Sebelum menemui Abian, Natasya pergi ke ruang ICU untuk melihat kondisi pasien. “Halo, Tamara.” Pasien tersenyum dibalik masker oksigen. Tubuhnya terlalu lemas untuk bicara karena jantungnya serasa ditekan batu maha berat. “Sebentar lagi kita akan melakukan pembedahan pada jantung kamu.” Pasien mengangguk. “Kamu pasti udah tahu ya, dari mama kamu? Kamu tahu gak, nanti siapa yang operasi kamu?” Pasien menggeleng. “Namanya dokter Abian. Dia dokter bedah yang hebat banget. Dia teliti, dia pinter ambil keputusan, meskipun—galak.” Pasien terlihat menahan tawa. “Kamu belum pernah ketemu dia, soalnya kamu pasien pindahan dari rumah sakit lain. Segera setelah pembedahan, kamu akan ketemu sama dia.” Pasien mengangguk. Natasya tersenyum. Ia tak sabar akan berdiri berhadapan di meja operasi sebagai dokter utama dan asisten operasi dengan sang suami. Setelah ini, semoga Abian memiliki kesadaran bahwa ia adalah dokter bedah yang hebat, sehingga akan terus melakukan operasi
Pov AbianKepala perawat bedah menghela nafas beberapa kali didepan pintu ruangan Abian. Ternyata ia tak seberani itu untuk memohon pada Abian untuk datang membantu ke ruang operasi.Pintu terbuka. Abian akan pergi untuk membeli kopi.“Sus? Sedang apa disini?”“Dokter Abian—tolong saya.”Abian mengernyit, “Apa yang bisa saya bantu?” Kepala perawat tak tahu kenapa ia menangis. Ia menggenggam tangan Abian, “Tolong selamatkan dokter Natasya.”“Natasya? Ada apa sama istri saya? Apa dia jatuh lagi di tangga evakuasi? Atau terkurung di rooftop? Istri saya kenapa, sus?” tanya Abian ketakutan.“Dokter Natasya bisa—terancam mendapatkan pendisplinan serius karena jadi dokter utama tanpa pantauan dokter konsulen.”Abian melotot, “Natasya—lagi operasi?”“Iya, dok, tolong kebaikan hati dokter untuk menyelamatkan dua orang di ruang operasi. Kondisi pasien terus menurun. Pembuluh darahnya banyak yang terkena infeksi. Ada pelengketan juga dengan paru. Belum lagi, katup Mitral juga mengalam
Abian menarik tubuh Natasya, “Bu, biar saya jelaskan mengenai durasi lamanya operasi. Tadi ada sedikit masalah di pelengketan jantung dengan paru, sehingga kami harus memisahkannya dulu. Jumlah pembuluh darah yang terkena infeksi juga lebih banyak dari hasil tes. Hal tersebut yang membuat operasi berjalan lebih lama.”“Oh begitu. Kapan saya bisa bertemu anak saya, dok?”“Besok pagi akan saya beritahu lagi. Untuk sementara, anak ibu akan kami pantau di bangsal bedah.”“Oh iya, dok, saya mengerti. Sekali lagi terima kasih, dokter Abian dan dokter Natasya.”“Sama-sama. Kalau begitu kami permisi. Mari.” Abian menarik tubuh Natasya masuk ke dalam ruang pertemuan dokter dan wali pasien. Ia menutup pintunya, “Nat, kamu mau menghancurkan nama baik rumah sakit?”“Bukannya kita harus jujur sama wali pasien apa aja yang terjadi di dalem ruang operasi tadi?”“Dengan mengatakan kamu si residen tahun kedua yang jadi dokter utama? Nat, wali pasien mungkin gak tahu aturan itu. Kalo dia bilang k
Sudah lima hari Abian tak pulang. Ia juga tidak ada di rumah sakit. Ia mengajukan cuti sebelum di rotasi ke rumah sakit daerah. Natasya yang kini jadi asisten dokter Farhan di poli, banyak diam. Ia jadi sering tidak fokus karena memikirkan nasib suaminya yang malang.“Dokter Natasya?”Perawat asisten poli menyikut Natasya.Natasya menoleh, “Kenapa, sus?”Dokter Farhan tersenyum, “Dokter Natasya perlu istirahat. Silakan ke ruang piket dulu.”“Saya gak papa kok, dok.”“Begitu? Saya mau lihat catatannya.” pinta dokter Farhan.Natasya melirik perawat yang berdiri disebelahnya, “Saya—gak mencatat apapun, dok, maaf.”“Artinya dokter Natasya kenapa-napa?”Natasya menunduk.“Tidak papa, istirahat saja dulu. Untuk operasi nanti sore juga tidak perlu ikut. Pulang saja untuk meredakan stress. Saya harap, besok, dokter Natasya bisa kembali beraktivitas dengan normal, mengingat akan dilakukan pencangkokan jantung pak Waluyo dan dokter Natasya jadi asisten operasi.”“Baik, dok. Kalau begitu saya
Karena mendapat izin untuk istirahat hari ini, Natasya langsung pergi ke supermarket untuk memborong sesuatu. Ia sudah tak peduli dimana Abian berada. Respon Vina tenang-tenang saja. Setiap ia bertemu Irvan pun, sahabat barunya itu terlihat tidak panik. Artinya Abian baik-baik saja. Ia tahu, seberat apapun masalah yang dihadapi Abian, suaminya tak akan bunuh diri. “Pak, berhenti disini aja.” pinta Natasya pada supir taksi. “Ini masih jauh ke alamat yang mbak berikan.” “Gak papa, saya mau olahraga hehe.” Natasya membayar ongkos argo dan membawa sekeresek besar buah-buahan yang ia beli tadi. “Gue harus capek biar—dia—luruh.” Natasya merasa ucapannya jahat. Ia menggeleng, “Enggak, maksudnya—gue pengen olahraga. Iya, gitu.” Jalan--tempat dimana Natasya turun dari taksi cukup jauh dari rumah mama. Ia melangkah kesusahan karena buah yang dibeli bisa terhitung banyak dan berat untuk tubuhnya yang kurus. “Bertahan, Sya, ini demi—ah, gue kesannya kayak cewek apaan aja deh gak
Suara ambulance yang beradu terdengar sayup di telinga Natasya yang pingsan dua jam ini. Matanya mengerjap. Ketika tak tahu ruangan mana yang tengah ditempatinya, Natasya melirik kanan-kiri. Tak ada siapa-siapa disana.“Aw.” Natasya mengaduh ketika perih di perutnya kembali terasa.“Gue—di rumah sakit?”Natasya mengangkat tangannya yang terpasang selang infus. Kepalanya sedikit berat, ditambah mual dan perih yang menjalari seluruh area perutnya, membuatnya tak bisa bangkit.Ceklek.Mama buru-buru menghampiri ranjang, “Nat?”“Mama?”“Syukurlah kamu udah bangun. Bentar, mama panggil dokter dulu.”Natasya membuang nafas pelan. Ia tak butuh dokter, ia butuh Abian ada disini. “Bentar, mas Abian—tahu gak ya, gue disini?”Mama masuk dengan dokter perempuan yang ramah sekali.“Selamat malam, dokter Natasya.”“Malam, dok.”“Saya tidak perlu menjelaskan ‘kan?”Natasya tersenyum, “Iya, dok, dari gejala, saya mengalami peradangan lambung atau gastritis akut.”“Penyebabnya?”Nat
“Dia—dia—temen aku, ma, sahabat. Aku sama Vina, sama titik ini sahabatan bertiga gitu.” jawab Natasya dengan wajah takut.“Namanya titik?” “Namanya Atik, ma, suka dipanggil titik soalnya dia—agak—kemayu.”“Ah, masa? Tapi pas ngobrol gak kemayu kok.”“Dia—udah hijrah, ma, lagi belajar jadi lakik.”Mama manggut-manggut, “Oh gitu.”Natasya membuang nafas lega karena mama percaya begitu saja pada karangannya.“Dia ngomong apa aja, ma?” tanya Natasya waspada.“Cuma nanyain kamu kemana aja, kok gak angkat telpon terus dari dia. Mama bilang aja kamu lagi pingsan.”“Ma!” Natasya melotot, “Terus—dia jawab apa?”“Dia tanya apa kamu dibawa ke rumah sakit atau gimana. Mama jawab dibawa ke rumah sakit.”“Terus?” tanya Natasya tak sabar.“Mama gak sempet jawab kita ke rumah sakit mana, soalnya hape kamu lowbatt, jadi langsung mati telponnya."Natasya menutup matanya. Untuk kedua kalinya ia merasa lega.“Mama udah chargerin hape kamu. Kamu mau pake sekarang?”“Enggak usah, ma, aku masih—lemes.”Mam
Natasya diam dipelukkan Abian ketika mereka sama-sama tidur di ranjang. Mama memutuskan pulang karena anaknya akhirnya datang kesini, padahal tadi ketika diminta menemani Natasya, Abian menolak.“Mas?”“Hm?”“Kamu gak tanya tadi—siapa?”“Kalian—mirip. Aku tahu tadi—mertua aku.”Tadi, begitu Abian menatap ibu kandung Natasya lama, mama pergi. Padahal Abian berniat baik ingin menyapa mertuanya di pertemuan perdana mereka.“Aku gak akan ngomong apa-apa, gak akan menghakimi dan sebagainya. Aku gak pernah tahu isi hati kamu kayak gimana.”Natasya keluar dari pelukkan Abian. Ia bangkit dan duduk, “Aku belum bisa memaafkan mama, mas. Apa itu salah?”Abian ikut duduk. Ia mengelus kepala Natasya lembut, “Yang pantes bilang salah atau nggak itu kamu sendiri, Nat.”“Kok aku?”“Kamu yang merasakan semuanya sendiri. Kamu yang menyaksikan mama kamu pergi tiga belas tahun lalu. Kamu juga yang tahu hal apa yang membuat—mama memilih pergi.”Kedua mata Natasya merah siap menangis.“Soal ora
“Mulai hari ini kita putus, Alan!”Mata Alan merah. Wajahnya sangat terkejut. Ia tidak menyangka, pertengkarannya dengan Natasya akan berakhir dengan pemutusan hubungan seperti ini.“Anggep aja uang yang aku kasih ke kamu sebagai permintaan maaf. Kita impas sekarang.” Natasya membalikkan badannya. Ia akan pergi entah kemana. Pikirannya terlalu kalut menerima kenyataan bahwa selama ini, Alan ternyata sudah membohonginya. Ketika membaca ulang hasil tes, ia tidak menemukan hasil pemeriksaan yang menyebutkan jika Alan mengalami lumpuh permanen. Jadi bisa dikatakan, kakinya sulit berjalan saat itu adalah--karena tubuhnya masih butuh adaptasi untuk bergerak setelah koma dua tahun.“Sya, tunggu, aku bisa jelasin semuanya. Aku minta maaf.” Alan mengejar Natasya yang berjalan cepat meninggalkan pelataran bakery.Air mata Natasya kering seketika, setelah menyadari bahwa Alan tidak pantas di tangisi.“Sya, aku bisa jelasin semuanya. Sya!”Natasya memasuki taksi. Alan pun begitu. Taksi
Abian terus melirik Natasya yang tak berhenti senyum menjelang bertemu Alan. Apa ia tidak bisa memikirkan perasaannya setelah mendengar ucapan cinta satu jam lalau di kamar?“Nanti mas gak usah jemput aku pulang. Aku bisa naik taksi.”Abian melirik, “Geer. Siapa juga yang mau jemput istrinya yang selingkuh.”Natasya mendorong tubuh Abian, “Mas juga selingkuh.”“Aku udah ada usaha putusin Aca loh. Gak kayak kamu. Mana pernah kamu mutusin Alan sekalipun.”“Jangan sampe. Aku sayang banget sama Alan, meskipun sering banget kesel sama dia.”“Kesel kenapa?”“Fokus aja nyetir, jangan pengen tahu urusan orang lain.”Mobil berhenti didepan gedung mall.“Yakin gak mau ditemenin? Aku gak akan ngikutin kamu ke rumah Alan. Kamu cuma mau beli oleh-oleh buat dia ‘kan?”“Iya, tapi mas gak boleh ikut. Mas gak boleh tahu oleh-oleh apa yang mau aku beli buat Alan.”Abian menatap Natasya penuh curiga, “Kamu mau kasih—barang haram, ya?”“Mas! Aku keluar. Awas ya ngikutin aku.”“Aku ikutin. Ta
Sejak pagi setelah selesai shift, Natasya terus berada dekat dengan Abian. Ia tak mau jauh-jauh dari suaminya.“Gak ada yang ketinggalan?”“Gak, mas, aman. Yuk.” Natasya menggandeng lengan Abian.Jika tak memakai baju dinas, mereka terlihat seperti pekerja kantoran. Penampilan Abian yang mengikuti zaman dan Natasya yang mulai mengubah penampilan, membuat mereka jadi idola baru di kalangan dokter ko-as.“Mau beli sesuatu dulu gak sebelum pulang?” tanya Abian.“Gak ah, aku capek, mau tidur.”“Kalo aku order diterima gak?”Natasya menggebug lengan Abian, “Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”Abian berbisik, “Aku mau order, bisa gak?”Natasya tertawa. Ia mendorong tubuh Abian yang tertawa juga, “Nyebelin!”Vina yang melihat kemesraan mereka dari kejauhan tersenyum, “Natasya udah menemukan kebahagiannya. Artinya Alan udah gak punya celah untuk masuk lagi ke hati elo, Nat.”Di parkiran basement, Abian membuka kan pintu mobil untuk Natasya, “Silakan masuk, nyonya Abian.”“Mas, jan
Natasya berjalan buru-buru setelah melakukan visit ke ruang ICU dan bangsal menuju ruangan Abian. Ia lupa pada titah suami kontraknya dan malah ngobrol ngalor-ngidul dengan Arsya di telpon. Ceklek.“Mas, hehe, maaf ya lama.”“Satu jam lebih bukan telat lagi sih.”Natasya manyun, “Segini juga dateng. Aku sibuk tahu.”“Sibuk apa? Bukannya yang jaga malam banyak?”Natasya menjatuhkan dirinya di sofa, “Aduh enaknya.”Abian bangkit dari kursi kerja dan duduk disebelah Natasya. Ia mengendus bau istrinya.“Mas, apaan sih.” Natasya menggeser tubuhnya karena risih.“Aku mau.”Natasya melotot, “Mas, ini di rumah sakit!”“Kita bisa kunci ruangannya."“Nggak!”“Aku bayar.”“Nggak mau.” Natasya berdiri, “Kalo aku diminta kesini buat ini, aku pergi.”“Oke-oke, nggak akan. Aku cuma mau kamu disini. Aku butuh temen ngobrol.”Natasya kembali duduk di sofa.“Gak mau semakin deket duduknya?”Natasya menggeleng.“Aku disini sampe lusa loh.”Mendengar itu, Natasya menatap Abian lama.
Pov AbianHari ini Natasya mengikuti operasi bersama profesor Indra, sehingga yang jadi asisten poli adalah Vina. Sudah hampir seluruh pasien melakukan konsultasi. Ketika pasien terakhir belum masuk karena sedang pergi ke toilet, Abian jadi mengingat sesuatu yang ingin ditanyakan pada Vina.Di putar kursinya ke arah Vina. Suster Anna sedang berdiri di lawang pintu karena berbincang dengan perawat lain.“Vin?”“Iya, dok?”“Selesai praktek, kita bisa bicara?”“Bisa, dok. Soal—Natasya, ya?”Abian mengangguk, “Natasya gak akan selesai operasi secepatnya ‘kan?”“Kayaknya masih lama, dok. Pasiennya mengalami pelengketan serius, pasti butuh waktu lama.”“Oke, bagus.”“Pasien datang, dok.” seru suster Anna.Abian membaca hasil tes dengan wajah sangat serius, membuat pasien, suster Anna dan Vina jadi cemas.“Kenapa, dok?” tanya anak pasien, “Apa hasil tesnya—buruk?”Abian menatap pasien dan wali silih berganti, “Apa ibu sering mengalami serangan jantung?”“Saya baru datang dari
Abian menatap Aca penuh pengertian, “Kamu masuk. Biar Natasya jadi urusan aku.”“Oke, sayang.” Aca tersenyum sinis ke arah Natasya sebelum menutup pintu.Natasya pergi. Ia sungguh tak habis pikir suaminya tega membohonginya berkali-kali mengenai Aca.“Nat, tunggu.” Abian mengejar Natasya yang berjalan amat cepat.Natasya tak menggubris panggilan Abian.“Nat!” Abian menarik lengan Natasya, “Dengerin aku dulu, dong.”Natasya terpaksa membalikkan badan, “Dengerin apa? Berkali-kali, mas, kamu bohongin aku dan ketemu Aca diem-diem. Aku harus dengerin apa lagi?” “Aku cuma gak tega Aca luntang-lantung karena kasus kemarin.”“Itu salah dia. Siapa yang suruh dia pura-pura hamil, labrak aku dan hancurin karirnya sendiri?”“Nat, kamu gak punya hati? Aca gak pernah berniat begitu. Dia cuma—”“Bercanda?”Abian membuang nafas pelan, “Kamu aneh. Kamu gak mau melanjutkan pernikahan kita dan terus memilih Alan, tapi kamu cemburu sama Aca. Apa bener yang Ical bilang, kalo kamu mencintai dua
Tersisa dua hari lagi Abian bertugas di rumah sakit sebelum dipindahkan ke daerah. Natasya memakai waktu ini sebaik-baiknya untuk jadi istri sekaligus residen yang berbakti. “Ada lagi yang mau mas makan?” tanya Natasya ketika ia dan Abian baru bisa makan siang di malam hari, berdua di ruangan pribadi Abian.“Udah cukup. Ini aja banyak banget.”“Hehehe, aku lagi ngidam pengen semua ini.”“Kirain ngidam hamil.”Natasya melirik Abian sinis, “Jangan mulai deh.”“Nanti pulangnya gak bisa bareng. Aku ada perlu.”“Gak papa, aku juga ada perlu.”“Perlu apa?”“Jangan tanya, aku juga gak tanya mas ada urusan apa sama siapa.”Abian mendecek.Natasya menatap Abian, “Mas, nanti janji harus sering kesini. Aku juga janji bakal jengukin mas ke rumah sakit baru.”“Hm.”“Telinga dan jantung aku pasti akan kaget gak lagi mendengar bentakkan dan ucapan sarkasme mas.”“Kamu ini muji atau ngehina sih?”Drrrrt~Natasya merogoh ponselnya. Ia berhenti makan ketika membaca pesan yang entah di
Kedatangan Natasya dan Abian disambut hangat oleh perawat dan dokter yang sudah lebih dulu tiba di balroom hotel. Vina dan Irvan pun ada disana. Suasana sangat meriah dengan dekor yang dibuat sedemikian rupa. Namun yang tak ditemukan Natasya adalah tulisan ‘Farewell Party’ atau ‘Selamat Bertugas ditempat Baru’, seperti yang sering ia lihat di acara perpisahan dokter lain. Meski begitu ia berusaha menikmati acara.“Dokter Abian, selamat ya.” dokter bedah umum senior menyalami Abian, “Saya tahu semua akan terjadi. Berkat dokter Abian, rumah sakit kita kembali mendapat penghargaan.”“Saya hanya melakukan tugas, dok.”“Meski begitu kami para dokter bedah sangat berterima kasih karena mendapat sumbangan alat-alat terbaru dari pak Waluyo, semua berkat dokter Abian.”Rumah sakit mendapat sumbangan dari pak Waluyo? Natasya mengernyit. Jadi pak Waluyo sudah di operasi? Oleh siapa? Ia terlalu fokus pada masalah Aca, Haikal dan Alan, sehingga tak pernah punya waktu untuk menanyakan hal ini
“Kerja bagus. Terima kasih untuk semuanya.” tutur dokter Farhan pada semua staf operasi.Natasya jadi orang terkakhir yang keluar setelah membantu perawat membereskan ruang operasi.“Dok, gak papa, ini biar saya yang beresin.”“Gak papa, sus.”“Dokter Natasya lagi seneng itu, sus, biarin aja.” kata perawat lain.Natasya tersenyum, “Enggak kok, biasa aja.”“Dokter Natasya, saya turut senang dengan kabar baik soal dokter Abian.”Natasya berhenti menutup dus kain kasa, “Ada—kabar baik apa soal dokter Abian?”Perawat yang bicara itu disikut perawat lainnya, “Hehehehe, enggak, dok.”“Ada apa?” desak Natasya.“Gak papa, dok. Dokter istirahat aja. Dokter Natasya gak boleh kecapean.” Perawat mendorong tubuh Natasya keluar dari ruang bedah.Natasya membuka sarung tangan karet, “Aneh banget sih. Ada kabar baik apa emang soal mas Abian? Kok gue gak tahu?”Sebelum keluar dari ruang operasi, Natasya membersihkan tangannya. Ia akan segera ke poli untuk menemani suaminya praktek rawat ja