Apa pun yang didengar Mika di warung soto tadi pagi membuat perempuan itu menjadi kepikiran. Selama bekerja dia menjadi gelisah, rasanya dia merasa tidak tenang. Selain itu, ada rasa nyeri yang dia rasakan dalam dada ketika mendapati hal ini.
Sebuah senggolan membuat Mika tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Sintia yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu kenapa sih?" tanya Sintia. "Dari pulang beli soto, kamu kebanyakan melamun loh. Malahan soto yang kamu beli buat sarapan nggak diabisin. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sintia sekali lagi. "Ha?" Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Detik selanjutnya dia menggeleng. "Tidak. Tidak apa." Sintia semakin merasa bingung, sikap Mika memang benar-benar terlihat aneh. "Mik. Kalau ada masalah bilang aja. Kamu biasanya juga cerita, kan?" Mika tersenyum tipis. Dia kembali menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja, ya." Mika berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya sedang baik-baik saja. "Atau kamu sakit? Kalau sakit kamu bisa pulang aja istirahat." Sintia memilih memberi saran daripada memaksanya untuk terus berbicara. Mika termenung sesaat memikirkan tawaran Sintia. Namun, dia langsung menggeleng untuk menolaknya. "Tidak, Sin. Aku tidak apa." Mika memilih untuk langsung melayani pembeli. Dia akan menyibukkan diri untuk memberi pesanan mereka. Mungkin, Mika bisa menerima tawaran Sintia untuk pulang dan dia akan menggunakan waktunya untuk mencari tahu mengenai kebenaran mengenai dirinya. Namun, itu tak terasa baik bagi Sintia mengingat akhir-akhir ini dia juga sering membiarkan sahabatnya itu menjaga toko sendirian karena masalah yang dia alami. "Terima kasih. Jangan lupa datang lagi, ya." Mika menatap senang salah satu pelanggannya yang baru saja pergi dengan beberapa dus barang yang dibeli dari tokonya. Toko Mika dan Sintia memang merupakan toko klontong yang bisa disebut juga seorang agen. Bisa melayani pembelian berjumlah besar. Tiba-tiba saja sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Mika menoleh dan melihat Sintia yang ada di sana. "Aku tahu kamu ada masalah, Mika. Yang harus kamu tahu, aku selalu ada di sini," ujar Sintia kemudian. Mika tersenyum. Dia mengangguk mengerti. Sebuah kegaduhan membuat mereka mengalihkan pandangan. Terlihat seorang ibu-ibu yang tengah mengambil beberapa belanjaannya yang terjatuh. Juga Seorang perempuan yang tengah marah-marah. Mika segera mendekati ibu-ibu itu dan membantunya mengambil belanjaan yang tercecer. "Ibu nggak papa?" tanya Mika khawatir. Mika menatap takjup sosok perempuan di hadapannya. Meski hanya memakai daster, wajahnya tampak cantik dan bersih. Perempuan dengan daster itu tersenyum lalu menggeleng. "Tidak apa-apa, Nak." Dia melanjutkan aktivitasnya dengan bantuan Mika. "Makanya hati-hati dong kalau jalan. Bikin susah orang aja." Suara memaki itu terdengar kembali. Gerakan tangan Mika terhenti kala dia mendengar suara itu. Mika seperti mengenali suaranya. Dia pun mendongak dan melihat sosok perempuan yang tengah membersihkan pakaiannya. Mika mendengus kala dugaannya benar. Mika menyelesaikan kegiatannya lalu membantu ibu-ibu tadi berdiri. "Terima kasih ya, Nak." Mika mengangguk dengan senyuman. "Iya, Bu. Hati-hati, ya." "Eh? Ada kakak tercinta rupanya. Ngapain, Kak?" Ya. Seseorang yang bertabrakan dengan ibu-ibu tadi adalah Olip. Adik Mika. Mika mendengus malas. "Nggak heran kalau ada kamu dalam kegaduhan," ujar Mika kemudian. Olip malah tertawa. "Aduh. Segitu perhatiannya sama Adek sendiri sampai hapal." Perempuan itu mengibaskan rambutnya yang terurai. "Lebih baik kamu pergi deh dari sini daripada buat kegaduhan." Mika mengibaskan tangan mengusir Olip. Olip malah tertawa kembali. "Kak Mika mau tahu nggak aku ngapain di sini?" tanya Olip kemudian. "Bukan urusan aku dan aku tidak peduli," jawab Mika santai. "Baiklah. Aku akan kasih tahu saja. Aku, ke sini sama Kak Ridwan. Kita ke toko emas. Mau beli cincin untuk pertunangan kami loh." Mika memutar bola matanya malas. Dia memilih untuk mengalihkan pandangan pada ibu-ibu di sampingnya yang dia bantu tadi. "Ibu perlu di antar ke depan mencari kendaraan umum?" Ibu-ibu tadi menggeleng. "Tidak. Anak saya sudah jemput kok di depan," ujarnya kemudian. "Kak. Jangan pura-pura nggak dengar, ya." Olip kembali berujar. Sintia yang melihat itu dari kejauhan merasa gemas. Dia pun memutuskan untuk ikut andil dalam kegaduhan itu. "Eh, ada orang yang suka nyuri," ujar Sintia kemudian dengan senyum miring yang tercetak di bibirnya. "Maksudnya?" tanya Olip yang merasa bingung. "Iya. Pencuri. Kau, kan suka mencuri apa yang dimiliki Mika. Mulai dari tas, sandal, alat makeup, makanan, bahkan pacar pun kau curi juga," ujar Sintia menjelaskan. Di akhir kalimat mencuri pacar, di saat yang sama Ridwan datang sehingga pria itu pun mendengarnya juga. Tampak Mika dan ibu-ibu tadi memerhatikan keduanya. "Apa maksudmu?" tanya Olip yang emosinya sudah terpancing dengan kata-kata Sintia. Sintia mengibaskan tangan di depan wajah dengan malas. Dia menatap Ridwan dengan tatapan sinis. "Sampah, sepatutnya memang berada di tempat sampah." Sintia berujar dengan menunjuk ke arah Ridwan dan Olip secara bergantian. "Kau." Sintia menunjuk Ridwan. "Bawa pacar gilamu ini pergi dari sini," ujarnya dengan gerakan mengusir. Sintia langsung meraih lengan Mika. "Yuk kita balik ke toko. Lebih baik kerja daripada melayani orang-orang gila ini." Dia berujar dengan menunjuk ke arah Olip. Keduanya langsung berbalik setelah berpamitan pada ibu-ibu tadi. Olip yang merasa sangat kesal ingin sekali mendatangi Sintia dan menjambak rambutnya. Namun, Ridwan lebih dulu menghalanginya dan menariknya pulang. "Ayo pulang. Jangan buat masalah." Ridwan sedikit kesusahan menarik tangan Olip yang terus ingin mendatangi Sintia. *** Sepulang dari bekerja, Mika tak langsung pulang ke rumah. Perempuan itu memilih untuk mendatangi kediaman Bu Ane karena dia masih merasa penasaran dengan apa yang dia dengar pagi tadi. Mika ingin tahu yang sejelas-jelasnya. Mika mengetuk pintu berwarna cokelat di hadapannya. Dia mendengar suara dari dalam dan memilih untuk menunggu. Tak lama, pintu di hadapannya pun terbuka, menampilkan sosok perempuan si pemilik rumah yang tadi pagi dia temui di warung soto pasar. "Eh Mika? Ayo masuk-masuk." Bu Ane membuka pintu lebih lebar. Dia mempersilakan Mika untuk masuk. Mika mengangguk. "Terima kasih, Bu." Dia pun memasuki kediaman Bu Ane lalu duduk di ruang tamu. "Mau minum apa? Ibu buatin dulu, ya." Bu Ane bangkit dari tempat duduknya. Namun, Mika lebih dulu menahan Bu Ane. "Tidak perlu, Bu. Mika di sini hanya ingin bertanya saja," ujar Mika kemudian. Kini wajah Bu Ane menunjukkan kebingungan. Dia kembali duduk. "Mika mau tanya apa?" "Em ... saya tadi tidak sengaja mendengar percakapan Ibu dengan ibu penjual soto. Apa benar kalau Mika ini bukan anak Ibu sama Bapak?" tanya Mika kemudian. Bola mata Bu Ane melotot seketika. "Ha?" Detik selanjutnya dia tertawa. "Kamu salah dengar kali." Dia mengibaskan tangan di depan wajah. Mika menggeleng. "Tidak, Bu. Mika mendengar jelas ucapan Ibu tadi." Bu Ane terus tertawa. "Mana ada ibu bilang gitu? Kamu salah dengar pasti." Dia mencoba mengelak. Mika membuka bibir, ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi Bu Ane lebih dulu mencegahnya. "Ah, Mika. Maaf, ya. Ibu ada urusan. Ibu lupa tadi. Jadi, mohon maaf sampai sini saja bertamunya." Bu Ane bangkit dari duduknya. Dia menarik tangan Mika pelan dan meminta perempuan itu untuk keluar dari rumahnya. "Maaf ya, Nak Mika. Maaf sekali." "Tapi, Bu. Mika mau tahu, Bu. Mika mau tahu kebenarannya." "Lain kali aja ya bertamunya lagi. Oke. Maaf sekali." Bu Ane terus mencoba untuk membuat Mika keluar dari rumahnya. Dua perempuan itu tampak saling mempertahankan keputusan. Sampai akhirnya Bu Ane hampir menutup pintu, Mika memberanikan diri untuk menahannya. "Mika mohon, Bu. Tolong," ujarnya dengan suara parau dan wajah memelas.Mika menatap Bu Ane dengan memohon, dia menunjukkan ekspresi penuh harap akan suatu hal yang ingin dia ketahui. ''Saya mohon, Bu.''Bu Ane yang melihat ekspresi Mika seperti itu lama-lama merasa iba dan kasihan juga. Tangan Bu Ane yang sebelumnya mendorong pintu agar tertutup kini melemah. Bu Ane menarik napas dalam lalu membuka kembali pintu di hadapannya. Dia mempersilakan Mika untuk masuk kembali.Keduanya duduk saling berhadapan dengan Bu Ane yang tidak berani menatap ke arah Mika. Sedang Mika sendiri menunggu Bu Ane berbicara. "Mika ingin tahu yang sebenarnya, Bu. Sejujurnya Mika ini merasa tertekan. Selama ini sikap Bapak sama Ibu selalu tampak berbeda jika pada Mika dan Olip. Terlihat jelas kalau mereka lebih sayang pada Olip dari pada sama Mika. Mereka selalu memprioritaskan Olip dari Mika. Mika juga ingin merasakan disayang dan dicintai oleh kedua orang tua Mika, tapi selama ini mereka tidak memberikan itu pada Mika."Tiba-tiba saja Bu Ane merasa iba mendengar ucapan dari Mik
Mika menganga mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya barusan. Bola mata perempuan itu mengerjap beberapa kali dengan mencoba untuk mencerna apa yang baru saja didengar. Detik kemudian, Mika tertawa cukup keras menyadari hal yang dia anggap lucu ini.Baik Bu Titi, Olip dan Ridwan saling tatap dengan kebingungan. "Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Bu Tuti dengan kedua alis yang menyatu.Mika mencoba menghentikan tawanya. Dia menatap satu persatu tiga orang yang ada di hadapannya. Mika menggeleng. "Lucu aja, Bu.""Apanya yang lucu?" Bu Tuti semakin menatap Mika dengan kerutan di kening, merasa aneh dengan Mika.Mika mengangguk beberapa kali. Perempuan itu berdehem. "Ya aneh saja, Bu. Yang mau nikah siapa, yang harus ngeluarin uang siapa? Kan lucu." Mika kembali tertawa.Bu Tuti menatap Mika tidak suka. "Ya anggap saja kamu sedang membantu adik kamu. Gimana sih?"Mika menghela napas dalam. "Bu. Yang namanya membantu itu ya seikhlas hati, sukarela yang memberi. Bukan ditarget seperti ini,
Mika yang ada di luar pun langsung menoleh kembali ke arah kamar orang tuanya. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. Kedua tangannya mengepal karena tiba-tiba timbul perasaan marah dalam dirinya."Gimana bisa, Bu? Rumah ini, kan atas nama Mika. Ya pastinya kalau kita menggadaikan rumah ini harus dalam persetujuan dari Mika," ujar Pak Purnomo kemudian.Bu Tuti diam kembali. Akan tetapi perempuan itu jelas tidak ingin terima begitu saja. Dia berpikir dengan giat di balik benak sana. "Ah. Gimana kalau kita gadaikan rumahnya ke Pak Narto saja? Kita nggak perlu ribet di sana. Cuma perlu kasih KTP aja udah. Kita minta aja Foto kopi KTP Mika lalu kasihkan sama Pak Narto. Dapat deh kita.""Lah terus caranya dapetin foto kopi KTP Mika bagaimana caranya?" Pak Purnomo bertanya."Gampang mah, Pak. Kita tinggal bilang aja kalau Olip membutuhkan KTP kakaknya untuk mengurus rencana pernikahan. Gitu aja kan bisa. Gimana, Pak? Kamu setuju nggak?" tanya Bu Tuti yang merayu suaminya.Pak Purno
Mika terkejut dengan suara teriakan dari ibu tirinya. Perempuan itu kini tampak panik karena takut ketahuan akan keberadaannya divsini. Dia tidak mau kalau ibu tirinya sampai tahu dia mencari sertifikat rumah ini. Mika mengedarkan pandangan, memikirkan bagaimana ibunya itu tidak akan tahu kalau dia berada di sini.Pandangan Mika jatuh pada kolong tempat tidur kedua orang tuanya. Dia pun langsung memasuki kolong itu setelah membereskan figura sebelumnya. Dia berdiam diri sembari memeluk sertifikat rumah ini.Sedang di luar sana, tampak Bu Tuti dan Olip yang terus mencari keberadaan Mika. Mereka tampak kesal karena panggilan sejak tadi tak ada jawaban sama sekali."Ke mana sih anak itu?" Bu Tuti membuka pintu kamar Mika dan tak melihat keberadaan Mika di sana. Dia segera menutupnya kembali."Ada, Bu?" tanya Olip. Dia melihat ibunya itu yang menggeleng. "Sepertinya dia sedang main-main keluar, Bu."Mendengar hal itu malah membuat Bu Tuti merasa kesal. "Dasar. Anak nggak tahu diri. Bukann
Sesuai yang direncanakan kemarin, Mika akan menitipkan sertifikat rumahnya pada Bu Ane. Perempuan itu memasukkannya ke dalam tas sebelum berangkat ke toko. Setelahnya dia memilih untuk langsung berpamitan tanpa ikut sarapan."Kamu nggak makan dulu, Mika?" tanya Pak Purnomo ketika Mika menyalami tangan pria itu. Meski Mika tahu kebenarannya, dia tetap melakukan hal demikian untuk sekedar menghormati keduanya.Mika menggeleng ketika selesai menyalami tangan Bu Tuti meski dengan adegan tarikan tangan dari Bu Tuti yang sangat cepat. "Tidak usah, Pak. Biar Mika beli sendiri di pasar nanti," ujar perempuan itu yang langsung pergi meninggalkan rumahnya."Bapak ini ngapain juga nawarin makan buat dia. Nggak usah dipikirin sih anak itu." Bu Tuti mengambilkan makanan untuk sang suami. Sedangkan Pak Purnomo hanya mengembuskan napas kasar."Iya nih, Bapak. Kakak toh juga nggak bisa bantu kita apa-apa," ujar Olip yang ikut mengambil lauk.Pak Purnomo melirik putrinya. "Lupa kamu kalau yang kamu ma
Mika terkejut ketika baru sampai dia mendapat tamparan dariibunya. Rasa panas mulai menjalar di pipinya sehingga membuat Mika harusmengelusnya untuk menetralisir sedikit rasa panas itu.Mika langsung mengalihkan pandangan ke arah sang ibu denganbola mata melotot. "Ada apa, Bu?" Kenapa Ibu tampar Mika?" tanyaMika dengan suara bernada tinggi.Sedangkan Pak Purnomo pun masih terkejut dengan apa yangbaru saja dilakukan oleh istrinya itu. "Bu. Apa yang kamu lakukan?"tanyanya dengan membentak.Bu Tuti menatap suaminya dengan tajam. "Bapak belaindia?" tanyanya dengan menunjuk ke arah Mika."Membela apa maksud Ibu? Lah Ibu sendiri saja kenapatiba-tiba menampar Mika seperti itu?" tanyanya dengan sedikit menaikkannada bicaranya."Gimana ibu nggak menampar dia kalau dia sudah beranimencuri?" Bu Tuti benar-benar tidak mau mengalah.Ternyata, di saat yang sama, Olip dan Ridwan baru sajasampai. Mereka yang mendengar kegaduhan itu pun langsung ikut masuk ke rumahdan mencari asal suara kegaduhan itu.
"Berikan Kak Ridwan padaku, Kak." Mika yang mendengar ucapan adiknya yang santai itu melotot seketika. Ditatapnya Olip, sang adik, yang tampak sibuk dengan kuku-kuku jarinya. Mengagumi mereka yang baru saja mendapatkan perawatan."Kamu ngomong apa tadi?'' Mika memastikan apa yang baru saja dia dengar."Aku yakin Kak Mika mendengar dengan jelas,” balas Olip tenang. “Aku ingin Kak Mika memberikan Kak Ridwan untuk aku." "Gila kamu?" tanya Mika kemudian. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. "Yang kamu minta barusan itu orang loh, Lip. Pacar kakak. Bukan makanan.”Olip hanya mengedikkan bahunya tak acuh. "Aku hanya merasa kalau Kak Ridwan itu lebih pantas untuk aku ketimbang Kakak,” ucap Olip kemudian. “Makanya aku minta Kakak putus saja sama dia dan berikan dia padaku."Mika menunjukkan ekspresi tidak paham. Satu alisnya menukik naik."Dari mana kamu bisa mengatakan hal itu?" tanya gadis itu.Bagian mananya yang tidak pantas antara dirinya dan sang pacar? Olip mengembuskan napas
"A-ah–pelan-pelan, Kak Ridwan–" Tubuh Mika membeku. Suara familier yang disertai desahan itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.Tidak … tidak mungkin–“Ah! Ya–umh, lebih cepat, Kak ….”Suara itu kembali terdengar. Mika mendekati sumber suara, sebuah pintu di mana dia tahu itu adalah kamar sang kekasih. Logikanya sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam, tapi hatinya menolak untuk percaya.Hingga perlahan, tangannya bergerak pelan meraih handle pintu lalu membukanya. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kekasihnya bergerak liar di atas tubuh sang adik tanpa memakai busana apa pun. Tanpa terasa air asin sudah jatuh membasahi pipi."Jadi ini kelakuan kalian di belakangku?'' ucap Mika kemudian dengan suara tertahan, tapi cukup keras untuk bisa didengar. Wajahnya sudah basah dengan air mata.Ridwan dan Olip yang mendengar itu pun terkejut. Ridwan langsung melepaskan penyatuannya dengan Olip dan bangkit. "Mi---Mika." Suara Ridwan terbata. Pandangannya mengedar dan l