Abian menarik tubuh Natasya, “Bu, biar saya jelaskan mengenai durasi lamanya operasi. Tadi ada sedikit masalah di pelengketan jantung dengan paru, sehingga kami harus memisahkannya dulu. Jumlah pembuluh darah yang terkena infeksi juga lebih banyak dari hasil tes. Hal tersebut yang membuat operasi berjalan lebih lama.”“Oh begitu. Kapan saya bisa bertemu anak saya, dok?”“Besok pagi akan saya beritahu lagi. Untuk sementara, anak ibu akan kami pantau di bangsal bedah.”“Oh iya, dok, saya mengerti. Sekali lagi terima kasih, dokter Abian dan dokter Natasya.”“Sama-sama. Kalau begitu kami permisi. Mari.” Abian menarik tubuh Natasya masuk ke dalam ruang pertemuan dokter dan wali pasien. Ia menutup pintunya, “Nat, kamu mau menghancurkan nama baik rumah sakit?”“Bukannya kita harus jujur sama wali pasien apa aja yang terjadi di dalem ruang operasi tadi?”“Dengan mengatakan kamu si residen tahun kedua yang jadi dokter utama? Nat, wali pasien mungkin gak tahu aturan itu. Kalo dia bilang k
Sudah lima hari Abian tak pulang. Ia juga tidak ada di rumah sakit. Ia mengajukan cuti sebelum di rotasi ke rumah sakit daerah. Natasya yang kini jadi asisten dokter Farhan di poli, banyak diam. Ia jadi sering tidak fokus karena memikirkan nasib suaminya yang malang.“Dokter Natasya?”Perawat asisten poli menyikut Natasya.Natasya menoleh, “Kenapa, sus?”Dokter Farhan tersenyum, “Dokter Natasya perlu istirahat. Silakan ke ruang piket dulu.”“Saya gak papa kok, dok.”“Begitu? Saya mau lihat catatannya.” pinta dokter Farhan.Natasya melirik perawat yang berdiri disebelahnya, “Saya—gak mencatat apapun, dok, maaf.”“Artinya dokter Natasya kenapa-napa?”Natasya menunduk.“Tidak papa, istirahat saja dulu. Untuk operasi nanti sore juga tidak perlu ikut. Pulang saja untuk meredakan stress. Saya harap, besok, dokter Natasya bisa kembali beraktivitas dengan normal, mengingat akan dilakukan pencangkokan jantung pak Waluyo dan dokter Natasya jadi asisten operasi.”“Baik, dok. Kalau begitu saya
Karena mendapat izin untuk istirahat hari ini, Natasya langsung pergi ke supermarket untuk memborong sesuatu. Ia sudah tak peduli dimana Abian berada. Respon Vina tenang-tenang saja. Setiap ia bertemu Irvan pun, sahabat barunya itu terlihat tidak panik. Artinya Abian baik-baik saja. Ia tahu, seberat apapun masalah yang dihadapi Abian, suaminya tak akan bunuh diri. “Pak, berhenti disini aja.” pinta Natasya pada supir taksi. “Ini masih jauh ke alamat yang mbak berikan.” “Gak papa, saya mau olahraga hehe.” Natasya membayar ongkos argo dan membawa sekeresek besar buah-buahan yang ia beli tadi. “Gue harus capek biar—dia—luruh.” Natasya merasa ucapannya jahat. Ia menggeleng, “Enggak, maksudnya—gue pengen olahraga. Iya, gitu.” Jalan--tempat dimana Natasya turun dari taksi cukup jauh dari rumah mama. Ia melangkah kesusahan karena buah yang dibeli bisa terhitung banyak dan berat untuk tubuhnya yang kurus. “Bertahan, Sya, ini demi—ah, gue kesannya kayak cewek apaan aja deh gak
Suara ambulance yang beradu terdengar sayup di telinga Natasya yang pingsan dua jam ini. Matanya mengerjap. Ketika tak tahu ruangan mana yang tengah ditempatinya, Natasya melirik kanan-kiri. Tak ada siapa-siapa disana.“Aw.” Natasya mengaduh ketika perih di perutnya kembali terasa.“Gue—di rumah sakit?”Natasya mengangkat tangannya yang terpasang selang infus. Kepalanya sedikit berat, ditambah mual dan perih yang menjalari seluruh area perutnya, membuatnya tak bisa bangkit.Ceklek.Mama buru-buru menghampiri ranjang, “Nat?”“Mama?”“Syukurlah kamu udah bangun. Bentar, mama panggil dokter dulu.”Natasya membuang nafas pelan. Ia tak butuh dokter, ia butuh Abian ada disini. “Bentar, mas Abian—tahu gak ya, gue disini?”Mama masuk dengan dokter perempuan yang ramah sekali.“Selamat malam, dokter Natasya.”“Malam, dok.”“Saya tidak perlu menjelaskan ‘kan?”Natasya tersenyum, “Iya, dok, dari gejala, saya mengalami peradangan lambung atau gastritis akut.”“Penyebabnya?”Nat
“Dia—dia—temen aku, ma, sahabat. Aku sama Vina, sama titik ini sahabatan bertiga gitu.” jawab Natasya dengan wajah takut.“Namanya titik?” “Namanya Atik, ma, suka dipanggil titik soalnya dia—agak—kemayu.”“Ah, masa? Tapi pas ngobrol gak kemayu kok.”“Dia—udah hijrah, ma, lagi belajar jadi lakik.”Mama manggut-manggut, “Oh gitu.”Natasya membuang nafas lega karena mama percaya begitu saja pada karangannya.“Dia ngomong apa aja, ma?” tanya Natasya waspada.“Cuma nanyain kamu kemana aja, kok gak angkat telpon terus dari dia. Mama bilang aja kamu lagi pingsan.”“Ma!” Natasya melotot, “Terus—dia jawab apa?”“Dia tanya apa kamu dibawa ke rumah sakit atau gimana. Mama jawab dibawa ke rumah sakit.”“Terus?” tanya Natasya tak sabar.“Mama gak sempet jawab kita ke rumah sakit mana, soalnya hape kamu lowbatt, jadi langsung mati telponnya."Natasya menutup matanya. Untuk kedua kalinya ia merasa lega.“Mama udah chargerin hape kamu. Kamu mau pake sekarang?”“Enggak usah, ma, aku masih—lemes.”Mam
Natasya diam dipelukkan Abian ketika mereka sama-sama tidur di ranjang. Mama memutuskan pulang karena anaknya akhirnya datang kesini, padahal tadi ketika diminta menemani Natasya, Abian menolak.“Mas?”“Hm?”“Kamu gak tanya tadi—siapa?”“Kalian—mirip. Aku tahu tadi—mertua aku.”Tadi, begitu Abian menatap ibu kandung Natasya lama, mama pergi. Padahal Abian berniat baik ingin menyapa mertuanya di pertemuan perdana mereka.“Aku gak akan ngomong apa-apa, gak akan menghakimi dan sebagainya. Aku gak pernah tahu isi hati kamu kayak gimana.”Natasya keluar dari pelukkan Abian. Ia bangkit dan duduk, “Aku belum bisa memaafkan mama, mas. Apa itu salah?”Abian ikut duduk. Ia mengelus kepala Natasya lembut, “Yang pantes bilang salah atau nggak itu kamu sendiri, Nat.”“Kok aku?”“Kamu yang merasakan semuanya sendiri. Kamu yang menyaksikan mama kamu pergi tiga belas tahun lalu. Kamu juga yang tahu hal apa yang membuat—mama memilih pergi.”Kedua mata Natasya merah siap menangis.“Soal ora
Sejak bangun tidur tadi pagi, Natasya tak mendapati Abian ada di ranjang dan diseluruh ruangan. Ia sudah bertanya pada perawat jaga. Mereka bilang Abian pergi dini hari setelah mengangkat telpon. Apa itu dari Aca?“Mungkin Abian ada urusan.” kata mama sambil menemani makan siang, sekalian menenangkan menantunya.“Urusan apa, ma?”“Gak tahu. Mama tanya Irvan juga dia gak bales. Mungkin Abian ngurusin perizinan rotasi ke rumah sakit daerah.”Natasya hanya memakan setengah porsi makan. Asam lambungnya yang belum membaik, makin parah karena stress memikirkan mama kandungnya yang kembali dan perginya Abian, sehingga jadwal kepulangan di mundurkan.Mama tak memaksa Natasya harus menghabiskan makan. Mama tahu Natasya sudah bertemu mama kandungnya dan butuh waktu untuk menerima semuanya.“Nat, sebentar lagi papamu dateng. Katanya harus nganterin pasien rujukan dulu ke luar kota, makannya baru bisa kesini.”“Iya, ma.”“Mama tinggal, ya? Kalo butuh apa-apa, telpon aja.”Sekeluarnya mam
Kondisi Natasya masih membutuhkan perawatan khusus, tapi ia memaksa ingin pulang. Karena takut stress, dokter Dwi memperbolehkan dengan catatan Natasya harus tetap bedrest di rumah.Di lobi rumah sakit, ketika pak Eman membawa mobil, Natasya yang duduk di kursi roda, hanya menatap kosong ke depan. Dua hari ini Abian hanya memberikan kabar lewat telpon. Ia tak datang lagi.Drrrrrt~ Ponsel mama berdering panjang.“Halo, sus? Saya masih di lobi. Ada apa, ya? Oh begitu? Ya udah saya ambil ke ruangan. Terima kasih informasinya, sus.” Mama menutup telpon, “Nat, ada barang kamu yang ketinggalan katanya. Mama ambil dulu, ya?”“Iya, ma.”Seperginya mama, Natasya mengayuh kursi roda ke samping agar tidak mengganggu pasien lain yang sedang menunggu jemputan juga.Ketika matanya mengerem kursi roda, Natasya melihat sepasang kaki jenjang berdiri di depannya. Perlahan, matanya menatap ke atas.“Hai, Natasya.” sapa Aca dengan suara yang dibuat seramah mungkin.“Aca?”“Uh, lo sakit, ya? Ma
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat