Share

6. Cincin Pertunangan Olip

Apa pun yang didengar Mika di warung soto tadi pagi membuat perempuan itu menjadi kepikiran. Selama bekerja dia menjadi gelisah, rasanya dia merasa tidak tenang. Selain itu, ada rasa nyeri yang dia rasakan dalam dada ketika mendapati hal ini.

Sebuah senggolan membuat Mika tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Sintia yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu kenapa sih?" tanya Sintia.

"Dari pulang beli soto, kamu kebanyakan melamun loh. Malahan soto yang kamu beli buat sarapan nggak diabisin. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sintia sekali lagi.

"Ha?" Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Detik selanjutnya dia menggeleng. "Tidak. Tidak apa."

Sintia semakin merasa bingung, sikap Mika memang benar-benar terlihat aneh. "Mik. Kalau ada masalah bilang aja. Kamu biasanya juga cerita, kan?"

Mika tersenyum tipis. Dia kembali menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja, ya." Mika berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya sedang baik-baik saja.

"Atau kamu sakit? Kalau sakit kamu bisa pulang aja istirahat." Sintia memilih memberi saran daripada memaksanya untuk terus berbicara.

Mika termenung sesaat memikirkan tawaran Sintia. Namun, dia langsung menggeleng untuk menolaknya. "Tidak, Sin. Aku tidak apa." Mika memilih untuk langsung melayani pembeli. Dia akan menyibukkan diri untuk memberi pesanan mereka.

Mungkin, Mika bisa menerima tawaran Sintia untuk pulang dan dia akan menggunakan waktunya untuk mencari tahu mengenai kebenaran mengenai dirinya. Namun, itu tak terasa baik bagi Sintia mengingat akhir-akhir ini dia juga sering membiarkan sahabatnya itu menjaga toko sendirian karena masalah yang dia alami.

"Terima kasih. Jangan lupa datang lagi, ya." Mika menatap senang salah satu pelanggannya yang baru saja pergi dengan beberapa dus barang yang dibeli dari tokonya.

Toko Mika dan Sintia memang merupakan toko klontong yang bisa disebut juga seorang agen. Bisa melayani pembelian berjumlah besar.

Tiba-tiba saja sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Mika menoleh dan melihat Sintia yang ada di sana. "Aku tahu kamu ada masalah, Mika. Yang harus kamu tahu, aku selalu ada di sini," ujar Sintia kemudian.

Mika tersenyum. Dia mengangguk mengerti. Sebuah kegaduhan membuat mereka mengalihkan pandangan. Terlihat seorang ibu-ibu yang tengah mengambil beberapa belanjaannya yang terjatuh. Juga Seorang perempuan yang tengah marah-marah.

Mika segera mendekati ibu-ibu itu dan membantunya mengambil belanjaan yang tercecer. "Ibu nggak papa?" tanya Mika khawatir. Mika menatap takjup sosok perempuan di hadapannya. Meski hanya memakai daster, wajahnya tampak cantik dan bersih.

Perempuan dengan daster itu tersenyum lalu menggeleng. "Tidak apa-apa, Nak." Dia melanjutkan aktivitasnya dengan bantuan Mika.

"Makanya hati-hati dong kalau jalan. Bikin susah orang aja." Suara memaki itu terdengar kembali.

Gerakan tangan Mika terhenti kala dia mendengar suara itu. Mika seperti mengenali suaranya. Dia pun mendongak dan melihat sosok perempuan yang tengah membersihkan pakaiannya. Mika mendengus kala dugaannya benar.

Mika menyelesaikan kegiatannya lalu membantu ibu-ibu tadi berdiri. "Terima kasih ya, Nak."

Mika mengangguk dengan senyuman. "Iya, Bu. Hati-hati, ya."

"Eh? Ada kakak tercinta rupanya. Ngapain, Kak?" Ya. Seseorang yang bertabrakan dengan ibu-ibu tadi adalah Olip. Adik Mika.

Mika mendengus malas. "Nggak heran kalau ada kamu dalam kegaduhan," ujar Mika kemudian. 

Olip malah tertawa. "Aduh. Segitu perhatiannya sama Adek sendiri sampai hapal." Perempuan itu mengibaskan rambutnya yang terurai.

"Lebih baik kamu pergi deh dari sini daripada buat kegaduhan." Mika mengibaskan tangan mengusir Olip.

Olip malah tertawa kembali. "Kak Mika mau tahu nggak aku ngapain di sini?" tanya Olip kemudian.

"Bukan urusan aku dan aku tidak peduli," jawab Mika santai.

"Baiklah. Aku akan kasih tahu saja. Aku, ke sini sama Kak Ridwan. Kita ke toko emas. Mau beli cincin untuk pertunangan kami loh."

Mika memutar bola matanya malas. Dia memilih untuk mengalihkan pandangan pada ibu-ibu di sampingnya yang dia bantu tadi. "Ibu perlu di antar ke depan mencari kendaraan umum?"

Ibu-ibu tadi menggeleng. "Tidak. Anak saya sudah jemput kok di depan," ujarnya kemudian.

"Kak. Jangan pura-pura nggak dengar, ya." Olip kembali berujar.

Sintia yang melihat itu dari kejauhan merasa gemas. Dia pun memutuskan untuk ikut andil dalam kegaduhan itu. "Eh, ada orang yang suka nyuri," ujar Sintia kemudian dengan senyum miring yang tercetak di bibirnya.

"Maksudnya?" tanya Olip yang merasa bingung.

"Iya. Pencuri. Kau, kan suka mencuri apa yang dimiliki Mika. Mulai dari tas, sandal, alat makeup, makanan, bahkan pacar pun kau curi juga," ujar Sintia menjelaskan. Di akhir kalimat mencuri pacar, di saat yang sama Ridwan datang sehingga pria itu pun mendengarnya juga.

Tampak Mika dan ibu-ibu tadi memerhatikan keduanya.

"Apa maksudmu?" tanya Olip yang emosinya sudah terpancing dengan kata-kata Sintia.

Sintia mengibaskan tangan di depan wajah dengan malas. Dia menatap Ridwan dengan tatapan sinis. "Sampah, sepatutnya memang berada di tempat sampah." Sintia berujar dengan menunjuk ke arah Ridwan dan Olip secara bergantian.

"Kau." Sintia menunjuk Ridwan. "Bawa pacar gilamu ini pergi dari sini," ujarnya dengan gerakan mengusir.

Sintia langsung meraih lengan Mika. "Yuk kita balik ke toko. Lebih baik kerja daripada melayani orang-orang gila ini." Dia berujar dengan menunjuk ke arah Olip. Keduanya langsung berbalik setelah berpamitan pada ibu-ibu tadi.

Olip yang merasa sangat kesal ingin sekali mendatangi Sintia dan menjambak rambutnya. Namun, Ridwan lebih dulu menghalanginya dan menariknya pulang.

"Ayo pulang. Jangan buat masalah." Ridwan sedikit kesusahan menarik tangan Olip yang terus ingin mendatangi Sintia.

***

Sepulang dari bekerja, Mika tak langsung pulang ke rumah. Perempuan itu memilih untuk mendatangi kediaman Bu Ane karena dia masih merasa penasaran dengan apa yang dia dengar pagi tadi. Mika ingin tahu yang sejelas-jelasnya.

Mika mengetuk pintu berwarna cokelat di hadapannya. Dia mendengar suara dari dalam dan memilih untuk menunggu. Tak lama,  pintu di hadapannya pun terbuka, menampilkan sosok perempuan si pemilik rumah yang tadi pagi dia temui di warung soto pasar.

"Eh Mika? Ayo masuk-masuk." Bu Ane membuka pintu lebih lebar. Dia mempersilakan Mika untuk masuk.

Mika mengangguk. "Terima kasih, Bu." Dia pun memasuki kediaman Bu Ane lalu duduk di ruang tamu.

"Mau minum apa? Ibu buatin dulu, ya." Bu Ane bangkit dari tempat duduknya. Namun, Mika lebih dulu menahan Bu Ane.

"Tidak perlu, Bu. Mika di sini hanya ingin bertanya saja," ujar Mika kemudian.

Kini wajah Bu Ane menunjukkan kebingungan. Dia kembali duduk. "Mika mau tanya apa?"

"Em ... saya tadi tidak sengaja mendengar percakapan Ibu dengan ibu penjual soto. Apa benar kalau Mika ini bukan anak Ibu sama Bapak?" tanya Mika kemudian.

Bola mata Bu Ane melotot seketika. "Ha?" Detik selanjutnya dia tertawa. "Kamu salah dengar kali." Dia mengibaskan tangan di depan wajah.

Mika menggeleng. "Tidak, Bu. Mika mendengar jelas ucapan Ibu tadi."

Bu Ane terus tertawa. "Mana ada ibu bilang gitu? Kamu salah dengar pasti." Dia mencoba mengelak.

Mika membuka bibir, ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi Bu Ane lebih dulu mencegahnya. "Ah, Mika. Maaf, ya. Ibu ada urusan. Ibu lupa tadi. Jadi, mohon maaf sampai sini saja bertamunya."

Bu Ane bangkit dari duduknya. Dia menarik tangan Mika pelan dan meminta perempuan itu untuk keluar dari rumahnya. "Maaf ya, Nak Mika. Maaf sekali."

"Tapi, Bu. Mika mau tahu, Bu. Mika mau tahu kebenarannya."

"Lain kali aja ya bertamunya lagi. Oke. Maaf sekali." Bu Ane terus mencoba untuk membuat Mika keluar dari rumahnya. Dua perempuan itu tampak saling mempertahankan keputusan.

Sampai akhirnya Bu Ane hampir menutup pintu, Mika memberanikan diri untuk menahannya. "Mika mohon, Bu. Tolong," ujarnya dengan suara parau dan wajah memelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status