“Kakakku nggak bilang mau datang untuk makan. Agak jauh dari sini, dia bilang terlalu repot bolak-balik ke sini, nggak ada waktu untuk istirahat lagi. Lagi pula, di kantornya ada kantin, dia makan di kantor saja.”Stefan hanya menggumam pelan.“Nanti malam Kak Odelina pulang, kamu coba tanyakan padanya terbiasa nggak di sana, ada yang ganggu dia nggak. Aku bisa bicara dengan Pak Daniel. Kalau ada yang ganggu dia, aku akan minta Pak Daniel dukung dia.”Olivia menoleh untuk menatap Stefan lagi, “Pantas saja kakakku sayang banget sama kamu. Dia selalu beri tahu aku harus perlakukan kamu dengan baik.”Stefan langsung sedikit tersipu. Dia memang selalu berperilaku sangat baik di depan kakak iparnya.Karena keterbatasan waktu, Olivia hanya bisa menyiapkan makan siang yang sangat sederhana. Untung saja, Stefan tetap makan dengan lahap, tidak merasa risih sama sekali. Olivia berpikir, selain tidak makan jeroan, bawang merah, bawang putih dan daun ketumbar, sebenarnya sangat mudah untuk memberi
Stefan menatap Olivia sejenak. Pada akhirnya, dia langsung pergi tanpa berkata apa-apa. Olivia membuka mulut hendak memanggil pria itu, tapi tidak jadi. Stefan tidak ingin mengatakannya. Sekalipun Olivia membuka mulut Stefan lebar-lebar, pria itu tetap saja tidak akan mengatakannya.“Paling kesal sama orang yang mau ngomong tapi nggak jadi. Memangnya nggak bisa langsung katakan saja, ya?”Olivia langsung mengomel karena kesal dengan Stefan yang hanya tahu diam. Semua orang bisa merasa penasaran. Stefan yang ragu untuk bicara itu justru membangkitkan rasa penasarannya. Olivia terus bertanya-tanya apa yang ingin Stefan katakan padanya.Belum dua menit, pria yang ragu-ragu untuk bicara itu kembali lagi, kali ini dengan sebuket bunga di tangannya.Olivia menatap pria itu sambil tercengang, tidak berani percaya Stefan akan datang sambil membawa buket bunga. Olivia bahkan menggosok matanya dan melihat pria itu lagi. Pria di hadapannya saat ini memang asli suaminya.Apakah Stefan memberinya b
“Suamiku yang kasih ke aku. Cantik, kan? Aku rasa cantik sekali, aku suka banget,” ujar Olivia.Setelah Olivia mengambil banyak foto buket bunga itu, dia meletakkan ponselnya, lalu mengambil buket bunga itu dan menciumnya, “Wangi banget.”Tentu saja, Albert melihat semua itu, termasuk ekspresi di wajah Olivia. Pemandangan itu sangat menusuk baginya.“Ternyata Kak Stefan yang kasih ke Kak Oliv. Ada hari spesial apa hari ini? Aku belum pernah lihat dia kasih bunga ke Kak Oliv sebelumnya.” Senyum di wajah Albert terlihat kaku. Dari kata-katanya ada sedikit nada cemburu, juga sedikit nada menyindir.Olivia langsung menatapnya dan berkata, “Di antara suami istri, harus tunggu ada hari spesial baru boleh kasih bunga? Kalau aku suka, suamiku bisa kasih aku bunga setiap hari. Dulu, aku sayang uang. Sebuket bunga begini harganya juga nggak murah, kan. Lagi pula nggak bisa dimakan. Aku bilang daripada kasih aku bunga, mending uangnya kasih aku beli makanan. Makanya dia nggak pernah kasih aku bun
“Kamu percaya kalau Pak Stefan nggak ada maksud lain? Oliv, seandainya kalian sama-sama punya rasa, aku rasa kamu harus manfaatkan kesempatan ini baik-baik. Aku tunggu undanganmu. Aku mau jadi bridesmaid di pernikahan kamu,” goda Junia.“Kamu berpikir terlalu jauh,” ujar Olivia.“Aku rasa nggak jauh, kok. Hahaha. Oliv, aku tadi suruh Albert tunggu aku di luar. Kami mau pergi minum kopi sebentar. Kamu mau minum apa? Nanti aku bungkuskan untuk kamu.”Olivia berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku mau milk tea rasa taro.”“Oke.” Junia langsung menjawab, “Kamu jaga toko dulu, aku pergi minum kopi, ya.”“Iya, pergi sana.”Lagi pula, tidak ada orang yang datang ke toko saat ini. Biasanya di saat seperti ini, Olivia akan tidur di meja kasir sebentar atau membuat barang kerajinan tangannya.Junia keluar dari toko, Albert masih menunggunya di luar. Begitu keluar dari toko, senyum di wajah Junia seketika menghilang.“Ayo pergi,” ujarnya pada Albert.Junia langsung masuk ke mobil Albert. Begitu meli
Stefan pernah bilang ingin membuat keluarga Hermanus menderita, sampai untuk mengemis pun susah.Reiki berkata sambil tertawa pelan, “Kalau buat mereka mati sekaligus, pertunjukan jadi nggak seru, dong.”Raut wajah Stefan seketika menjadi muram.“Untuk menghadapi orang-orang seperti itu, kita nggak perlu terburu-buru. Pelan-pelan saja, biar mereka kehilangan semua yang pernah mereka miliki sedikit demi sedikit. Perasaan ingin menyelamatkan tapi hanya bisa pasrah kehilangan adalah perasaan yang paling menyiksa.”Reiki mengakui kali ini dia sedikit mengalah. Dia tidak terburu-buru menyiksa orang-orang dari keluarga Hermanus.“Tapi Bos, nggak usah khawatir. Kamu pasti akan puas dengan hasil akhirnya. Sekarang Bobby sudah dipecat dari perusahaan. Popularitas pencarian teratas waktu itu sangat tinggi, reputasi Bobby di tempat kerja juga jadi jelek. Cukup sulit baginya untuk temukan pekerjaan yang bagus lagi sekarang.”Begitu mendengar Bobby benar-benar telah kehilangan pekerjaannya, wajah S
Di kafe.Junia memilih tempat duduk yang agak di pojokan. Sementara itu, Albert langsung duduk di depannya.“Albert, kamu mau minum apa?”“Terserah. Kakak minum apa, aku ikut saja.”Junia berkata kepada pelayan kafe, “Pesan dua cangkir kopi tanpa gula.”“Kak Junia, kopi tanpa gula kan pahit, nggak enak.”Junia menatapnya, Albert spontan berkata dengan canggung, “Kopi tanpa gula saja.”Setelah pelayan kembali dan membawakan kopi tanpa gula pesanan mereka, Junia langsung bertanya pada adik sepupunya itu, “Albert, aku mau tanya sama kamu. Apakah kamu jatuh cinta dengan Olivia?”Albert terkejut. Dia menatap kakak sepupunya sambil tercengang, lalu bergumam, “Kak Junia ....”“Katakan yang sejujurnya!” perintah Junia.Wajah Albert perlahan-lahan memerah. Apakah dia sudah ketahuan?“Kak Junia, aku ... a-aku suka Kak Olivia?”“Sejak kapan?”Albert menjawab dengan suara pelan, “Aku juga nggak tahu kapan rasa itu mulai ada. Mungkin saat aku berusia 14 atau 15 tahun yang baru mulai mengerti tentan
“Justru karena aku kakak sepupumu, aku baru ajak kamu keluar untuk beri tahu kamu soal ini. Jangankan Olivia nggak suka sama kamu. Sekalipun dia suka sama kamu, aku juga nggak akan setuju kalian bersama.”“Kenapa?” tanya Albert kebingungan.“Karena keluargamu, Albert. Aku tahu jelas orang seperti apa tanteku. Kalau dia tahu kamu suka sama Olivia, kamu kira dia akan tetap senyum dan baik pada Olivia? Dia hanya akan cari segala cara untuk cegah kalian bertemu. Bahkan dia bisa saja melakukan hal yang lebih ekstrem kepada Olivia.”“Tante sudah berbaur dalam masyarakat kelas atas selama lebih dari 20 tahun, sifat arogan sudah lama tertanam dalam dirinya. Kamu anak tunggal, satu-satunya harapannya, juga penerus keluarga Pratama. Dia menaruh harapan terlalu tinggi padamu. Dia ingin kamu menikah dengan anak orang kaya, seenggaknya sederajat dengan keluarga kalian.”“Olivia sangat baik, tapi latar belakang keluarganya menjadi kekurangannya. Hal ini nggak ada hubungannya sama kamu. Demi aku, tan
Junia menatap Albert sambil menekuk wajahnya, lalu bertanya dengan serius, “Jangan-jangan kamu mau mencoba memisahkan Olivia dan Pak Stefan? Albert, jangan buat aku memandang rendah kamu!”Hati Albert sangat sakit sehingga dia tidak mampu menjawab pertanyaan kakak sepupunya itu. Dia merasa tidak sanggup melepaskan Olivia. Namun, dia juga tidak bisa melakukan hal yang menyakiti Olivia.Bagaimanapun, Albert adalah adik sepupu Junia. Raut wajah Junia kembali melembut. Dia menghela napas dan berkata, “Albert, aku sudah katakan semuanya padamu. Kamu tenangkan diri dulu, paksa dirimu nggak pergi ke toko kami. Kalau kamu nggak bisa lihat Olivia, lama kelamaan perasaan itu akan memudar.”Usai berkata, Junia berdiri, “Aku yang traktir kopi ini. Aku kembali ke toko dulu. Kamu langsung kembali ke kantor saja. Sekarang kamu lagi di tahap pelatihan. Kamu harus kerja lebih keras daripada orang lain. Ingat, apa yang keluarga Pratama miliki sekarang nggak hanya milik kamu seorang. Kalau kamu nggak bek