Natasya yang masih keukeuh tidak mau pulang, memutuskan untuk tidur di ruang piket. Tak ada yang mau digantikan shift olehnya, membuatnya ia uring-uringan sendiri. Ia pikir, berdiam diri diruang piket akan membuatnya senang dan nyaman. Nyatanya justru stress. Ia sudah biasa bekerja keras bagai Kuda, sehingga tidak cocok mode bermalas-malasan bagai Koala. Pintu ruang piket terbuka dan tak tertutup lagi. “Tutup lagi pintunya!” seru Natasya kesal. Beberapa dokter residen yang sedang menghapal dan hanya main ponsel, langsung berdiri. Mereka tak bicara apapun karena diminta diam oleh si orang yang baru masuk itu. Natasya mendengus kesal, “Kan udah dibilangin, tutup pintunya!” Tak ada pergerakkan pintu ditutup atau jawaban. Natasya bangkit dari kasur lantai atas. Ia yang sudah siap mengamuk, langsung diam saat Abian menatapnya tanpa bicara, “Dok?” “Ayo pulang.” “Tapi—” “Kamu lagi gak jaga malam ‘kan?” Natasya menatap dokter residen yang memperhatikan percakapan merek
“Tuh kan! Apa gue bilang? Pasti berhasil!” seru Natasya dengan suara keras ketika sedang berjaga malam sendirian. “Gilaaa, ini duitnya lumayan loh.” Natasya bicara sendiri. “Gak sia-sia gue jadi mamih buat diri sendiri.” katanya cekikikkan. Dari arah ruang ranap, dokter ber-jas panjang berlari menghampiri Natasya. “Sya, gue mau panggil konsulen. Lo tolong kasih resusitasi.” “Bentar, gue mau ngitung duit gue dulu,” kata Natasya sibuk menghitung. “Sya! Pasien bisa mati!” teman sejawat Natasya itu berlari kencang meninggalkan meja jaga. Natasya bangkit dan berlari secepat kilat mendatangi ruang rawat inap. Ia mendekati ranjang, dimana pasien lelaki berusia enam puluh tahun sedang megap-megap. Istrinya dengan panik menangis dipinggir ranjang. “Dok, tolong suami saya.” Natasya langsung berdiri didekat pasien dan menekan dada sambil melirik jam dinding. Ia tengah memberikan pertolongan pertama berupa resusitasi jantung. Dari arah pintu, berlari seorang pria berwajah bule
“Sedot!” perintah Abian. Perawat memberikan alat sedot untuk mengambil darah yang terus keluar dari bagian katup Aorta. Abian menggeleng beberapa kali. Ia mengenadah dan membuang nafas saat bunyi monitor menunjukkan kondisi pasien masih jauh dari kata aman. Natasya yang menjadi asisten Abian terus menatapnya. “Nat, tolong kamu sedot, saya akan gunting bagian Aorta. Sus, tolong siapkan pembuluh darah buatan.” “Baik, dok.” Natasya mengambil alih tugas Abian. Ia berkeringat hebat karena baru kali ini menjadi asisten utama, “Dok, Katup Mitral juga mengalami penggelembungan.” “Kita akan atasi Aorta dulu. Tanda vital pasien bagaimana?” “Kesadaran semi koma, dok.” lapor dokter Anastesi. Tangan Abian mendadak gemetar. Ia mundur dan mengambil nafas banyak-banyak. Natasya khawatir. Ia yang tidak tahu kenapa Abian tiga tahun terakhir tidak lagi melakukan operasi, meyakini sesuatu. Pasti pernah terjadi hal-hal yang membuatnya takut saat operasi dulu. Perawat beberapa kali m
Natasya mengucek matanya ketika baru bangun di ruang piket. Ia menguap lebar-lebar sambil mengumpulkan nyawa. “Ini gak ada tiba-tiba duit sekoper gitu buat gue?” Natasya turun dari ranjang tingkat. Ia menyambar handuk dan pouch berisi sabun dan alat kebersihan lainnya. Ia harus segera mandi karena satu jam lagi ada praktek rawat jalan menemani Abian. Untungnya kamar mandi sedang kosong, sehingga ia bisa mandi dengan cepat. Saat rambutnya masih berantakkan, ia buru-buru keluar untuk mengeringkan rambut. Namun baru sampai lorong, tubuhnya membeku melihat perempuan paruh baya yang pingsan. Natasya jongkok, ia memeriksa nadi tangan dan leher, “Ibu! Bu, bisa dengar suara saya?” Ketika ada perawat yang lewat, ia langsung minta bantuan untuk sama-sama membawa pasien ke UGD. Di depan UGD, dengan keadaan rambut masih basah dan belum menyisir, Natasya dikejutkan dengan suara panggilan dari dalam. Ia masuk dan menghampiri ranjang. “Ibu sudah sadar?” Ibu itu menggenggam kedua tang
Natasya berdiri kaku memakai dress yang termasuk dalam properti jasa sewa pacar. Ia menunggu aba-aba dari Abian yang akan memakai jasanya dan Irvan. “Dok, buat bayaran saya, akan dokter transfer segera ‘kan?” Irvan sibuk merapikan rambutnya, “Aku udah transfer uangnya ke kamu, Sya. Oyah, jangan formal dong. Aku-kamu aja. Biar lebih meyakinkan kita saling panggil—sayang?” Natasya mengangguk mengerti. “Kita gladi resik dulu. Sayang, kamu udah makan ‘kan?” Natasya tersenyum amat manis, “Belum, sayang, kalo kamu?” Irvan membayangkan mereka tak hanya jadi pacar bohongan didepan Abian dan mamanya, tapi bisa jadi sepasang kekasih betulan seperti keinginannya sejak lama. Ponsel Irvan bergetar, “Abian udah suruh kita kesana, sayang.” Natasya berjalan menggandeng tangan Irvan. Mereka seolah akan makan disini dan tidak sengaja bertemu Abian dan mamanya. “Sayang, kita duduk disini aja?” Irvan menunjuk meja yang tak jauh dari meja Abian. “Iya, boleh, sayang.” Mereka duduk.
Natasya mengoleskan minyak angin di leher dan dahinya banyak-banyak selesai menemani visit pasien. Pekerjaannya menumpuk sekali hari ini. “Baru keramas kemaren, udah lepek lagi nih rambut. Gini nih kalo pake sampo rakyat, gue harusnya maksain beli yang buat keturunan ningrat biar gak usah keramas satu minggu.” Natasya duduk di pojok meja jaga. Ia sibuk mencatatat obat yang baru saja diberikan pada belasan pasien. Sambil menulis, tangannya sibuk merogoh ponsel. Ada notifikasi masuk dari aplikasi pacar sewaan. “Malam ini? Duh, gak bisa lagi. Gue jaga malam. Ini kliennya dokter disini juga ‘kan ya? Dokter apaan?” Selama melihat profil singkat klien yang menyewanya malam ini, Natasya tak sadar sedang diperhatikan oleh Abian dari tadi. Ia nyaris berteriak ketika mereka beradu pandang. “Dokter! Saya bisa dilariin ke UGD nih!” “Kamu bisa tidak, mengerjakan tugas dengan baik? Jangan sedikit-sedikit membuka pekerjaan sampingan kamu itu.” Natasya menaruh ponselnya, “Yang pent
Satu minggu kemudian... Akad sudah dilaksanakan dengan lancar. Abian mengucapkan janji suci itu dalam satu kali nafas. Membuat Natasya yang duduk disebelahnya merasa sedikit baper. Ternyata dia serius juga jika berhadapan dengan orang banyak. Selesai akad, Natasya masih menyalami tamu yang kebanyakan adalah keluarga. Namun, ketika tamu mulai berdatangan dari rumah sakit, ia sembunyi. Ia enggan di cap penghianat oleh pengikut grup kebenciannya. “Kamu ngapain!” suara Abian membuat Natasya terlonjak ketika memainkan ponselnya di bilik kamar mandi ballroom hotel. “Dok!” “Mas Abian!” “Oh iya, mas—Abian. Ah, kita lagi berdua ini. Ada apa?” “Tamu mencari kamu.” “Bilang aja lagi—diare.” Abian menatap Natasya jijik, “Kamu—sebenci itu pada saya, sampai tidak mau menemui staf rumah sakit? Kamu malu nikah sama saya?” “Luma—” “Nat!” “Sya aja. Jangan Nat-Nat, kesannya dokter manggil saya Donat!” “Keluar!” “Tapi, dok—” “Saya kasih uang lima ratus juta bukan untuk ka
“Aduh... dok, ini gak bisa ganti tema, ya?” Abian melirik sinis saat menatap Natasya dari cermin ketika ia berkaca, melihat seberasa hot penampilannya sebelum memulai pemotretan panas dengan istri bayarannya. Natasya duduk tidak nyaman menutupi bagian tubuh atasnya dengan selimut, “Pemotretan ini buat saya—gak nyaman.” Abian menghampiri Natasya, “Kamu pikir saya nyaman?” “Ya gak tahulah, dok. Lagian kenapa sih kita harus ngelakukan ini? Buat apa?” Abian memberikan ponselnya yang sudah ia siapkan chat dari seseorang untuk Natasya baca. Natasya mengernyit mendapati pesan dari kontak bernama Aca Sayangku. Pesannya berisi pembatalan acara pernikahan yang akan digelar hari ini. Entah ada masalah apa diantara mereka, tapi ia memang mendengar sedikit masalah ini dari mama Abian. “Juga ini,” Abian menunjukkan chat lain dari mama, “Mama mau bukti kalo kita—malam pertama kayak pengantin lain.” Natasya menatap Abian takut. Abian mengambil ponselnya kasar, “Jangan kamu pikir ki
Natasya yang masih keukeuh tidak mau pulang, memutuskan untuk tidur di ruang piket. Tak ada yang mau digantikan shift olehnya, membuatnya ia uring-uringan sendiri. Ia pikir, berdiam diri diruang piket akan membuatnya senang dan nyaman. Nyatanya justru stress. Ia sudah biasa bekerja keras bagai Kuda, sehingga tidak cocok mode bermalas-malasan bagai Koala. Pintu ruang piket terbuka dan tak tertutup lagi. “Tutup lagi pintunya!” seru Natasya kesal. Beberapa dokter residen yang sedang menghapal dan hanya main ponsel, langsung berdiri. Mereka tak bicara apapun karena diminta diam oleh si orang yang baru masuk itu. Natasya mendengus kesal, “Kan udah dibilangin, tutup pintunya!” Tak ada pergerakkan pintu ditutup atau jawaban. Natasya bangkit dari kasur lantai atas. Ia yang sudah siap mengamuk, langsung diam saat Abian menatapnya tanpa bicara, “Dok?” “Ayo pulang.” “Tapi—” “Kamu lagi gak jaga malam ‘kan?” Natasya menatap dokter residen yang memperhatikan percakapan merek
Natasya merasa lega setelah mendapatkan hati mama kembali. Ia senang kalau Abian akan mendapatkan masalah dari perbuatannya sendiri. “Salah sendiri. Siapa suruh nuduh gue selalu milih Irvan? Dia tuh keterlaluan tahu gak! Harusnya di surat kontrak tertulis kalau pihak pertama gak bisa seenak jidat sama pihak kedua. Tapi gue puas, karena mama sekarang udah kembali ada dipihak gue.” Natasya berjalan menuju ruang operasi. Ia akan jadi asisten utama operasi kali ini. Menjelang ujian dan ia akan menjadi dokter bedah utama, ia menyibukkan diri di ruang operasi. “Dokter Farhan udah dateng?” tanyanya pada perawat. “Belum. Dia lagi ngobrol sama suami dokter.” “Dimana?” Natasya sedikit penasaran karena suami bayarannya ternyata masih ada disini. “Di depan. Dokter Abian dapat diskors selama tiga hari dari komisi disiplin, eh beliau malah nawar jadi satu minggu. Dokter Abian tuh aneh banget. Cuma dia yang berani nawar durasi diskors.” “Hah?” Natasya mematikan kran ketika melakukan as
Natasya turun dari taksi ketika sampai depan rumah. Ia memukul-mukul pundaknya yang terasa pegal. Mama menyambutnya. “Kamu mandi terus istirahat ya. Atau mau makan dulu?” “Aku tidur dulu deh, ma.” “Oh ya udah, nanti kita makan sama-sama ya.” “Mama duluan aja, ‘kan mama harus minum obat.” “Gak papa, tadi mama udah makan kue basah, jadi minum obatnya udah. Yaudah gih, istirahat.” Natasya masuk ke dalam rumah. Ia berlari menaiki tangga agar cepat sampai ke kamar Abian yang jadi kamarnya juga. Pintu kamar dibuka. Natasya terkejut melihat ada Abian, “Mas?” Abian yang sedang tiduran di ranjang, bangkit. Ia tengah memakai baju rumahan. “Mas, kamu—” “Iya, saya kena diskors. Puas kamu?” Natasya membuang nafas pelan, “Ya lagian, siapa suruh berantem sama Irvan di rumah sakit. Kayak baru pertama jadi dokter aja.” “Kamu nyalahin saya?” “Bukan nyalahin, tapi mengingatkan, kenapa bisa-bisanya dokter berantem? Terus kalau sekarang dokter dapet hukuman, emang itu salah aku
Semua orang mengerubungi Abian dan Irvan. Dokter Farhan yang akan mengambil ponsel di ruangannya, berusaha memisahkan dua sahabat yang entah kenapa malah saling pukul disini. “Bi, Van, lepas!” “Gue gak terima lo khianati gue begini, Van!” “Gue gak mengkhianati lo, Bi!” Abian memberikan satu pukulan lagi di rahang Irvan. “Abian! Jaga kewarasan lo!” teriak dokter Farhan, “Lo bisa dapet pendisiplinan!” “Gue gak peduli!” Abian menunjuk Irvan, “Inget ya, gue gak sudi temenan lagi sama lo, bajingan!” Irvan diam saja. Ia tentu ingin sekali membalas ucapan Abian, tapi tidak enak dengan yang lain. Ia juga tidak ingin mendapatkan pendisiplinan. Natasya yang pikir Abian pergi sudah pergi, mendapat laporan kalau suaminya bertengkar dengan Irvan sampai main pukul. Ia yang sudah ganti baju jaga, berlari mendekati TKP. “Mas?” Abian membuang nafas kasar melihat Natasya. Pikirannya melayang, mengingat Natasya dan Irvan bermain gila dibelakangnya. Ia pergi begitu saja meninggalkan l
“Mas Abian—aku dan dia suka lupa semuanya kalo udah mulai. Lagian dia lagi visit, Van, aku gak mau ganggu dia kerja. Aku mohon kamu bantu aku hilangin efek obat ini, aku mohon. Kamu mungkin tahu aku harus ngapain untuk menghentikan ini.” Irvan mengangguk, “Iya, aku tahu. Ayo ikut aku ke ruangan.” Natasya pasrah dituntun Irvan. Ia yakin sahabat suaminya itu tidak akan berani macam-macam, ia kenal baik siapa orang yang ia mintai bantuan. Irvan mempersilakan Natasya duduk. Ia menurunkan suhu AC dan memberikan air mineral dingin, “Minum, Sya.” Natasya meminum air itu. “Sebentar, aku ambil obatnya.” Irvan membuka laci meja, ia mencari obat yang semoga saja bisa membantu Natasya, “Sya, kamu minum ini. Kita coba ya, semoga berhasil.” Natasya mengangguk. Ia akan melakukan apapun untuk membuat dirinya lepas dari reaksi obat terkutuk ini. “Kita tunggu reaksi obatnya. Kalau gak berhasil kamu bisa mandi.” Natasya bangkit, ia berlari ke toilet untuk mandi. “Sya?” Kucuran showe
“Jadi tadi kamu nangis waktu saya cium karena ini?” Natasya menunduk. Sungguh ia yang oon, karena mengakui ini. Sekarang ia pusing sendiri menghadapi pertanyaan Abian. Abian mengelus bahu Natasya, “Maaf ya, saya gak tahu. Ke depannya saya usahakan tidak akan cium kamu lagi depan Irvan.” Abian pergi. Ia harus kembali ke ruang prakteknya, karena masih ada sisa pasien yang masih antre. Natasya sungguh menyesal menyebut nama Irvan, “Dokter Abian jadi agak gitu. Harusnya tadi gue sebut nama dokter lain, yang dia gak kenal. Meskipun dia kenal hampir semua dokter sih meskipun nyebelin dan galak.” Karena merasa harus istirahat setelah membantu operasi, Natasya bertolak ke ruang piket. Rencananya setelah tidur selama lima belas menit, akan membuat rekam medis dan menemani Abian visit. Di ruang piket, Natasya membuka kulkas kecil untuk membawa minuman dingin. Cuaca hari ini panas sekali. “Dokter Natasya.” Natasya menoleh, “Iya?” Dokter ko-as itu mendekati kulkas, ia mengambil
Natasya melotot dalam kungkungan tubuh Abian yang dua kali lipat lebih besar darinya. Ia mendorong tubuh suami bayarannya, tapi Abian malah lebih merapatkan tubuh mereka. Ia tidak tahu kenapa Abian melakukan itu tiba-tiba padanya. Mana pintu ruangan tidak ia tutup lagi. Sungguh Abian yang ceroboh. “Hmmmmpppp.” Natasya masih berusaha mendorong Abian. Kali ini berhasil. “Dok!” Abian tersenyum. Ia menyentuh bibir Natasya pelan. Natasya memukul dada Abian, “Dokter tuh—” “Ssssst!” “Apa sih?” Abian mendekati pintu. Ia melihat situasi diluar sana. Entah mencari apa, karena tak lama ia langsung menutup pintu, “Tadi ada Irvan ikutin kita. Saya—cuma mau mematahkan teori dia mengenai kamu hanya istri sewaan.” Natasya diam. Masuk akal juga yang dikatakannya, “Tapi jangan dadakan juga dong, cium akunya!” “Kalo saya kasih aba-aba, apa menurut kamu Irvan bisa percaya kita beneran nikah?” Kedua mata Natasya merah menahan tangis. Selama ini ia hanya melakukan ciuman dengan Alan,
Vina turun dari taksi saat Abian dan Irvan saling tatap, dan Natasya hanya melirik mereka berdua datar. “Selamat pagi dokter Abian.” sapa Vina. “Pagi.” Abian berjalan cepat memasuki lobi. “Nat, lo gak masuk?” “Ini mau masuk. Van, sekali lagi makasih. Aku tinggal.” Vina yang tak tahu apa yang baru saja dilewatkannya, melirik Irvan, “Ada apa?” “Gak ada.” Vina memicinkan matanya, “Dokter jangan ganggu Natasya terus dong. Itu dokter Abian pasti cemburu.” Irvan berdehem, “Vin, kamu deket banget sama Natasya ‘kan?” Vina mengangguk semangat. “Sedeket apa?” “Sedeket nadi.” Irvan melotot. “Hehehe, bercanda. Sedeket itu lah, namanya sahabat.” Irvan mengedarkan matanya, “Kamu gak kaget waktu mereka nikah?” “Kaget, dok, sampe loncat waktu menyusui suami saya begitu Natasya kasih undangan digital.” Irvan mengernyit. “Ini ekspresi kaget atau heran nih, saya nyusuin suami saya?” “Bukan soal nyusuin. Kamu jangan bikin saya iri, dong. Saya ‘kan—juga mau nyusu, tapi—
Natasya memasukkan semua keperluannya ke dalam tas ransel yang akan ia bawa ke rumah sakit, di sofa ruang tamu. “Kamu udah gak papa, Nat?” tanya mama. “Gak papa kok, ma. Malem udah baikkan.” “Baikkan dong, ‘kan di urus sama suaminya.” tutur Abian mendekati Natasya. Mama tersenyum, “Makasih ya, Bi, udah mau ngurusin istrinya.” “Udah kewajiban aku, ma.” Abian membawa tas ransel Natasya, “Ma, berangkat, ya?” Abian salim dan mencium pipi mama. “Iya, hati-hati ya, kalian.” Natasya salim dan mencium pipi mama juga, “Ma, aku malam ini jaga malam, jadi gak pulang.” “Oh ya udah, nanti mama kirim makan malam buat kamu sama temen-temen ya.” “Makasih, ma.” Mama mengelus perut Natasya, “Gimana? Udah—proses belum?” Natasya menatap Abian, “Proses dong, ma.” jawabnya dengan optimis. Padahal yang di proses diperutnya hanya makanan, bukan janin seperti mau mama. “Semoga ini cepet jadi ya. Mama udah gak sabar mau nimang cucu, papamu juga.” Abian mencium pipi Natasya, “Pasti, ma