponsel, membuka kuncinya kemudian menyerahkannya kepada Russel sambil berkata, "Anak baik, jangan nangis, ya. Nih Om Daniel kasih handphone buat nonton kartun, deh. Mau nggak?” Russel menampik ponsel itu dengan satu tangannya."Handphone-pun nggak mau," ujar Daniel sambil menyibak rambutnya sendiri karena merasa sudah pusing, "Bukannya anak zaman sekarang suka banget ya main HP?” Russel malah
“Nggak perlu berterima kasih, aku hanya khawatir kepada Stefan dan istrinya saja.”Daniel langsung berkata terus terang, seolah takut bahwa Olivia akan salah paham dengan kebaikannya.“Kamu sudah bertemu dengan mereka, bagaimana keadaannya?” tanya Daniel dengan khawatir.Odelina menghela napas panjang lalu berkata, “Kamu pasti sudah mengenal Stefan cukup lama, hubungan kalian berdua sebenarnya nggak hanya sebatas rekan bisnis saja, tapi kalian berdua sebenarnya adalah teman baik. Pak Daniel, bahkan kamu membantu Stefan untuk membohongi kami.”“Seharusnya kamu lebih tahu jelas bagaimana sifat Stefan daripada aku. Sekarang Stefan meyakini, asalkan dirinya bisa membuat Olivia tetap tinggal di rumah, maka semua masalah ini akan berlalu. Tapi Olivia terus menerus berusaha untuk dapat keluar dari rumah tersebut, Stefan bersikeras menahannya untuk tetap di rumah. Aku rasa Stefan sudah lelah, Olivia juga sudah kehilangan harapannya.”Daniel membuka mulutnya berusaha membantu sahabatnya untuk m