“Jadi kau bertengkar dengan ayah sambungmu, dan akan tinggal di sini sampai ibumu menyelesaikan urusannya di Paris?”
Moreau hanya mengangguk setengah ragu setelah Juan membiarkannya duduk di sofa tunggal. Pria itu segera mengajukan pertanyaan secara spesifik, yang tidak didapat diceritakan saat mereka melakukan sambungan telepon dan terkait permintaan untuk dijemput. Dia merasa jika membawa mobil sendiri bukanlah keputusan bagus. Abihirt akan dengan mudah menemukannya, tetapi sungguh, Moreau tak ingin berhadapan langsung. Sesuatu dalam dirinya menolak, marah, terluka, karena ternyata pria itu tidak hanya melakukan tindakan kasar di atas ranjang. Namun, secara tak terduga nyaris tidak memberi Moreau kesempatan mengambil kebebasan. Bekas yang tersisa dari tindakan Abihirt sesekali berusaha mengambil kendali. Moreau tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Tak memungkiri bahwa ingataDari kebutuhan membersihkan halaman belakang menuju dapur, tubuh Caroline tiba – tiba tersentak dan membeku saat mendapati sebentuk tubuh jangkung Abihirt sedang membelakanginya dengan bahu yang terlihat kokoh. Dia tidak pernah menduga pria itu akan pulang lebih awal. Sebelum pergi, Moreau sempat mengatakan beberapa hal dan meninggalkan pesan untuk disampaikan kepada Abihirt yang tampaknya sibuk memotong sesuatu. Suara pisau bersentuhan terhadap alas pemotong terdengar begitu nyata. Lewat tindakan yang begitu hati – hati. Caroline segera mengendalikan diri, lantas melangkah lebih dekat. Masih tersisa kebutuhan untuk mengenal sang majikan yang cenderung begitu tidak asing. Dia hanya sedikit sulit mengingat beberapa peristiwa belakangan ini. Barangkali secara perlahan Caroline akan segera mendapatkan pengetahuannya. “Tuan ....” Dia bicara cukup hati
“Gara – gara kau bohong kepada Mrs. Voudly tadi siang, sekarang aku jadi sakit beneran.” Moreau bicara diliputi desakan tidak nyaman setelah mendengar derap langkah seseorang mendekat. Dia merasa kedingingan sepanjang waktu, dan baru saja memutuskan untuk berlindung di balik selimut tebal. Cukup merasa lega dapat menumpang tidur di kasur Juan, mengingat hanya ada satu kamar di sini dengan pria itu selalu berbagi ranjang bersama seseorang, jika memang kekasih Juan tidak disibukkan pekerjaan. Namun, pria itu tentu menyusul kepergian Moreau. Sekarang sedang menjulang tinggi sambil melipat tangan di depan dada. Juan berdecak dan menjatuhkan diri di atas sofa panjang. Sesaat pria itu menarik napas dan mengembuskan sedikit kasar. Memainkan rambut sendiri dengan sorot matanya menatap Moreau skeptis. “Kau sakit bukan karena aku berbohong. Itu cuma kebetulan. Yang ben
Suara ketukan pintu sayup – sayup menarik perhatian Moreau. Dia langsung menoleh ke belakang sambil berusaha mengatur posisi duduk bersandar di kepala ranjang, menunggu Juan akan melangkah masuk, yang paling aneh, pria itu selalu tak punya nilai kesopanan, terutama ini hanyalah kamar yang ditumpangi. Seharusnya Juan mengatur hak secara utuh miliknya, tak harus mengetuk; meminta izin sekadar melangkah masuk ke dalam atau mengerjakan apa pun tersisa. “Masuklah, Juan. Aku sudah lapar.” Muncul perasaan tegang saat mengamati gagang pintu yang bergerak. Seseorang menderap dengan tegas, tetapi nyaris tidak terpikirkan di benak Moreau bahwa dia akan menemukan Abihirt berjalan sambil membawa sesuatu di tangan. Plastik burger yang kemudian diserahkan begitu dekat di hadapannya. Dia mengernyit. Bertanya – tanya dari mana pria itu mendapatkan
“Sekarang makan.” Ada sedikit perbedaan, perlu digarisbawahi. Dia sedikit takut saat menghadapi suara serak dan dalam ayah sambungnya berubah tegas. Tidak mengatakan apa pun lagi, segera merenggut plastik burger, ingin melihat ke dalam isinya, tetapi sedikit terkejut saat menemukan kain yang dijahit solid dengan kaki maupun tangan menggumpal lucu. Sebelah alis Moreau terangkat tinggi begitu mengangkat benda tersebut keluar. Boneka panda. Namun, terasa sedikit basah. “Untuk apa ini?” Dia bertanya heran, berharap secepatnya mendapat jawaban sambil mengamati wajah Abihirt, yang sialan tampan dengan beberapa helai rambut menjuntai di depan kening. Jari – jari pria tersebut tampaknya sudah berulang kali menyugar sebagian yang tersisa. Perlu diketahui bahwa rambut gelap berantakan itu sudah
Ironi. Apa pun yang sedang Moreau lakukan tidak pernah lepas dari kilatan mata kelabu Abihirt. Dia merasa sangat gugup saat ayah sambungnya terlihat menunggu sesuatu, mungkin ketika sedang meletakkan plastik sampah ke bawah kaki ranjang, dan menenggak segelas air putih yang penuh di dalam botol, yang dibeli bersama Juan hari itu. Moreau tidak akan pernah lupa membawanya ke mana pun, bahkan sampai di tempat ini ... baru saja meletakkan benda tersebut ke atas nakas, lalu melirik ayah sambungnya dengan pelbagai perasaan tak terduga. Napas Moreau berembus, kemudian menarik selimut untuk menutup dirinya. “Kalau memang tidak mau pulang. Kau bisa menunggu di sofa atau pergi menemui Juan di luar, aku ingin beristirahat.” Dia menambahkan sambil mengatur posisi ingin berbaring. Tidak secepat itu. Ya, tidak saat Abihirt beralih duduk dengan separuh tubuh menghadap ke arahnya, sementara satu tangan pria itu dipastikan untuk m
Siraman cahaya sulur - sulur menembus dari jendela kaca, yang semalam—lupa Moreau tutupi, perlahan membuatnya mengernyit. Dia langsung tersentak bangun, lantas menoleh ke belakang sekadar memastikan sesuatu .... Ayah sambungnya dengan posisi telentang dan bertelanjang dada. Sesaat Moreau terpaku pada wajah tidur Abihirt. Betapa tenang, nyaris sempurna. Napas pria itu teratur, sepertinya masih terlalu lelap sehingga Moreau tidak ingin mengambil tindakan yang salah. Dia hanya berniat bangkit, ingin memungut kain yang tercecer sembarangan. Namun, berhenti ketika iris biru terangnya menatap benda pipih yang pria itu taruh di atas nakas. Begitu dekat. Moreau tidak tahu apakah dia perlu bersikap nekat atau akan membiarkan rasa penasaran yang muncul secara mendadak lenyap tak bertuan. Tampaknya, semakin dia menahan diri, itu akan membua
Iris biru terang Moreau tidak sedikitpun memutuskan kontak mata, meski Juan sedang menatapnya seolah pria itu ingin meminum beberapa pernyataan yang harus diuraikan secara serius. Rasanya begitu ganjil mendapati Juan menatap lurus – lurus di sana, diliputi raut wajah begitu skeptis. Hal yang cukup membuat Moreau gelisah, dia sudah berulang kali mengetuk jari – jari tangan di atas pangkuan sendiri dan juga mengatur helai rambut ke depan supaya Juan tak menemukan bekas kemerahan di ceruk lehernya. Pria itu akan bertambah curiga. Moreau tidak ingin paling dihindari tersebut terjadi. “Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu, Juan? Aku risih.” Dia bicara, tetapi sambil mengatur ketukan tangannya menjadi remasan samar – samar pada ujung mantel tebal berbulu di sana. “Kenapa memangnya? Kau berhutang banyak c
Tidak ada percakapan bahkan setelah perjalanan pulang. Moreau tidak tahu apa yang mungkin sedang dia pikirkan. Begitu ganjil dan gugup menghadapi Abihirt berjalan menuruni undakan tangga setelah pria itu membawa tas berisi beberapa pakaian ke dalam kamarnya. Pria itu bahkan tidak mengatakan sedikitpun, sesuatu, saat menawarkan bantuan. Hanya bersikap diam—membingungkan, kemudian ... mulai menghilang. Moreau mengembuskan napas kasar, segera memutuskan untuk menutup pintu, lantas berjalan tentatif ke arah ranjang. Dia menjatuhkan tubuh telentang dengan perhatian tertuju lurus - lurus ke depan. Rencana menghindari ayah sambungnya berakhir gagal. Moreau bahkan belum menemukan jawaban ... dari mana Abihirt tahu kediaman Juan, dan mengapa pria itu bisa menebak dengan tepat? Mungkin ada sesuatu di baliknya .... Barbara? Seketika puncak kepala Moreau seperti disi
Semua harus dilakukan dengan hati – hati. Barbara tidak ingin mengambil risiko. Dia akan mempertimbangkan andai Abihirt mau bekerja sama. “Sedang kupikirkan.” Tidak ada kepastian dari jawaban singkat suaminya. Barbara harap dia tidak mencelupkan diri ke dalam kesalahan besar ketika memutuskan untuk ... perlahan menarik napas kemudian mengembuskan secara kasar. “Itu punya Samuel,” ucapnya, cukup tak berani menatap ke wajah Abihirt. Ya, memalingkan wajah ke dinding kamar menjadi keputusan terbaik. Barbara akan menunggu. Beberapa saat lebih lama tidak apa – apa. Dia memejam sebentar. Mencoba menghitung dalam hati. Namun, sepertinya keterdiaman Abihirt sudah melampaui batas. Dia tidak akan pernah tahu apa pun, jika menempatkan dirinya pada ancaman berbahaya. Akhirnya ... setengah enggan, Barbara menjatuhkan perhatian di wajah pria itu. Tatapan dingin seperti akan membuatnya menjadi kepingan membeku. Apa yang sedang Abihirt pikirkan? Dia mungkin bisa menduga – duga te
“Hanya berjalan keluar sebentar.” Abihirt tetap tenang saat sorot mata Barbara menyerupai kilatan menyambar. Wanita itu bahkan tidak tahu betapa ini akan lebih buruk dari perdebatan yang pernah mereka hadapi. Tidak perlu terburu – buru mengeksekusi satu bagian yang berada tepat di depan mata. Satu langkah mendekat, Abihirt benar – benar menyingkirkan sisa jarak membatas. Barbara terlihat menunjukkan sikap waspada. Kedua tangan wanita itu masih terikat di kepala ranjang. Samar sekali sudut bibir Abihirt berkedut. Membiarkan wajah mereka perlahan mendekat. Napas Barbara mulai memberat, semacam suatu petanda bahwa ini akan segera dimulai. Abihirt memberi kecupan samar di sudut bibir wanita itu. Keterkejutan bukan sesuatu yang sepenuhnya dapat digerakkan dengan baik. “Hanya untuk menunggumu benar – benar siap. Bukan karena ada sesuatu yang sedang kusembunyikan,” dia berbisik lambat sekadar memberi Barbara kepastian. Nyaris memberi wanita itu sentuhan bibir yang leb
Tidak terlalu lama sebenarnya, tetapi Barbara tidak menyukai saat – saat dia harus dibuat begitu penasaran terhadap sesuatu yang tidak berusaha Abihirt ungkapkan secara gamblang. Rasanya seperti membiarkan dirinya terpanggang di dalam oven, sementara pria itu pergi berkeliling ke suatu tempat untuk kemudian muncul kembali tanpa peringatan. Hanya suara ranjang berderak dan membuat Barbara berusaha menahan separuh kekesalan yang bertumpuk di benaknya. Dia tidak ingin lepas begitu saja. Mereka sudah cukup puas bertengkar semalam. Meski tidak dimungkiri bahwa cara Abihirt meninggalkannya dengan situasi seperti ini menyerahkan begitu banyak gambaran tidak masuk akal. Dorongan implusif seakan memberi tahu agar dia dapat berpikir lebih jernih untuk mencurigai suaminya. “Kau dari mana saja?” tanya Barbara setelah merasakan betapa jarak antara dia dan bagaimana Abihirt sudah begitu dekat, lalu membuka ikatan dasi di yang menutup di matanya. Aroma maskulin—khas dari tubuh pria it
Moreau mendengar segala sesuatu di sana. Suara tautan bibir; perintah Abihirt; dan bagaimana Barbara kemudian bersuara. Semuanya merupakan prospek yang jelas memberi dia petunjuk tentang apa yang telah terjadi di atas kepalanya saat ini, di mana ranjang sesekali terdengar berderak dan .... Ya, cukup sakit membayangkan Abihirt saat ini sedang mencumbu Barbara; memberi wanita itu kepuasan—apa pun, yang berkaitan dengan kebutuhan meluapkan hasrat bersama. Sementara dia harus bersembunyi seperti seseorang yang baru saja memborong kebodohan. Hanya berharap tidak pernah ketahuan. Berharap dengan bersembunyi bisa menghindari masalah lebih besar. Mungkin terlalu naif jika dia masih mendambakan pertolongan secepatnya. Tidak ada yang tahan untuk berada di sini lebih lama; ditumbuk oleh pelbagai kenyataan paling getir bahwa betapa pun dia terjebak pada situasi yang tak dapat dikendalikan, itu masih tergolong ke dalam keputusan paling salah. Seharusnya tidak membiarkan Abihirt menye
“Apa yang ingin kau lakukan, Abi?” tanya Barbara dengan kewaspadaan merangkak cepat ke permukaan. Dia berusaha beringsut mundur saat mengetahui suaminya telah mencondongkan tubuh dan menepis sisa jarak di antara mereka. Wajah pria itu benar – benar mendekat. Sesuatu yang menyebarkan beberapa tanda tanya besar. Barbara harus menghadapi desakan tak terduga di mana Abihirt telah merampas bibirnya dengan begitu terburu. Dia masih cukup terkejut, tetapi segera mengendalikan diri untuk mengimbangi apa pun yang terasa masih sangat mendadak. Sedikit senyum di balik ciuman mereka—Barbara tidak akan bersikap terancam andai dia tahu inilah yang kemudian Abihirt lakukan. Paling tidak, bukan lagi tentang kemarahan, perdebatan semalam dan hal – hal yang terasa menjengkelkan. Hanya kemudian Barbara terkesiap ketika tangan Abihirt mendorongnya kasar supaya beringsut ke belakang. Pria tersebut ingin dia bersandar di kepala ranjang, maka itulah yang dia lakukan. “Kau benar – be
Napas Barbara berembus kasar kali pertama mendapati suaminya sudah ada di kamar. Dia masih menyentuh gagang pintu dan segera menutup kamar dengan rapat. Posisi Abihirt persis begitu tenang duduk di pinggir ranjang. Kedua tangan pria itu berpangku pada kaki yang menapak di lantai, bentuk posisi yang tampak benar – benar tidak memberi banyak pengaruh, walau Barbara harus mengakui bahwa suaminya perlu sedikit membungkuk sembari melakukan kontak mata berdua. Rasanya sudah cukup—semalam mereka menghadapi pertengkaran hebat dan berakhir dengan Abihirt meninggalkan pelbagai ketakutan di benaknya. Barbara sudah begitu khawatir ketika pria itu tidak memberi kabar. Dia hampir tidak tidur semalam, tetapi tidak dimungkiri bahwa urusan kantor tidak bisa ditinggal hanya karena butuh terlelap lebih lama, meski kebutuhan tersebut seakan telah lenyap tak bersisa. Mungkin ini saatnya. Setiap detil bagian dari tindakan Abihirt tidak luput dari perhatian Barbara, termasuk saat dia harus
“Kau lihat saja, aku akan memotong penismu jika sampai ibuku mengetahui bekas yang kau tinggalkan.” Moreau tidak benar – benar mengancam, tetapi dia yakin itu akan cukup menunjukkan betapa dia merasa kesal kepada ayah sambungnya. Kedutan samar di sudut bibir Abihirt memperlihatkan respons signifikan bahwa sebenarnya pria itu sedikit terhibur oleh sesuatu yang mungkin membuat ketegangan mereka selama beberapa hari meluap begitu saja. “Kau akan membawa pakaian kering ini ke kamarku?" Hanya kebetulan hening berusaha mengambil tempat dan tiba – tiba sayup suara Barbara menyelinap di sekitar udara. Dapat dipastikan wanita itu sedang berbicara kepada Caroline. Barangkali secara kebetulan mereka bertemu di lorong lantai dua, tetapi bagian tersebut adalah petunjuk bahwa Barbara akan segera menginjakkan kaki ke kamar; tidak perlu mengetuk sekadar beranjak masuk masuk; cukup dengan menekan gagang pintu andai Abihirt lupa mengunci dari dalam. Dia tak benar – benar mengamat
“Kalau bukan apa – apa, kau tidak akan bersikap berlebih setelah mendengar penjelasanku.” Tidak ingin menyerah, Moreau mengatakan penyangkalan dalam dirinya begitu saja. Itu adalah reaksi murni yang sungguh tidak dia inginkan, jika pada akhirnya akan cukup mengerikan mendapati iris kelabu Abihirt secara mendadak menyerupai ujung pedang yang tajam. Sorot mata pria itu terlalu kelam. Dia hampir lupa bagaimana tetap berpegangan ketika hampir terhanyut dan terombang ambing di sana. “Aku benar, kan? Kau tidak biasanya bersikap seperti ini.” Sial. Bentuk pemberontakkan dalam diri Moreau terlalu murni. Dia tak bohong ternyata cukup kewalahan sekadar memisahkan mana bagian paling penting ketika perlu menjadi benar – benar berani dan tidak. Abihirt punya ruang penuh untuk menghukumnya dengan cara apa pun. Bahkan kenyataan sebenarnya mengatakan bahwa dia masih terjerembab dalam perangkap pria itu. Dia tak harus lupa jika borgol yang menjerat pada salah satu pergelangan tangan a
Moreau menelan ludah kasar menghadapi sisa jarak yang begitu dekat dari ayah sambungnya, setelah hening di antara mereka seakan bergemuruh dengan liar. “Jadi kau sungguh ingin tahu apa yang aku dan Juan lakukan di kamar berdua?” dia bertanya hati - hati, sedikit tergelitik terhadap reaksi Abihirt yang begitu singkat dan seolah pria itu sedang mempelajari beberapa hal tentang dirinya. “Ya, aku masih menginginkanmu mengatakan semua.” Suara serak dan dalam Abihirt tidak meninggalkan jejak ganjil, meski beberapa waktu lalu Moreau memahami betapa ayah sambungnya terduga menahan luapan amarah paling berbahaya. Dia tersenyum diam – diam. Bukankah Abihirt hanya mengurungnya dengan borgol yang tertaut di kepala ranjang? Bahkan pria itu tidak sama sekali melakukan tindakan kasar seperti saat mereka ada di ruang merah. Kekhawatiran di benak Moreau belum selesai, tetapi dia cukup tenang untuk kembali bicara, “Bagaimana kalau kukatakan bahwa Juan tidak akan penah tertarik k