Acara ulang tahun Kalista berlangsung sangat meriah. Semua tamu yang di dominasi teman-teman Vina dan Arfan, menghasilkan kado yang menumpuk. “Wah, ini kado barbie sama rumahnya dari siapa, ya, kak?” Vina senang ia tak perlu mengeluarkan uang karena keinginan Kalista sudah terkabul.“Gak tahu, ma. Siapapun yang kasih, aku berterima kasih banget.”“Itu dari papi aku!” pekik Haikal.Semua orang melirik Abian.“Wah, terima kasih banyak dokter Abian, atas kadonya. Uang kami jadi aman.” cuap Arfan disambut tawa yang lain.“Sama-sama. Maaf, hanya itu yang bisa saya bawa. Saya—tidak tahu kado apa yang cocok untuk anak usia tiga tahun.”Kalista antusias menimpali ucapan Abian, “Banyak, om. Ada lego, rumah princess, dapur dan semua peralatan masak, sama—” Vina menutup mulut Kalista, “Hehe, itu lebih dari cukup, dok.”“Papi emang baik banget, dek. Kakak aja sering dibeliin hadiah. Meskipun—papi marah-marah terus, gak papa lah.” ucapan Haikal disambut tawa yang lain.“Vin, semuanya,
Natasya tak bicara apapun di mobil hingga sampai ke rumah. Ia hanya berbasa-basi sedikit pada mama sebelum menaiki tangga. Kini ia hanya meringkuk bagai janin dalam rahim ibunya--di ranjang.“Kamu belum laper?” Abian baru masak kamar setelah makan malam.“Belum.”“Dari tadi kamu belum makan berat loh. Bukannya kamu punya asam lambung?"“Hm.”Abian mendekati ranjang, “Kamu—kenapa? Kamu marah sama saya karena tadi?”“Emang kenapa tadi?”“Kamu pikir sopan ngobrolnya munggungin gini?”Natasya bergerak. Ia duduk tegap menatap Abian.“Karena saya gak nurutin kamu mau pulang, kamu marah sama saya?”“Enggak.”“Nat, saya bukan cenayang. Kalo ada apa-apa kamu bisa ngomong ‘kan? Jangan nggak-nggak terus kamu jawab.”“Ya emang gak papa.”Abian bangkit. Ia duduk di sofa. ‘Dia kenapa sih, aneh banget. Apa Natasya lagi lanjutin ribut yang tadi pagi?’ batinnya.Natasya kembali tidur meringkuk. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.Abian mendekati ranjang. Natasya yang belum tid
Natasya menuruni tangga setengah berlari. Ia memakai jaket dan memesan taksi online karena tidak tahu akan pulang kapan.“Nat, tunggu.” Abian mengejar.Langkah Natasya memelan ketika mendekati sofa ruang tamu. Mama ternyata belum tidur. Mama sedang membaca buku sambil mengelus rambut Haikal yang tidur dipahanya.“Nat? Mau kemana?” mama membuka kaca mata bacanya.Abian berdiri disamping Natasya, “Eum itu, ma, pasien yang Natasya pegang—anfal, kita mau ke rumah sakit.”“Ya ampun. Ya udah, kalian hati-hati ya. Kalian nginep aja disana, capek kalo bolak-balik.”“Iya, ma, ayo sayang.” Abian menuntun Natasya.“Ma, pergi dulu, ya? Ical—”Mama melirik Haikal, “Gak papa, yang penting besok kalian pulang. Kalian libur ‘kan?”Natasya mengangguk, “Kita pamit, ma.”Di teras, setelah menutup pintu, Natasya melepaskan tangan Abian, “Mau kemana?”“Saya anterin kamu.”“Gak usah. Makasih udah bantuin aku tadi. Tapi lebih baik mas pergi aja ke apartemen Aca, atau kemana lah, terserah.” Nata
Natasya harus ke rumah sakit saat masih pagi buta karena panggilan urgensi. Ia diminta membawa Abian, tapi ia tak bisa melakukan itu. Abian tak ada kabar. Ia pun tak bisa menanyakannya pada mama, karena mama tahunya Abian jaga malam di rumah sakit.“Kondisi pak Waluyo gimana?” tanya Natasya pada Tika yang berjaga semalaman memantau kondisi pasien.“Buruk, Nat. Harus segera dilakukan tindak operasi, tapi beliau keukeuh pengen dokter Abian yang melakukannya.”Natasya membuang nafas pelan. Ia harus melakukan sesuatu agar suaminya mau berbaik hati pada pasien.Pak Waluyo adalah pasien VIP yang sempat memakai jasa Abian untuk mengoperasi istrinya lima tahun lalu. Beliau memohon dengan sangat untuk melakukan itu padanya. Beliau rela membayar biaya berapa pun yang penting dokter bedah utamanya adalah Abian.Tapi Abian tidak memberikan jawaban apapun setiap didesak kepala bagian poli bedah kardiotoraks terkait ini. Padahal keuntungan jika ia melakukan itu tidak hanya berlaku untuk Abian,
Abian sudah bisa dihubungi. Ia mengatakan akan langsung ke rumah sakit untuk melakukan visit. Natasya jadi harap-harap cemas, karena memiliki amanah untuk membujuk Abian melakukan operasi cangkok jantung pada pak Waluyo dalam keadaan ia tahu titik sulit dan akar masalah yang menyebabkan suaminya tidak mau melakukan operasi lagi.Natasya berdiri didepan ruangan Abian, tersenyum melihat kedatangan suaminya, “Mas? Gimana kondisi Aca?”“Dia cuma butuh bedrest. Untungnya gak ada dislokasia bahu atau luka abdomen perut.”“Ah, iya, syukurlah.”Abian heran, kenapa Natasya peduli pada Aca. Ia tahu istrinya orang baik jika tidak diganggu duluan, tapi menurutnya aneh saja. Aca juga terlihat tak lagi membuat masalah pada istri kontraknya.Abian membuka pintu ruangannya.“Mas, udah makan?” Natasya membuntut masuk ke dalam.“Saya belum laper.”“Aku udah beliin bubur ayam. Masih anget, mas, yuk makan, aku juga belum makan.”Mereka duduk di sofa, memakan bubur masing-masing. Natasya selalu
Natasya tak sabar menunggu kedatangan Vina yang masih melakukan tindakan di UGD. Ia duduk dengan dua mangkuk sop iga pedas di meja pojok kantin.“Nah itu dia orangnya dateng. Vin, buruan!”Vina berlari menghampiri meja. Matanya terpukau melihat suguhan sahabatnya, “Kebetulan banget nih gue emang lagi pengen yang pedes-pedes.”Tanpa menunggu Natasya menyentuh pesanannya, Vina langsung menandaskan sop iga miliknya. Ia melirik sahabatnya yang hanya sibuk menatapnya.“Lo kenapa?”Natasya mendorong mangkuk miliknya, “Abisin, gue gak laper.”“Lo belum makan ‘kan? Kok di kasiin ke gue?”“Gue udah makan kok tadi pagi, dan belum laper. Abisin aja.”Vina menarik mangkuk itu dan memakannya pelan-pelan, “Ada apa?”Natasya mencondongkan tubuhnya ke meja. Wajahnya berbinar ketika sadar, kalau investigasi mereka akan segera menemukan titik terang.“Menurut lo, kenapa dalam kurun waktu tiga tahun gak operasi, mas Abian mau ngelakuin dua operasi itu empat bulan dan sebulan lalu?”Vina menge
Sudah dua jam Natasya dan Vina menunggu, Irvan tak menunjukkan batang hidungnya.“Gue balik ah. Ngapain kumpul sama nyamuk begini.” Vina bangkit.Natasya tak menahannya. Ia justru tidak enak karena menahan sahabatnya, padahal waktunya sangat berharga sebagai seorang ibu dan istri.“Gue balik. Lo juga. Kita bisa ketemu dia besok.” kata Vina sambil bersiap.Natasya hanya manyun karena sebenarnya ia pun ingin pulang.Belum sempat Vina membalikkan badan, pintu evakuasi bergerak. Irvan datang membawa dua jaket dan dua kopi. Matanya melirik ke arah Vina yang tak di kira ada disini.Senyum Natasya mengembang. Ia menyambut kedatangan sahabat barunya, “Van, sini.”Irvan memberikan dua kopi untuk Natasya dan Vina. Ia juga memberikan satu jaket pada Natasya.“Satu lagi.” tagih Vina, “Saya juga punya kulit dan saya perempuan.”Irvan membuang nafas pelan. Ia terpaksa memberikan satu jaket untuknya pada Vina, “Demi seorang ibu.”Mereka duduk melingkar di atas rooftop. Natasya memberikan k
Pov AbianAbian mengelap meja ruang pribadinya dan membereskan barang-barang yang tak dipakainya lagi. Ia baru saja datang dan tak menemukan Natasya. Ia ingin menemuinya sebelum praktek rawat jalan, tapi terlalu malu untuk menghubunginya seperti biasa.Ceklek.“Bi?” Irvan nyelonong masuk.“Hm?”“Gue udah denger keputusan rapat kemarin.”Abian tersenyum, “Udah saatnya gue keluar dari zona nyaman. Di daerah gak terlalu buruk lah.”“Gue akan hargai apapun keputusan lo.”Abian berhenti dari kegiatannya. Ia duduk di sofa disusul Irvan.“Tumben beres-beres?”“Sebulan lagi gue akan meninggalkan ruangan ini. Biar nanti tinggal pindah, gue harus nyicil beresin dan bersihin dari sekarang.”Irvan membuang nafas pelan.“Kenapa? Lo mau minta gue buat mencoba operasi?”“Gue gak ngomong apa-apa loh.”Mereka tertawa.“Bi?”Abian menoleh.“Udah saatnya lo—putusin Aca.”Abian tak bertanya dan memberikan respon apapun. Wajahnya datar saja.“Bro, kasian Natasya.”Abian tersenyum.“Di
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat