Praktek rawat jalan sudah dimulai satu jam ini.“Dok, pasca operasi saya jadi sering meriang. Apa itu efek dari operasi kemarin, ya?” tanya pasien perempuan paruh baya usia enam puluhan.“Ibu suka berjemur?”Pasien melirik Natasya dan suster Anna silih berganti, “Engggg, enggak, dok.”“Minum vitamin B12 dan vitamin D?”“Nggggg... nggak juga, dok.”“Saya resepkan ya, bu vitamin pendukungnya, ditambah ibu ada PR untuk berjemur sekitar dua puluh menit sampai tiga puluh menit sehari. Jika saat kontrol berikutnya masih sering meriang, kita lakukan tes lanjutan, takutnya ada infeksi atau efek dari obat. Tapi menurut saya, dua hal tersebut langka terjadi.”“Baik, dok.”Abian menatap layar komputer, “Semua hasil tesnya baik, pembengkakkan berkurang signifikan. Kita ketemu lagi bulan depan. Jika ada keluhan mual muntah dan pusing boleh datang ke IGD. Terima kasih.”“Baik, dok, terima kasih kembali. Permisi.”Natasya melirik Abian yang tampak tenang dan kalem hari ini. Suami kontraknya
Natasya berjalan santai di lobi rumah sakit saat shiftnya selesai. Ia sudah memesan taksi online. Tubuhnya sedang manja dan ingin istirahat selama di jalan. Ketika jarinya akan mengklik pesan, seseorang menyambar ponselnya, “Saya yang akan anterin kamu ketemu Alan.”“Mas?”Abian memasukkan ponsel ke tas ransel Natasya. Ia merangkul bahu istrinya, “Kita kemon.”Tubuh Natasya enggan bergerak, “Tunggu-tunggu, ini aku belum mengkonfirmasi loh, kok maen kemon aja?”“Jadi gak mau?”Natasya masih tak mau Abian tahu dimana rumah persembunyian Alan. Ia tahu suaminya tidak akan melakukan apapun, ia hanya waspada. Apapun yang menyangkut Alan tidak boleh diketahui Abian lagi.“Mending mas nemenin Aca.”“Saya gak mau.”“Ya aku juga gak mau ditemenin mas.”“Kenapa?”“Mas kenapa gak mau nemenin Aca?”Abian membuang nafas kesal, “Kayak Ical ya kamu lama-lama!”Natasya tertawa, “Aku pergi sendiri, gak akan lama kok. Dadah.”“Nat,
Natasya menunggu kedatangan mobil Abian yang mengantarkan vitamin ke rumah papa dan membeli nasi bebek kesukaannya. “Itu mobilnya.” Natasya melambaikan tangannya, “Disini, pak, hahaha.” Mobil berhenti. Abian berlari untuk membuka pintu sebrang, “Silakan, nyonya Abian.” “Terima kasih, pak Tukimin.” “Ck.” Natasya mengelus pipi Abian, “Terima kasih mas Abian.” Setelah menutup pintu mobil, Abian berjalan lambat ke pintu sebrang. Ia menikmati degup jantung seru karena perlakuan manis Natasya. Di jalan, Natasya memutar radio. Ia ikut bernyanyi, membuat Abian tertawa melihat tingkah centil istrinya. Drrrrt~ “Pelanin dulu radionya, ada telpon dari Vina.” “Oke.” Abian menyentuh fitur mengangkat telpon di layar head unit mobil, “Halo, Vin, kenapa?” “Saya mau menyampaikan kabar, dok, kalau pak Wijaya mengalami serangan jantung. Ini sudah ketiga kalinya. Dokter Fa
Natasya berlari kencang melepas sendal rumah demi bisa menyelamatkan Haikal yang tenggelam. Ia menuruni tangga seperti orang kesetanan. Matanya menangis deras. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa pada Haikal. Mama dan Abian juga pasti akan memarahinya habis-habisan karena dinilai tidak becus menjaga.“Ical!” Natasya berteriak ketika melihat tubuh Ical meronta minta tolong.“Pak, tolongin Ical, pak.” pinta Natasya pada pak Eman, supir rumah.“Bapak gak bisa renang, non.”“Pak, bapak aja, tolongin Ical.” pinta Natasya pada satpam rumah. “Saya gak bisa renang, saya juga punya asma, non.”Natasya menangis semakin kencang.“Gimana ini, non? Aduh, den Abian juga gak ada lagi.” mbok Iyem menangis disebelah Natasya.Dengan kaki bergetar, Natasya mendekati kolam renang. “Non bisa renang?” tanya mbok Iyem.Natasya menggeleng.“Ya udah, non, kita tunggu den Abian aja. Mbok takut non kenapa-napa.”“Terus Ical gimana?! Kalo Ical kenapa-napa gimana?!” bentak Nat
Natasya membiarkan tangan nakal Abian memainkan dua asetnya yang selama ini tidak pernah dibiarkan terjamah oleh siapapun. Ia menatap wajah suaminya yang merah menahan nafsu. Abian mendekatkan kepalanya pada kepala Natasya. Di cium kening, kedua pipi, leher dan bibirnya dengan mesra, “Kamu—gak akan berubah pikiran?” Natasya tersenyum, “Gak akan.” Abian mendekati pintu. Di kunci pintu kamarnya karena takut Haikal tiba-tiba masuk. Ia membuka bajunya yang basah, juga membuka piyama tidur Natasya. Di tatap bagian atas istrinya yang tak memakai bra. “Kok diem aja?” pancing Natasya. Abian tak membuang waktu. Ia menyusuri dua gunung kembar Natasya yang berukuran tak terlalu besar. Ia melakukan semua yang ada dalam pikirannya selama ini. “Mas, pelan-pelan.” “Maaf.” “Kamu terlalu bersemangat?” Abian tersenyum. Dengan nakal, Natasya bangkit. Ia mengambil pusaka milik suaminya yang sudah siap pakai. Di elusnya benda itu membuat si pemilik menutup mata, menikmati perasaan yan
Haikal berdiri menunggu Abian dan Natasya keluar dari kamar. Ia merasa sangat bersalah sehingga tak tidur semalaman dan berakhir demam.Mama yang baru pulang dini hari, langsung ke kamar Haikal karena melihat mbok Iyem sibuk membawakan air kompresan. Semalam, mama sempat ke kamar Abian untuk meminta bantuan. Tapi kamarnya di kunci. Jadi mama pikir anak dan menantunya sedang sibuk bereproduksi.Ceklek.Natasya yang pertama keluar, “Ical?”Haikal memeluk Natasya, “Mami?”Natasya jongkok, ia yang melihat Haikal sangat pucat memegangi dahinya, “Cal, kamu—sakit?”“Siapa yang sakit, sayang?” Abian keluar dari kamar, “Ical?”“Papi?”Abian memeriksa dahi dan leher Haikal, “Kamu gak perlu sekolah. Yuk ke kamar, papi kompresin.”Haikal menggeleng, “Aku mau sama mami.”“Ya udah, yuk, ikut mami ke ruang makan.” Natasya menuntun Haikal.“Papi gendong aja.” Abian memangku Haikal yang tak banyak protes.Di ruang makan, mama yang sedang menata meja melirik ke arah Natasya yang berjalan se
Natasya sibuk keluar masuk ruang kepala bagian poli bedah kardiotoraks dan komisi disiplin ketika Abian di larikan ke UGD. Irvan yang sedang luang, di mintai bantuan untuk menunggu sang suami sampai di pindahkan ke bangsal perawatan.Prof Indra duduk di dekat Natasya, “Saya sudah bicarakan dengan tim direksi.”“Bagaimana katanya, prof? Apa—mas Abian masih bisa dipertahankan disini?”Profesor Indra menggeleng pelan, “Sudah terlalu lama dokter Abian—tidak melakukan pembedahan. Petisi tidak hanya dilakukan oleh dokter konsulen dan residen bedah, tapi juga pasien. Ada satu pasien yang anaknya mendapat diagnosa Kardiomiopati. Walinya ternyata bekerja di firma besar, sehingga ini bisa dijadikan pertimbangan untuk—memindahkan dokter Abian ke rumah sakit cabang di daerah.”Natasya menutup matanya.“Apa dokter Natasya tidak bisa membujuk dokter Abian lagi?"“Prof, apa prof tahu penyebab dokter Abian berhenti operasi tiga tahun lalu?”“Ya karena—Anesia.”“Prof juga tahu kenapa dokter Ab
“Wah, kalo makannya sebanyak ini, pasien udah bisa pulang ya, bu dokter?” sindir Irvan karena melihat Abian tak berhenti makan sejak tadi.“Berisik. Harusnya lo support gue.”“Oh, jelas, gue support. Lo pikir makanan ini ada karena siapa? Gue yang beliin semua.”“Baru segitu.”Irvan melirik Natasya yang jadi banyak diam setelah pulang dari supermarket, “Kenapa, Sya?”Natasnya menggeleng, “Gak papa.”“Kamu lagi haid hari pertama?”“Nggak.”“Istri gue haid akhir bulan.” selak Abian.“Ciye yang berasa jadi suami yang baik karena tahu jadwal periode istrinya.”Natasya tertawa, “Kamu tuh godain mas Abian terus.”“Aku gemes soalnya sama dia, Sya."Tok-Tok-Tok“Masuk.” teriak Abian sebagai pemilik ruangan.Vina masuk. Ia membawa keranjang buah ukuran besar yang menghalangi pandangannya. Irvan yang tak tega langsung mengambilnya.“Makasih dokter Irvan, tapi jangan suka sama saya, saya udah beranak dua soalnya.”Irvan bergidig ngeri, “Tipe saya bukan ibu-ibu bawel seperti kamu
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat