Jam sudah menunjukan pukul dua dini hari. Alena menggeliatkan tubuhnya ketika merasakan tangan besar memluknya dari belakang. Alena sontak terkejut namun, buru-buru wanita itu membekap mulutnya. Tak ingin jika suaranya akan membangunkan pria di sampingnya ini.Azam terlihat tertidur begitu pulas memeluk tubuh Alena. Iya, pria yang memeluk Alena adalah Azam. Azam pulang jam setengah dua belas malam. Pria itu kemudian langsung membersihkan diri dan langsung tidur di samping Alena.Azam memeluk tubuh Alena, pria itu merasakan kenyamanan saat dirinya memeluk tubuh Alena. Benar kata Zen, mungkin ia memang harus merubah cara balas dendamnya pada Jonatan.Azam sudah memikirkan saran dari Zen untuk mulai membuka hatinya untuk Alena. Azam juga sudah bertekad. Akan memberikan calon anaknya kehidupan yang harmonis penuh cinta kelak di masa depan.Alena terus menatap wajah Azam yang terlihat begitu damai. Meski sudah beberapa kali ia berhubungan intim dengan Azam. Namun, kali ini Alena baru bisa m
Titin akhirnya kembali ke rumah Azam. Titin ternyata tidak di perbolehkan keluar dari kediaman Azam sebelum rencana Karen berhasil. Wanita licik itu rupanya ingin melenyapkan Alena dan bayi yang ada dalam kandungannya. Menggunakan Titin sebagai pelantaranya."Titin dari mana kamu!" tegur Bi Nani melihat Titin yang tengah mengendap-endap masuk. "Bi, Bi Nani ya ampun ngagetin aja, ini em ... Saya habis dari pasar Bi." Titin tergagap namun, Karen rupanya sudah menyiapkan segalanya. Karen memberikan sejumlah uang untuk Titin. Wanita licik itu menyuruh Titin untuk berbelanja kebutuhan dapur. Agar tidak ada yang curiga, ketika pagi-pagi sekali Titin kembali. Benar saja, Bi Nani hanya mengangguk pelan seraya pergi begitu saja. Setelah Titin menyodorkan keranjang belanjaannya. Bi Nani pun kembali berkeliling rumah, mengecek pekerjaan para pelayan. Sementara, Titin wanita itu bisa bernafas lega dan melangkah pergi menuju dapur. Titin kemudian mengeluarkan semua belanjaannya. Terakhir pelaya
Selesai menelpon Bi Nani, Azam kemudian menelpon Zen sang asisten. Pria itu menyuruh Zen untuk keruangannya segera. "Permisi Tuan, apa Anda perlu sesuatu?" ucap Zen seraya melangkah menghampiri Azam. "Zen belikan susu merek XX, rasa coklat." Azam langsung memerintahkan Zen untuk membeli susu merek XX. Seketika Zen menyerengit heran. Pria itu langsung paham jika suatu yang Azam maksud adalah susu untuk ibu hamil. "Zen kau mendengarkanku!" tegur Azam melihat Zen hanya terdiam sedari tadi. "I-iya Tuan saya mendengar. Em ... Tapi bukankah susu itu adalah susu untuk ibu hamil Tuan?" Zen tak kuasa lagi menahan keingin tahuannya mengapa bosnya itu menyuruhnya membeli susu untuk ibu hamil. "Zen bisakah untuk saat ini kau jangan bertanya dulu, turuti saja perintahku," ucap Azam dengan nada dingin. Membuat Zen terdiam tak lagi bertanya. "Baik Tuan, permisi." Zen mengangguk patuh kemudian bergegas pergi. Azam menghela nafas panjangnya. Pria itu bukan tidak ingin memberi tahu Zen tentang
"Ya saya tidak memiliki pacar, melainkan saya sudah memiliki istri." Azam kembali mengulang kata-katanya. Sungguh, pria itu begitu entengnya mengatakan jika dirinya sudah menikah. Pernyataan Azam tentu saja membuat Alena ketat ketir. Alena seketika terdiam, menelan ludahnya sendiri susah payah. Wanita berparas cantik itu tak mampu membayangkan apalagi yang akan Azam katakan. "Pak Azam boleh saya bertanya?" ujar salah satu mahasiswi seraya mengangkat tangan."Silahkan." Azam tersenyum manis, membuat para mahasiswi bersorak histeris. Pria itu mempersilahkan sang mahasiswi untuk mengajukan pertanyaannya. "Em ... Apa kita boleh tahu siapa istri dari Pak Azam?" tanya mahasiswi itu dengan nada gugup. "Em ... Yang pasti dia wanita yang cantik, meski kami baru belajar saling menerima dan mencintai, tapi saya percaya kelak rumah tangga kami akan langgeng sampai maut memisahkan." Azam menjawab seraya terus menatap Alena. Senyumnya terkembang manis seolah ia sedang mengungkapkan isi hatinya
"Alena!!" teriak Azam spontan ketika melihat Alena terbaring seraya merintih di atas ranjang dengan posisi meringkuk memegangi perutnya. Azam langsung berlari menghampiri Alena yang terlihat pucat dengan keringat dingin bercucuran. Terlihat betapa wanita itu tengah menahan sakit. "Kamu kenapa Alena?" Azam bertanya dengan nada khawatir seraya meraih tubuh Alena. "Sakit Tuan," ujar Alena hanya bisa merintih menahan rasa sakitnya. Tanpa pikir panjang Azam langsung menggendong tubuh Alena. Pria itu melangkah dengan setengah berlari. Raut kepanikan bercampur rasa takut terlihat begitu jelas di wajahnya. "Arumi siapakan mobil!" Azam berteriak memanggil Arumi untuk segera menyiapkan mobil. "Hah i-iya Tuan!" ujar Arumi yang seketika ikut panik melihat Azam menggendong tubuh Alena. "Ya ampun Tuan Non Alena kenapa?" Bi Nani bertanya dengan wajah khawatirnya melihat Alena yang meringis kesakitan. "Entah Bi, aku belum tahu. Oh iya Bibi ikut saya kerumah sakit sekarang," ucap Azam mengintruk
Setelah mendengar jika saat ini, Alena tengah hamil. Jonatan akhirnya meresepkan obat yang memang dikhususkan untuk ibu hamil. Sambil memberikan obat pada Alena. Jonatan terus menatap sendu, Alena yang tengah terbaring sambil terus memeluk Azam. Pemandangan itu benar-benar membuat hati Jonatan bagai tersayat-sayat.Sungguh, pria itu tak menyangka jika kini wanita yang begitu ia cintai. Wanita yang ingin ia perjuangkan kembali ternyata tengah mengandung anak dari pria lain. Hati Jonatan kini kembali merasakan sakit. Bahkan mungkin rasa sakitnya jauh lebih besar dari yang sebelumnya.Ekspresi sedih Jonatan begitu terlihat ketara. Sampai-sampai sang suster yang mendampinginya pun. Terus menatap penuh tanda tanya pada Jonatan. Jika sang suster menatap penuh tanda tanya.Lain halnya dengan Azam, pria itu seolah tak peduli dengan tatapan Jonatan, pada sang istri. Azam tetap setia berada disamping Alena. Pria itu terus menggenggam tangan Alena. Mencoba menguatkan wanita itu seraya sesekali m
Pagi harinya, Azam terbangun dari tidurnya. Pria itu kemudian menatap lekat wajah Alena yang masih tertidur nyenyak. Begitu damai, hingga membuat hati Azam seketika menjadi teduh. "Good morning my wife." Azam berkata seraya tersenyum kemudian mencium kening Alena dengan penuh kelembutan. Tak hanya itu, tangannya pun terulur mengelus pipi mulus itu. "Kau sudah bangun! Jadi jangan berpura-pura atau aku akan—" ucapnya lagi berbisik membuat Alena seketika membuka matanya. "Aku masih nagantuk jadi— eummm!" Alena tak melanjutkan kata-katanya. Mulutnya sudah dibungkam lebih dulu oleh Azam dengan ciuman panasnya. "Jangan pernah berbohong, hem," ujar Azam mengakhiri ciumannya seraya mengusap bibir Alena dengan ibu jarinya. Alena sempat tertegun, dengan sikap manis Azam. Namun, detik berikutnya wanita itu seakan tersadar. Alena kembali teringat akan kejadian semalam. Dimana Azam mengigau jika dirinya begitu menyayangi anak dalam kandungan Karen. "Kanapa Tuan masih disini! Bukankah Karen s
Alena tertegun, wanita itu menatap kearah Azam dengan penuh tanda tanya. Alena menggeleng seolah tak mempercayai ucapan pria itu. Tak hanya itu, air mata wanita itupun mulai jatuh membasahi pipi mulusnya. "Aku? Hamil?" Alena masih saja mengulang perkataannya seolah tak puas meminta kebenaran perkataan Azam. Azam mengangguk seraya mengusap air mata Alena lembut. "Iya kau hamil Alena, kau hamil anakku," ujar Azam dengan nada lembut penuh keyakinan. Akhirnya pria itu bisa mengungkapkan yang sebenarnya pada Alena. Azam tak peduli lagi akan bagaimana reaksi Alena karena saat ini pria itu tak memiliki pilihan. "Sudah berapa usia kandunganku?" Alena menghentikan tangisnya. Wanita itu bertanya dengan nada dingin. Sontak saja Azam tercengang dengan ekspresi Alena. Sepertinya memang benar firasat Azam. Tentang Alena yang tidak menginginkan kehamilannya. "Sudah 10 minggu," jawab Azam dengan wajah yang sama dinginklnya dengan Alena. "10 minggu? Itu artinya bayi ini—""Jangan coba-coba untuk