Turun dari motor milik anaknya, Bu Tuti langsung berjalan cepat menuju kediaman Ridwan. Perempuan itu semakin meradang melihat besannya sedang asyik menonton televisi di ruang tamu. Tanpa permisi dan tanpa salam, Bu Tuti pun lansung memasuki rumah Pak Eko."Heh besan!" Belum sampai dia di depan besannya, dia sudah berteriak sangat keras sehingga membuat Bu Lestari terkejut dan langsung menoleh."Kamu, ya. Keterlaluan. Setelah menghina anak saya, kamu malah enak-enakan nonton tivi di sini." Bu Tuti menatap besannya itu dengan berkacak pinggang dan tajam.Bu Leestari yang diperlakukan seperti itu pun langsung membalas tatapan tajam besannya. Dia ikut berkacak pinggang. "Heh! Datang ke rumah orang bukannya salam malah marah-marah. Apa maksud besan?" tanyanya kesal."Apa maksud kamu menghina anak saya?" Bu Tuti kembali bertanya.Bu Lestari mengangguk paha. "Oh. Si Olip ngadu sama besan? Iya? Ngomong apa dia? Ngomong apa anak manja yang nggak bisa apa-apa itu?" tanyanya kemudian. Dia menga
"Ibu jadi nyesel merestui hubungan kamu sama Olip dulu, Wan. Istri kok nggak bisa diandalkan kek gitu. Nggak bisa ngurus rumah, nggak bisa masak, nggak bisa ngurus suami. Bisanya cuma ngabisin uang mulu. Minta yang aneh-aneh pula." Bu Lestari mencurahkan kekesalannya kepada sang anak ketika besannya sudah pergi."Beda banget sama Mika dulu. Selain pintar masak dan ngurus rumah, dia juga orang yang mandiri. Pasti kalau dia yang jadi menantu ibu, ibu akan sering-sering dikasih uang sama dia dari usahanya. Meski toko, ibu lihat selalu ramai," lanjutnya kemudian. Kasihan Bu Lestari. Penyesalan selalu datang terlambat. Dia terus berandai-andai. Andai saja waktu bisa diulang kembali, mungkin dia akan mencegah perselingkuhan antara Ridwan dan Olip."Bu. Sudah, Bu. Percuma ibu bicara gitu juga. Semuanya sudah terjadi dan Olip sekarang yang menjadi menantu ibu. Janganlah banggain orang lain dibandingkan dia." Ridwan berujar memberitahu ibunya. Dia tidak ingin kalau permasalahannya dengan sang
"Bapak ini kenapa sih? Kok bisa-bisanya malah minta ibu untuk pulang? Ibu belum selesai memberi pelajaran sama besan kita itu," ujar Bu Tuti yang baru saja turun dari boncengan motor suaminya. Dia kembali menggerutu sebari memasuki rumah mereka."Iya nih, Bapak." Olip ikut menyahut. Perempuan itu duduk di samping ibunya.Pak Purnomo pun mengembuskan napas kasar. "Bu. Bapak hanya tidak mau kalau terjadi kerusuhan nantinya. Apalagi kalau sampai Pak Eko tahu. Bisa tambah rusuh nanti," ujar Pak Purnomo memberitahu."Bapak takut sama Pak Eko?" tanya Bu Tuti kemudian.Pak Purnomo langsung mendelik mendengar perkataan istrinya. "Kata siapa Bapak takut sama besan kita? Bapak hanya tidak ingin terjadi kegaduhan. Itu saja." Dia meralat tuduhan dari sang istri.Sedangkan Bu Tuti hanya mencebikkan bibir mendengar perkataan suminya. Dia menatap Olip kemudian. "Dan kamu. Kamu tinggal di sini, kan?" tanyanya kemudian.Olip langsung mengangguk dengan semangat. "Iya dong, Bu."Bu Tuti ikut mengangguk.
"Dasar tidak punya sopan santun. Datang bukannya ngasih salam, bukannya tanya kabar suami bagaimana setelah ditelantarkan beberapa hari, malah main tanya gaji suami. Duit, duit, duit terus yang dipikirin. Heran," ujar Bu Lestari melihat sikap Olip. Benar-benar tak habis pikir.Sedangkan Olip yang mendengar ucapan ibu mertuanya tentu merasa tidak suka. Perempuan itu menatap kesal Bu Lestari. "Loh, Bu. Itu sudah kewajiban Kak Ridwan, kan ngasih nafkah sama aku. Apa salahnya kalau aku menanyakannya sekarang?"Bu Lestari merasa muak dengan kalimat Olip yang trus mengatakan kewajiban-kewajiban Ridwan.Perempuan itu pun seketika bangun dari duduknya lalu menatap tajam Olip. "Kewajiban-kewajiban terus yang kamu bicarakan. Kamu hanya membicarakan kewajiban Ridwan. Apa kamu tidak berpikir kalau kamu juga mempunyai kewajiban pada Ridwan? Dasar istri tidak berguna!" maki Bu Lestari dengan suara nyaring."Cukup!" teriak Olip tak kalah nyaring dengan suara mertuanya.Pak Eko yang kebetulan baru da
Mika sarapan dengan lahap. Menu hari ini adalah soto ayam sesuai dengan permintaan Mika semalam. Beberapa hari di sini, mereka lebih sering makan seafood dan itu membuat Mika merasa bosan. Untuk itu, di hari terakhir ini dia memutuskan untuk meminta pada suaminya menu yang lain.Noval yang melihat Mika makan begitu lahap hanya bisa menggeleng pelan. "Kamu lapar banget?" tanyanya kemudian.Mika malah menggeleng. "Enggak.""Kok tumben makannya buru-buru sekali? Seperti orang yang tidak pernah makan saja beberapa hari." Noval berujar."Atau seperti orang yang takut kehilangan makanannya," lanjut Noval.Mika malah tersenyum lebar. Senyumnya lucu karena dilakukan dalam keadaan mulutnya penuh makanan. Dia pun mengunyah makanannya sebentar lalu segera menelannya. "Memang aku belum pernah makan ini. Beberapa hari ini, kan kita makannya seafood terus. Makanya aku bersemangat waktu kamu beneran ngasih aku soto."Noval mengangguk beberapa kali. "Ini baru soto, ya. Daging ayam. Bagaimana kalau ak
Pak Purnomo yang kebetulan keluar dari kamar melihat apa yang terjadi pada putrinya. Pria itu melotot dan langsung merasa marah melihat Olip yang didorong oleh Noval sampai terjatuh."Noval! Apa yang kau lakukan?" tanya Pak Purnomo. Dia mendekat dan menatap menantunya itu dengan marah.Tak kalah menakutkannya dengan Pak Purnomo, Noval pun menatap mertuanya dengan tatapan tajam. Pria itu menunjukkan pandangan mengintimidasi. "Melakukan apa yang sudah anak Anda lakukan pada istri saya," ujar Noval dengan suara datarnya.Pak Purnomo semakin melotot. "Tapi tidak seperti itu juga. Kamu laki-laki dan putriku seorang perempuan. Bisa-bisanya kamu melakukan itu padanya!" bentak Pak Purnomo dengan membentak Noval."Siapa pun orang yang berani melukai istriku, maka dia juga harus mendapatkan balasan," ujar Noval dengan suara penuh penekanan. Urat-urat dalam leher pria itu terbentuk dengan jelas, pertanda kalau pria itu tengah marah besar."Masih untung dia tidak aku buat berdarah seperti apa yan
Mendengar menantunya masuk rumah sakit dari orang kepercayaannya, Meysa dan sang suami pun lekas mendatangi rumah sakit juga. Terlihat kekhawatiran dari wajah Meysa akan keadaan sang menantu."Ayo dong, Pa kalau jalan," ujar Meysa pada sang suami. Kedua orang itu tengah berjalan di lorong rumah sakit dengan Meysa yang tampak terburu-buru."Iya-iya, Ma. Sabar. Ruangan Mika juga tidak akan pindah," ujar pria paruh baya dengan penampilannya yang masih gagah meski umur sudah hampir memasuki kepala lima."Ih, Papa. Mama ini mau cepet-cepet tahu kabar Mika. Gimana bisa dia masuk rumah sakit seperti itu?" tanya Meysa kemudian.Suami Meysa hanya tersenyum menggeleng pelan. Dia yakin menantunya itu tidak apa-apa karena orang-orangnya pun hanya memberitahu kalau Mika masuk ke rumah sakit. Akan tetapi tidak mengatakan penyebabnya. Akhirnya, dia pun mempercepat langkah mengikuti sang istri.Tak lama, mereka pun sampai di ruangan di mana Mika dirawat. "Mika. Sayang." Meysa memasuki kamar dengan bu
"Nggak mau!" teriak Olip ketika ibu mertuanya meminta dia untuk berbelanja ke warung. Perempuan itu membuang mukanya.Bu Lestari yang tak ingin membiarkan menantunya itu ongkang-ongkang kaki saja langsung mendelik. "Heh! Kamu ini keras kepala sekali," ujarnya sampai menoyor kepala Olip menggunakan satu tangannya."Sekarang belanja atau kamu tidak usah makan di sini," lanjut Bu Lestari dengan berkacak piggang. Perempuan itu menatap nyalang menantunya yang terus membangkang selama ini.Olip menatap suaminya yang sedang berbarinng di atas ranjang. "Kak," panggilnya bermaksud meminta pertolongan suaminya. Ridwan yang masih merasa kesal atas insiden uang gaji kemarin malah mengubah posisi baringnya menjadi membelakangi sang istri.Bu Lestri yang melihat itu langsung tersenyum sinis. "Nah. Sekarang kamu cepat pergi dari sini. Cepat ke warung sana untuk membeli bahan makanan. Ini uangnya dan ini catatan apa saja yang harus kamu beli. Ibu tahu kamu pasti belum bisa kalau tidak ada catatan," u
Ridwan merasa bingung malam ini. Setelah keluar dari kontrakan, dia tidak tahu harus pergi ke mana. "Balik ke kontrakan males. Pulang ke ruang Ibu, apa iya nggak bakal diajar lagi?" Ridwan bertanya pada dirinya sendiri.Kini, Ridwan tengah berada di sebuah warung kopi. Dia ingin menenangkan dirinya dari rasa stress yang ditimbulkan oleh Olip. "Punya istri gini amat. Bayangannya habis nikah enak ada yang ngurusin, malah kek gini." Dia mendengus.Malam semakin gelap, udara juga semakin dingin. Dia pun memutuskan untuk pulang. Pulang ke kontrakan, bukan ke rumah orang tuanya. Dia masih waras untuk pergi ke sana mengingat bagamana seramnya sang Bapak kalau mengamuk.Bukannya dia merasa takut. Ridwan hanya menghomarti bapaknya. Kalau masalah duel, sih dia yakin bakalan menang melawan bapaknya. Hanya saja, kembali pada kenyataan kalau pria itu adalah orang tuanya. Mana Berani dia melawan? Takut dianggap durhaka nanti.Motor berhenti di depan kontrakan. Dia memasuki kontrakan dan melihat ist
"Kamu gila, Kak?" tanya Olip tak habis pikir. Kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun. Istri mana yang tidak akan marah kalau mendengar suaminya menawari perempuan lain untuk menjadi istri. Diamau dimadu."Bisa-bisanya Kak Ridwan menawari Kak Mika menjadi istri Kakak? Kakak sudah tidak waras!" bentak Olip.Ridwan yang merasa pusing mendengar teriakan Olip, langsung menatap Olip dengan tajam. "Hah! Bisa tidak kamu diam! Setiap hari bisanya hanya teriak saja. Pusing kepala aku!" Ridwan ikut berteriak!"Aku berteriak juga karena Kak Ridwan. Istri mana yang tidak akan marah kalau suaminya menawarkan perempuan lain untuk menikah dengannya. Kakakku pula yang kamu tawari," ujar Olip marah. Rasanya dia ingin berteriak dengan kencang saja."Semua itu karena aku baru sadar. Kalau Mika lah yang aku butuhkan. Mika yang aku cintai. Aku hanya bernafsu saja dengan kamu," ujar Ridwan dengan menunjuk istrinya. Tatapannya masih tajam dan penuh kemarahan.Olip semakin merasa tidak percaya mendengar apa ya
Untuk sesaat keduanya saling tatap satu sama lain. Mika yang menunggu jawaban Noval, dan Noval yang merasa tertegun dengan pertanyaan dari Mika."Kok diam?" tanya Mika kemudian.Noval pun tersadar. Dia mengedipkan matanya beberapa kali lalu melanjutkan aktivitasnya. "Lebih ke arah kebersihan. Secara Ridwan adalah orang yang jorok," ujar Noval kemudian yang tentu itu hanya alasan."Oh gitu?" Mika mengangguk beberapa kali. Keduanya pun keluar dari kamar mandi lalu keluar dari toko."Aku kira kamu cemburu," ujar Mika ketika melihat suaminya yang sedang menutup toko. Rupanya tugasnya berganti pada Noval.Noval membalikkan badan menatap Mika ketika sudah mengunci toko. Dia meraih tangan Mika lalu memberikan kunci toko pada Mika. "Kenapa kamu tanyanya sejak tadi itu mulu?"Mika menggenggam kunci yang diberikan Noval lalu memasukkannya pada tas yang dia bawa. Mika menggeleng. "Nggak papa. Cuma mau tanya aja?"Noval menaiki motornya lebih dulu. "Kamu ingin tahu aku cemburu apa tidak?" tanyany
"Apa?" Tentu saja Mika merasa syok. Bahkan toples permen yang ada di tangannya dan akan dipindahkan ke dalam toko sebab toko akan tutup langsung terjatuh. Untung saja isinya tidak berceceran. "Biar aku bantu," ujar Ridwan ketika melihat toples itu jatuh. "Nggak usah nggak usah," ujar Mika cepat. Dia pun lebih memilih mengambilnya sendiri daripada menerima bantuan Ridwan. Bukan apa. Dia hanya takut kalau Noval salah paham saja melihatnya nanti mengingat suaminya itu akan datang. "Ngapain sih kamu di sini?" tanya Mika sekali lagi. Dia tak sungkan memperlihatkan wajah bencinya pada Ridwan. "Untuk menanyakan hal tadi," ujar Ridwan kemudian. "Wan. Kamu sudah gila, mending kamu ke rumah sakit sana. Jangan di sini," ujar Mika kemudian dengan menunjuk ke segala arah. Ridwan terkejut Mika mengatai dirinya gila. "Mik. Aku nggak gila." Dia menggeleng cepat. "Kalau nggak gila apa? Sinting? Mabok? Atau syarafmu sudah putus?" tanya Mika kemudian. Dia berkacak pinggang dengan tatapan tajam pad
"Ibu ngagetin aja," Ridwan sdah merasa deg-degan. Dia pikir tadi adalah bapaknya. Tentu saja diamerasa takut kalau bertemu kembali dengan Pak Eko. Dia yakin kalau dia akan dihajar kembali jika bapaknya itu melihat keberadaan dirinya di sini."Makan," jawab Ridwan pada pertanyaan ibunya tadi. Tanpa sungkan dia langsung mengambil nasi dan lauknya cukup banyak dan memakannya dengan lahap.Bu Lestari duduk di hadapan putranya. "Makanmu kayak orang yang nggak makan satu bulan aja.""Aku belum makan sejak pagi," jawab Ridwan di sela makannya dengan mulut penuh."Olip nggak masak?" Bu Lestari kembali bertanya."Ibu kayak nggak tahu aja," jawab Ridwan. Bu Lestari pun membiarkan anaknya makan."Kok bisa sih kamu sama Olip punya vidio kek gitu?" tanya Bu Lestari dengan kesal.Ridwan melirik ke arah ibunya beberapa kali sebelum menjawab. "Ya namanya juga pasangan, Bu. Ya wajarlah."Bu Lestari langsung memukul lengan putranya. "Kok bisa kamu melakukan itu sebelum menikah? Bikin malu aja.""Ya gim
Ridwan memarkirkan motor milik Olip di depan kontrakan mereka. Pria itu meletakkan sepatunya asal lalu memasuki kontrakan dengan wajah kesal. "Sial*n." Dia berujar kemudian.Olip yang sebelumnya tengah asyik melihat ponsel miliknya langsung menoleh ke arah kedatangan suaminya. Dia menatap bingung Ridwan yang tampak marah-marah."Kamu kenapa?" tanya Olip kemudian."Jangan tanya dulu kamu. Aku lagi kesel," ujar Ridwan. Pria itu berbaring membelakangi sang istri.Olip tang tipikal tidak suka diabaikan pun mengabaikan peringatan Ridwan. Dia meletakkan ponselnya dan memegang pundak sang suami lalu membua Ridwan mengubah posisinya menjadi menatap ke arah dirinya."Masalahnya aku nggak suka lihat kamu kek gini. Wajah kesal kamu itu bikin mood aku ikutan ancur. Bawaanya pengen marah," ujar Olip dengan nada tinggi yang selalu dia keluarga ketika berdebat dengan Ridwan.Ridwan langsung bangkit dari posisinya dan duduk menghadap Olip. "Lip. Jangan ajak aku bertengkar sore ini. Oke? Aku sudah ter
Bu Tuti datang bersama sang suami dan membawa semua hal yang diinginkan oleh Olip. Meski dia merasa kesusahan untuk membawanya, tetapi dia tetap membawakannya demi sang anak.Pak Purnomo sempat tidak mau untuk datang ke kontrakan Olip, tetapi Bu Tuti yang terus memaksa membuat dia mau tidak mau harus mengantarnya. Sesampainya di kontrakan Olip, Olip pun langsung menyambut kedatangan ibunya."Akhirnya Ibu datang juga," ujar Olip.Bu Tuti tampak mengamati tempat tinggal Olip. "Ini beneran tempat tinggal kalian?" tanya Bu Tuti kemudian."Ya iyalah, Bu. Masa boongan?" Dia pun mengajak ibunya masuk tetapi Pak Purnomo memilih untuk tetap di luar."Kok bisa sih kamu tinggal di tempat seperti ini, Lip? Udah tempatnya di ujung desa, jauh, jalannya rusak, tempatnya nggak layak huni lagi," ujar Bu Tuti yang langsung berkomentar ketika dia sampai di kontrakan Olip."Udah tahu, kan? Makanya Olip minta Ibu buat datang ke sini dan lihat sendiri secara langsung." Olip berujar. Perempuan itu mengambil
Ridwan dan Olip yang sudah diusir dari rumah Pak Purnomo dan tak bisa kembali ke rumah Pak Eko terpaksa harus mencari kontrakan untuk tempat mereka tinggal. Namun, karena berita yang sudah tersebar, mereka mengalami kesulitan ketika mencari tempat tinggal.Bahkan tidak sedikit yang menolak mereka karena menganggap mereka pasangan tak memiliki ikatan. Ridwan dan Olip pun sampai harus mengeluarkan buku nikah mereka agar orang-orang percaya. Namun, tetap saja mereka menolak Olip dan Ridwan untuk menyewa kontrakan mereka."Terus kita mau tinggal di mana dong, Kak kalau semua orang menolak kita?" tanya Olip yang sudah merasa lelah karena hampir seharian mencari kontrakan tidak menemukannya."Ya kita harus terus cari lah. Kalau mau berhenti, gimana kita tidur malam ini," ujar Ridwan yang fokus terhadap jalan di depannya."His. Nyusahin banget sih. Itu warga kampung kenapa juga ngusir kita sih? Toh kita tinggal di rumah orang tua aku sendiri. Nggak minta makan sama mereka," ujar Olip yang t
Ridwan langsung menatap istrinya. "Apa ini karena perbuatanmu?" tanyanya dengan menunjuk ke arah kening Mika yang terluka. Dia menunggu jawaban sang istri.Sedangkan Olip yang mendengar pertanyaan dari suaminya merasa bingung. Kenapa sekarang dia dojokkan lagi?"Jawab, Olip!" bentak Ridwan."Ya," balas Olip."Memangnya kenapa? tanya Olip kemudian."Lagian aku juga tidak sengaja," lanjutnya."Heh! Mana ada tidak sengaja? Kau mendorongnya. Itu yang katanya tidak sengaja?" Sinta yang tidak terima dengan perkataan Olip pun ikut memaki.Dia sudah tak tahan denga sifat perempuan itu. "Dasar perempuan gila. Sekolahnya aja pakai seragam, tapi kelakuannya kayak setan," lanjut Sinta yang tak tanggung-tanggung dalam mengolok Olip. Dia tidak peduli kalau ada orang tua Olip di sana."Jaga mulut kamu Sinta." Bu Tuti yang melihat anaknya diolok tidak terima. Dia pun menatap sahabat Mika itu dengan tajam."Emang iya, Kok." Sinta tentu tak mau kalah.Berkacak pinggang, dia menatap Olip dengan dagu ter