Di sisi lain, Samuel masih menjaga Katarina di kamar hotel. Dia langsung mengirimkan pesan secara pribadi kepada Ronny setelah menerima pesan dari Ronny. “Kamu bepergian sejauh itu hanya untuk jadi koki?” tanya Samuel melalui pesan singkat. Ronny yang sedang duduk di atas sofa dengan cepat membalas pesan Samuel dengan berkata, “Memangnya kenapa? Pekerjaan di sini sangatlah menantang. Aku juga cuma coba-coba, tapi ternyata aku malah diterima. Bisa dibilang, aku baru saja melewati lima level dan enam jenderal.”“Gayamu seperti baru menang pemilihan presiden saja.”“Berapa lama kamu tinggal di sana? Sebentar lagi tahun baru, loh. Apa kamu pulang saat tahun baru?”“Aku mungkin nggak pulang saat tahun baru, kecuali kalau bosku memecatku.”“Kayaknya lebih tepat kalau kamu yang memecat bosmu dengan kemampuan memasakmu itu.”“Aku masih nggak mengerti dengan keputusanmu. Kamu sudah punya bisnismu sendiri, tapi kamu lebih memilih untuk pergi ribuan kilometer hanya untuk memasak di rumah orang
Samuel segera memegangnya dan bertanya dengan bingung, "Kamu kenapa lagi?" "Aku... mau ke...." Katarina memejamkan matanya, bahkan dia tidak lancar untuk berbicara. "Kamu mau ke toilet?" Samuel memasang wajah masam. Saat ini, perempuan itu bahkan untuk berjalan saja sudah sempoyongan. Membiarkannya pergi sendiri ke toilet, dia khawatir Katarina akan terjatuh. Namun, kalau harus menemaninya ke toilet, itu juga tidak pantas. Dia ini laki-laki! Katarina mengangguk dan mencoba berjalan lagi. Samuel menuntunnya sambil berkata, "Kamu yakin bisa sendiri?" Katarina tidak menjawab. Dia benar-benar mabuk berat, bahkan tidak menyadari siapa yang ada di dekatnya. Melihat keadaannya seperti itu, Samuel terpaksa membawanya ke toilet sambil bergumam tidak jelas. Setelah membantu masuk, dia langsung keluar dan membiarkannya menyelesaikan sendiri. Namun, sepuluh menit berlalu, Katarina belum juga keluar. Lelaki itu mengetuk pintu dan tidak ada respons. Dia membuka sedikit pintu untuk me
“Ini hotel, tentu saja bukan kamar tempatmu tidur tadi malam. Setelah kamu mabuk, aku mengantarmu kembali ke kamar. Tapi belum lama berbaring, kamu muntah. Muntahannya berceceran di lantai, bahkan kasur juga jadi kotor. Aku terpaksa memindahkanmu,” kata Samuel.Setelah itu, dia duduk kembali dan menambahkan, “Kamu benar-benar sulit diurus kalau mabuk. Lain kali, lebih baik kamu minum lebih sedikit.” Katarina menjawab, “Aku sama sekali nggak ingat. Yang kuingat hanyalah minum banyak sekali bersamamu. Anggurnya memang enak sekali. Nanti kalau aku kembali ke Kota Harsa, kirimkan aku satu kotak. Saat perasaanku sedang buruk di rumah, aku bisa minum dua gelas sendiri.”“Kamu kekurangan anggur, ya?” Samuel sama sekali tidak percaya bahwa perempuan itu kekurangan anggur. Dia yakin rumahnya pasti penuh dengan anggur berkualitas. “Aku memang nggak kekurangan anggur, tapi aku sangat kekurangan anggur pemberianmu.” Samuel hanya bisa berkata, “Baiklah, nanti waktu kamu meninggalkan Mambera, aku
Setelah sarapan bersama, keduanya meninggalkan kamar masing-masing. Para pelayan akan membersihkan dan merapikan kamar tersebut agar tetap terjaga seperti semula untuk kunjungan Stefan berikutnyaKatarina kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya. Sementara itu, Samuel menelepon neneknya. Ketika panggilannya tersambung, dia bertanya, “Nenek, Nenek di mana?” “Aku di vila, kenapa? Kangen sama Nenek? Kalau kangen, pulanglah dan temani Nenek makan,” jawab neneknya dengan nada ceria. Samuel tersenyum dan bertanya, “Nenek, pagi-pagi begini sedang apa?” “Aku sedang memanggang ikan, wanginya harum sekali!” “Pagi-pagi begini memanggang ikan?” Nenek tertawa dan membalas, “Apa salahnya memanggang ikan pagi-pagi? Sekarang sudah hampir jam sembilan, matahari sudah tinggi, nggak terlalu pagi, bukan?” “Cuaca hari ini juga hangat, jadi nenek pergi memancing bersama teman-teman lama. Ikan yang kami tangkap langsung dipanggang, rasanya seperti piknik di alam bebas. Seru sekali!” Samue
“Nenek, aku nggak pintar. Aku sangat bodoh. Neneklah yang paling hebat,” kata Samuel sambil memuji neneknya. Namun, itu bukan sekadar pujian kosong. Neneknya memang luar biasa. Bagi orang luar, mereka sudah dianggap sangat hebat, tetapi mereka tetap tidak bisa lepas dari kendali nenek. “Nenek, aku nggak melakukan hal-hal licik,” kata Samuel. “Itu urusanmu. Mau bagaimana pun caramu, terserah. Nenek sudah memilihkan calon istri yang cocok untukmu. Apakah kamu mau mengejarnya atau nggak, itu juga keputusanmu. Satu tahun cukup bagimu untuk mempertimbangkan.” “Tapi nenek mau mengingatkan satu hal, di keluarga Adhitama nggak ada lelaki yang bersikap nggak setia. Semua hanya mencintai satu wanita. Jangan sampai kamu merusak tradisi baik keluarga Adhitama.” Samuel tersenyum canggung, “Nenek, aku tahu. Nenek, aku mau mengemudi sekarang. Nanti kita bicara lagi, ya.” “Hati-hati di jalan,” pesan neneknya sebelum menutup telepon. Setelah menutup telepon, Nenek menyerahkan ponselnya kepada
Dia berkata kepada beberapa teman lamanya, “Cuacanya agak dingin, bagaimana kalau kita minum sedikit untuk menghangatkan badan?” “Nyonya,” Pak Joni langsung mencegah saat mendengar Nenek Sarah ingin minum alkohol.“Nyonya jangan minum alkohol. Kalau Pak Stefan tahu, nanti saya yang disalahkan karena nggak menjaga Nyonya.” “Kalau kamu nggak bilang, bagaimana dia tahu?” “Stefan makin mirip dengan kakeknya, mengatur ini dan itu,” ujar Sarah sambil mengeluhkan Stefan yang mulai ikut campur mengatur dirinya. Beberapa temannya yang lain tertawa dan berkata, “Pak Stefan itu perhatian pada kesehatan Nyonya. Di usia kita ini, sebaiknya memang lebih sedikit minum alkohol.” “Minum sedikit anggur nggak akan masalah. Pak Joni, ambilkan dua botol anggur. Makan panggang-panggangan tanpa minuman itu kurang nikmat.” Pak Joni tidak lagi menolak. Dia menelepon ke villa untuk meminta seseorang mengantarkan beberapa botol anggur. Selain menikmati ikan hasil tangkapan sendiri, ada juga makanan la
Sarah yang mendengar ucapan bocah itu hanya tertawa sambil melambaikan tangannya memanggil Lia dan berseru, “Lia, sini.” Gadis itu berjalan mendekat. “Nyonya, paha ayamnya sudah boleh dimakan?” Dia mengira Nenek memanggilnya untuk makan paha ayam panggang. Namun, Nenek Sarah menariknya mendekat, memeluknya, lalu berkata sambil tersenyum, “Belum selesai dipanggang, nanti sebentar lagi bisa dimakan.” “Kenapa kamu ingin menggantikan posisi Pak Joni?” Semua orang di villa tahu Nenek Sarah sangat menyukai anak perempuan. Keluarga Adhitama sudah beberapa generasi tidak memiliki anak perempuan. Nenek selalu berharap punya anak perempuan atau cucu perempuan, tetapi harapan itu tidak pernah terpenuhi. Sekarang, dia berharap bisa memiliki cicit perempuan. Namun, belum tahu apakah harapan itu akan terwujud. Dia sering berkata kepada para pekerja bahwa anak perempuan dari keluarga mereka boleh tinggal di vila ini, bersekolah di Kota Mambera, dan bermain di taman bermain anak-anak di vila
Mendengar suara mobil, gadis kecil itu hanya melirik sebentar lalu melanjutkan menikmati sate panggangnya. "Nenek, aku pulang," terdengar suara Samuel. Lelaki itu turun dari mobil sambil membawa setangkai bunga. Sambil memanggil neneknya, dia berjalan mendekat dan berkata, "Harum sekali! Cuaca seperti ini, makan sate panggang memang paling cocok." Musim dingin di Kota Mambera memang seperti ini, kemarin cuaca begitu dingin hingga membuat orang menggigil, para Nyonya pun enggan keluar rumah. Namun hari ini, suhu naik lagi. Menjelang siang, matahari bersinar terang, rasanya sedikit panas. Di musim dingin, kadang-kadang mereka memang memanggang sendiri, tetapi biasanya hanya saat liburan, mereka punya waktu santai seperti ini. Berbeda dengan Nenek Sarah yang kapan saja ingin makan sate panggang, bisa langsung memanggangnya dengan santai. Samuel berpikir, nanti kalau dia sudah menikah dan punya anak, begitu anaknya cukup dewasa untuk menggantikan dirinya, dia akan segera melepaskan
Nenek terdiam sambil memandang Samuel. Semua sudah dibicarakan dengan jelas. Samuel juga mengatakan apa yang ada di pikirannya, baik yang boleh maupun yang tidak boleh diucapkan. Hari ini dia pulang ke rumah lama memang untuk jujur kepada neneknya. Lelaki itu tidak bisa seperti kakak-kakaknya, yang dengan patuh menikahi calon istri pilihan nenek. Dia memiliki orang yang ingin dia kejar. Setelah dia selesai berbicara, neneknya menghela napas dan berkata, “Apa yang kamu katakan ada benarnya. Daripada terluka lebih lama, lebih baik sudahi sekarang. Perasaan Katarina terhadapmu sepertinya juga belum terlalu dalam. Bicaralah dengan jelas padanya, biarkan dia berhenti berharap, itu juga baik.” “Jangan menunda masa depannya.” Setelah terdiam sejenak, Nenek kembali bertanya, “Samuel, kamu benar-benar nggak mau mempertimbangkan Katarina? Nggak percaya pada pilihan Nenek?” Samuel menjawab dengan serius, “Nenek, aku percaya dengan pilihan Nenek. Pilihan Nenek sangat baik. Katarina meman
“Nenek, di hatiku, Nenek lebih penting dari orang tuaku sendiri. Nenek pasti bisa hidup panjang umur. Bukankah Nenek ingin mau gendong cicit perempuan? Kami sembilan bersaudara, nanti Nenek punya sembilan menantu perempuan. Siapa tahu salah satu menantu Nenek bisa melahirkan cicit perempuan untuk Nenek gendong.” “Nenek nggak hanya ingin menggendong cicit perempuan, tapi juga mau membesarkannya, dan bahkan mencarikan pasangan yang baik untuknya nanti.” Nenek tersenyum dan berkata, “Nenek juga ingin meminjam 500 tahun lagi, apakah mungkin? Kita harus realistis, semua harus menghadapi kenyataan.” “Nenek sudah akan sangat puas kalau bisa melihat cicit perempuan lahir. Mana berani berharap bisa hidup sampai cicit perempuan menikah?” Usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun. Cicit perempuan pun belum tahu ada di mana. Bahkan apakah dia bisa menunggu sampai cucu kesembilannya menikah pun belum tentu. “Sudahlah, tadi Nenek hanya bercanda. Nenek sudah bilang, selama orangnya punya
Samuel membantu Nenek membersihkan kursi batu. “Nenek memang berbakat, nggak keluar rumah juga bisa tahu apa pun.” Nenek mendelik dan berkata, “Nggak perlu memuji. Bicara baik-baik dengan Nenek. Apa yang salah dari Katarina?” “Dia baik sekali. Aku nggak pernah mengatakan dia buruk. Aku juga sudah mencoba untuk menyukainya. Aku mencoba membangun perasaan sama dia. Tapi ternyata, aku nggak bisa menumbuhkan perasaan itu, sementara dia justru berhasil dan sekarang dia datang jauh-jauh untuk buat perhitungan denganku.” “Dia bilang aku mempermainkannya. Aku benar-benar nggak bersalah! Aku sudah berusaha keras untuk mencintainya, tapi tetap saja nggak bisa.” Samuel berkata dengan wajah penuh kepolosan sambil terus makan sate bakarnya. “Dia adalah seseorang yang Nenek pilih. Aku akui dia sangat luar biasa, dan di segala aspek memang cocok dengaku. Aku juga nggak membencinya. Tapi saat bersama dia, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Setelah beberapa waktu, aku yakin bahwa aku ngg
Semalam tidurnya tidak nyenyak, jadi dia tidak nafsu makan dan hanya makan sedikit saja. Samuel memasukkan makanan yang akan dimakannya ke dalam kantong, lalu mengikuti neneknya. "Nenek, ini, ayam panggangnya," kata Samuel sambil menyerahkan paha ayam panggang kepada neneknya. Sambil menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di meja batu dan tampak tengah makan dengan lahap hingga mulutnya penuh minyak, dia bertanya, "Nenek, siapa gadis kecil itu? Dia makan dengan sangat lahap." "Itu Lia, orang tuanya adalah pengelola kebun bunga. Nenek sangat suka sama dia," jawab neneknya. Samuel sambil mengunyah sate ikan panggang buatan neneknya berkata, "Asal perempuan, Nenek pasti suka. Waktu pergi ke kediaman keluarga Junaidi, Nenek bahkan ingin membawa satu-satunya cicit perempuan mereka pulang." Nenek menghela napas dan berkata, "Keluarga kita dan keluarga Junaidi sama-sama kaya dan baik. Kalau Audrey tumbuh di keluarga kita, dia juga nggak akan kekurangan apa pun. Sayangnya, keluarga Jun
Nenek memegang bunga dengan satu tangan, lalu dengan tangan yang lain mengambil ikan panggang yang baru matang dan menyerahkannya kepada Samuel sambil berkata, "Ikan kecil seperti ini paling enak dimakan saat masih panas. Kalau sudah dingin, rasanya kurang enak. Cepat dimakan." "Terima kasih, Nek." Samuel menerima ikan panggang dari neneknya dan langsung menikmatinya tanpa basa-basi. Sambil makan, dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto, lalu mengirimkannya kepada adik kelimanya, Hansen. Dia dan Hansen sudah sering main bersama sejak kecil. Ketika dewasa, hubungan mereka juga paling dekat. Apa pun yang dia lakukan, dia selalu suka pamer kepada Hansen. Hansen, yang menerima foto dari kakaknya, langsung mengirim pesan suara di grup keluarga, "Nenek, apakah Nenek memancing lagi? Bahkan memanggangnya juga? Ada banyak, nggak? Aku juga mau makan. Aku akan pulang sekarang." Samuel sengaja berkata, "Nggak ada lagi. Nenek memang khusus menyisakan untukku. Kamu nggak kebagian. La
Mendengar suara mobil, gadis kecil itu hanya melirik sebentar lalu melanjutkan menikmati sate panggangnya. "Nenek, aku pulang," terdengar suara Samuel. Lelaki itu turun dari mobil sambil membawa setangkai bunga. Sambil memanggil neneknya, dia berjalan mendekat dan berkata, "Harum sekali! Cuaca seperti ini, makan sate panggang memang paling cocok." Musim dingin di Kota Mambera memang seperti ini, kemarin cuaca begitu dingin hingga membuat orang menggigil, para Nyonya pun enggan keluar rumah. Namun hari ini, suhu naik lagi. Menjelang siang, matahari bersinar terang, rasanya sedikit panas. Di musim dingin, kadang-kadang mereka memang memanggang sendiri, tetapi biasanya hanya saat liburan, mereka punya waktu santai seperti ini. Berbeda dengan Nenek Sarah yang kapan saja ingin makan sate panggang, bisa langsung memanggangnya dengan santai. Samuel berpikir, nanti kalau dia sudah menikah dan punya anak, begitu anaknya cukup dewasa untuk menggantikan dirinya, dia akan segera melepaskan
Sarah yang mendengar ucapan bocah itu hanya tertawa sambil melambaikan tangannya memanggil Lia dan berseru, “Lia, sini.” Gadis itu berjalan mendekat. “Nyonya, paha ayamnya sudah boleh dimakan?” Dia mengira Nenek memanggilnya untuk makan paha ayam panggang. Namun, Nenek Sarah menariknya mendekat, memeluknya, lalu berkata sambil tersenyum, “Belum selesai dipanggang, nanti sebentar lagi bisa dimakan.” “Kenapa kamu ingin menggantikan posisi Pak Joni?” Semua orang di villa tahu Nenek Sarah sangat menyukai anak perempuan. Keluarga Adhitama sudah beberapa generasi tidak memiliki anak perempuan. Nenek selalu berharap punya anak perempuan atau cucu perempuan, tetapi harapan itu tidak pernah terpenuhi. Sekarang, dia berharap bisa memiliki cicit perempuan. Namun, belum tahu apakah harapan itu akan terwujud. Dia sering berkata kepada para pekerja bahwa anak perempuan dari keluarga mereka boleh tinggal di vila ini, bersekolah di Kota Mambera, dan bermain di taman bermain anak-anak di vila
Dia berkata kepada beberapa teman lamanya, “Cuacanya agak dingin, bagaimana kalau kita minum sedikit untuk menghangatkan badan?” “Nyonya,” Pak Joni langsung mencegah saat mendengar Nenek Sarah ingin minum alkohol.“Nyonya jangan minum alkohol. Kalau Pak Stefan tahu, nanti saya yang disalahkan karena nggak menjaga Nyonya.” “Kalau kamu nggak bilang, bagaimana dia tahu?” “Stefan makin mirip dengan kakeknya, mengatur ini dan itu,” ujar Sarah sambil mengeluhkan Stefan yang mulai ikut campur mengatur dirinya. Beberapa temannya yang lain tertawa dan berkata, “Pak Stefan itu perhatian pada kesehatan Nyonya. Di usia kita ini, sebaiknya memang lebih sedikit minum alkohol.” “Minum sedikit anggur nggak akan masalah. Pak Joni, ambilkan dua botol anggur. Makan panggang-panggangan tanpa minuman itu kurang nikmat.” Pak Joni tidak lagi menolak. Dia menelepon ke villa untuk meminta seseorang mengantarkan beberapa botol anggur. Selain menikmati ikan hasil tangkapan sendiri, ada juga makanan la
“Nenek, aku nggak pintar. Aku sangat bodoh. Neneklah yang paling hebat,” kata Samuel sambil memuji neneknya. Namun, itu bukan sekadar pujian kosong. Neneknya memang luar biasa. Bagi orang luar, mereka sudah dianggap sangat hebat, tetapi mereka tetap tidak bisa lepas dari kendali nenek. “Nenek, aku nggak melakukan hal-hal licik,” kata Samuel. “Itu urusanmu. Mau bagaimana pun caramu, terserah. Nenek sudah memilihkan calon istri yang cocok untukmu. Apakah kamu mau mengejarnya atau nggak, itu juga keputusanmu. Satu tahun cukup bagimu untuk mempertimbangkan.” “Tapi nenek mau mengingatkan satu hal, di keluarga Adhitama nggak ada lelaki yang bersikap nggak setia. Semua hanya mencintai satu wanita. Jangan sampai kamu merusak tradisi baik keluarga Adhitama.” Samuel tersenyum canggung, “Nenek, aku tahu. Nenek, aku mau mengemudi sekarang. Nanti kita bicara lagi, ya.” “Hati-hati di jalan,” pesan neneknya sebelum menutup telepon. Setelah menutup telepon, Nenek menyerahkan ponselnya kepada