Pada saat yang sama di Mambera Hotel.Bram yang belum pernah mabuk sejak dia mulai minum minuman keras, untuk pertama kalinya dia mabuk di pernikahan Stefan. Minuman itu sangat enak. Ada Chintya yang menemaninya, suasana hatinya sedang baik. Dia pun minum lebih banyak dari biasanya.Saat meminumnya, Bram merasa minuman itu sangat enak. Namun, kandungan alkoholnya cukup tinggi, sampai membuat Bram mabuk. Saat Bram membuka matanya, dia merasa sakit kepala. Dia pun menutup matanya lagi.Bram belum cukup tidur. Kalau sudah cukup tidur, kepalanya tidak akan terlalu sakit lagi. Namun, tak lama kemudian, dia membuka matanya lagi. Hanya karena dia mendapati dirinya tidur di kamar yang asing baginya.Di manakah ini? Bram tahu ini bukan rumah keluarga Ardaba, juga bukan rumahnya sendiri. Apakah ada orang yang menculiknya dan membawanya pergi selagi dia mabuk? Secara logika, itu tidak mungkin.Bram menghadiri pernikahan di Vila Permai milik keluarga Adhitama. Sekalipun dia mabuk sampai tak sadark
Untung saja Reiki sudah menikah. Junia bahkan sedang hamil. Jadi Bram tidak perlu khawatir. Terlebih lagi, Chintya hanya mengagumi orang hebat. Di mata semua orang, Reiki memang orang yang hebat. Wajar saja jika Chintya memuji Reiki.Begitu melihat nama Chintya di layar ponselnya, Bram seketika merasa sakit kepalanya sudah hilang.“Chintya.”“Pak Bram, kamu sudah bangun? Atau kamu terbangun karena telepon dari aku? Aku lihat kamu tidur sudah cukup lama. Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Aku coba-coba telepon, lihat kamu sudah bangun atau belum.”Chintya tidak minum, dia sudah bangun pagi-pagi sekali. Karena sedang bepergian, dia tidak bisa pergi ke ruang latihan untuk berlatih setelah bangun. Dia pun lari pagi cukup lama, baru kembali ke hotel untuk mandi. Setelah itu, dia menikmati sarapan di restoran hotel yang berada di lantai satu hotel.Bram tidur dalam keadaan mabuk. Chintya pun tidak mau mengganggunya, makanya dia pergi ke restoran untuk sarapan sendirian. Restoran di lantai pe
“Aku jarang datang ke sini juga. Pak Bram, sakit kepala, nggak? Mau makan dulu, nggak?” tanya Chintya.“Sakit, jujur ini pertama kalinya aku mabuk. Jadi ini pertama kalinya juga aku sakit kepala karena habis mabuk. Rasanya kepalaku seperti mau pecah. Sakit banget sampai ingin kupukul kepala ini.”Saat bicara, Bram mendongakkan kepalanya lagi sambil mengusap pelipisnya yang sakit. Dia masih mengeluh dalam hati kalau minuman yang disiapkan Stefan begitu enak, sampai membuat mereka mabuk.Stefan sudah siapkan minuman bagus saja, masih saja dikomplain. Dia yang jadi pengantin saja tidak mabuk, malah Bram yang mabuk. Bram saja yang tidak pandai minum.“Kepalaku sakit banget sampai nggak ingin makan. Tapi aku lapar.”Bram sengaja berkata dengan nada memelas, ingin membuat Chintya kasihan padanya. Namun, Chintya tidak merasa kasihan padanya. Bagaimanapun juga, Chintya tidak memiliki perasaan apa pun pada Bram. Namun, karena sopan santun, dia tetap harus peduli pada Bram.“Aku coba tanya ke re
Chintya baru bisa keluar dengan tenang untuk membelikan Bram sarapan. Bram bilang dia ingin makan yang ringan. Chintya pun pergi ke sebuah toko khusus menjual sarapan. Dia membeli sebungkus bubur putih, sedikit sayur asin untuk dimakan bersama bubur.Takut Bram tidak kenyang, Chintya membeli satu porsi pangsit kukus lagi. Setelah itu, dia kembali ke hotel dengan sarapan yang dia beli.Sepuluh menit kemudian. Chintya berdiri di depan pintu kamar Bram. Dia mengetuk pintu sambil memanggil, “Pak Bram, Pak Bram.”Bram segera datang dan membukakan pintu untuk Chintya. Chintya berdiri di depan pintu, menyerahkan sarapan yang dibelinya kepada Bram, lalu bertanya, “Pak Bram, aku minta bagian resepsionis antar madu ke sini dulu. Kamu sudah buatkan air madu?”Bram mengambil sarapan dari Chintya, lalu minggir agar Chintya bisa masuk. Awalnya Chintya tidak ingin masuk. Namun, dia melihat Bram sudah memberi jalan, juga tidak bermaksud menutup pintu. Selain itu, Bram juga sudah berpakaian rapi. Setel
Bram tersenyum, “Mungkin aku jarang minum air yang dimasak begini. Aku nggak pernah.”Bram tiba-tiba mengerti mengapa Stefan jatuh cinta pada Olivia setelah menikah. Stefan menjalani kehidupan sederhana yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pada awalnya dia merasa asing, juga tidak terbiasa. Pada akhirnya, dia tidak hanya terbiasa, bahkan lebih menyukai kehidupan seperti itu. Makanya Stefan terus menyembunyikan identitas aslinya dari Olivia.Bram berpikir, kapan dia akan menjelaskan tentang dia kepada Chintya? Dia tidak mungkin mengikuti jalan lama Stefan, bukan?Olivia memiliki temperamen yang begitu baik. Namun, setelah ditipu oleh suaminya begitu lama, dia sangat marah ketika mengetahui semua kebenarannya. Olivia bahkan sampai mau bercerai dengan Stefan. Hal itu membuat Stefan ketakutan bukan main. Dia sampai melakukan hal yang mengejutkan semua orang.Chintya tipe orang yang membedakan jelas cinta dan benci. Dia terlihat riang dan cuek, tidak suka perhitungan. Namun, kalau sese
Seperti yang Chintya katakan, kalau mau berbohong, berbohonglah seumur hidup. Jangan sampai orang yang dibohongi tahu. Kalau tidak, katakan yang sejujurnya, berusaha mendapatkan maaf dari orang itu, jangan meneruskan kesalahan yang sama terus-menerus.Bram tidak mungkin berbohong kepada Chintya seumur hidup. Bagaimanapun juga, dia masih harus mengurus bisnis keluarga Ardaba. Kelak Chintya menikah dengannya, Chintya juga harus bertemu dengan keluarganya. Bagaimana mungkin Bram bisa membohonginya selamanya.Chintya bertanya lagi, “Pak Bram, temanmu itu bohong pada orang yang dia sukai, ya? Atau hanya bohong pada temannya yang lain?”“Dia bohong pada perempuan yang dia cintai sejak pandangan pertama. Masalah perasaan, dia nggak tahu harus berbuat apa. Makanya dia curhat padaku. Aku juga nggak tahu harus berkata apa. Dia bohong pada perempuan itu. Alasan utamanya karena dia takut perempuan itu tahu kalau kehidupannya akan selalu berhadapan dengan bahaya. Dia nggak mau buat perempuan itu ak
Bram berpikir sejenak, lalu mengangguk tanda setuju dengan Chintya. Kemudian, dia berkata, “Kalau dia benar-benar suka, dia memang harus jujur pada pasangannya. Terima kasih, aku akan sampaikan pada temanku itu dan suruh dia berhenti menyembunyikan apa pun dari pasangannya.”Chintya tersenyum, “Pak Bram nggak perlu berterima kasih. Aku hanya mengutarakan pendapat dan pandanganku saja. Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Kita merasa nggak boleh berbohong pada orang lain, tapi orang lain belum tentu berpikir demikian. Ada sebagian orang sudah terbiasa hidup dalam kebohongan. Kamu boleh bilang ke temanmu. Kalau dia mau dengar ya sudah. Kalau nggak mau dengar, kamu juga nggak usah ngomong apa-apa lagi. Kita nggak bisa bangunkan orang yang pura-pura tidur.”Bram merasa sangat canggung. Saat dia mengaku pada Chintya nanti, entah apa yang Chintya pikirkan tentang dia. Bram harus atur sedemikian rupa agar Chintya mengetahui identitasnya dengan cara yang sangat alami. Setelah itu, dia
Chintya memiringkan kepalanya. Pisau tajam pria itu lewat tepat di depannya, hampir saja menggores wajahnya.Pria itu memutar pergelangan tangannya. Pisau yang tajam itu berputar dan bergerak cepat ke arah leher Chintya. Tiba-tiba, muncul sebuah tangan yang dengan cepat mencekal tangan perampok itu. Tangan besar itu mengerahkan tenaga. Perampok itu pun langsung berteriak histeris. Pada detik berikutnya, pisau di tangannya jatuh ke tanah. Kemudian, dia ditendang terus sampai hampir mati kesakitan. Namun, dia tidak bisa mundur, juga tidak bisa menghindar. Karena tangan besar itu masih mencengkeram pergelangan tangannya erat-erat.Bram membalikkan badannya, pindah ke belakang perampok. Kemudian, dia menendang kaki belakang perampok itu. Si perampok hanya merasakan sakit pada kakinya. Tanpa sadar, dia jatuh dan berlutut di tanah. Pergelangan tangannya yang masih dicengkeram erat langsung ditarik oleh Bram ke belakang.Bram mendorong tubuh perampok itu ke tanah, sehingga wajah perampok itu