Sampailah mereka di sebuah hotel bintang 5 yang terkenal, dengan suasana hall yang tenang, mewah dengan aroma khas rempah-rempah yang merebak di aeluruh ruangan.Nisa segera menelepon si Abah."Bah, kamar nomor berapa?" Tanya Nisa sambil mengetuk-ngetuk jemari kakinya."Ok, Bah seperti biasa ya Bah, 50 persen masuk rekening biasanya, pakai berita : uang muka beras ya, Bah!"Nisa mengakhiri percakapannya dengan Abah. Sambil menunggu uang masuk ke rekening, mereka melihat-lihat baju di butik hotel yang ada di sebelah ruang tunggu.Nisa melihat betapa temannya memang sudah hidup bergelimang harta, biasa hidup dengan uang yang tak pernah habis.Kelihatan sekali dia melihat semua baju dengan meraba tanpa melihat harga, kalau dia tidak berkenan dia akan pergi, dan akhirnya sampai di bagian premium, kali ini pun Miranda meraba tanpa sekalipun berusaha melihat bandrol."Bagus nggak, Nis?"Nisa, mencari dan menemukan harganya 1,9 juta hanya untuk sebuah gaun santai, mehong!"Lumayan sih,
Demi bisa melunasi hutangnya ke Ray, dan demi bisa melenyapkan simpanan Bastian maka Miranda rela melakukan pekerjaan apa saja, apalagi yang memang disukainya seperti ini , tapi itu dengan catatan kalau tidak terlalu capek! Kalau yang dialaminya saat ini kelewatan capeknya.Untunglah si Abah cukup lama tertidur, hingga saat bangun, Abah kelaparan, akhirnya mereka makan terlebih dahulu, sebelum melanjutkan pertempuran mereka.Miranda memperkirakan kali ini mereka akan bermain perlahan, sekuat-kuatnya si Abah toh dia sudah berumur.Setelah makan Miranda melihat si Abah minum obat kemudian duduk bersandar memainkan ponselnya.Tahulah Miranda bahwa Abah sedang menunggu obat yang diminumnya bereaksi."Minum obat apa, Bah?""Obat kuat asli dari Arab." jawab Abah sambil tetap memainkan ponselnya."Emang ada khasiatnya?"Kali ini Abah melihat Miranda dengan seringai di wajahnya."Kalau mau diibaratkan, tadi itu kita bermain di sungai, kali ini kita akan bermain di lautan lepas," jawab Aba
Bastian terbangun dan menikmati udara pantai yang masih lembab, menikmati kesunyian yang menenangkan, alam mempersiapkan diri menyambut pagi.Bahagianya tak terperikan saat bangun dengan Almira dalam pelukannya. Dulu dia menjalani aktivitas rutinnya dengan biasa-biasa saja, bangun, makan, mandi berangkat ke kantor, membangun bisnisnya, saat malam dia akan pulang, makan dan beristirahat, tanpa punya keinginan apapun. Itu sebelum Almira hadir dalam hidupnya.Sekarang dia ingin tidur dan bangun dengan Almira dalam pelukannya, menjalani hari dengan Almira di sisinya. Dia ingin menunjukkan kepada Almira tempat-tempat yang indah yang belum pernah mereka kunjungi dan dia ingin menciptakan momen bersama. Dia tidak bisa membayangkan dia bisa menjalani hari seperti dulu saat Almira belum menjadi bagian hidupnya.Kini, sepertinya tidak mungkin dia bisa hidup normal tanpa Almira.Dia rela menukar apapun yang dimilikinya, apapun dengan Almira-nya, cintanya, hidupnya.Bastian mempererat pe
"Penggaris?"Almira terpana sambil tersenyum merona, sesering apapun mereka memadu kasih, Almira masih belum terbiasa membahas aktifitas 'dewasa' secara terbuka walaupun itu dengan suaminya tercinta.Tapi dia akan berusaha belajar dengan cepat, mengejar ketinggalannya."Nanti aja di Indonesia..." Jawab Almira dengan nada yang nanggung, berhenti di tengah kalimat.Bastian menunggu lanjutan kalimat Almira."... pakai penggaris kantor," kemudian Almira tertawa lepas, membayangkan membawa pulang penggarisnya hanya untuk itu.Kemudian Almira menatap mata suaminya, hidung, mulut, dada ..terus turun ke bawah, kembali ke mata, mereka bertatapan mesra."Bagaimana hasil penilaian anda Mrs Navarell?""So far so good, sepertinya saya tidak butuh penggaris untuk menegaskannya," Almira mengimbangi godaan suaminya."Apa ada milik saya yang kurang berkenan di hati anda, Mrs Navarell?""Tolong diralat, semua ini adalah milik saya, bukan lagi milik anda, Mr Navarell.""Oh, jadi saya tidak lagi be
Bastian melihat bahwa Almira bertahan tidak bergerak sedikitpun karena menunggu penjelasan dari Bastian.Bastian tahu dia harus jujur terhadap istrinya tapi kalau dia menceritakan apa yang ditemukannya, maka yang ada hanya kegelisahan lebih baik dia bercerita saat mereka sudah tiba di Indonesia."Ra, kau percaya padaku?" Bastian bertanya dengan sangat amat serius."Ya, aku percaya," jawab Almira mantap tanpa keraguan sedikitpun."Aku akan menceritakan padamu saat kita sudah tiba di Indonesia, ok?""Berarti ada dua hutangmu Bast, yang harus kamu ceritakan saat kita sampai di Indonesia!"'Beginilah kalau punya istri daya ingat kuat,' batin Bastian."Yang pertama tentang telepon Samuel yang menyuruhku ke kantormu, yang kedua apa yang hari ini kamu temukan, Bast!""Oke begitu kita tiba di Indonesia aku akan menceritakan semuanya, tapi jangan lupa kamu juga punya hutang yang belum lunas, Ra."Almira memandang dengan mimik bertanya yang menggemaskan."Apa, Bast?""Borgol!""Oke, aku usah
Seketika orang-orang besar menghilang dari layar, hm lucu juga, Bastian pun menempatkan ponsel di dadanya jadi dia tidak terlihat."Nah, sekarang kita cuma berdua, kakak Binta mau ngomong apa sama Mommy?""Mbak Ning ama Pak Sulyo mau punya adek kecil, Binta minta nggak boleh." Kembali bibir Binta bergetar."Binta sudah punya adik Saras kan?""Adik Binta sepelti Mommy, Binta mau adek sepelti Daddy."Almira memandang Bastian, dan bibirnya bergerak tanpa suara,"lihat ni, apa-apa minta kayak Daddy."Dari gerak bibir Almira, Bastian mengerti apa yang Almira ucapkan, Bastian merasa dadanya berdesir, bahagia rasanya tahu anak-anak begitu menyayanginya."Ya udah sayang, nanti Mommy bilang Daddy ya, tapi Binta nggak boleh sedih, nanti kasihan grandma sama grandpa sama adik Saras jadi ikut-ikutan sedih deh."Terlihat Binta sudah mulai tersenyum, hilang dari layar, kemudian tiba-tiba kembali datang sudah menggandeng tangan grandma, menyuruh grandma duduk dan naik ke pangkuan grandma."Mom
Setelah kurang lebih 16 jam perjalanan udara, ditambah 2 jam perjalanan darat, sampailah Almira dan Bastian di rumah.Sebagus-bagusnya tempat yang baru dikunjungi, tetap saja rumah adalah tempat yang paling nyaman.Hujan emas di negeri orang masih lebih memilih hujan batu di negeri sendiri.Mereka disambut Mom and Dad, karena anak-anak masih sekolah."Terimakasih Mom, Dad, sudah menemani anak-anak selama kami pergi." Berkali-kali Almira mengucapkan terima kasih, bagaimanapun kehadiran ayah ibu Bastian membuat semuanya menjadi lebih mudah. Ibu Bastian melihat anaknya dengan bahagia dan hampir menitikkan air mata. Dia melihat Bastian begitu bahagia dan sangat mencintai istrinya, duduk selalu berdampingan, berdiri tetap bersentuhan, selalu berdekatan.Ibu Bastian meninggalkan ruang keluarga, menuju ke belakang."Mom, bikin minum dulu ya." Seru ibu Bastian, berusaha meringankan suaranya hingga tidak ada seorangpun yang akan mengetahui keharuannya. "Almira aja, Mom." Almira segera berd
Nampak Almira menatap suaminya. Dia bisa merasakan keberatan Bastian. "Kau salah paham, Bast.""Jelaskan.""Maksudku, nggak mungkin aku pergi meninggalkanmu Bast, kau satu-satunya pria dalam hatiku!""Yah, gitu dong jawabnya, Ra! Kenapa harus jawab 'bukan aku yang pergi' segala.""Kita tidak bisa melihat masa depan kan, Bast? Tapi aku tahu aku akan bertahan di sisimu kecuali ada yang membuatku harus pergi."Bastian merasa dadanya berdegub kencang, dia tidak senang mendengar kalimat Almira."Hidup ini pilihan Ra, selalu ada yang bisa kita pilih! Ambil atau tinggalkan.."Almira menggeleng samar."Nggak selalu..."Bastian mengangkat keningnya."Aku sudah mengalaminya, Bast. Hidup bisa begitu kejam, tanpa ada pilihan kita harus mau menghadapi apa yang kehidupan suguhkan bagi kita, kita harus menerima apa adanya.""Kita akan selalu bersama, tatap mataku! Kita akan bersama SELAMANYA, ok?" Perlahan Almira mengangguk.Bastian mencium Almira dengan ganas seakan ingin memeteraikan janji