"Ibu jadi nyesel merestui hubungan kamu sama Olip dulu, Wan. Istri kok nggak bisa diandalkan kek gitu. Nggak bisa ngurus rumah, nggak bisa masak, nggak bisa ngurus suami. Bisanya cuma ngabisin uang mulu. Minta yang aneh-aneh pula." Bu Lestari mencurahkan kekesalannya kepada sang anak ketika besannya sudah pergi."Beda banget sama Mika dulu. Selain pintar masak dan ngurus rumah, dia juga orang yang mandiri. Pasti kalau dia yang jadi menantu ibu, ibu akan sering-sering dikasih uang sama dia dari usahanya. Meski toko, ibu lihat selalu ramai," lanjutnya kemudian. Kasihan Bu Lestari. Penyesalan selalu datang terlambat. Dia terus berandai-andai. Andai saja waktu bisa diulang kembali, mungkin dia akan mencegah perselingkuhan antara Ridwan dan Olip."Bu. Sudah, Bu. Percuma ibu bicara gitu juga. Semuanya sudah terjadi dan Olip sekarang yang menjadi menantu ibu. Janganlah banggain orang lain dibandingkan dia." Ridwan berujar memberitahu ibunya. Dia tidak ingin kalau permasalahannya dengan sang
"Bapak ini kenapa sih? Kok bisa-bisanya malah minta ibu untuk pulang? Ibu belum selesai memberi pelajaran sama besan kita itu," ujar Bu Tuti yang baru saja turun dari boncengan motor suaminya. Dia kembali menggerutu sebari memasuki rumah mereka."Iya nih, Bapak." Olip ikut menyahut. Perempuan itu duduk di samping ibunya.Pak Purnomo pun mengembuskan napas kasar. "Bu. Bapak hanya tidak mau kalau terjadi kerusuhan nantinya. Apalagi kalau sampai Pak Eko tahu. Bisa tambah rusuh nanti," ujar Pak Purnomo memberitahu."Bapak takut sama Pak Eko?" tanya Bu Tuti kemudian.Pak Purnomo langsung mendelik mendengar perkataan istrinya. "Kata siapa Bapak takut sama besan kita? Bapak hanya tidak ingin terjadi kegaduhan. Itu saja." Dia meralat tuduhan dari sang istri.Sedangkan Bu Tuti hanya mencebikkan bibir mendengar perkataan suminya. Dia menatap Olip kemudian. "Dan kamu. Kamu tinggal di sini, kan?" tanyanya kemudian.Olip langsung mengangguk dengan semangat. "Iya dong, Bu."Bu Tuti ikut mengangguk.
"Dasar tidak punya sopan santun. Datang bukannya ngasih salam, bukannya tanya kabar suami bagaimana setelah ditelantarkan beberapa hari, malah main tanya gaji suami. Duit, duit, duit terus yang dipikirin. Heran," ujar Bu Lestari melihat sikap Olip. Benar-benar tak habis pikir.Sedangkan Olip yang mendengar ucapan ibu mertuanya tentu merasa tidak suka. Perempuan itu menatap kesal Bu Lestari. "Loh, Bu. Itu sudah kewajiban Kak Ridwan, kan ngasih nafkah sama aku. Apa salahnya kalau aku menanyakannya sekarang?"Bu Lestari merasa muak dengan kalimat Olip yang trus mengatakan kewajiban-kewajiban Ridwan.Perempuan itu pun seketika bangun dari duduknya lalu menatap tajam Olip. "Kewajiban-kewajiban terus yang kamu bicarakan. Kamu hanya membicarakan kewajiban Ridwan. Apa kamu tidak berpikir kalau kamu juga mempunyai kewajiban pada Ridwan? Dasar istri tidak berguna!" maki Bu Lestari dengan suara nyaring."Cukup!" teriak Olip tak kalah nyaring dengan suara mertuanya.Pak Eko yang kebetulan baru da
Mika sarapan dengan lahap. Menu hari ini adalah soto ayam sesuai dengan permintaan Mika semalam. Beberapa hari di sini, mereka lebih sering makan seafood dan itu membuat Mika merasa bosan. Untuk itu, di hari terakhir ini dia memutuskan untuk meminta pada suaminya menu yang lain.Noval yang melihat Mika makan begitu lahap hanya bisa menggeleng pelan. "Kamu lapar banget?" tanyanya kemudian.Mika malah menggeleng. "Enggak.""Kok tumben makannya buru-buru sekali? Seperti orang yang tidak pernah makan saja beberapa hari." Noval berujar."Atau seperti orang yang takut kehilangan makanannya," lanjut Noval.Mika malah tersenyum lebar. Senyumnya lucu karena dilakukan dalam keadaan mulutnya penuh makanan. Dia pun mengunyah makanannya sebentar lalu segera menelannya. "Memang aku belum pernah makan ini. Beberapa hari ini, kan kita makannya seafood terus. Makanya aku bersemangat waktu kamu beneran ngasih aku soto."Noval mengangguk beberapa kali. "Ini baru soto, ya. Daging ayam. Bagaimana kalau ak
Pak Purnomo yang kebetulan keluar dari kamar melihat apa yang terjadi pada putrinya. Pria itu melotot dan langsung merasa marah melihat Olip yang didorong oleh Noval sampai terjatuh."Noval! Apa yang kau lakukan?" tanya Pak Purnomo. Dia mendekat dan menatap menantunya itu dengan marah.Tak kalah menakutkannya dengan Pak Purnomo, Noval pun menatap mertuanya dengan tatapan tajam. Pria itu menunjukkan pandangan mengintimidasi. "Melakukan apa yang sudah anak Anda lakukan pada istri saya," ujar Noval dengan suara datarnya.Pak Purnomo semakin melotot. "Tapi tidak seperti itu juga. Kamu laki-laki dan putriku seorang perempuan. Bisa-bisanya kamu melakukan itu padanya!" bentak Pak Purnomo dengan membentak Noval."Siapa pun orang yang berani melukai istriku, maka dia juga harus mendapatkan balasan," ujar Noval dengan suara penuh penekanan. Urat-urat dalam leher pria itu terbentuk dengan jelas, pertanda kalau pria itu tengah marah besar."Masih untung dia tidak aku buat berdarah seperti apa yan
Mendengar menantunya masuk rumah sakit dari orang kepercayaannya, Meysa dan sang suami pun lekas mendatangi rumah sakit juga. Terlihat kekhawatiran dari wajah Meysa akan keadaan sang menantu."Ayo dong, Pa kalau jalan," ujar Meysa pada sang suami. Kedua orang itu tengah berjalan di lorong rumah sakit dengan Meysa yang tampak terburu-buru."Iya-iya, Ma. Sabar. Ruangan Mika juga tidak akan pindah," ujar pria paruh baya dengan penampilannya yang masih gagah meski umur sudah hampir memasuki kepala lima."Ih, Papa. Mama ini mau cepet-cepet tahu kabar Mika. Gimana bisa dia masuk rumah sakit seperti itu?" tanya Meysa kemudian.Suami Meysa hanya tersenyum menggeleng pelan. Dia yakin menantunya itu tidak apa-apa karena orang-orangnya pun hanya memberitahu kalau Mika masuk ke rumah sakit. Akan tetapi tidak mengatakan penyebabnya. Akhirnya, dia pun mempercepat langkah mengikuti sang istri.Tak lama, mereka pun sampai di ruangan di mana Mika dirawat. "Mika. Sayang." Meysa memasuki kamar dengan bu
"Nggak mau!" teriak Olip ketika ibu mertuanya meminta dia untuk berbelanja ke warung. Perempuan itu membuang mukanya.Bu Lestari yang tak ingin membiarkan menantunya itu ongkang-ongkang kaki saja langsung mendelik. "Heh! Kamu ini keras kepala sekali," ujarnya sampai menoyor kepala Olip menggunakan satu tangannya."Sekarang belanja atau kamu tidak usah makan di sini," lanjut Bu Lestari dengan berkacak piggang. Perempuan itu menatap nyalang menantunya yang terus membangkang selama ini.Olip menatap suaminya yang sedang berbarinng di atas ranjang. "Kak," panggilnya bermaksud meminta pertolongan suaminya. Ridwan yang masih merasa kesal atas insiden uang gaji kemarin malah mengubah posisi baringnya menjadi membelakangi sang istri.Bu Lestri yang melihat itu langsung tersenyum sinis. "Nah. Sekarang kamu cepat pergi dari sini. Cepat ke warung sana untuk membeli bahan makanan. Ini uangnya dan ini catatan apa saja yang harus kamu beli. Ibu tahu kamu pasti belum bisa kalau tidak ada catatan," u
Mika suka hal ini. Dia diperlakukan seperti anak sendiri oleh mertuanya. "Gimana bulan madunya kemarin?" tanya Maysa tiba-tiba. Perempuan itu menatap menantunya dengan senyum simpul.Mika yang ditanya seperti itu pun hanya mengangguk saja. "Iya. Lancar, Ma."Meysa terlihat sangat bahagia. "Bagus-bagus. Yang sering-sering, ya buatnya. Biar cepet jadi. Mama udah nggak sabar dapat cucu," ujarnya dengan senyum-senyum memikirkan cucunya akan lahir dari rahim sang menantu.Mika mendelik. Dia pikir tadi mertuanya bertanya mengenai kelancaran apa. Ternyata yang dimaksud adalah tentang itu. Mika hanya tersenyum saja karena dia dan Noval tidak melakukan apa pun."Sudah. Kamu istrahat saja sekarang. Kamu pasti kelelahan setelah pulang dari bulan madu kemarin dan ditambah sama ulah adik kamu yang satu itu." Meysa mengelus kepala menantunya dengan penuh kasih sayang.Mika mengangguk dengan senyuman. Perempuan itu pun mulai memejamkan mata untuk tidur karena dia benar-benar sudah merasa mengantuk.
Mika menatap rumah di depannya dengan penuh perasaan campur aduk. Sepertinya dia masih belum bisa menormalkan perasaannya akan kejutan dari Noval yang satu ini. Dia ... merasa sangat-sangat bahagia.Namun, dia juga merasa sedikit gugup. Rumah ini bukan sekadar bangunan bagi mereka, akan tetapi bisa juga disebut sebagai sebuah awal baru. Dia menoleh ke arah Noval yang berdiri di sampingnya."Kapan kita bisa menempati rumah ini?" tanyanya dengan mata berbinar-binar. Dia tampak bersemangat.Noval tersenyum lembut, menatap wajah istrinya yang penuh antusiasme. "Kapan saja kamu mau, kota bisa menempatinya. Semua sudah siap, tinggal kita bawa barang-barang yang masih tertinggal di rumah itu." Dia menunjuk ke rumah orang tua Mika."Atau tidak perlu membawa barang-barang dan kita beli semuanya saja yang baru," lanjut Noval memberi saran.Mika menggigit bibirnya, berpikir sejenak. Kemudian, sebuah ide melintas di benaknya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita mengadakan syukuran rumah baru? Kit
Olip yang baru saja ditampar oleh Ridwan pun langsung kabur kembali ke rumah orang tuanya. Dia datang dengan keadaan menangis dan langsung memeluk Bu Tuti."Ibu," panggilnya dengan menangis sesenggukan.Bu Tuti yang memang baru saja menyediakan kopi untuk suaminya, dan Pak Purnomo yang belum berangkat kerja pun terkejut melihat hal itu. "Ada apa, Lip?" tanya mereka.Olip masih sesenggukan. Dia pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi. "Kak Ridwan, Bu, Pak. Kak Ridwan.""Ada apa dengan Ridwan?" tanya Pak Purnomo. Melihat putrinya menangis seperti itu tiba-tiba saja perasaan khawatir menyeruak dalam dirinya.Apakah terjadi sesuatu pada menantunya itu?"Kak Ridwan, Pak. Dia menampar aku," ujar Olip kemudian. Tangisannya semakin menjadi saat mengisahkan bagaimana Ridwan menamparnya. Ia merasa diperlakukan dengan tidak adil, merasa tersakiti bukan hanya fisiknya, tetapi juga harga dirinya.Ekspresi terkejut terlihat di saja Bu Tuti. Perempuan itu menatap suaminya dengan bola mata mel
Pagi hari di rumah tangga Olip kembali dipenuhi kegaduhan. Suara bentakan dan amarah terdengar dari dalam kontrakan, menyebar ke seluruh sudut kontrakan. Ridwan berdiri di depan kasur lipat dengan ekspresi marah, tangannya terkepal di sisi tubuhnya."Olip! Aku sudah bangunkan kamu tadi, sudah kasih uang buat belanja! Kenapa kamu masih tidur dan belum buat sarapan?" suaranya menggelegar, memenuhi ruangan.Olip mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan yang baru saja menyambutnya di pagi hari. Dia menatap Ridwan dengan mata yang masih mengantuk, malas beranjak dari tempat tidur."Aku capek," jawabnya lirih. "Kenapa aku yang harus masak? Kenapa kamu nggak beli saja di luar kalau memang butuh sarapan?"Ridwan semakin tersulut amarahnya."Kamu istri, tugasmu ngurus rumah! Apa susahnya bangun lebih awal dan masak buat suami sendiri?"Olip memalingkan wajahnya, enggan terlibat lebih jauh dalam pertengkaran yang sudah menjadi rutinitas mereka. Namun, sikapnya itu justr
Ridwan melangkah keluar dari rumah orang tuanya dengan wajah masam. Suasana tegang masih terasa di dalam rumah, terutama setelah Pak Eko, ayahnya, mengusirnya tanpa basa-basi tepat setelah sarapan. Dengan napas panjang dan langkah tergesa dia menaiki motornya untuk pergi, Ridwan terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju kontrakannya.“Heran sama Bapak ini. Seperti nggak sayang sama anak sendiri. Anak ada masalah bukannya didukung malah diusir. Heran,” gumamnya sambil menarik gas dengan kencang dan lirih. Di kepalanya, percakapan panas dengan Pak Eko terus terngiang. Ridwan merasa diperlakukan tidak adil, seperti selalu menjadi kambing hitam dalam setiap masalah keluarga.Padahal dia yang salah memangSaat sampai di kontrakan, Ridwan mencoba membuka pintu, tetapi pintunya terkunci. Dia pun membuka dengan kunci cadangan. Namun, pandangannya langsung mengitari ruangan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Olip, istrinya. Rumah yang biasanya dipenuhi suara Olip kini terasa sunyi senyap. Ri
Mika berdiri tegak di depan Pak Purnomo dan Bu Tuti yang terlihat sangat terkejut. Suasana di ruang tamu itu begitu tegang, hanya terdengar desahan napas mereka yang berusaha menenangkan diri. Mika menatap keduanya dengan tatapan yang tajam, seolah-olah sedang menimbang sesuatu yang besar.“Jika kalian tidak mau masalah ini menjadi lebih buruk, kalian harus berhenti melakukan apa yang kalian lakukan pada saya dan rumah ini,” ujar Mika dengan suara yang datar namun penuh ancaman. "Jika tidak, maka aku benar-benar akan melaporkan kalian ke polisi atas tuduhan perampasan aset rumah mendiang ibu kandungku."Pak Purnomo terdiam sejenak, wajahnya berubah pucat. Bu Tuti, yang berada di sebelahnya, langsung menggenggam tangan suaminya dengan ketakutan. "Mika ... kamu pasti tidak serius, kan?" kata Bu Tuti, suaranya terdengar gemetar. "Kami sudah merawat kamu sejak kecil. Tega kamu melakukan ini? Kamu pasti tidak akan melaporkan kami, bukan?"Namun, Mika hanya tersenyum sinis. "Kalian mungkin
"Gimana? Kamu suka?" tanya Noval ketika dia baru saja mengantarkan Mika untuk melihat-lihat rumah baru mereka.Mika tersenyum, dia masih mengedarkan pandangan ke segala ruangan mengamati interior yang dipakai oleh Noval. Dia baru saja berkeliling melihat kamar, ruang tamu dan juga dapur.Mika menatap Noval lalu mengangguk bersemangat. "Suka. Terima kasih, ya," ucapnya tulus. Sebenarnya Mika merasa malu saat ini, tetapi juga merasa bahagia."Ada yang kurang menurut kamu?" Noval bertanya."Ha?" Mika segera menggeleng. "Tidak. Tidak ada kok. Semuanya bagus. Aku suka," ujar Mika."Syukurlah. Aku sengaja mengosongkan rumahnya karena aku ingin kamu yang mendesain perabotannya. Adil bukan? Aku yang mendesain rumahnya, kamu yang mengatur rumahnya." Nival menjelaskan."Boleh?" tanya Mika bersemangat.Nova menggeleng. "Tentu saja. Kenapa tidak? Ini, kan rumah kamu juga.""Terima kasih." Mika benar-benar terharu."Sebenarnya, dulu aku berniat bertanya sama kamu mengenai rumah yang kamu inginkan.
Menguap lebar, Ridwan baru saja terbangun dari tidurnya. Dia duduk lalu menggaruk kepalanya yang terasa gatal dan merembet pada ujung bibir."Udah pagi aja," ujarnya ketika dia lihat kilatan cahaya dari sela-sela lubang ganteng rumah.Ridwan mengelus perutnya yang rata. "Udah laper aja." Dia pun bangkit lalu keluar daru kamar.Mengedarkan pandangan dia tak mendapati siapa pun di sana. "Sepi banget nih rumah," ujarnya kemudian. Dia memasang ekspresi berpikir kemna orang-orang di duma ini mengingat ini hari minggu.Ya. Meskipun Ridwan tidak bekerja, dia masih bisa mengingat hari. Biasanya, kan orang yang tidak bekerja akan lupa hari karena merasa itu tidak penting. Mau hari libur atau Tidak, dia juga tetap tidak bekerja.Mengedikkan bahu, dia bersikap acuh. "Biarin lah. Lebih baik aku cari makan saja," ujarnya kemudian yang berjalan menuju meja makan.Pria itu membuka tudung saji dan melihat makanan sudah tersedia di sana. Ridwan tampak menjilat ludahnya sendiri merasa tidak sabar untuk
Bu Tuti terkejut dengan perkataan Mika. "Mak---Maksud kamu?" tanya Bu Tuti kemudian. Dia tampak gelisah.Sedangkan Mika masih menatap ibu tirinya lamat-lamat. "Iya. Ibu mau ngusir aku dari rumah aku sendiri?" Mika kembali mengulang pertanyaannya."Siapa yang bilang begitu?" Bu Tuti mengelak. Dia menggeleng pelan. "Ibu tidak mengusir kamu kok," ujarnya kemudian. Akan tetapi Bu Tuti tidak berani menatap Mika.Namun, beberapa detik kemudian dia kembali menatap putri tirinya itu. "Ibu itu hanya memberi saran sama kamu. Secara kamu, kan sejak lahir berpisah dari keluarga kandung kamu. Dan sekarang sudah bertemu. Apa salahnya kalau kamu tinggal bersama mereka? Bukankah itu lebih baik?""Terserah Mika dong mau tinggal di mana." Mika memberi jawaban yang membuat Bu Tuti kesal.Namun, Bu Tuti menahanya. "Kasihan, Mika nenek kamu. Dia Pasti ingin sekali tinggal sama kamu. Apa salahnya kamu memberi kebahagiaan untuk nenek kamu?""Pertama." Mika mengangkat satu jarinya. "Terserah Mika mau tinggal
"Sumpah. Ibu nggak pernah menyangka kalau keluarga kandung mendiang ayahnya Mika akan datang, Pak," ujar Bu Tuti dengan menggeleng pelan.Pasangan suami istri itu tengah duduk di ranjang kamar Olip sembari menjaga anak mereka yang masih belum sadarkan diri. Mereka menatap ke depan sembari memikirkan apa yang baru saja mereka lewati."Bapak juga, Bu," sambung Pak Purnomo. Pria itu menunpu dagu pada kepalan tangannya."Mengingat bagaimana hubungan mendiang orang tuanya Mika dulu, rasa-rasanya seperti mustahil kalau mereka akan memikirkan satu sama lain," lanjut Pak Purnomo."Ya, kan tapi dulu yang marah akan hubungan kedua orang tua Mika itu yang pria, Pak. Kita dengar sendiri tadi kalau dia sudah meninggal." Bu Tuti berujar dengan ingatannya akan pemicaraan Mika tadi."Bisa jadi, Bu. Neneknya juga, kan yang mencari. Apalagi neneknya tadi sedang sakit, bukan?"Dua orang itu mengangguk beberapa kali. Tiba-tiba saja Bu Tuti mengingat sesuatu. "Pak. Kira-kira Mika akan tinggal di rumah kel