“Terima kasih atas tumpanganmu, Juan Baker. Senang bisa membuatmu menjadi supir lagi.”
Moreau tersenyum puas ketika bibir Juan berdecak malas. Pria itu mendelik sinis, tetapi jelas tak sungguh – sungguh dilakukan. Hanya sebuah candaan yang sengaja dibuat serius dan sekarang Moreau sedang menyiapkan diri untuk turun dari mobil. Mula – mula kedua kaki dalam balutan sepatu miliknya digeser menyentuh pijakan halaman di depan rumah. Juan tidak akan tertarik diajak masuk setelah pria itu tahu Barbara selalu menjadi yang pertama kali tiba, meskipun harus menghadapi beberapa urusan di kantor. Barangkali sedikit muak terhadap larangan dari wanita itu, yang melibatkan kegemaran mereka berdua untuk mencuri – curi waktu menikmati udara segar usai melakukan krisis latihan panjang. “Aku masuk dulu.” Moreau melirik Juan dengan kedipan mata centil. Memastikan sekarang dia telah benar – benar berdiri dJubah mandi baru saja merekat di tubuhnya, tetapi tiba – tiba Moreau harus menghadapi suara ketukan pintu kamar yang samar – samar terkesan begitu terburu. Dia mengangkat sebelah alis tinggi memikirkan siapa di sana dan secara ajaib menaruh rasa curiga kepada satu orang. Abihirt. Moreau mendengkus kasar cukup dengan membayangkan apa yang pria itu inginkan. Dia akan sangat menolak jika ayah sambungnya meminta mereka melakukan sesuatu di sini, di kamar ini saat Barbara bahkan sedang di rumah. Lewat hentakan kaki yang keras dia tak punya pilihan untuk melangkah ke arah pintu. Sisa – sisa suara ketukan masih berusaha mendesak. Itu memberi Moreau sedikit rasa jengkel sekadar mengumpat Abihirt di dalam kepala. Dia langsung menyentuh gagang pintu, sungguh melupakan tetes air di rambut membasah yang kadang – kadang berjatuhan di lantai, dan berharap dapat membicarakan sesuatu dengan sangat baik bersama pria itu sekarang. “Jika kau memintaku untuk melayanimu malam ini, aku tidak mau!”
Moreau berupaya membantah ... ketika tanpa pernah mau mendengar Barbara justru langsung meninggalkan kamar. Selalu seperti ini. Wanita itu selalu mengambil keuntungan dengan membiarkan Moreau terjebak terhadap keadaan sendiri. Dia menatap satu titik setelah sisa – sisa kepergian Barbara meninggalkan keheningan. Bahkan pintu telah wanita itu rapatkan, sudah terlalu mengerti untuk memenangkan keadaan. Moreau memejam sebentar, lalu mengembuskan napas kasar. Sesekali ujung tangannya akan mengusap puncak kepala anjing yang begitu tenang persis seperti yang dilakukan Abihirt beberapa waktu lalu. “Kau mungkin perlu menungguku di sofa, Chicao.” Di sanalah Moreau meletakkan anjing dengan bulu kecokelatan, sementara dia mengambil langkah menuju ke meja rias. Lengannya terulur mengambil alat pengering rambut dari laci. Akan membutuhkan waktu supaya rambut membasah sedikit lebih mudah diatur. Perhatian Moreau terkadang berhenti ke arah sofa. Dia tersenyum menemukan Chicao sedang melipat d
“Dia sungguh bilang begitu?” tanya Moreau nyaris tak percaya. Itu kebohongan besar. Dia ingin membantah dan tiba – tiba tubuhnya didorong secara giat ke atas ranjang. Tidak ada peringatan sehingga Moreau jatuh terduduk, bersyukurlah Chicao tidak cukup dekat untuk merasakan tekanan tak terduga., dan lebih mengejutkan ... Moreau tak berdaya ketika dia menerima serangan dari ayah sambungnya. Ciuman pria itu terkesan ingin merompak apa pun hingga nyaris tak melibatkan udara di sekitar mereka. Moreau merasa sesak. Pada saat itulah Abihirt mengambil jarak beberapa saat untuk saling menatap. “Ada anjing-mu di sini.” Pria itu harus diingatkan. Kebetulan Moreau melakukan hal yang tepat. Wajah ayah sambungnya terlihat luar biasa memukau ketika melirik ke samping. Chicao sedang meringkuk seperti berusaha memahami situasi. Hanya seekor anjing, tetapi Moreau yakin bukan waktu yang tepat melakukan sesuatu di sini. Dia sudah mengumpulkan niat untuk menghentikan ayah sambungnya. Sedikit tak
“Masuki aku.” Moreau bicara nyaris dengan nada memohon. Dia harus menunggu diliputi perasaan tegang saat suara gesper di celana pria itu seperti telah disingkirkan. Sesuatu terasa kokoh secara tentatif sengaja dibiarkan memukul di antara celah lembab yang terasa benar - benar membasah. Ini akan dilakukan sebentar lagi. Moreau memejam lambat merasakan Abihirt mulai memasuki tubuhnya. Desakan penuh segera menyergap ketika tubuh pria itu menghujam dengan mulut mendesis samar. Moreau menipiskan bibir merasakan setiap hentakan Abihirt seolah ingin melumpuhkan kakinya yang menekuk. Dia bertanya – tanya, seperti inikah cara pria itu melakukan hubungan intim bersama Barbara? Apakah Abihirt memang seorang maniak, atau barangkali ibunya selalu masuk ke dalam daftar pengecualian. Perbedaan umur menjadi dasar mutlak. Abihirt membutuhkan gadis muda untuk mengimbangi hasratnya yang gila, tetapi jika seperti ini ... akankah Moreau sa
Sebentuk tubuh jangkung suaminya sedang duduk menikmati sekaleng soda di meja bar. Barbara sudah menduga hal itu, segera menghampiri Abihirt yang langsung menoleh diliputi ekspresi wajah begitu tenang. Nyaris tidak ada yang bisa terungkap ketika dia memosisikan diri duduk begitu dekat sambil memperhatikan pria itu kembali menenggak soda dengan wajah menengadah. “Apa yang kau lakukan di sini, Darling?” Mula – mula, ujung jari Barbara merambat pelan untuk menyentuh punggung tangan Abihirt yang tergoler di hadapannya. Kehangatan sang suami terasa begitu menggiurkan. Dia tersenyum dan terus – terusan memperhatikan kerongkongan pria itu bergerak naik turun. Sebenarnya, pria yang dia nikahi terlalu sempurna untuk dikhianati, tetapi Barbara tidak bisa menahan sikap romantisme yang benar – benar tidak Abihirt punya. Dia ingin suaminya, sekali saja mengucapkan kata – kata manis seperti yang sering kali Samuel berikan. Merek
“Abi Darling, bangun. Aku sudah harus berangkat ke bandara.” Barbara berkali – kali mengecup bibir Abihirt untuk membangunkan suaminya. Pria itu bergernyit, kemudian akan bergumam sesekali. Perasaan geli muncul di benak Barbara, tetapi dia tidak menyimpan tujuan serius saat ingin mata kelabu itu terbuka. Hanya sekadar memberitahu agar Abihirt tidak terkejut ketika dia sudah tidak ada di ranjang. Jika suaminya masih ingin tidur. Barbara tidak akan merasa keberatan. “Kau pergi ke bandara bersama siapa? Akan kutemani jika sendirian,” ucap pria itu sayup – sayup sembari berusaha mengatur posisi bangun. “Tidak usah repot – repot, Darling. Mobil jemputanku sudah menunggu. Aku hanya ingin berpamitan,” ucap Barbara sambil menekan dada Abihirt. Tahu bahwa pria itu berniat ingin mengantar dengan mobil. Dia bahkan menolak saat suaminya menawarkan tumpangan jet pribadi. Samuel ada di halaman depan, dia tak mungki
[Aku ingin kau menungguku di ruang merah.] Pesan dari nomor tidak dikenal, tetapi permintaan yang tersirat di sana, dikirim berikut dengan lokasi yang tercantum sangat jelas, itu segera memberi Moreau petunjuk. Abihirt .... Ayah sambungnya mungkin mengira Moreau telah lupa jalan menuju rumah mentereng itu. Dia mendengkus memikirkan apa yang akan pria tersebut lakukan ketika memintanya menunggu. Moreau bahkan masih di gedung latihan, meski memang sedang menyiapkan kebutuhan untuk pulang. Dia lelah setelah latihan panjang. Merasa tidak yakin mengimbangi seks kasar Abihirt. Barangkali pria itu akan marah ketika mengetahui sikap tidak patuh seperti keharusan. Ntahlah, Moreau sedikit bimbang mempertimbangkan perintah lewat pesan singkat di ponselnya.
Lamat sekali perhatian Moreau terpaku lurus – lurus pada suatu hal yang sedang Abihirt lakukan di dapur. Sebelah tangan pria itu terlihat sibuk menumpahkan kapsul ke satu tangan lainnya. Sesuatu yang persis tidak dia ketahui apa, tetapi tidak pernah meninggalkan perhatian dari sana, pada tenggorokan yang bergerak ketika sedang menenggak segelas air putih. Abihirt sedang bertelanjang dada dan sepertinya baru selesai melakukan rutinitas pagi. Terungkap beberapa butir keringat di tubuh pria itu, yang berjatuhan dari pangkal rahang hingga sulur – sulur merambat ke celah otot – otot di bagian perut. Sebuah pemandangan menakjubkan di pagi hari. Moreau menelan ludah kasar, kemudian berusaha keras mengenyahkan pemikiran kotor di benaknya. Dia sungguh, tak ingin melakukan itu. Barangkali harus belajar terbiasa menghadapi tubuh kokoh Abihirt, yang tampaknya tak sadar bahwa Moreau berada sekian jengkal jarak, sampai wajah tampan itu menoleh.
[Abi, boleh aku pinjam ponselmu untuk mengirim foto – fotoku yang ada di padang pasir ....] Rasanya sekujur tubuh Barbara mendidih membayangkan apa yang sedang logikanya uraikan. Abihirt berkata jika pria itu masih Dubai; akan segera pulang, tetapi sangat mengejutkan mengetahui suara Moreau menyelinap masuk di tengah pembicaraan mereka. Ini tidak dapat disesali. Betapa pun Barbara mencoba sekadar menyangkal. Dia telah menyaring segala sesuatu yang terjadi di sana, dengan jelas ... dengan sangat jelas bahwa Moreau butuh foto – foto di padang pasir untuk dikirim ke ponsel gadis itu. Barangkali juga tidak diharapkan penjelasan lebih tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, Barbara bahkan belum mengucapkan apa – apa dan menuntut Abihirt membicarakan semua yang telah suaminya sembunyikan, termasuk saat Abihirt mengaku tidak mengetahui keberadaan Moreau di kali terakhir dia menghubungi pria itu sambil membicarakan keberadaan putrinya yang tidak berkabar. Namun, pa
Namun, untuk beberapa saat Moreau menoleh ke arah ayah sambungnya ketika menyentuh gagang pintu. Abihirt terduga merenggut ponsel pria itu di atas nakas. Mungkin ada kesibukan penting, yang secara tidak langsung mengingatkan Moreau bahwa ada satu hal—lupa dia katakan kepada ayah sambungnya. Ini tidak akan lama. Dia hanya akan membasuh wajah dengan percikan air, kemudian kembali kepada pria itu. Memang tidak lama. Ketika Moreau menatap pantulan wajah di depan cermin, tindakan kali pertama dilakukan adalah menarik napas dalam – dalam. Semua perangkat di sini hanya milik Abihirt. Dia akan menggosok gigi, nanti, di rumah. Sekarang sebaiknya menghampiri pria itu di atas ranjang. Mendadak ledakan dalam diri Moreau menjadi antusias. Dia memang tidak sabar ingin mengirim foto – foto di padang pasir hari itu, setelah mulai mengoperasikan ponsel baru pemberian ayah sambungnya. Berharap Abihirt tidak keberatan saat dia mengatakan tujuan yang sedang berkecamuk liar. Mo
Walau ternyata tidak .... Moreau merasakan sesuatu yang berat menindih di sekitar tubuhnya. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyadari bahwa biasan cahaya dari jendela berusaha menembus masuk melalui tirai yang menjuntai. Sudah pagi. Sepertinya permintaan tidur semalam membuat dia terlelap nyenyak. Moreau tidak akan berkomentar apa – apa tentang hal tersebut. Semua sudah berlalu dan tidak perlu mengingat kembali sesuatu yang pada akhirnya selalu berujung tidak pasti. Sambil mencoba bergeser, dia menghirup udara sebanyak mungkin, sedikit ingin meregangkan tulang – tulang yang terasa kaku, tetapi segera menyadari jika hampir tidak ada ruang sekadar bergerak. Seseorang seperti membuatnya terperangkap; menghirup aroma maskulin yang menyerbu deras, hingga tanpa sengaja Moreau menyentuh helai rambut—terasa halus, dan dia tetap menyapukan telapak tangan dengan lembut di sana. Ini seperti meninggalkan sensasi tertentu, tidak tahu mengapa secara naluriah sudut bibi
“Kenapa kau terus menghimpitku seperti ini?” Butuh keberanian penuh tekad dan Moreau akhirnya mengajukan pertanyaan diliputi suara nyaris setengah berbisik. Ingin menoleh ke belakang, tetapi jelas keberadaan wajah Abihirt justru membuat pipi mereka bersentuhan. Pria itu dapat dipastikan tidak akan mengatakan apa – apa. Moreau secara naluriah mengembuskan napas kasar; membiarkan Abihirt mengatur posisi lebih baik dan sekarang wajah pria itu nyaris terperangkap di ceruk lehernya. Abihirt tidak tidur. Demikian yang setidaknya dapat Moreau rasakan. Mungkin juga tidak akan secepatnya terlelap, walau pria itu mengakui sendiri untuk tidak melakukan apa pun setelah mereka melakukan perjalanan jauh. Lagi pula, ada sisa hal di antara mereka yang tidak coba Moreau ungkap begitu saja. Masih tentang Froy dan dia akan mencoba mencari petunjuk. “Aku memikirkan sesuatu.” Mula – mula memulai dengan rasa waspada meningkat deras di benaknya. Ketika Abihirt masuk ke dala
Menyenangkan menggoda Abihirt. Demikian yang Moreau rasakan. Kali ini dia benar – benar berani. Benar – benar akan bersikap menantang ayah sambungnya dan secara tentatif merenggut kain yang dikenakan hingga menyisakan dalaman berenda yang kontras. Membiarkan jeda terjadi beberapa saat, kemudian ragu – ragu melirik Abihirt ketika harus dengan hati – hati menutup beberapa bagian tubuhnya di hadapan pria itu. Dia yang berusaha memancing sesuatu meledak dalam diri Abihirt, tetapi tidak ingin suami ibunya menjadi brutal dan tidak terselamatkan. Sekarang, begitu perlahan memasukkan tangan ke dalam bolongan kain—mengenakan kaus pemberian pria itu dengan tepat. Selesai. Tubuh Moreau terbungkus. Dia seperti tenggelam. Segera menunduk dan menyaksikan bagaimana ujung kain sungguh secara pasti menyentuh di pahanya. Abihirt menebak dengan tepat untuk tidak menambahkan celana. Cukup dengan dalaman satin tipis dan itu membuat Moreau merasa nyaman. “Aku akan tidur sekarang,
Moreau menunduk; tersadar bahwa perlu melakukan hal serupa, tetapi koper dan seluruh pakaian barunya—yang dipersiapkan ketika mereka hendak menuju Dubai, masih di mobil. Abihirt tidak memberikan petunjuk tentang barang – barang yang tertinggal di luar. Barangkali pria itu akan menyiapkan nanti, saat mereka telah begitu siap dan Moreau hanya perlu menunggu ayah sambungnya menyelesaikan bagian tersisa. Dia tidak akan diam begitu saja, segera menyusul bangun dan menerapkan perhatian pada kali terakhir bahu kokoh milik suami Barbara masih terlihat membelakanginya. Mungkin terlalu lancang. Ya. Namun, itu lebih baik daripada tidak pernah. Setiap detil tindakan Abihirt begitu tak terduga. Pria itu dalam sekejap telah berpakaian rapi di sana. Paling tidak, hal tersebut perlu digaris bawahi. Tidak ada yang perlu disesali, meski Moreau merasa sangat gugup saat mata kelabu itu menatap ke arahnya lamat. “Kau bilang masih mengantuk. Kenapa tidak tidur?” Suara serak dan dalam A
“Aku sangat mengantuk dan malas berjalan, bisa kau menggendongku saja?” Moreau tidak ingin menganggap ini berlebihan ketika dia hampir tidak bisa mengajukan protes kepada ayah sambungnya; mengenai keputusan pria itu untuk berada di sini, di halaman mansion mewah, alih – alih kembali ke rumah tempat mereka tinggal. Mungkin ini akan cukup pantas memberi pemahaman. Abihirt juga tidak menunjukkan sikap enggan sekadar menuruti apa yang baru saja coba dia mulai di antara mereka, yang diam – diam membuat Moreau melekukkan bibir tipis setelah mendeteksi bagaimana cara pria itu turun dari mobil, lalu mengambil sikap mengambil tubuhnya—mendekap erat dengan kedua tangan melekat penuh di sana. Moreau secara naluriah berpegangan di leher ayah sambungnya. Dia menengadah. Mengagumi setiap detil hal di wajah pria itu. Nyaris tidak ada yang bisa dilewatkan. Rasanya menyenangkan membayangkan seperti berkencan dan Abihirt sebagai kekasih baik, menuruti apa yang diinginkan. Wa
“Aku hanya penasaran bagaimana supaya bisa mengubah suamiku itu. Apa menurutmu dengan punya anak?” tanya Barbara lambat. Ada ekspresi penyesalan ketika dia mengatakan hal tersebut. Samuel tidak akan memahaminya dan dia tidak berniat bercerita lebih banyak. “Punya anak dariku atau Abi?” Alih – alih menyerahkan saran, pria itu malah berbalik tanya seolah – olah ada begitu banyak pilihan, tetapi Barbara perlu mengambil salah satu. Ya, hanya satu dan tak seorang pun dapat mengubah permainan yang akan dia mulai. “Sudah pasti Abi. Dia suamiku,” ucapnya tidak terbantahkan. “Tapi aku sering menyentuhmu.” Celakalah! Samuel memiliki pelbagai cara sekadar menjatuhkan harapan yang dia bangun bertingkat – tingkat. Barbara mengembuskan napas kasar; merasa perlu memunculkan prospek kenyataan untuk tidak terlupakan. “Meski kau sering menyentuhku. Tetap saja, Abi adalah suamiku. Dia juga menyentuhku. Kalian impas.” “Tidak impas. Kau sendiri yang mengakui ba
“Kau suka perjalanan di kapal persiar, Sayang?” Angin laut berembus deras di permukaan tubuh Barbara, meninggalkan kesan menyapu yang terlalu dipaksakan, tetapi dia begitu menikmati setiap serangkaian kegiatan di sini, bersama Samuel dan pria itu baru saja berbisik sangat lembut di wajahnya. Barbara tersenyum tipis merasakan lengan pria itu mendekap secara tentatif, hingga wajah yang bergerak telah menyeruk di sekitar lehernya. “Jangan kau lakukan itu, Sam!” ucap Barbara memperingati setelah mendeteksi Samuel akan mengambil satu tindakan berbahaya. Tidak ingin pria itu meninggalkan bekas kemerahan dan andai suatu waktu ada desakan pulang, dia takut tak bisa menyembunyikan tanda kemerahan dari pandangan Abihirt. Tidak ada kabar dari suaminya yang dingin setelah terakhir kali mereka melakukan percakapan di telepon. Bahkan Barbara butuh didorong perjuangan penuh tekad sampai kemudian Abihirt bersedia untuk menerima panggilan suara dan meskipun mereka bicara terlalu singkat. Di