Suara kokok ayam membangunkan Mika dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk dibuka. Mika menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia ingat kalau semalam dia harus tidur sangat larut karena harus menangisi keputusan Ridwan yang ingin menikahi adiknya.
Sebenarnya, tidak harus dia menangisi pria itu. Apalagi kejadiannya sudah berlalu sejak beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja apa yang dilakukan mantan kekasihnya itu membuat dia kecewa dan terluka. Mika memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Perempuan itu bangun dalam keadaan kacau. Dia bangkit dan menatap cermin sejenak. Mika meneliti wajahnya yang terlihat jelas sembab dan matanya yang merah. Dia mengembuskan napas kasar. Kalau seprti ini tidak bisa dia sembunyikan. Mika memilih untuk langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke toko. Tak memerlukan waktu lama karena rasanya Mika malas melakukan hal apa pun. Mika keluar dan berniat langsung menuju meja makan. Satu hal yang baru Mika sadari. Kenapa ibunya tidak berteriak memanggil dirinya seperti hari-hari sebelumnya? Padahal, biasanya ibunya itu akan menggedor kamar Mika kalau Mika tak cepat bangun. "Aneh. Biasanya Ibu marah kalau aku terlambat bangun. Terus menggedor pintu dan nyuruh aku cepet masak," ujar Mika dengan bingung. Perempuan itu pun mengedikkan bahu dan melanjutkan langkah menuju meja makan. Suara obrolan dan tawa terdengar bahkan sebelum Mika sampai di meja makan. Saat dia berdiri di ambang pintu, Mika sedikit terkejut dengan keberadaan Ridwan disana. Untuk apa pria itu di sini pagi-pagi seperti ini? Malas rasanya Mika ikut makan. Namun, ucapan ibunya membuat dia menjadi pusat perhatian saat ini. "Mika-Mika. Anak perawan kok baru bangun. Kamu ini gimana sih?" Bu Tuti tampak menggeleng dengan helaan napas dalam. "Ya begitu tuh Mika Nak Ridwan." Mika mengernyitkan kening akan ucapan ibunya barusan. "Begitu kenapa, Bu?"tanya Mika yang langsung mendekati meja makan. "Bangunnya telat," jawab Bu Tuti. Dia memberikan piring berisi nasi kepada suaminya. Mika semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu. Ini baru pertama dia terlambat dan tidak bangun pagi sebab ibunya tidak berteriak membangunkannya. Baru saja dia membuka bibir untuk menyangkal ucapan ibunya, tiba-tiba Olip lebih dulu berbicara. "Makanya kalau bangun itu yang pagi, Kak. Mana mau pria nikah sama perempuan pemalas. Tuh Kak Ridwan jadi lari deh." Dia memegang tangan Ridwan dan melempar senyum. Mika terkekeh sinis. "Apa? Lari? Perasaan elo deh yang godain pacar gue sampai kucing garong ini kepincut sama ikan asinnya?" tanya Mika dengan mengejek dua pasangan gila itu. Sungguh. Kalau seperti ini jadinya Mika merasa menyesal karena beberapa hari ini menangisi Ridwan semalaman. Bola mata Olip melotot seketika. "Heh! Mulut lo---" "Apa?" tanya Mika dengan cepat. Bahkan perempuan itu mengangkat dagunya dan membalas tatapan tajam Olip. "Sudah-sudah. Ini di meja makan." Pak Purnomo melerai pertengkaran kedua putrinya. "Iya nih. Kamu tuh memang tidak bisa menjaga kenyamanan banget sih, Mik. Udah tahu di meja makan. Masih aja rusuh." Bu Tuti kembali menyalahkan Mika. Mika semakin tak habis pikir dengan orang-orang di sini. Dia menggeleng dengan senyum miris. "Ibu ini aneh deh. Perasaan kalau aku telat dikit Ibu bakalan mencak-mencak gedor-gedor kamar aku buat aku masak. Tapi hari ini enggak." "Ya capek, Mik kalau tiap hari bangunin kamu. Kamu udah besar ini masa mau dibangunin terus sih?" Bu Tuti mulai duduk dan ikut menikmati makannya. Mika semakin melotot. "Tiap hari? Tiap hari masak maksud Ibu? Dan anak manja Ibu ini tidur seenaknya gitu? Nggak pernah bantuin pekerjaan rumah gitu?" "Heh. Jangan sembarangan, ya. Fitnah aja. Kamu tuh yang nggak pernah bangun pagi untuk bantuin Ibu masak," ujar Olip yang membantah apa yang dituduhkan oleh Mika. Mika mengernyitkan kening sampai akhirnya dia mulai paham kalau semua anggota keluarganya ini ingin dirinya terlihat jelek di mata Ridwan. "Nggak nyangka, ya. Cuma karena ingin aku terlihat buruk di hadapan pria gila ini kalian mengarang cerita?" Dia menunjuk ke arah Ridwan yang melotot. Mika menggeleng dengan tatapan kecewa, terutama pada sosok bapaknya yang hanya diam saja seolah membenarkan apa yang ibu dan adiknya lakukan. "Sikap kalian nggak lebih dari binatang," ujar Mika yang sudah kepalang marah. Perempuan itu pun langsung membalikkan badan dan pergi dari tempat itu. Tak peduli suara teriakan dari ibunya dan juga Olip, yang ingin Mika lakukan adalah segera pergi dari rumah ini. *** "Kenapa kamu nggak cari kosan aja, Mik? Atau nggak sama aku aja. Daripada kamu stres lama-lama tinggal di rumah," ujar Sintia memberi saran ketika Mika mencurhatkan semua kejadian di rumah pada dirinya. Mika menatap sendu sahabatnya. "Apa iya aku harus melakukan hal itu?" tanyanya dengan ragu. Dalam hati dia memikirkan hal ini dan merasa apa hal itu tidak akan membuat hubungan dirinya dan keluarganya menjadi putus? "Ya daripada kamu digituin terus sama keluarga kamu. Heran. Anak sendiri dari dulu nggak pernah dapat perlakuan baik. Kayak anak tiri aja," ujar Sintia menggerutu. JantungMika sempat terpaku sejenak kala mendengar ucapan Sintia. Dia pun mengibaskan tangan mengenyahkan pikirannya yang terasa aneh. "Sudahlah. Aku mau cari sarapan dulu. Aku belum sarapan tadi di rumah." "Yaudah sana." Sintia bangkit kala melihat pelanggan datang. "Kamu nggak papa aku tinggal? Atau kamu mau nitip?" tanya Mika menawarkan. Tampak Sintia yang menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah makan. Udah sana biar aku yang urus ini dulu." Mika mengangguk. Dia pun segera berlalu dan mencari makanan untuk sarapan. Pilihannya jatuh pada soto ayam yang baunya sudah menggugah selera. "Bu. Soto." Mika mengangkat satu jari telunjuknya. "Iya, Mik." Sesama pedagang di pasar, penjual soto pun mengenal Mika. Seseorang memasuki warung. Seorang ibu-ibu yang juga membeli soto. Ternyata Mika mengenalnya. "Bu Ane." Mika menyapa. Bu Ane pun tersenyum ke arah Mika. "Mika? Beli soto?" Mika menganguk. "Iya, Bu. Ibu juga?" Bu Ane mengangguk. "Oh iya, Mik. Katanya adik kamu mau tunangan sama Ridwan, ya?" tanya Bu Ane. Mika tak menyangka kalau dia akan mendapatkan pertanyaan seperti ini. Dia pun akhirnya mengangguk. "Iya, Bu." "Eh. Kok bisa sih Olip mau nikah sama Ridwan? Ridwan, kan pacar kamu." Bu Ane menatap Mika dengan ekspresi penuh keingintahuan. "Ya namanya mereka saling mencintai." Mau dijawab apa memangnya selain itu. Mika masih sibuk menata hati di dalam sana. "Orang tua kamu setuju, Mik?" Kali ini ibu penjual soto yang bertanya. Mika pun langsung mengangguk. "Kamu nggak papa, Mik?" Bu Ane bertanya khawatir. "Nggak papa, Bu. Mungkin emang belum jodohnya." Mika menjawab dengan kalimat yang aman. "Ini, Mik sotonya." Mika menerima soto yang dia pesan. Dia juga membayar dan menerima kembaliannya. "Permisi, Bu." Mika keluar warung. Sebelum itu dia menyempatkan diri untuk menghitung kembaliannya dengan langkah pelan. Takut kebanyakan atau kurang biar dia bisa langsung komplain. "Tega sekali sih kelurganya, Bu." Mika mendengar suara pemilik warung. "Ya namanya bukan anak sendiri, Bu. Ya pasti dibedainlah. Sudah. Mana soto saya." Sontak saja kalimat itu membuat tubuh Mika terpaku di tempat. Tangannya yang memegang uang bergetar karena rasa terkejut yang dia alami. "Bukan anaknya?" bisik Mika.Apa pun yang didengar Mika di warung soto tadi pagi membuat perempuan itu menjadi kepikiran. Selama bekerja dia menjadi gelisah, rasanya dia merasa tidak tenang. Selain itu, ada rasa nyeri yang dia rasakan dalam dada ketika mendapati hal ini.Sebuah senggolan membuat Mika tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan melihat Sintia yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Kamu kenapa sih?" tanya Sintia."Dari pulang beli soto, kamu kebanyakan melamun loh. Malahan soto yang kamu beli buat sarapan nggak diabisin. Ada apa sih sebenarnya?" tanya Sintia sekali lagi."Ha?" Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Detik selanjutnya dia menggeleng. "Tidak. Tidak apa."Sintia semakin merasa bingung, sikap Mika memang benar-benar terlihat aneh. "Mik. Kalau ada masalah bilang aja. Kamu biasanya juga cerita, kan?"Mika tersenyum tipis. Dia kembali menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok. Kamu tenang aja, ya." Mika berusaha untuk menunjukkan kalau dirinya sedang baik-baik saja."Atau kamu sakit? Kalau sa
Mika menatap Bu Ane dengan memohon, dia menunjukkan ekspresi penuh harap akan suatu hal yang ingin dia ketahui. ''Saya mohon, Bu.''Bu Ane yang melihat ekspresi Mika seperti itu lama-lama merasa iba dan kasihan juga. Tangan Bu Ane yang sebelumnya mendorong pintu agar tertutup kini melemah. Bu Ane menarik napas dalam lalu membuka kembali pintu di hadapannya. Dia mempersilakan Mika untuk masuk kembali.Keduanya duduk saling berhadapan dengan Bu Ane yang tidak berani menatap ke arah Mika. Sedang Mika sendiri menunggu Bu Ane berbicara. "Mika ingin tahu yang sebenarnya, Bu. Sejujurnya Mika ini merasa tertekan. Selama ini sikap Bapak sama Ibu selalu tampak berbeda jika pada Mika dan Olip. Terlihat jelas kalau mereka lebih sayang pada Olip dari pada sama Mika. Mereka selalu memprioritaskan Olip dari Mika. Mika juga ingin merasakan disayang dan dicintai oleh kedua orang tua Mika, tapi selama ini mereka tidak memberikan itu pada Mika."Tiba-tiba saja Bu Ane merasa iba mendengar ucapan dari Mik
Mika menganga mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya barusan. Bola mata perempuan itu mengerjap beberapa kali dengan mencoba untuk mencerna apa yang baru saja didengar. Detik kemudian, Mika tertawa cukup keras menyadari hal yang dia anggap lucu ini.Baik Bu Titi, Olip dan Ridwan saling tatap dengan kebingungan. "Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Bu Tuti dengan kedua alis yang menyatu.Mika mencoba menghentikan tawanya. Dia menatap satu persatu tiga orang yang ada di hadapannya. Mika menggeleng. "Lucu aja, Bu.""Apanya yang lucu?" Bu Tuti semakin menatap Mika dengan kerutan di kening, merasa aneh dengan Mika.Mika mengangguk beberapa kali. Perempuan itu berdehem. "Ya aneh saja, Bu. Yang mau nikah siapa, yang harus ngeluarin uang siapa? Kan lucu." Mika kembali tertawa.Bu Tuti menatap Mika tidak suka. "Ya anggap saja kamu sedang membantu adik kamu. Gimana sih?"Mika menghela napas dalam. "Bu. Yang namanya membantu itu ya seikhlas hati, sukarela yang memberi. Bukan ditarget seperti ini,
Mika yang ada di luar pun langsung menoleh kembali ke arah kamar orang tuanya. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. Kedua tangannya mengepal karena tiba-tiba timbul perasaan marah dalam dirinya."Gimana bisa, Bu? Rumah ini, kan atas nama Mika. Ya pastinya kalau kita menggadaikan rumah ini harus dalam persetujuan dari Mika," ujar Pak Purnomo kemudian.Bu Tuti diam kembali. Akan tetapi perempuan itu jelas tidak ingin terima begitu saja. Dia berpikir dengan giat di balik benak sana. "Ah. Gimana kalau kita gadaikan rumahnya ke Pak Narto saja? Kita nggak perlu ribet di sana. Cuma perlu kasih KTP aja udah. Kita minta aja Foto kopi KTP Mika lalu kasihkan sama Pak Narto. Dapat deh kita.""Lah terus caranya dapetin foto kopi KTP Mika bagaimana caranya?" Pak Purnomo bertanya."Gampang mah, Pak. Kita tinggal bilang aja kalau Olip membutuhkan KTP kakaknya untuk mengurus rencana pernikahan. Gitu aja kan bisa. Gimana, Pak? Kamu setuju nggak?" tanya Bu Tuti yang merayu suaminya.Pak Purno
Mika terkejut dengan suara teriakan dari ibu tirinya. Perempuan itu kini tampak panik karena takut ketahuan akan keberadaannya divsini. Dia tidak mau kalau ibu tirinya sampai tahu dia mencari sertifikat rumah ini. Mika mengedarkan pandangan, memikirkan bagaimana ibunya itu tidak akan tahu kalau dia berada di sini.Pandangan Mika jatuh pada kolong tempat tidur kedua orang tuanya. Dia pun langsung memasuki kolong itu setelah membereskan figura sebelumnya. Dia berdiam diri sembari memeluk sertifikat rumah ini.Sedang di luar sana, tampak Bu Tuti dan Olip yang terus mencari keberadaan Mika. Mereka tampak kesal karena panggilan sejak tadi tak ada jawaban sama sekali."Ke mana sih anak itu?" Bu Tuti membuka pintu kamar Mika dan tak melihat keberadaan Mika di sana. Dia segera menutupnya kembali."Ada, Bu?" tanya Olip. Dia melihat ibunya itu yang menggeleng. "Sepertinya dia sedang main-main keluar, Bu."Mendengar hal itu malah membuat Bu Tuti merasa kesal. "Dasar. Anak nggak tahu diri. Bukann
Sesuai yang direncanakan kemarin, Mika akan menitipkan sertifikat rumahnya pada Bu Ane. Perempuan itu memasukkannya ke dalam tas sebelum berangkat ke toko. Setelahnya dia memilih untuk langsung berpamitan tanpa ikut sarapan."Kamu nggak makan dulu, Mika?" tanya Pak Purnomo ketika Mika menyalami tangan pria itu. Meski Mika tahu kebenarannya, dia tetap melakukan hal demikian untuk sekedar menghormati keduanya.Mika menggeleng ketika selesai menyalami tangan Bu Tuti meski dengan adegan tarikan tangan dari Bu Tuti yang sangat cepat. "Tidak usah, Pak. Biar Mika beli sendiri di pasar nanti," ujar perempuan itu yang langsung pergi meninggalkan rumahnya."Bapak ini ngapain juga nawarin makan buat dia. Nggak usah dipikirin sih anak itu." Bu Tuti mengambilkan makanan untuk sang suami. Sedangkan Pak Purnomo hanya mengembuskan napas kasar."Iya nih, Bapak. Kakak toh juga nggak bisa bantu kita apa-apa," ujar Olip yang ikut mengambil lauk.Pak Purnomo melirik putrinya. "Lupa kamu kalau yang kamu ma
Mika terkejut ketika baru sampai dia mendapat tamparan dariibunya. Rasa panas mulai menjalar di pipinya sehingga membuat Mika harusmengelusnya untuk menetralisir sedikit rasa panas itu.Mika langsung mengalihkan pandangan ke arah sang ibu denganbola mata melotot. "Ada apa, Bu?" Kenapa Ibu tampar Mika?" tanyaMika dengan suara bernada tinggi.Sedangkan Pak Purnomo pun masih terkejut dengan apa yangbaru saja dilakukan oleh istrinya itu. "Bu. Apa yang kamu lakukan?"tanyanya dengan membentak.Bu Tuti menatap suaminya dengan tajam. "Bapak belaindia?" tanyanya dengan menunjuk ke arah Mika."Membela apa maksud Ibu? Lah Ibu sendiri saja kenapatiba-tiba menampar Mika seperti itu?" tanyanya dengan sedikit menaikkannada bicaranya."Gimana ibu nggak menampar dia kalau dia sudah beranimencuri?" Bu Tuti benar-benar tidak mau mengalah.Ternyata, di saat yang sama, Olip dan Ridwan baru sajasampai. Mereka yang mendengar kegaduhan itu pun langsung ikut masuk ke rumahdan mencari asal suara kegaduhan itu.
"Berikan Kak Ridwan padaku, Kak." Mika yang mendengar ucapan adiknya yang santai itu melotot seketika. Ditatapnya Olip, sang adik, yang tampak sibuk dengan kuku-kuku jarinya. Mengagumi mereka yang baru saja mendapatkan perawatan."Kamu ngomong apa tadi?'' Mika memastikan apa yang baru saja dia dengar."Aku yakin Kak Mika mendengar dengan jelas,” balas Olip tenang. “Aku ingin Kak Mika memberikan Kak Ridwan untuk aku." "Gila kamu?" tanya Mika kemudian. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. "Yang kamu minta barusan itu orang loh, Lip. Pacar kakak. Bukan makanan.”Olip hanya mengedikkan bahunya tak acuh. "Aku hanya merasa kalau Kak Ridwan itu lebih pantas untuk aku ketimbang Kakak,” ucap Olip kemudian. “Makanya aku minta Kakak putus saja sama dia dan berikan dia padaku."Mika menunjukkan ekspresi tidak paham. Satu alisnya menukik naik."Dari mana kamu bisa mengatakan hal itu?" tanya gadis itu.Bagian mananya yang tidak pantas antara dirinya dan sang pacar? Olip mengembuskan napas