Share

5. Bukan Anaknya

Suara kokok ayam membangunkan Mika dari tidurnya. Matanya terasa berat untuk dibuka. Mika menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Dia ingat kalau semalam dia harus tidur sangat larut karena harus menangisi keputusan Ridwan yang ingin menikahi adiknya.

Sebenarnya, tidak harus dia menangisi pria itu. Apalagi kejadiannya sudah berlalu sejak beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja apa yang dilakukan mantan kekasihnya itu membuat dia kecewa dan terluka.

Mika memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Perempuan itu bangun dalam keadaan kacau. Dia bangkit dan menatap cermin sejenak. Mika meneliti wajahnya yang terlihat jelas sembab dan matanya yang merah. Dia mengembuskan napas kasar. Kalau seprti ini tidak bisa dia sembunyikan.

Mika memilih untuk langsung memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke toko. Tak memerlukan waktu lama karena rasanya Mika malas melakukan hal apa pun.

Mika keluar dan berniat langsung menuju meja makan. Satu hal yang baru Mika sadari. Kenapa ibunya tidak berteriak memanggil dirinya seperti hari-hari sebelumnya? Padahal, biasanya ibunya itu akan menggedor kamar Mika kalau Mika tak cepat bangun.

"Aneh. Biasanya Ibu marah kalau aku terlambat bangun. Terus menggedor pintu dan nyuruh aku cepet masak," ujar Mika dengan bingung. Perempuan itu pun mengedikkan bahu dan melanjutkan langkah menuju meja makan. Suara obrolan dan tawa terdengar bahkan sebelum Mika sampai di meja makan.

Saat dia berdiri di ambang pintu, Mika sedikit terkejut dengan keberadaan Ridwan disana. Untuk apa pria itu di sini pagi-pagi seperti ini? Malas rasanya Mika ikut makan. Namun, ucapan ibunya membuat dia menjadi pusat perhatian saat ini.

"Mika-Mika. Anak perawan kok baru bangun. Kamu ini gimana sih?" Bu Tuti tampak menggeleng dengan helaan napas dalam. "Ya begitu tuh Mika Nak Ridwan."

Mika mengernyitkan kening akan ucapan ibunya barusan. "Begitu kenapa, Bu?"tanya Mika yang langsung mendekati meja makan.

"Bangunnya telat," jawab Bu Tuti. Dia memberikan piring berisi nasi kepada suaminya.

Mika semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu. Ini baru pertama dia terlambat dan tidak bangun pagi sebab ibunya tidak berteriak membangunkannya. Baru saja dia membuka bibir untuk menyangkal ucapan ibunya, tiba-tiba Olip lebih dulu berbicara. "Makanya kalau bangun itu yang pagi, Kak. Mana mau pria nikah sama perempuan pemalas. Tuh Kak Ridwan jadi lari deh." Dia memegang tangan Ridwan dan melempar senyum.

Mika terkekeh sinis. "Apa? Lari? Perasaan elo deh yang godain pacar gue sampai kucing garong ini kepincut sama ikan asinnya?" tanya Mika dengan mengejek dua pasangan gila itu. Sungguh. Kalau seperti ini jadinya Mika merasa menyesal karena beberapa hari ini menangisi Ridwan semalaman.

Bola mata Olip melotot seketika. "Heh! Mulut lo---"

"Apa?" tanya Mika dengan cepat. Bahkan perempuan itu mengangkat dagunya dan membalas tatapan tajam Olip.

"Sudah-sudah. Ini di meja makan." Pak Purnomo melerai pertengkaran kedua putrinya.

"Iya nih. Kamu tuh memang tidak bisa menjaga kenyamanan banget sih, Mik. Udah tahu di meja makan. Masih aja rusuh." Bu Tuti kembali menyalahkan Mika.

Mika semakin tak habis pikir dengan orang-orang di sini. Dia menggeleng dengan senyum miris. "Ibu ini aneh deh. Perasaan kalau aku telat dikit Ibu bakalan mencak-mencak gedor-gedor kamar aku buat aku masak. Tapi hari ini enggak."

"Ya capek, Mik kalau tiap hari bangunin kamu. Kamu udah besar ini masa mau dibangunin terus sih?" Bu Tuti mulai duduk dan ikut menikmati makannya.

Mika semakin melotot. "Tiap hari? Tiap hari masak maksud Ibu? Dan anak manja Ibu ini tidur seenaknya gitu? Nggak pernah bantuin pekerjaan rumah gitu?"

"Heh. Jangan sembarangan, ya. Fitnah aja. Kamu tuh yang nggak pernah bangun pagi untuk bantuin Ibu masak," ujar Olip yang membantah apa yang dituduhkan oleh Mika.

Mika mengernyitkan kening sampai akhirnya dia mulai paham kalau semua anggota keluarganya ini ingin dirinya terlihat jelek di mata Ridwan. "Nggak nyangka, ya. Cuma karena ingin aku terlihat buruk di hadapan pria gila ini kalian mengarang cerita?" Dia menunjuk ke arah Ridwan yang melotot.

Mika menggeleng dengan tatapan kecewa, terutama pada sosok bapaknya yang hanya diam saja seolah membenarkan apa yang ibu dan adiknya lakukan. "Sikap kalian nggak lebih dari binatang," ujar Mika yang sudah kepalang marah.

Perempuan itu pun langsung membalikkan badan dan pergi dari tempat itu. Tak peduli suara teriakan dari ibunya dan juga Olip, yang ingin Mika lakukan adalah segera pergi dari rumah ini.

***

"Kenapa kamu nggak cari kosan aja, Mik? Atau nggak sama aku aja. Daripada kamu stres lama-lama tinggal di rumah," ujar Sintia memberi saran ketika Mika mencurhatkan semua kejadian di rumah pada dirinya.

Mika menatap sendu sahabatnya. "Apa iya aku harus melakukan hal itu?" tanyanya dengan ragu. Dalam hati dia memikirkan hal ini dan merasa apa hal itu tidak akan membuat hubungan dirinya dan keluarganya menjadi putus?

"Ya daripada kamu digituin terus sama keluarga kamu. Heran. Anak sendiri dari dulu nggak pernah dapat perlakuan baik. Kayak anak tiri aja," ujar Sintia menggerutu.

JantungMika sempat terpaku sejenak kala mendengar ucapan Sintia. Dia pun mengibaskan tangan mengenyahkan pikirannya yang terasa aneh. "Sudahlah. Aku mau cari sarapan dulu. Aku belum sarapan tadi di rumah."

"Yaudah sana." Sintia bangkit kala melihat pelanggan datang.

"Kamu nggak papa aku tinggal? Atau kamu mau nitip?" tanya Mika menawarkan.

Tampak Sintia yang menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah makan. Udah sana biar aku yang urus ini dulu."

Mika mengangguk. Dia pun segera berlalu dan mencari makanan untuk sarapan. Pilihannya jatuh pada soto ayam yang baunya sudah menggugah selera. "Bu. Soto." Mika mengangkat satu jari telunjuknya.

"Iya, Mik." Sesama pedagang di pasar, penjual soto pun mengenal Mika. Seseorang memasuki warung. Seorang ibu-ibu yang juga membeli soto. Ternyata Mika mengenalnya.

"Bu Ane." Mika menyapa.

Bu Ane pun tersenyum ke arah Mika. "Mika? Beli soto?"

Mika menganguk. "Iya, Bu. Ibu juga?"

Bu Ane mengangguk. "Oh iya, Mik. Katanya adik kamu mau tunangan sama Ridwan, ya?" tanya Bu Ane.

Mika tak menyangka kalau dia akan mendapatkan pertanyaan seperti ini. Dia pun akhirnya mengangguk. "Iya, Bu."

"Eh. Kok bisa sih Olip mau nikah sama Ridwan? Ridwan, kan pacar kamu." Bu Ane menatap Mika dengan ekspresi penuh keingintahuan.

"Ya namanya mereka saling mencintai." Mau dijawab apa memangnya selain itu. Mika masih sibuk menata hati di dalam sana.

"Orang tua kamu setuju, Mik?" Kali ini ibu penjual soto yang bertanya. Mika pun langsung mengangguk.

"Kamu nggak papa, Mik?" Bu Ane bertanya khawatir.

"Nggak papa, Bu. Mungkin emang belum jodohnya." Mika menjawab dengan kalimat yang aman.

"Ini, Mik sotonya." Mika menerima soto yang dia pesan. Dia juga membayar dan menerima kembaliannya.

"Permisi, Bu." Mika keluar warung. Sebelum itu dia menyempatkan diri untuk menghitung kembaliannya dengan langkah pelan. Takut kebanyakan atau kurang biar dia bisa langsung komplain.

"Tega sekali sih kelurganya, Bu." Mika mendengar suara pemilik warung.

"Ya namanya bukan anak sendiri, Bu. Ya pasti dibedainlah. Sudah. Mana soto saya." Sontak saja kalimat itu membuat tubuh Mika terpaku di tempat. Tangannya yang memegang uang bergetar karena rasa terkejut yang dia alami.

"Bukan anaknya?" bisik Mika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status