“Masuki aku.” Moreau bicara nyaris dengan nada memohon. Dia harus menunggu diliputi perasaan tegang saat suara gesper di celana pria itu seperti telah disingkirkan. Sesuatu terasa kokoh secara tentatif sengaja dibiarkan memukul di antara celah lembab yang terasa benar - benar membasah. Ini akan dilakukan sebentar lagi. Moreau memejam lambat merasakan Abihirt mulai memasuki tubuhnya. Desakan penuh segera menyergap ketika tubuh pria itu menghujam dengan mulut mendesis samar. Moreau menipiskan bibir merasakan setiap hentakan Abihirt seolah ingin melumpuhkan kakinya yang menekuk. Dia bertanya – tanya, seperti inikah cara pria itu melakukan hubungan intim bersama Barbara? Apakah Abihirt memang seorang maniak, atau barangkali ibunya selalu masuk ke dalam daftar pengecualian. Perbedaan umur menjadi dasar mutlak. Abihirt membutuhkan gadis muda untuk mengimbangi hasratnya yang gila, tetapi jika seperti ini ... akankah Moreau sa
Sebentuk tubuh jangkung suaminya sedang duduk menikmati sekaleng soda di meja bar. Barbara sudah menduga hal itu, segera menghampiri Abihirt yang langsung menoleh diliputi ekspresi wajah begitu tenang. Nyaris tidak ada yang bisa terungkap ketika dia memosisikan diri duduk begitu dekat sambil memperhatikan pria itu kembali menenggak soda dengan wajah menengadah. “Apa yang kau lakukan di sini, Darling?” Mula – mula, ujung jari Barbara merambat pelan untuk menyentuh punggung tangan Abihirt yang tergoler di hadapannya. Kehangatan sang suami terasa begitu menggiurkan. Dia tersenyum dan terus – terusan memperhatikan kerongkongan pria itu bergerak naik turun. Sebenarnya, pria yang dia nikahi terlalu sempurna untuk dikhianati, tetapi Barbara tidak bisa menahan sikap romantisme yang benar – benar tidak Abihirt punya. Dia ingin suaminya, sekali saja mengucapkan kata – kata manis seperti yang sering kali Samuel berikan. Merek
“Abi Darling, bangun. Aku sudah harus berangkat ke bandara.” Barbara berkali – kali mengecup bibir Abihirt untuk membangunkan suaminya. Pria itu bergernyit, kemudian akan bergumam sesekali. Perasaan geli muncul di benak Barbara, tetapi dia tidak menyimpan tujuan serius saat ingin mata kelabu itu terbuka. Hanya sekadar memberitahu agar Abihirt tidak terkejut ketika dia sudah tidak ada di ranjang. Jika suaminya masih ingin tidur. Barbara tidak akan merasa keberatan. “Kau pergi ke bandara bersama siapa? Akan kutemani jika sendirian,” ucap pria itu sayup – sayup sembari berusaha mengatur posisi bangun. “Tidak usah repot – repot, Darling. Mobil jemputanku sudah menunggu. Aku hanya ingin berpamitan,” ucap Barbara sambil menekan dada Abihirt. Tahu bahwa pria itu berniat ingin mengantar dengan mobil. Dia bahkan menolak saat suaminya menawarkan tumpangan jet pribadi. Samuel ada di halaman depan, dia tak mungki
[Aku ingin kau menungguku di ruang merah.] Pesan dari nomor tidak dikenal, tetapi permintaan yang tersirat di sana, dikirim berikut dengan lokasi yang tercantum sangat jelas, itu segera memberi Moreau petunjuk. Abihirt .... Ayah sambungnya mungkin mengira Moreau telah lupa jalan menuju rumah mentereng itu. Dia mendengkus memikirkan apa yang akan pria tersebut lakukan ketika memintanya menunggu. Moreau bahkan masih di gedung latihan, meski memang sedang menyiapkan kebutuhan untuk pulang. Dia lelah setelah latihan panjang. Merasa tidak yakin mengimbangi seks kasar Abihirt. Barangkali pria itu akan marah ketika mengetahui sikap tidak patuh seperti keharusan. Ntahlah, Moreau sedikit bimbang mempertimbangkan perintah lewat pesan singkat di ponselnya.
Lamat sekali perhatian Moreau terpaku lurus – lurus pada suatu hal yang sedang Abihirt lakukan di dapur. Sebelah tangan pria itu terlihat sibuk menumpahkan kapsul ke satu tangan lainnya. Sesuatu yang persis tidak dia ketahui apa, tetapi tidak pernah meninggalkan perhatian dari sana, pada tenggorokan yang bergerak ketika sedang menenggak segelas air putih. Abihirt sedang bertelanjang dada dan sepertinya baru selesai melakukan rutinitas pagi. Terungkap beberapa butir keringat di tubuh pria itu, yang berjatuhan dari pangkal rahang hingga sulur – sulur merambat ke celah otot – otot di bagian perut. Sebuah pemandangan menakjubkan di pagi hari. Moreau menelan ludah kasar, kemudian berusaha keras mengenyahkan pemikiran kotor di benaknya. Dia sungguh, tak ingin melakukan itu. Barangkali harus belajar terbiasa menghadapi tubuh kokoh Abihirt, yang tampaknya tak sadar bahwa Moreau berada sekian jengkal jarak, sampai wajah tampan itu menoleh.
Sudah cukup rasanya memperkenalkan kepada Caroline beberapa hal di sekitar sudut rumah. Moreau yakin wanita itu akan mengerti apa saja yang boleh dan tidak dilakukan persis seperti peraturan Barbara. Ada satu guci besar ditempatkan di siku mencolok, yakni antara dinding ruang menonton yang kemudian menghubungkan siapa pun kepada lorong menuju beberapa ruang berbeda. Itu adalah bagian paling serius ... harus Caroline ingat supaya jangan sampai; ntah dengan atau tidak sengaja merusak, hingga memecahkan beberap hal di sini, termasuk guci yang dimaksud. Barbara selalu anti jika barang – barang wanita itu tersentuh oleh tangan – tangan lain. Bahkan Moreau sendiri tak berani meninggalkan kesan buruk. Dia tak sanggup menghadapi kemarahan ibunya yang akan selalu panjang. Harap – harap tidak memiliki sedikitpun kesempatan merusak kegemaran wanita itu. “Ada yang ingin kau tanyakan lagi, Ca
Itu semacam tuduhan serius yang sama sekali tidak penah Moreau pikirkan bahwa dia akan melakukan hal demikian. Semua adalah ide Barbara. Moreau harus menahan napas, karena bahkan Abihirt tidak diberitahu, setidaknya sedikit, tentang keputusan yang wanita itu ambil. Dia tersenyum getir membayangkan beberapa hal yang sebenarnya tidak cukup diterima, terutama ketika genggaman Abihirt masih bertaut di pergelangan tangannya dengan lekat. Bibir Moreau menipis, tanpa memikirkan apa pun untuk menatap mata kelabu pria itu skeptis. “Mengapa kau tak tanyakan langsung kepada ibuku apa yang dia lakukan?” tanyanya kali pertama supaya Abihirt mendapat sedikit informasi. “Bukankah bagus ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan? Jadi aku tak perlu repot – repot membersihkan semua yang ada di sini, di rumah besar ini, sendirian, apalagi sekarang kau memaksaku unt
“Jadi kau bertengkar dengan ayah sambungmu, dan akan tinggal di sini sampai ibumu menyelesaikan urusannya di Paris?” Moreau hanya mengangguk setengah ragu setelah Juan membiarkannya duduk di sofa tunggal. Pria itu segera mengajukan pertanyaan secara spesifik, yang tidak didapat diceritakan saat mereka melakukan sambungan telepon dan terkait permintaan untuk dijemput. Dia merasa jika membawa mobil sendiri bukanlah keputusan bagus. Abihirt akan dengan mudah menemukannya, tetapi sungguh, Moreau tak ingin berhadapan langsung. Sesuatu dalam dirinya menolak, marah, terluka, karena ternyata pria itu tidak hanya melakukan tindakan kasar di atas ranjang. Namun, secara tak terduga nyaris tidak memberi Moreau kesempatan mengambil kebebasan. Bekas yang tersisa dari tindakan Abihirt sesekali berusaha mengambil kendali. Moreau tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Tak memungkiri bahwa ingata
Semua harus dilakukan dengan hati – hati. Barbara tidak ingin mengambil risiko. Dia akan mempertimbangkan andai Abihirt mau bekerja sama. “Sedang kupikirkan.” Tidak ada kepastian dari jawaban singkat suaminya. Barbara harap dia tidak mencelupkan diri ke dalam kesalahan besar ketika memutuskan untuk ... perlahan menarik napas kemudian mengembuskan secara kasar. “Itu punya Samuel,” ucapnya, cukup tak berani menatap ke wajah Abihirt. Ya, memalingkan wajah ke dinding kamar menjadi keputusan terbaik. Barbara akan menunggu. Beberapa saat lebih lama tidak apa – apa. Dia memejam sebentar. Mencoba menghitung dalam hati. Namun, sepertinya keterdiaman Abihirt sudah melampaui batas. Dia tidak akan pernah tahu apa pun, jika menempatkan dirinya pada ancaman berbahaya. Akhirnya ... setengah enggan, Barbara menjatuhkan perhatian di wajah pria itu. Tatapan dingin seperti akan membuatnya menjadi kepingan membeku. Apa yang sedang Abihirt pikirkan? Dia mungkin bisa menduga – duga te
“Hanya berjalan keluar sebentar.” Abihirt tetap tenang saat sorot mata Barbara menyerupai kilatan menyambar. Wanita itu bahkan tidak tahu betapa ini akan lebih buruk dari perdebatan yang pernah mereka hadapi. Tidak perlu terburu – buru mengeksekusi satu bagian yang berada tepat di depan mata. Satu langkah mendekat, Abihirt benar – benar menyingkirkan sisa jarak membatas. Barbara terlihat menunjukkan sikap waspada. Kedua tangan wanita itu masih terikat di kepala ranjang. Samar sekali sudut bibir Abihirt berkedut. Membiarkan wajah mereka perlahan mendekat. Napas Barbara mulai memberat, semacam suatu petanda bahwa ini akan segera dimulai. Abihirt memberi kecupan samar di sudut bibir wanita itu. Keterkejutan bukan sesuatu yang sepenuhnya dapat digerakkan dengan baik. “Hanya untuk menunggumu benar – benar siap. Bukan karena ada sesuatu yang sedang kusembunyikan,” dia berbisik lambat sekadar memberi Barbara kepastian. Nyaris memberi wanita itu sentuhan bibir yang leb
Tidak terlalu lama sebenarnya, tetapi Barbara tidak menyukai saat – saat dia harus dibuat begitu penasaran terhadap sesuatu yang tidak berusaha Abihirt ungkapkan secara gamblang. Rasanya seperti membiarkan dirinya terpanggang di dalam oven, sementara pria itu pergi berkeliling ke suatu tempat untuk kemudian muncul kembali tanpa peringatan. Hanya suara ranjang berderak dan membuat Barbara berusaha menahan separuh kekesalan yang bertumpuk di benaknya. Dia tidak ingin lepas begitu saja. Mereka sudah cukup puas bertengkar semalam. Meski tidak dimungkiri bahwa cara Abihirt meninggalkannya dengan situasi seperti ini menyerahkan begitu banyak gambaran tidak masuk akal. Dorongan implusif seakan memberi tahu agar dia dapat berpikir lebih jernih untuk mencurigai suaminya. “Kau dari mana saja?” tanya Barbara setelah merasakan betapa jarak antara dia dan bagaimana Abihirt sudah begitu dekat, lalu membuka ikatan dasi di yang menutup di matanya. Aroma maskulin—khas dari tubuh pria it
Moreau mendengar segala sesuatu di sana. Suara tautan bibir; perintah Abihirt; dan bagaimana Barbara kemudian bersuara. Semuanya merupakan prospek yang jelas memberi dia petunjuk tentang apa yang telah terjadi di atas kepalanya saat ini, di mana ranjang sesekali terdengar berderak dan .... Ya, cukup sakit membayangkan Abihirt saat ini sedang mencumbu Barbara; memberi wanita itu kepuasan—apa pun, yang berkaitan dengan kebutuhan meluapkan hasrat bersama. Sementara dia harus bersembunyi seperti seseorang yang baru saja memborong kebodohan. Hanya berharap tidak pernah ketahuan. Berharap dengan bersembunyi bisa menghindari masalah lebih besar. Mungkin terlalu naif jika dia masih mendambakan pertolongan secepatnya. Tidak ada yang tahan untuk berada di sini lebih lama; ditumbuk oleh pelbagai kenyataan paling getir bahwa betapa pun dia terjebak pada situasi yang tak dapat dikendalikan, itu masih tergolong ke dalam keputusan paling salah. Seharusnya tidak membiarkan Abihirt menye
“Apa yang ingin kau lakukan, Abi?” tanya Barbara dengan kewaspadaan merangkak cepat ke permukaan. Dia berusaha beringsut mundur saat mengetahui suaminya telah mencondongkan tubuh dan menepis sisa jarak di antara mereka. Wajah pria itu benar – benar mendekat. Sesuatu yang menyebarkan beberapa tanda tanya besar. Barbara harus menghadapi desakan tak terduga di mana Abihirt telah merampas bibirnya dengan begitu terburu. Dia masih cukup terkejut, tetapi segera mengendalikan diri untuk mengimbangi apa pun yang terasa masih sangat mendadak. Sedikit senyum di balik ciuman mereka—Barbara tidak akan bersikap terancam andai dia tahu inilah yang kemudian Abihirt lakukan. Paling tidak, bukan lagi tentang kemarahan, perdebatan semalam dan hal – hal yang terasa menjengkelkan. Hanya kemudian Barbara terkesiap ketika tangan Abihirt mendorongnya kasar supaya beringsut ke belakang. Pria tersebut ingin dia bersandar di kepala ranjang, maka itulah yang dia lakukan. “Kau benar – be
Napas Barbara berembus kasar kali pertama mendapati suaminya sudah ada di kamar. Dia masih menyentuh gagang pintu dan segera menutup kamar dengan rapat. Posisi Abihirt persis begitu tenang duduk di pinggir ranjang. Kedua tangan pria itu berpangku pada kaki yang menapak di lantai, bentuk posisi yang tampak benar – benar tidak memberi banyak pengaruh, walau Barbara harus mengakui bahwa suaminya perlu sedikit membungkuk sembari melakukan kontak mata berdua. Rasanya sudah cukup—semalam mereka menghadapi pertengkaran hebat dan berakhir dengan Abihirt meninggalkan pelbagai ketakutan di benaknya. Barbara sudah begitu khawatir ketika pria itu tidak memberi kabar. Dia hampir tidak tidur semalam, tetapi tidak dimungkiri bahwa urusan kantor tidak bisa ditinggal hanya karena butuh terlelap lebih lama, meski kebutuhan tersebut seakan telah lenyap tak bersisa. Mungkin ini saatnya. Setiap detil bagian dari tindakan Abihirt tidak luput dari perhatian Barbara, termasuk saat dia harus
“Kau lihat saja, aku akan memotong penismu jika sampai ibuku mengetahui bekas yang kau tinggalkan.” Moreau tidak benar – benar mengancam, tetapi dia yakin itu akan cukup menunjukkan betapa dia merasa kesal kepada ayah sambungnya. Kedutan samar di sudut bibir Abihirt memperlihatkan respons signifikan bahwa sebenarnya pria itu sedikit terhibur oleh sesuatu yang mungkin membuat ketegangan mereka selama beberapa hari meluap begitu saja. “Kau akan membawa pakaian kering ini ke kamarku?" Hanya kebetulan hening berusaha mengambil tempat dan tiba – tiba sayup suara Barbara menyelinap di sekitar udara. Dapat dipastikan wanita itu sedang berbicara kepada Caroline. Barangkali secara kebetulan mereka bertemu di lorong lantai dua, tetapi bagian tersebut adalah petunjuk bahwa Barbara akan segera menginjakkan kaki ke kamar; tidak perlu mengetuk sekadar beranjak masuk masuk; cukup dengan menekan gagang pintu andai Abihirt lupa mengunci dari dalam. Dia tak benar – benar mengamat
“Kalau bukan apa – apa, kau tidak akan bersikap berlebih setelah mendengar penjelasanku.” Tidak ingin menyerah, Moreau mengatakan penyangkalan dalam dirinya begitu saja. Itu adalah reaksi murni yang sungguh tidak dia inginkan, jika pada akhirnya akan cukup mengerikan mendapati iris kelabu Abihirt secara mendadak menyerupai ujung pedang yang tajam. Sorot mata pria itu terlalu kelam. Dia hampir lupa bagaimana tetap berpegangan ketika hampir terhanyut dan terombang ambing di sana. “Aku benar, kan? Kau tidak biasanya bersikap seperti ini.” Sial. Bentuk pemberontakkan dalam diri Moreau terlalu murni. Dia tak bohong ternyata cukup kewalahan sekadar memisahkan mana bagian paling penting ketika perlu menjadi benar – benar berani dan tidak. Abihirt punya ruang penuh untuk menghukumnya dengan cara apa pun. Bahkan kenyataan sebenarnya mengatakan bahwa dia masih terjerembab dalam perangkap pria itu. Dia tak harus lupa jika borgol yang menjerat pada salah satu pergelangan tangan a
Moreau menelan ludah kasar menghadapi sisa jarak yang begitu dekat dari ayah sambungnya, setelah hening di antara mereka seakan bergemuruh dengan liar. “Jadi kau sungguh ingin tahu apa yang aku dan Juan lakukan di kamar berdua?” dia bertanya hati - hati, sedikit tergelitik terhadap reaksi Abihirt yang begitu singkat dan seolah pria itu sedang mempelajari beberapa hal tentang dirinya. “Ya, aku masih menginginkanmu mengatakan semua.” Suara serak dan dalam Abihirt tidak meninggalkan jejak ganjil, meski beberapa waktu lalu Moreau memahami betapa ayah sambungnya terduga menahan luapan amarah paling berbahaya. Dia tersenyum diam – diam. Bukankah Abihirt hanya mengurungnya dengan borgol yang tertaut di kepala ranjang? Bahkan pria itu tidak sama sekali melakukan tindakan kasar seperti saat mereka ada di ruang merah. Kekhawatiran di benak Moreau belum selesai, tetapi dia cukup tenang untuk kembali bicara, “Bagaimana kalau kukatakan bahwa Juan tidak akan penah tertarik k