Sarah yang mendengar ucapan bocah itu hanya tertawa sambil melambaikan tangannya memanggil Lia dan berseru, “Lia, sini.” Gadis itu berjalan mendekat. “Nyonya, paha ayamnya sudah boleh dimakan?” Dia mengira Nenek memanggilnya untuk makan paha ayam panggang. Namun, Nenek Sarah menariknya mendekat, memeluknya, lalu berkata sambil tersenyum, “Belum selesai dipanggang, nanti sebentar lagi bisa dimakan.” “Kenapa kamu ingin menggantikan posisi Pak Joni?” Semua orang di villa tahu Nenek Sarah sangat menyukai anak perempuan. Keluarga Adhitama sudah beberapa generasi tidak memiliki anak perempuan. Nenek selalu berharap punya anak perempuan atau cucu perempuan, tetapi harapan itu tidak pernah terpenuhi. Sekarang, dia berharap bisa memiliki cicit perempuan. Namun, belum tahu apakah harapan itu akan terwujud. Dia sering berkata kepada para pekerja bahwa anak perempuan dari keluarga mereka boleh tinggal di vila ini, bersekolah di Kota Mambera, dan bermain di taman bermain anak-anak di vila
Mendengar suara mobil, gadis kecil itu hanya melirik sebentar lalu melanjutkan menikmati sate panggangnya. "Nenek, aku pulang," terdengar suara Samuel. Lelaki itu turun dari mobil sambil membawa setangkai bunga. Sambil memanggil neneknya, dia berjalan mendekat dan berkata, "Harum sekali! Cuaca seperti ini, makan sate panggang memang paling cocok." Musim dingin di Kota Mambera memang seperti ini, kemarin cuaca begitu dingin hingga membuat orang menggigil, para Nyonya pun enggan keluar rumah. Namun hari ini, suhu naik lagi. Menjelang siang, matahari bersinar terang, rasanya sedikit panas. Di musim dingin, kadang-kadang mereka memang memanggang sendiri, tetapi biasanya hanya saat liburan, mereka punya waktu santai seperti ini. Berbeda dengan Nenek Sarah yang kapan saja ingin makan sate panggang, bisa langsung memanggangnya dengan santai. Samuel berpikir, nanti kalau dia sudah menikah dan punya anak, begitu anaknya cukup dewasa untuk menggantikan dirinya, dia akan segera melepaskan
Nenek memegang bunga dengan satu tangan, lalu dengan tangan yang lain mengambil ikan panggang yang baru matang dan menyerahkannya kepada Samuel sambil berkata, "Ikan kecil seperti ini paling enak dimakan saat masih panas. Kalau sudah dingin, rasanya kurang enak. Cepat dimakan." "Terima kasih, Nek." Samuel menerima ikan panggang dari neneknya dan langsung menikmatinya tanpa basa-basi. Sambil makan, dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto, lalu mengirimkannya kepada adik kelimanya, Hansen. Dia dan Hansen sudah sering main bersama sejak kecil. Ketika dewasa, hubungan mereka juga paling dekat. Apa pun yang dia lakukan, dia selalu suka pamer kepada Hansen. Hansen, yang menerima foto dari kakaknya, langsung mengirim pesan suara di grup keluarga, "Nenek, apakah Nenek memancing lagi? Bahkan memanggangnya juga? Ada banyak, nggak? Aku juga mau makan. Aku akan pulang sekarang." Samuel sengaja berkata, "Nggak ada lagi. Nenek memang khusus menyisakan untukku. Kamu nggak kebagian. La
Semalam tidurnya tidak nyenyak, jadi dia tidak nafsu makan dan hanya makan sedikit saja. Samuel memasukkan makanan yang akan dimakannya ke dalam kantong, lalu mengikuti neneknya. "Nenek, ini, ayam panggangnya," kata Samuel sambil menyerahkan paha ayam panggang kepada neneknya. Sambil menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di meja batu dan tampak tengah makan dengan lahap hingga mulutnya penuh minyak, dia bertanya, "Nenek, siapa gadis kecil itu? Dia makan dengan sangat lahap." "Itu Lia, orang tuanya adalah pengelola kebun bunga. Nenek sangat suka sama dia," jawab neneknya. Samuel sambil mengunyah sate ikan panggang buatan neneknya berkata, "Asal perempuan, Nenek pasti suka. Waktu pergi ke kediaman keluarga Junaidi, Nenek bahkan ingin membawa satu-satunya cicit perempuan mereka pulang." Nenek menghela napas dan berkata, "Keluarga kita dan keluarga Junaidi sama-sama kaya dan baik. Kalau Audrey tumbuh di keluarga kita, dia juga nggak akan kekurangan apa pun. Sayangnya, keluarga Jun
Samuel membantu Nenek membersihkan kursi batu. “Nenek memang berbakat, nggak keluar rumah juga bisa tahu apa pun.” Nenek mendelik dan berkata, “Nggak perlu memuji. Bicara baik-baik dengan Nenek. Apa yang salah dari Katarina?” “Dia baik sekali. Aku nggak pernah mengatakan dia buruk. Aku juga sudah mencoba untuk menyukainya. Aku mencoba membangun perasaan sama dia. Tapi ternyata, aku nggak bisa menumbuhkan perasaan itu, sementara dia justru berhasil dan sekarang dia datang jauh-jauh untuk buat perhitungan denganku.” “Dia bilang aku mempermainkannya. Aku benar-benar nggak bersalah! Aku sudah berusaha keras untuk mencintainya, tapi tetap saja nggak bisa.” Samuel berkata dengan wajah penuh kepolosan sambil terus makan sate bakarnya. “Dia adalah seseorang yang Nenek pilih. Aku akui dia sangat luar biasa, dan di segala aspek memang cocok dengaku. Aku juga nggak membencinya. Tapi saat bersama dia, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Setelah beberapa waktu, aku yakin bahwa aku ngg
“Nenek, di hatiku, Nenek lebih penting dari orang tuaku sendiri. Nenek pasti bisa hidup panjang umur. Bukankah Nenek ingin mau gendong cicit perempuan? Kami sembilan bersaudara, nanti Nenek punya sembilan menantu perempuan. Siapa tahu salah satu menantu Nenek bisa melahirkan cicit perempuan untuk Nenek gendong.” “Nenek nggak hanya ingin menggendong cicit perempuan, tapi juga mau membesarkannya, dan bahkan mencarikan pasangan yang baik untuknya nanti.” Nenek tersenyum dan berkata, “Nenek juga ingin meminjam 500 tahun lagi, apakah mungkin? Kita harus realistis, semua harus menghadapi kenyataan.” “Nenek sudah akan sangat puas kalau bisa melihat cicit perempuan lahir. Mana berani berharap bisa hidup sampai cicit perempuan menikah?” Usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun. Cicit perempuan pun belum tahu ada di mana. Bahkan apakah dia bisa menunggu sampai cucu kesembilannya menikah pun belum tentu. “Sudahlah, tadi Nenek hanya bercanda. Nenek sudah bilang, selama orangnya punya
Nenek terdiam sambil memandang Samuel. Semua sudah dibicarakan dengan jelas. Samuel juga mengatakan apa yang ada di pikirannya, baik yang boleh maupun yang tidak boleh diucapkan. Hari ini dia pulang ke rumah lama memang untuk jujur kepada neneknya. Lelaki itu tidak bisa seperti kakak-kakaknya, yang dengan patuh menikahi calon istri pilihan nenek. Dia memiliki orang yang ingin dia kejar. Setelah dia selesai berbicara, neneknya menghela napas dan berkata, “Apa yang kamu katakan ada benarnya. Daripada terluka lebih lama, lebih baik sudahi sekarang. Perasaan Katarina terhadapmu sepertinya juga belum terlalu dalam. Bicaralah dengan jelas padanya, biarkan dia berhenti berharap, itu juga baik.” “Jangan menunda masa depannya.” Setelah terdiam sejenak, Nenek kembali bertanya, “Samuel, kamu benar-benar nggak mau mempertimbangkan Katarina? Nggak percaya pada pilihan Nenek?” Samuel menjawab dengan serius, “Nenek, aku percaya dengan pilihan Nenek. Pilihan Nenek sangat baik. Katarina meman
Katarina tidak akan tahu bahwa barang itu dibeli olehnya. Setelah memikirkannya, Samuel akhirnya memutuskan untuk melakukan apa yang neneknya sarankan. Jika dia memberi tahu Katarina bahwa barang-barang itu adalah pemberiannya, gadis itu mungkin akan berpikir bahwa dia masih memiliki sedikit perasaan terhadapnya. Katarina akan mengira dirinya masih ada harapan dan tidak mau menyerah. Hal ituakan merepotkan. “Nenek, Nenek nggak pulang untuk makan?” Samuel melihat jam, sudah hampir waktunya makan siang. Nenek menjawab, “Nenek sudah kenyang makan banyak sate tadi. Sebentar lagi Nenek akan ke rumah mereka dan makan semangkuk bubur putih saja. Kamu pulanglah dan temani papa dan mamamu makan.” “Baik.” Melihat neneknya tidak ingin pulang ke rumah, Samuel tidak memaksanya. Neneknya suka bermain bersama teman-teman sebayanya dan tidak akan kelaparan. Dia tidak perlu khawatir neneknya kekurangan makanan. “Aku akan menelepon mereka untuk datang melihat bunga bersama.” Nenek mengeluark
“Nenek bilang menghargai pilihanku, tapi minta aku nggak boleh menyesal.”Samuel mengambil mangkuk sup dan menuangkan semangkuk sup untuk ibunya. Melihat ayahnya masuk, dia menuangkan semangkuk lagi untuk ayahnya sambil berkata, "Aku nggak pernah melakukan sesuatu yang akan membuatku menyesal." Meskipun sebelumnya dia masih bimbang, tidak tahu apakah harus memilih Katarina atau si Rubah, di dalam hatinya dia tahu, bersama si Rubah dia merasa sangat bahagia. Dia juga sangat menantikan untuk bertemu si Rubah, bahkan jika mereka akan bertengkar ketika bertemu, dia tetap menantikannya. Perasaan ini tidak bisa dia temukan pada Katarina. Samuel mendekati Katarina dengan sedikit terpaksa karena perempuan itu adalah orang yang nenek pilihkan untuknya. Faktanya, cinta memang tidak bisa dipaksakan.“Kalau begitu, yang penting kamu jangan menyesal,” ujar Fenny.Dia berpikir, bagaimana mungkin ibu mertuanya bisa dengan mudah melepaskan Samuel? Ternyata pemuda itu masih belum menyadari apa yang
Fenny meletakkan kotak hadiah itu sambil berkata, “Aku nggak tahu kalau dia pulang sendirian. Mamamu bilang dia akan pulang makan siang, jadi kupikir Katarina juga ikut. Semalam mereka makan dan minum bersama, kukira hari ini dia akan membawanya pulang agar kami bisa bertemu.” Fenny tidak lagi merasa perhiasan yang diberikan oleh putranya itu menarik. Menantu lebih menarik baginya. "Kalau begitu aku akan pergi sekarang. Aku kembali ke kantor saja.” Sambil bicara, lelaki berdiri dan pura-pura ingin pergi. Ayahnya langsung berkata, “Mamamu sudah meminta dapur untuk menambah lauk. Peliharaan kita nggak bisa menghabiskannya, kamu bantu habiskan dulu sebelum pergi.” “Sudahlah, ayo makan,” seru ibunya mengajak suami dan anaknya ke meja makan. Samuel berdiri dan mengikuti ibunya. Sambil berjalan, dia bergumam, “Aku kira benar-benar nggak diizinkan makan. Aku bahkan lebih buruk daripada peliharaan di rumah.” “Kali ini biarkan saja, tapi lain kali kalau Katarina datang lagi, kamu
Feny juga merupakan keluarga konglomerat. Sejak kecil, hal yang paling tidak pernah kekurangan baginya adalah perhiasan. Ketika menikah masuk ke keluarga Adhitama, orang tua, kakak, dan iparnya memberinya banyak perhiasan sebagai mas kawin.Jumlahnya bahkan cukup untuk membuka toko perhiasan. Mas kawin itu sekarang masih disimpan di tempat koleksi perhiasannya. Setelah putra sulung menikah dengan Rosalina, Fenny memberikan banyak koleksi perhiasannya kepada menantu perempuan tertuanya. Samuel menjawab, “Bukannya aku belum punya istri? Lihat ada model perhiasan baru, aku beli satu set untuk Mama.” “Kamu sudah beli untuk nenekmu?” Samuel menyerahkan kotak hadiah merah kepada ibunya dan menjawab, “Nenek nggak mau kami membelikan perhiasan. Aku hanya beli bunga untuk Nenek, tapi Nenek malah mengomel dan bilang aku buang-buang uang, katanya di kebunbunga di kaki gunung sudah banyak bunga.” Ibu lelaki itu menerima kotak tersebut sambil tersenyum dan berkata, “Nenekmu hanya mengomel b
Katarina tidak akan tahu bahwa barang itu dibeli olehnya. Setelah memikirkannya, Samuel akhirnya memutuskan untuk melakukan apa yang neneknya sarankan. Jika dia memberi tahu Katarina bahwa barang-barang itu adalah pemberiannya, gadis itu mungkin akan berpikir bahwa dia masih memiliki sedikit perasaan terhadapnya. Katarina akan mengira dirinya masih ada harapan dan tidak mau menyerah. Hal ituakan merepotkan. “Nenek, Nenek nggak pulang untuk makan?” Samuel melihat jam, sudah hampir waktunya makan siang. Nenek menjawab, “Nenek sudah kenyang makan banyak sate tadi. Sebentar lagi Nenek akan ke rumah mereka dan makan semangkuk bubur putih saja. Kamu pulanglah dan temani papa dan mamamu makan.” “Baik.” Melihat neneknya tidak ingin pulang ke rumah, Samuel tidak memaksanya. Neneknya suka bermain bersama teman-teman sebayanya dan tidak akan kelaparan. Dia tidak perlu khawatir neneknya kekurangan makanan. “Aku akan menelepon mereka untuk datang melihat bunga bersama.” Nenek mengeluark
Nenek terdiam sambil memandang Samuel. Semua sudah dibicarakan dengan jelas. Samuel juga mengatakan apa yang ada di pikirannya, baik yang boleh maupun yang tidak boleh diucapkan. Hari ini dia pulang ke rumah lama memang untuk jujur kepada neneknya. Lelaki itu tidak bisa seperti kakak-kakaknya, yang dengan patuh menikahi calon istri pilihan nenek. Dia memiliki orang yang ingin dia kejar. Setelah dia selesai berbicara, neneknya menghela napas dan berkata, “Apa yang kamu katakan ada benarnya. Daripada terluka lebih lama, lebih baik sudahi sekarang. Perasaan Katarina terhadapmu sepertinya juga belum terlalu dalam. Bicaralah dengan jelas padanya, biarkan dia berhenti berharap, itu juga baik.” “Jangan menunda masa depannya.” Setelah terdiam sejenak, Nenek kembali bertanya, “Samuel, kamu benar-benar nggak mau mempertimbangkan Katarina? Nggak percaya pada pilihan Nenek?” Samuel menjawab dengan serius, “Nenek, aku percaya dengan pilihan Nenek. Pilihan Nenek sangat baik. Katarina meman
“Nenek, di hatiku, Nenek lebih penting dari orang tuaku sendiri. Nenek pasti bisa hidup panjang umur. Bukankah Nenek ingin mau gendong cicit perempuan? Kami sembilan bersaudara, nanti Nenek punya sembilan menantu perempuan. Siapa tahu salah satu menantu Nenek bisa melahirkan cicit perempuan untuk Nenek gendong.” “Nenek nggak hanya ingin menggendong cicit perempuan, tapi juga mau membesarkannya, dan bahkan mencarikan pasangan yang baik untuknya nanti.” Nenek tersenyum dan berkata, “Nenek juga ingin meminjam 500 tahun lagi, apakah mungkin? Kita harus realistis, semua harus menghadapi kenyataan.” “Nenek sudah akan sangat puas kalau bisa melihat cicit perempuan lahir. Mana berani berharap bisa hidup sampai cicit perempuan menikah?” Usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun. Cicit perempuan pun belum tahu ada di mana. Bahkan apakah dia bisa menunggu sampai cucu kesembilannya menikah pun belum tentu. “Sudahlah, tadi Nenek hanya bercanda. Nenek sudah bilang, selama orangnya punya
Samuel membantu Nenek membersihkan kursi batu. “Nenek memang berbakat, nggak keluar rumah juga bisa tahu apa pun.” Nenek mendelik dan berkata, “Nggak perlu memuji. Bicara baik-baik dengan Nenek. Apa yang salah dari Katarina?” “Dia baik sekali. Aku nggak pernah mengatakan dia buruk. Aku juga sudah mencoba untuk menyukainya. Aku mencoba membangun perasaan sama dia. Tapi ternyata, aku nggak bisa menumbuhkan perasaan itu, sementara dia justru berhasil dan sekarang dia datang jauh-jauh untuk buat perhitungan denganku.” “Dia bilang aku mempermainkannya. Aku benar-benar nggak bersalah! Aku sudah berusaha keras untuk mencintainya, tapi tetap saja nggak bisa.” Samuel berkata dengan wajah penuh kepolosan sambil terus makan sate bakarnya. “Dia adalah seseorang yang Nenek pilih. Aku akui dia sangat luar biasa, dan di segala aspek memang cocok dengaku. Aku juga nggak membencinya. Tapi saat bersama dia, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Setelah beberapa waktu, aku yakin bahwa aku ngg
Semalam tidurnya tidak nyenyak, jadi dia tidak nafsu makan dan hanya makan sedikit saja. Samuel memasukkan makanan yang akan dimakannya ke dalam kantong, lalu mengikuti neneknya. "Nenek, ini, ayam panggangnya," kata Samuel sambil menyerahkan paha ayam panggang kepada neneknya. Sambil menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di meja batu dan tampak tengah makan dengan lahap hingga mulutnya penuh minyak, dia bertanya, "Nenek, siapa gadis kecil itu? Dia makan dengan sangat lahap." "Itu Lia, orang tuanya adalah pengelola kebun bunga. Nenek sangat suka sama dia," jawab neneknya. Samuel sambil mengunyah sate ikan panggang buatan neneknya berkata, "Asal perempuan, Nenek pasti suka. Waktu pergi ke kediaman keluarga Junaidi, Nenek bahkan ingin membawa satu-satunya cicit perempuan mereka pulang." Nenek menghela napas dan berkata, "Keluarga kita dan keluarga Junaidi sama-sama kaya dan baik. Kalau Audrey tumbuh di keluarga kita, dia juga nggak akan kekurangan apa pun. Sayangnya, keluarga Jun
Nenek memegang bunga dengan satu tangan, lalu dengan tangan yang lain mengambil ikan panggang yang baru matang dan menyerahkannya kepada Samuel sambil berkata, "Ikan kecil seperti ini paling enak dimakan saat masih panas. Kalau sudah dingin, rasanya kurang enak. Cepat dimakan." "Terima kasih, Nek." Samuel menerima ikan panggang dari neneknya dan langsung menikmatinya tanpa basa-basi. Sambil makan, dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto, lalu mengirimkannya kepada adik kelimanya, Hansen. Dia dan Hansen sudah sering main bersama sejak kecil. Ketika dewasa, hubungan mereka juga paling dekat. Apa pun yang dia lakukan, dia selalu suka pamer kepada Hansen. Hansen, yang menerima foto dari kakaknya, langsung mengirim pesan suara di grup keluarga, "Nenek, apakah Nenek memancing lagi? Bahkan memanggangnya juga? Ada banyak, nggak? Aku juga mau makan. Aku akan pulang sekarang." Samuel sengaja berkata, "Nggak ada lagi. Nenek memang khusus menyisakan untukku. Kamu nggak kebagian. La