Alvan kembali ke sisi Aulya setelah meninggalkan istrinya beberapa saat. “Bagaimana kabar kamu sekarang?” Pelukannya mendarat di belakang tubuh Aulya.
“Membaik, tapi ... kalau bisa malam ini biasa saja ya.” Aulya memohon, memasang wajah cemas. “Iya, Sayang.” Alvan mengecup leher sebelah kanan Aulya sangat sensual. Semalam adalah pengalaman paling memuaskan maka sulit dilupakan dan selalu ingin mengulang lagi dan lagi. Malam ini adegan itu masih terjadi tapi situasinya sangat berbeda dari malam sebelumnya, jadi Alvan mencari tahu lewat internet hingga akhirnya menemukan obat perangsang. “Pasti saya dijahili teman-teman. Dasar,” rutuk kecilnya. Aulya sudah terlelap. Seperti niatnya, Alvan masih ingin menggali tentang Aulya. Maka, mencoba mencari akun yang memiliki gambar wajah istrinya dirasa salah satu cara. Dirinya asal memasukan nama karena entah siapa nama asli Aulya, menikah pun hanya bisa secara agama karena surat-surat resmi si gadis tidak diketahui. Memang sangat kecil kemungkinan menemukan orang yang entah siapa, maka dua jam berlalu, tetapi Alvan tidak menemukan hasil apapun. Esok tiba, Alvan kembali ke kampus untuk berlatih basket bersama kawan-kawannya. Lalu, handphonenya berdering kala dia mengambil rehat sejenak. “Assalamualaikum, Abi?” “Wa'alaikumussalam. Al, tiga hari lagi ada jadwal ceramah di acara syukuran, kamu bisa gantikan Abi?” “Tiga hari lagi Al ada pertandingan, Abi. Al tidak janji. Memangnya kapan ceramahnya dan kenapa Abi tidak bisa?” “Abi sudah punya janji ceramah di luar kota. Abi sudah menolak, cuma kasihan sekali karena keluarga yang mengundang Abi ini rekan Abi sendiri, mantan teman kuliah, Abi mencoba merekomendasikan kamu, tapi Abi belum berjanji pada beliau. Acaranya setelah isya.” “Insyaallah Al bisa karena pertandingan cuma berlangsung pagi sampai siang saja.” “Alhamdulillah terimakasih ya, Nak. Oh iya, malam ini Abi akan pergi ke luar kota sampai empat hari kemudian, kamu jaga Umi dan Aul baik-baik ya.” “Siap, Abi.” Tiga hari kemudian, team basket pergi ke pertandingan. Alvan mengajak serta Aulya. “Kamu duduk di bangku cadangan saja ya, biar saya tidak sulit mencari. Oh iya, syukur-syukur di sini ada yang mengenali kamu jadi kamu bisa tahu masa lalu kamu bagaimana," ucap lembut Alvan sebelum meninggalkan Aulya. “Jadi tujuan kamu bawa saya kesini biar dapat kemungkinan itu?” “Hm ..., itu salah satu alasannya, Sayang,” kekeh Alvan. Maka, dirinya segera berlari ke tengah lapangan setelah yakin Aulya baik-baik saja. Namun, harapan Alvan tidak terhujud karena dari awal pertandingan hingga akhir, dirinya maupun Aulya tidak mendapatkan informasi apapun karena seolah tidak ada yang mengenali gadis itu. Pada malam harinya Alvan menghadiri undangan ceramah bersama Aulya dan Aisyah. Lagi, tujuannya membawa Aulya untuk mencari kemungkinan seseorang mengenalinya. Aulya dibuat tersenyum bahagia saat mendengarkan ceramah yang disampaikan suaminya. Apalagi Aisyah karena dirinya yang melahirkan Alvan dan akhirnya berhasil membentuk Alvan yang sekarang. Ini bukan pertama kalinya Alvan mengisi acara, dia sering menghadiri acara seperti ini saat mendampingi ayahnya menyampaikan ceramah dan ikut ambil bagian dalam penyampaian ceramah. Esoknya, Ibrahim kembali dari tugasnya menyampaikan ceramah, tepatnya pada pukul enam pagi. Maka Alvan maupun Aulya belum keluar dari dalam kamar. “Abi sangat merindukan anak-anak,” kekeh pria bersorban putih ini. “Tunggu sebentar ..., Umi akan panggil Al dan Aul ....” Aisyah sudah menyajikan air putih dan juga teh hangat untuk suaminya. Hendak dirinya pergi Ibrahim mencegah. “Jangan, biarkan saja. Mungkin anak-anak sedang menikmati masa-masa mereka sebagai pengantin,” kekeh bahagia Ibrahim. Maka, suami dan istri yang sudah menikah sekitar dua puluh tiga tahun ini tetap duduk manis di ruang tamu saat menunggu Alvan dan Aulya menghampiri. Sementara, jauh di luar dugaan Ibrahim dan Aisyah karena ternyata Alvan dan Aulya sedang mengalami sedikit perdebatan. “Sayang, kalau kepala kamu pusing dan sakit periksa saja ke dokter,” khawatir Alvan. Aulya memijat lembut kedua sisi dahinya. “Tidak usah. Mungkin saya butuh istirahat lagi.” “Sayang ....” Alvan sudah menawarkan pemeriksaan sebanyak tiga kali, tetapi Aulya masih menolak. “Kamu kuliah saja. Saya baik-baik saja.” Senyuman kecil Aulya. Maka, Alvan menghampiri orangtuanya seorang diri, tentu saja Ibrahim dan Aisyah menanyakan menantu mereka. Pemuda ini hanya mengatakan jika Aulya kembali tidur karena kepalanya sakit. Jadi, tidak ada yang tega mengganggu si gadis. Di dalam kamar, Aulya sudah kembali mendapatkan beberapa bagian penting hidupnya. “Nama saya Venus bukan Aulya. Zayden adalah tunangan saya, tapi dia meninggalkan saya di daerah ini saat kita baru saja mengalami kecelakaan karena balapan liar. Saya pingsan di pangkuan Zayden, tapi saat bangun saya tidak ingat apapun. Sepertinya kecelakaan itu membuat kepala saya terbentur yang mengakibatkan hilang ingatan dan hilang kesadaran secara perhalan!" Venus duduk di depan cermin, memandangi dirinya yang sudah menggunakan hijab sangat rapi. “Saya adalah Venus, tunangannya Zayden. Saya bukan gadis sebaik ini, bahkan saya tidak pernah memakai hijab sebelumnya.” Kain penutup rambut itu dibuka, “saya sangat mencintai Zayden, tapi ... sekarang saya sudah menikah sama Alvan, saya bisa apa!” bingung dan sendu bercampur, kemudian dirinya meraung, “Ma, Pa, Venus kangen ....” Maka saat siang tiba, sekitar pukul sembilan, Aulya atau Venus pergi tanpa sepengetahuan Aisyah yang sedang bersiap-siap menuju pengajian RT. Bersambung ...."Aul tidak ada!" Aisyah mengatakan hal ini dengan panik pada Ibrahim dan Alvan. Wanita ini juga menjelaskan kepergian menantunya yang tiba-tiba dan tidak terlihat di mana pun walau dia sudah menyusuri daerah ini, termasuk membuat penguman di speaker masjid hingga banyak warga membantu mencari karena semua orang di daerah ini tahu jika konsidi si gadis masih hilang ingatan.Maka, Alvan dan Ibrahim segera mencari Aulya hingga tanpa terasa waktu cepat sekali berlalu, tetapi gadis itu belum ditemukan. Alvan mencari hingga malam hari. “Sayang, kamu di mana?” rintihan membatinnya tanpa siapapun yang tahu.Dua hari berlalu. Alvan, Ibrahim dan Aisyah masih mencari. Satu keluarga mengabaikan rutinitas mereka demi menemukan Aulya. Lalu, di saat sendiri handphone Alvan berdering. Nomor tidak diketahui adalah pemanggilanya. “Halo, assalamualaikum!” Grasah-grusuh laki-laki ini saat menerima panggilan.“Alvan, ini saya.” Suara Aulya sangat nyata hingga membuat Alvan melonjak kegirangan.“Sayang, ka
Alvan memandang dalam ke arah si gadis yang selalu bernama Aulya di matanya. “Saya sangat mencintai dan menyayangi kamu, tapi jika memang tidak ada cara untuk kita melanjutkan hubungan ini, insya’allah saya ikhlas, tapi kamu harus berjanji hidup bahagia sama Zayden, saya tidak mau melihat kamu terluka.”Hingga detik ini, Alvan masih menunjukan ketulusannya. Bahkan melepaskan Aulya adalah salah satu bukti ketulusannya karena dia ingin melihat gadis itu bahagia walaupun di atas lukanya. “Zayden tidak akan melukai saya.”Alvan mengulurkan tangannya ke arah Venus, membelai sebelah pipinya, bagaimanapun juga gadis itu masih istrinya, maka dirinya masih leluasa menyentuh dan memeluk si gadis sangat sayang. Tidak ada kalimat yang keluar, hanya tenggelam dalam pelukan terakhir ini.Kini, Alvan dan keluarganya kembali ke kota mereka setelah keputusan pertama dibuat, yaitu pisah ranjang untuk sementara, tetapi Alvan berharap keputusan ini akan membuat kehidupan pernikahannya dengan Aulya kembal
Keputusan Alvan membawanya pada ruang operasi setelah serangkaian tes fisik dan beberapa prosedur sebagai persyaratan.“Bismillah ...,” gumam Alvan hingga akhirnya tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi, Aisyah tidak berhenti berdoa seiring menunggu kedatangan Aulya. Tetapi Ibrahim kurang setuju pada keputusan istrinya. “Sudah Abi katakan, tidak perlu menghubungi Aulya karena mungkin menantu kita tidak akan datang.”“Umi masih berharap, semoga saja Aul mau menemani masa-masa sulit Alvan walaupun hanya sekejap ....”Ibrahim hanya bisa menghela napas seiring lantunan doa terbaik untuk Alvan dan juga untuk hubungan Alvan dan Aulya ke depannya.Satu hari sebelum operasi, Aisyah meminta izin Alvan untuk menghubungi Aulya, tetapi putranya menolak, “Tidak usah Umi, takutnya malah akan mengganggu Aul ....”Namun, justru keikhlasan Alvan membuat Aisyah ingin membantu putranya memperjuangkan Aulya hingga wanita ini memberi kabar operasi tanpa sepengetahuan Alvan.Akhirnya jam-jam menegangka
Ibrahim berbicara pada putranya setelah pertemuan keluarga berakhir, “Abi sudah mendengar dari Umi tentang pendapat kamu tentang pernikahan kalian. Abi meminta maaf dan mewakilkan seluruh keluarga.”Alvan tersenyum santun sebagaimana caranya berbicara. “Dulu Al sama Aul tidak pernah berpikir akan menikah kalau keluarga tidak menikahkan kita. Tapi itu bukan masalah, jadi Abi tidak perlu meminta maaf.”“Bagaimanapun, Abi merasa bersalah ....” Pria ini mendesah.“Al tidak pernah menganggap pernikahan dengan Aul sebuah kesalahan. Jadi Abi tidak perlu merasa bersalah. Hanya saja, tadi Al sedang tidak ingin membicarakan pernikahan Al dan Aul, jadi Al malas ikut berkumpul dalam pertemuan, Al minta maaf ....”Tatapan Ibrahim masih menyimpan penyesalan. “Tidak apa, Nak. Abi mengerti. Hal ini sangat berat untuk kamu.”“Iya, Abi. Al merasa selalu dicampakan oleh Aul. Dan Al juga tidak suka saat paman dan Kakek ikut campur dalam rumah tangga Al dan Aul walau sudah sewajarnya sesepuh keluarga ikut
Alvan menggandeng tangan Aulya saat mereka baru saja keluar dari mobil. Maka, senyuman Ibrahim dan Aisyah adalah penyambutnya.Aisyah tidak segan memeluk Aulya. “Umi sama Abi sangat merindukan kamu. Apalagi Alvan ....” Tatapannya tidak berubah, tetap tulus seperti biasanya.Aulya berkata gugup karena merasa malu. Dia sudah mengecewakan keluarga ini, tetapi dia masih diterima sangat baik. “Umi sama Abi sehat?”Aisyah balik bertanya dengan nada lembut, “Alhamdulillah ... bagaimana kabar Aul dan keluarga Aul?”“Alhamdulillah. Sehat, Umi ....” Saat ini Aulya sedikit menunduk karena tidak sanggup menatap mata Aisyah dan Ibrahim.Ucapan Ibrahim tidak kalah hangat dari Aisyah, “Mari masuk. Pasti kalian lelah.”Selama beberapa saat mereka berkumpul di ruang keluarga, lalu Aulya dan Alvan masuk ke dalam kamar, tetapi gadis ini hanya berdiri di depan pintu saat suaminya sudah merebahkan tubuhnya di sofa.“Jangan canggung,” ucap lembut Alvan.Aulya mengumpat kecil seiring melangkah, “Wajar. Saya
Wajah Alvan berubah kecut, dia juga segera meninggalkan tempat tidur dan berbaring di sofa, sedangkan Aulya membelalakan matanya saat membaca chat dari Zayden.Segera, Aulya menjelaskan dengan gugup, “Maaf. Bukan maksud saya menyakiti kamu ....”Alvan membuang wajahnya seiring menutup mata. “Kamu tidak perlu minta maaf!” Hatinya berisik karena menahan amarah. ‘Saya harus mempertahankan pernikahan dengan Aul, tapi saya juga tidak lupa kalau kamu tunangannya Zayden. Dan kamu sangat mencintai Zayden. Saya tidak ingin menjadi orang bodoh karena mempertahankan pernikahan ini, tetapi pernikahan bukan permainan. Bagaimanapun juga saya harus berusaha memperjuangkan pernikahan ini. Dan saya sangat tulus mencintai kamu bagaimanapun kamu dan bagaimanapun masa lalu kamu!’Aulya mengabaikan chat dari Zayden demi menghampiri Alvan. “Maaf kalau saya menjadi seorang istri yang menyakiti suaminya
Aulya berkata sedikit ketus untuk menunjukan perasaan tidak nyaman, “Saya sudah bilang, jangan dibahas!”Alvan ingin membahas hal ini sampai ke akar, tetapi kunci dari masalah ini justru tidak ingin bicara. Tapi dia tidak ingin membuat Aulya merasa tertekan, maka Alvan memilih mengalah setidaknya untuk sementara.Siang ini Aulya mengikuti pengajian bersama Aisyah walaupun awalnya menolak, tapi gadis ini terlalu risau jika Alvan kembali membahas tentang Zayden.Aulya mendapatkan banyak sapaan sekaligus pertanyaan dari ibu-ibu pengajian tentang kabarnya sekarang. Jadi, gadis ini menjawab apa adanya, “Aul sudah berhasil bertemu keluarga Aul ....”Aisyah melanjutkan, “Alhamdulillah, Tuhan sudah menunjukan jalan terbaik.”Namun, penasaran ibu-ibu masih berlanjut, “Tapi kenapa keluarga Neng Aul belum silaturahmi?”Aisyah yang menjawab karena Aulya kebingungan, “Kami yang silaturahmi ke keluarga Neng Aul.”“Sesekali silaturahmi kesini, kami juga ingin mengenal keluarga Neng Aul,” kekeh ibu-ib
Alvan masuk ke dalam rumah, maka Aulya segera meluncurkan pertanyaan, “Apa yang kamu bicarakan sama Zayden?”Dengan tenang, Alvan menjelaskan, “Saya bilang kamu istri saya jadi Zayden harus tahu batasan.”Aulya berkata kesal, “Kenapa kamu harus berkata jahat sama Zayden. Dia tunangan saya. Sebelum saya menikah sama kamu, saya sudah tunangan sama Zayden!”Alvan terdiam dan hanya memandangi Aulya. Tapi diamnya Alvan membuat gadis itu merasa bersalah. “Saya minta maaf kalau kamu tersakiti. Saya tidak bermaksud menyakiti kamu. Tapi situasinya seperti ini ....”Alvan mengusap puncak kepala Aulya dengan lembut dan senyuman tulus. “Saya tahu kamu ada di antara dua pilihan. Tapi saya yakin kamu tahu mana yang harus kamu pilih.”Kini, Aulya yang tidak bicara dan hanya menunjukan gelisah serta raut wajah bingung, “Saya merasa harus balas budi sama kebaikan kamu dan keluarga kamu. Itu alasan saya tetap di sini.”Alvan mengangguk kecil dengan senyuman senada. “Jalani saja dan jangan dibikin pusin
Zayden dan Alvan bertemu di lapangan basket. Keduanya saling memandang dengan sengit. “Saya yang akan menang!” ucap Zayden dengan memasang wajah angkuh.Alvan menyahut datar, tetapi tatapannya penuh ambisi dan keyakinan. “Mungkin saya masih bisa mengalah dalam permainan, tapi kalau tentang pernikahan, saya akan memperjuangkan Aul sampai akhir!”Tatapan Zayden semakin mengiris, tetapi suaranya tenang. “Perjuangkan saja Aulya sampai kamu menyerah karena Aulya tetap Venus, punya saya.” Seringainya berkibar.Penat, itu yang dirasakan Alvan. Maka, dia memulai permainan tunggal ini. Pertandingan satu lawan satu hanya dirinya dan Zayden.Kedua lelaki yang memperebutkan skor adalah idol kampus, jadi dengan cepat mengundang penonton kaum hawa maupun kaum adam, begitupun dengan Aulya.“Al!” cemas mengambang di hati dan pikiran Aulya. “Al, kenapa harus main basket, kenapa juga harus lawan Zayden. Gimana kondisi kamu ..., saya takut Zayden menyerang kelemahan kamu ....”‘Mata’ itu adalah kelemaha
Hari berikutnya tiba, maka hari ini Aulya mendapatkan telepon dari Niana. Nada suaranya menekan. “Sayang, kamu ini bagaimana. Mama sama Papa sudah bilang, jangan lupa misi kamu di sana, tapi kenapa sekarang Abinya Alvan jadi tahu dan mengundang kami datang!”“Jangan salahkan Venus ...,” rengeknya.“Mama bukan menyalahkan kamu. Tapi sekarang masalah ini jadi melebar. Mama sama Papa tidak ingin masalah ini berkepanjangan.”“Yang namanya perceraian pasti melibatkan orangtua kan, jadi wajar dong, Ma. Tapi ....” Aulya ragu mengatakan keputusannya.Namun, Niana tidak peduli pada kata setelah ‘Tapi.’ Dia hanya peduli pada perceraian Aulya dan Alvan. “Iya, tapi rencana Mama sama Papa jadi berantakan karena orangtua Alvan tahu lebih awal. Tadinya kami akan datang dan langsung menyelesaikan perceraian. Bukan bicara panjang lebar untuk mempertahankan pernikahan.”Suara Aulya diliputi kekhawatiran, tetapi juga bahagia karena keputusanya mempertahan pernikahan mendapat dukungan dari mertua serta s
Hari ini berbeda dari biasanya karena terjadi pertemuan penting antara Ibrahim dan Aisyah bersama Alvan dan Aulya.Suara Ibrahim menjadi yang pertama mengisi ruangan dan terdengar menggema di telinga Alvan dan Aulya. “Kenapa kalian baru pulang?”Alvan menatap ayahnya saat menjawab walaupun sebelumnya wajahnya sedikit menunduk, “Kami minta maaf, Abi. Kemarin kita pergi mendadak dan mendadak tidak pulang. Kemarin kami menginap.”“Kenapa harus menginap?”Lagi, atmosfer ruangan terasa sangat aneh, dingin. Walaupun saat ini Alvan dan Aulya belum mengetahui maksud Ibrahim mengundang mereka ke ruangan ini. Apa karena kemarin mereka tidak pulang? Tapi harusnya ini sudah bukan hal baru.Lagi, Alvan yang menjawab, “Kalau pulang mungkin akan terlalu malam.”“Terlalu malam atau kalian sengaja menghindari kami, orangtua kalian!” Volume suara Ibrahim bertambah, termasuk ketegasannya hingga membuat Alvan dan Aulya yakin jika saat ini terdapat sesuatu yang belum mereka ketahui.Alvan menyahut santun
“Zayden, kita harus bicara!” ucap tegas Aulya tanpa senyuman, justru raut wajahnya sangat dingin.Zayden menyahut dengan suara lembut disertai senyuman hangat, “Bicara apa?”“Tentang perceraian saya sama Al!” Amarah dilukis Aulya dalam wajah cantiknya, tetapi sikap Zayden tidak berubah.“Saya siap mendengarkan.” Senyuman Zayden semakin hangat.Sejenak, Aulya memandangi sepasang mata Zayden yang hitam legam dan dalam hingga terlihat misterius.“Saya tidak mau bercerai sama Al. Jadi tolong berhenti mengharapkan saya dan bilang sama orangtua kamu, kita tidak akan pernah bercerai!”Aulya pikir Zayden akan terluka dan menunjukan isi hatinya dalam ekspresi seperti yang pernah dilihatnya, tetapi dugaannya salah. Laki-laki ini sangat tegar dan tenang. “Saya akan tetap menunggu kamu. Lagian, bukan saya yang mau kalian bercerai, tapi Mama sama Papa kamu.”“Tapi pasti kamu juga, kan!”Tentu saja Zayden tidak akan mengaku untuk menjaga nama baiknya di hadapan gadis yang diinginkannya. “Jangan nud
Pagi ini raut wajah Aulya sangat cemas setelah membaca chat yang dikirim ibunya semalam. [Papa sudah bicara pada Ustaz tentang perceraian kalian.]Titik-titik keringat dingin bermunculan di puncak dahi Aulya. “Aul tidak mau cerai sama Al ..., tapi kan Aul juga tidak mungkin jadi anak durhaka!”Perasaan gelisah yang menyelimuti hati Aulya semakin tebal tatkala Niana kembali mengirimkan chat setelah tahu putrinya membaca chat semalam. [Jangan lupa misi kamu di sana. Ingat, jangan terbuai oleh apapun yang dilakukan Alvan!]Aulya memperbanyak istigfar yang dilantunkan di dalam hati karena sedang berada di kamar mandi, di depan wastafel.Kedua kelopak matanya tertutup saat Aulya mencoba mencari jalan keluar dari masalah ini hingga akhirnya menemukan solusi yang menurutnya paling mudah. “Saya harus bicara sama Zayden. Saya harus berhasil buat Zayden benci dan akhirnya berhenti menunggu saya cerai sama Al!”Tekadnya sekuat karang di lautan, tetapi ciut seketika saat menatap wajah Alvan karen
Alvan dan Fauzan mengisi waktu dengan mengaji, begitupun dengan Aulya walaupun tempat laki-laki dan perempuan terpisah.“Padahal saya maunya mengaji sama Al, tapi tidak mungkin sih, ini kan masjid walaupun kita suami istri,” gumam Aulya seiring melirik ke kiri dan kanan, memperhatikan para gadis yang mengaji masing-masing.Waktu magrib tiba tanpa terasa. Aulya dapat menyaksikan Alvan yang berdiri di paling depan karena dia ditunjuk menjadi imam walaupun sempat menolak.Senyuman bangga Aulya terlukis begitu saja melihat suaminya yang tampak hebat dalam urusan ilmu agama. Apalagi saat memimpin rumahtangga.Punggung Alvan terlihat kekar, tapi juga lembut di mata Aulya hingga akhirnya satu-persatu laki-laki menutupi Alvan hingga suaminya menghilang dari pandangan, dan Aulya hanya bisa melihat punggung pria lain.Dari shalat magrib, lalu berlanjut ke shalat isha. Aulya mengisi waktu dengan mengaji dan sedikit saling bertukar cerita dengan beberapa gadis di sana.Aulya mendapatkan banyak te
Alvan memberanikan diri masuk ke toilet perempuan ditemani gadis yang memberi tahunya. Lalu mengetuk pintu perlahan. “Aul?”Suara Alvan berhasil membuat Aulya terhenyak hingga reflek gadis ini berdiri seiring menyeka dengan cepat air matanya. “I-iya ....” Suaranya masih bergetar.“Sudah selesai?” Suara lembut Alvan dengan hati cemas walaupun tidak disampaikan secara langsung.Aulya kembali menjawab masih dengan suara bergetar, “Su-sudah. Tapi tunggu sebentar.”Kali ini Alvan berkata canggung karena bagaimanapun ini adalah toilet wanita. “Iya ..., saya ... tunggu di luar.”“Iya, di luar saja.”Langkah Alvan terasa berat, tetapi tetap meninggalkan toilet sebelum tempat itu ramai dan mungkin membuat orang-orang berpikiran negatif padanya. “Titip Aul. Tolong tanyakan keadaannya,” ucapnya pada si gadis sebelum dia pergi.Maka, walaupun hati Alvan tidak tenang dia harus kembali ke tempatnya semula dengan perasaan cemas sekalian menerka-nerka. “Apa bener Aul nangis? Kenapa?”Sekitar dua meni
Saat ini Alvan merasa sudah ditendang dari keluarga istrinya sendiri karena bukan hanya tidak diinginkan menjadi menantu, tapi juga berniat dibuang.Alvan beristigfar di dalam hatinya. Lalu segera meninggalkan toilet dan kembali menemui Aulya.Senyuman sumringah istrinya menjadi hadiah untuk Alvan karena hanya Aulya yang menerimanya sebagai anggota keluarga baru walaupun dulu gadis itu juga berniat membuangnya.“Saya cuma ke toilet sebentar kok ..., lebay deh sampai peluk-peluk,” kelakar Alvan.“Kangen ....” Aulya bergelayutan manja di lengan Alvan, di hadapan orang-orang yang keluar masuk toilet, tapi gadis ini tidak canggung apalagi malu karena harus memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin.Kini, perasaan heran yang sempat menyelimuti Alvan sudah musnah setelah mengetahui alasan di balik perubahan sikap Aulya. Jadi sekarang dia membiarkan istrinya mengikutinya kemanapun tanpa protes.Namun, kebersamaan Aulya dan Alvan menjadi kabar buruk untuk Zayden dan berhasil memba
Mulai sekarang Aulya berjanji akan mengabaikan Zayden apapun yang terjadi karena dia hanya akan fokus pada Alvan. Hanya ingin menghabiskan waktu dengan suaminya dan membuat kebahagiaan dengan suaminya di sisa waktu yang mereka miliki.“Al, saya mau hamil,” bisik Aulya saat mereka berbaring bersama.Alvan terkejut mendengar ucapan Aulya. “Kamu yakin?”“Iya, saya mau hamil ....” Aulya tersenyum manis dan dipenuhi harapan Alvan akan mengabulkannya.Sejenak, Alvan tidak bersuara lalu berkata, “Kehamilan adalah kehendak Tuhan. Kita, sebagai manusia cuma bisa berusaha.”“Ya sudah, ayo kita berusaha!” celetuk Aulya penuh semangat hingga membuat Alvan tersenyum lebar, tetapi juga bingung.Aulya menarik pakaian Alvan karena suaminya tidak melakukan apapun selain berbaring dengan wajah bingung. “Ayo ....”“Iya, sabar ....” Hati Alvan senang dipaksa seperti ini, tapi juga kebingungan dengan tingkah Aulya, apalagi keinginan mendadaknya.Alvan bertelanjang dada setelah pakaiannya dilepas dengan ba