Suara ketukan pintu sayup – sayup menarik perhatian Moreau. Dia langsung menoleh ke belakang sambil berusaha mengatur posisi duduk bersandar di kepala ranjang, menunggu Juan akan melangkah masuk, yang paling aneh, pria itu selalu tak punya nilai kesopanan, terutama ini hanyalah kamar yang ditumpangi.
Seharusnya Juan mengatur hak secara utuh miliknya, tak harus mengetuk; meminta izin sekadar melangkah masuk ke dalam atau mengerjakan apa pun tersisa. “Masuklah, Juan. Aku sudah lapar.” Muncul perasaan tegang saat mengamati gagang pintu yang bergerak. Seseorang menderap dengan tegas, tetapi nyaris tidak terpikirkan di benak Moreau bahwa dia akan menemukan Abihirt berjalan sambil membawa sesuatu di tangan. Plastik burger yang kemudian diserahkan begitu dekat di hadapannya. Dia mengernyit. Bertanya – tanya dari mana pria itu mendapatkan“Sekarang makan.” Ada sedikit perbedaan, perlu digarisbawahi. Dia sedikit takut saat menghadapi suara serak dan dalam ayah sambungnya berubah tegas. Tidak mengatakan apa pun lagi, segera merenggut plastik burger, ingin melihat ke dalam isinya, tetapi sedikit terkejut saat menemukan kain yang dijahit solid dengan kaki maupun tangan menggumpal lucu. Sebelah alis Moreau terangkat tinggi begitu mengangkat benda tersebut keluar. Boneka panda. Namun, terasa sedikit basah. “Untuk apa ini?” Dia bertanya heran, berharap secepatnya mendapat jawaban sambil mengamati wajah Abihirt, yang sialan tampan dengan beberapa helai rambut menjuntai di depan kening. Jari – jari pria tersebut tampaknya sudah berulang kali menyugar sebagian yang tersisa. Perlu diketahui bahwa rambut gelap berantakan itu sudah
Ironi. Apa pun yang sedang Moreau lakukan tidak pernah lepas dari kilatan mata kelabu Abihirt. Dia merasa sangat gugup saat ayah sambungnya terlihat menunggu sesuatu, mungkin ketika sedang meletakkan plastik sampah ke bawah kaki ranjang, dan menenggak segelas air putih yang penuh di dalam botol, yang dibeli bersama Juan hari itu. Moreau tidak akan pernah lupa membawanya ke mana pun, bahkan sampai di tempat ini ... baru saja meletakkan benda tersebut ke atas nakas, lalu melirik ayah sambungnya dengan pelbagai perasaan tak terduga. Napas Moreau berembus, kemudian menarik selimut untuk menutup dirinya. “Kalau memang tidak mau pulang. Kau bisa menunggu di sofa atau pergi menemui Juan di luar, aku ingin beristirahat.” Dia menambahkan sambil mengatur posisi ingin berbaring. Tidak secepat itu. Ya, tidak saat Abihirt beralih duduk dengan separuh tubuh menghadap ke arahnya, sementara satu tangan pria itu dipastikan untuk m
Siraman cahaya sulur - sulur menembus dari jendela kaca, yang semalam—lupa Moreau tutupi, perlahan membuatnya mengernyit. Dia langsung tersentak bangun, lantas menoleh ke belakang sekadar memastikan sesuatu .... Ayah sambungnya dengan posisi telentang dan bertelanjang dada. Sesaat Moreau terpaku pada wajah tidur Abihirt. Betapa tenang, nyaris sempurna. Napas pria itu teratur, sepertinya masih terlalu lelap sehingga Moreau tidak ingin mengambil tindakan yang salah. Dia hanya berniat bangkit, ingin memungut kain yang tercecer sembarangan. Namun, berhenti ketika iris biru terangnya menatap benda pipih yang pria itu taruh di atas nakas. Begitu dekat. Moreau tidak tahu apakah dia perlu bersikap nekat atau akan membiarkan rasa penasaran yang muncul secara mendadak lenyap tak bertuan. Tampaknya, semakin dia menahan diri, itu akan membua
Iris biru terang Moreau tidak sedikitpun memutuskan kontak mata, meski Juan sedang menatapnya seolah pria itu ingin meminum beberapa pernyataan yang harus diuraikan secara serius. Rasanya begitu ganjil mendapati Juan menatap lurus – lurus di sana, diliputi raut wajah begitu skeptis. Hal yang cukup membuat Moreau gelisah, dia sudah berulang kali mengetuk jari – jari tangan di atas pangkuan sendiri dan juga mengatur helai rambut ke depan supaya Juan tak menemukan bekas kemerahan di ceruk lehernya. Pria itu akan bertambah curiga. Moreau tidak ingin paling dihindari tersebut terjadi. “Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu, Juan? Aku risih.” Dia bicara, tetapi sambil mengatur ketukan tangannya menjadi remasan samar – samar pada ujung mantel tebal berbulu di sana. “Kenapa memangnya? Kau berhutang banyak c
Tidak ada percakapan bahkan setelah perjalanan pulang. Moreau tidak tahu apa yang mungkin sedang dia pikirkan. Begitu ganjil dan gugup menghadapi Abihirt berjalan menuruni undakan tangga setelah pria itu membawa tas berisi beberapa pakaian ke dalam kamarnya. Pria itu bahkan tidak mengatakan sedikitpun, sesuatu, saat menawarkan bantuan. Hanya bersikap diam—membingungkan, kemudian ... mulai menghilang. Moreau mengembuskan napas kasar, segera memutuskan untuk menutup pintu, lantas berjalan tentatif ke arah ranjang. Dia menjatuhkan tubuh telentang dengan perhatian tertuju lurus - lurus ke depan. Rencana menghindari ayah sambungnya berakhir gagal. Moreau bahkan belum menemukan jawaban ... dari mana Abihirt tahu kediaman Juan, dan mengapa pria itu bisa menebak dengan tepat? Mungkin ada sesuatu di baliknya .... Barbara? Seketika puncak kepala Moreau seperti disi
“Aku di sini karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan, Abi. Bukan melakukan ini.” Moreau menelan ludah kasar usai sekali saja tautan bibir mereka terlepas. Dia memberanikan diri memberi dorongan pada dada liat ayah sambungnya yang terasa kokoh. Abihirt tidak langsung mengatakan sesuatu lebih lanjut, seperti memang butuh waktu beberapa saat, baru kemudian sebentuk tubuh jangkung itu segera menjulang tinggi. Desakan antisipasi di benak Moreau berusaha keras memberi peringatan. Dia mengepalkan jari – jari dengan erat ketika tangan Aibihrt menyusup di rambutnya, seperti sedang melakukan pertimbangan saat sementara ... mula – mula pria itu memberi meremasan secara perlahan, yang akhirnya menjadi genggaman kasar. “Bicarakan nanti setelah kau selesai. Buka celanaku.” Moreau menatap terkejut. Dia ingin mengajukan protes atas sesuatu yang tidak pernah terpikirkan akan tersirat c
Dering ponsel di pagi hari menjadi satu – satunya hal yang membuat kening Moreau mengernyit. Harus berusaha keras membuka mata meski merasa sangat enggan. Dengan satu tangan terulur ke arah meja, dia mencoba untuk meraba benda pipih tersebut. Melihatnya singkat, tetapi dalam sekejap ... langsung terkejut mendapati nama ibunya tertera di sana. Ini bukan suatu kebiasaan. Barangkali ada sesuatu yang ingin disampaikan sehingga benak Moreau diliputi desakan keras, supaya tak ingin melewatkan apa pun, atau bahkan membuat ibunya menunggu. “Ya, Mom?” [Kau baru bangun tidur?] Moreau mengusap wajah kasar setelah kali pertama menyambut suara Barbara dari seberang sana. Wanita itu akan segera menduga dan mungkin sedang menyiapkan sesuatu lainnya sekadar memberi Moreau serentetan ocehan panjang. Cerewet.
“Apa yang kau masak, Caroline?” Moreau bertanya antusias sembari mengambil posisi duduk secara asal. “Saya membuatkan Tostada, Nona. Semoga Anda suka.” Caroline menggeser piring lebih dekat di hadapan Moreau. Aroma roti yang terpanggang sempurna segera menguar ke sekitar. Moreau memperhatikan lelehan minyak zaitun, dan parutan tomat di atasnya. Ternyata Caroline menambahkan keju manchego. “Ini kelihatan enak, Caroline. Aku akan menyukainya.” Dengan tangan kosong, Moreau mengambil sepotong roti yang dilengkapi toping. Mula – mula dia mencubit Tostada, memulai dari gigitan kecil hingga perlahan lanjut ke bagian tengah. “Makanlah bersamaku, Caroline.” Moreau bicara ketika dia menyadari Caroline sedang t
“Aku penasaran. Bagaimana cara menjadi sangat kaya? Hingga kau tak peduli berapa kerugianmu, karena itu tidak akan memberi dampak,” ungkap Moreau saat dia mengambil langkah mundur ke belakang sambil mengulurkan tangan. Memberi Abihirt isyarat supaya pria itu menggenggam jari – jari tangannya erat, maka mereka akan bergerak seperti yang sering dia dan Juan lakukan. Abihirt mungkin bersikap terlalu kaku, tetapi Moreau yakin sesuatu dalam diri pria tersebut masih memiliki sedikit minat untuk menjadi bagian yang tak tergambarkan dari daftar keinginan Barbara—mengingat ibunya tak pernah menyukai hal – hal yang bercabang pada kegiatan olahraga, tetapi memaksanya masuk dan menjadi salah satu bagian. “Bekerja keras.” Suara serak dan dalam Abihirt meliputi persis ketika mereka melakukan dansa di atas lapisan es. Semua tidak harus terburu – buru. Moreau tidak sedang bersama Juan yang akan dengan mudah mengangkat tubuhnya ke atas. “Bagaimana kau bekerja keras? Dari no
“Bukankah bagus jika ibumu mantan figure skating. Kau bisa mempertemukanku dengannya dan aku bisa belajar lebih banyak—“ “Kau ingin bertemu dengannya di alam kubur?” Begitu saja. Mendesak Moreau diam beberapa saat. Dia sungguh tidak pernah bermaksud atau setidaknya sampai membuat Abihirt tersinggung. Pria itu tak mengatakan dari awal dan menjadikan informasi tersebut seperti suatu hal yang mengejutkan. Masih ada krisis setelah hampir terlalu sulit bersikap tenang. Moreau menelan ludah kasar kemudian berkata, “Maaf. Aku tidak tahu.” Secara naluriah dia menggigit bibir bawah. Tidak tahu ternyata itu memberi ayah sambungnya efek tertentu, sehingga Abihirt memalingkan wajah sambil merenggut sepatu skate; memakai nyaris terlalu cepat dan hampir tidak ada batasan ketika mereka saling berhadapan. Moreau butuh menengadahkan wajah, maka paling tidak mereka akan melakukan kontak mata, meski hal ganjil meliputi ketika mata kelabu Abihirt hanya tertuju pada bibirny
“Sepatu skate Anda, Tuan ....” Seorang pengawai datang menyerahkan sesuatu yang Abihirt minta, tetapi perhatiannya terpaku lurus – lurus mengamati sebentuk tubuh indah Moreau masih bergerak di atas lapisan es. Gadis itu berputar. Menggerakkan kaki. Seperti berselancar, tetapi semua terlihat persis pola mengagumkan. Dia ingat bagaimana selalu memutar video tentang ibunya ketika sedang melakukan hal serupa. Hampir ada kemiripan. Yang membedakan hanya Moreau tahu bagaimana cara memberontak, sementara ada ragam keputusasaan dari wanita yang memutuskan untuk mengakhiri hidup setelah menghadapi sikap seorang suami pengecut—bahkan sebagai ayah pun ... bajingan tua itu tidak betanggung jawab. Abihirt tidak ingin mengingat semua peristiwa yang terdaftar sebagai bagian dari hal terburuk dari hidupnya. Sesaat untuk mengalihkan perhatian kepada pria yang masih menunggu jawaban. “Taruh saja di bawah.” Hanya sebuah perintah singkat; langsung dikerjakan, kemudian pri
Suara serak dan dalam Abihirt tiba – tiba terdengar begitu dekat. Sesaat Moreau tersentak setelah hampir tidak ada petunjuk mengenai apa yang pria itu lakukan. Jarak di antara mereka sungguh melewati batas prediksi dan ketika mencoba untuk memahami situasi yang terasa begitu gamblang, dia baru menyadari bahwa pemutaran film selesai. Derap kaki beberapa orang terduga melangkah pada satu titik meninggalkan ruang teater. Akan lebih baik jika melakukan hal serupa. Bukankah mereka tidak datang bersama, maka pergi pun akan seperti itu? Moreau siap mengambil langkah bangun. Namun, pada akhirnya dia harus tertahan dengan Abihirt melakukan pencegahan. Pria itu juga mendesak supaya dia kembali duduk bersandar di tempat semula—persis kemudian beranjak bangun dan membuatnya terkurung di antara lengan yang berpegangan pada masing – masing pembatas kursi. “Ada urusan di kantor dan aku benar – benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku.” Apakah Abihirt berusaha menjelaskan sesuatu da
Ini sudah lebih dari satu jam sejak pemutaran film dimulai. Moreau tidak tahu ke mana Abihirt pergi, tetapi pria itu tidak pernah sampai di tempat yang mereka janjikan. Dia bahkan sudah mengirimkan beberapa pesan, termasuk barcode tiket menonton dan tak satu pun dapat menyiratkan prospek bahwa Abihirt akan membacanya. Mungkin pria itu tak pernah benar – benar berniat, kemudian sengaja membiarkan Moreau menunggu dan akhirnya duduk nyaris sendirian di sini. Memang perlu digaris bawahi tentang keberadaan yang lain—penonton yang sedang menikmati alur cerita. Namun, itu tak sama seperti seseorang telah mengatakan akan hadir, walau pada kenyataannya tidak. Abihirt punya keinginan untuk tidak memberi Juan kesempatan. Dengan ironi, membuat perasaan Moreau setengah kesal. Dia sudah mati – matian menahan diri dengan tidak menyetujui permintaan Juan—saat tawaran nonton bersama kembali diberikan, sementara mereka tahu Abihirt membuat harapannya berhamburan tidak jelas. Tujuan pria it
Bukan sesuatu yang dapat dicampuri. Moreau tak ingin terjerumus terhadap pelbagai pemikiran, di mana seharusnya dia tahu bahwa terdapat risiko menjadi seorang simpanan. “Semua sudah selesai, Nona.” Tiba – tiba Caroline bicara di tengah gemuruh cukup hening. Itu menarik Moreau kembali ke permukaan hingga mengerjap untuk beberapa saat. Perlu disadari bahwa Caroline menyiapkan semua kebutuhannya dengan komplit. Memindahkan Chorrus yang digoreng matang ke atas meja makan, berikut tambahan saus cokelat sebagai pendamping utama. Moreau tersenyum, kemudian mengikuti langkah wanita itu. “Terima kasih, Caroline.” Dia duduk persis ketika tanpa peringatan Caroline menyiapkan ruang duduk untuknya. “Kau mau ikut makan denganku?” dan menambahkan pertanyaan setelah menyadari Caroline tampak memiliki minat menyelesaikan hal tersisa; seperti perangkat masak dan minyak bekas yang masih begitu panas. “Tidak, Nona. Masih ada hal yang harus saya kerjakan. Sepertinya Nyonya Barba
Setelah menarik napas cukup dalam. Moreau menuntut diri supaya siap, lalu berkata, “Kau tahu dari awal kalau aku tidak pernah menginginkan ini. Mungkin kau membuatku terbiasa, atau aku tak akan pernah benar – benar terbiasa. Sesuatu membuatku mendapatkan sudut pandang yang buruk tentang seks.” Dia langsung menatap Abihirt gugup, berharap akan ada sesuatu yang ditemukan, tetapi pria itu nyaris tidak memperlihatkan satu pun reaksi tertentu, selain mengambil langkah mundur; beranjak pergi memunguti helai kain yang tercecer sekadar berpakaian utuh di hadapannya. “Apa pun yang kulakukan, karena kita berada di bawah surat pernjanjian. Mungkin kau bisa memaafkanku jika memang terlalu kasar.” Semua diakhiri dengan pernyataan yang membuat jantung Moreau bertalu – talu keras. Dia terkesiap saat Abihirt bahkan menderap meninggalkan kamar, meninggalkan dirinya sendirian, terpaku, hampir terlalu bingung, tetapi semua masih tentang perjanjian di antara mereka. Tidak lebih. Pria
Sebuah cengkeraman terasa hangat di bagian pinggulnya. Moreau menelan ludah kasar ketika memutuskan untuk memalingkan separuh wajah. Abihirt sedang melakukan sesuatu, berhasil membuat dia melengkungkan tubuh saat kejantanan pria itu perlahan masuk di antara celah kaki yang terbuka. Besar dan kokoh ... benar – benar memberi Moreau sensansi penuh. Jemarinya mengetat di pinggir kasur tepat saat Abihirt mulai bergerak. Hujaman pria itu terkadang selalu berakhir sebagai tujuan paling kasar, sehingga dia berpikir seseorang dengan gairah seks berbeda seperti ini, seakan memiliki niat menghancurkan tubuhnya, walau Abihirt tak pernah serius terhadap hal demikian. Pria itu setidaknya butuh sesuatu untuk dilampiaskan. Hanya kebetulan dia adalah sasaran renyah.“Mmm ....”Moreau mengatupkan bibir dalam keadaan paling sadar saat hampir mengerang. Berusaha tidak menunjukkan bahwa dia terbuai, tetapi tak dimungkiri bahwa sentuhan Abihirt memberi efek yang terjal. “Mmm, Abi ....”
“Aku ingin kau menjilatnya.” Satu hal diucapkan terlalu gamblang, secara naluriah membuat Moreau hanya terpaku, lalu mengerjap berulang kali—berharap dia tak salah menafsirkan sesuatu di antara mereka. “Apa?” tanyanya sekadar memastikan kembali. “Giliranmu.” Satu kata diucapkan dengan singkat. Setelah Abihirt menggerakkan mulut dan lidah pria itu secara mahir. Sekarang Moreau dimintai untuk membayar harga supaya mereka impas. “Tapi kau tahu aku tidak—“ “Belajarlah agar bisa melakukannya.” Dia belum menyelesaikan sisa kalimat tertunda, dan pria itu sudah menangkap arah pembicaraan, seolah telah mengetahui isi pikiran yang menggantung di puncak kepala. Bagaimanapun Moreau masih begitu ragu, meski akan selalu berada di tengah situasi rumit. Abihirt tiba – tiba menarik kedua kakinya, kemudian berhenti di pinggir ranjang—tepat saat pria itu sudah menjulang tinggi, sementara Moreau harus mengambil posisi duduk dan benar – benar menengada