“Aku di sini karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan, Abi. Bukan melakukan ini.”
Moreau menelan ludah kasar usai sekali saja tautan bibir mereka terlepas. Dia memberanikan diri memberi dorongan pada dada liat ayah sambungnya yang terasa kokoh. Abihirt tidak langsung mengatakan sesuatu lebih lanjut, seperti memang butuh waktu beberapa saat, baru kemudian sebentuk tubuh jangkung itu segera menjulang tinggi. Desakan antisipasi di benak Moreau berusaha keras memberi peringatan. Dia mengepalkan jari – jari dengan erat ketika tangan Aibihrt menyusup di rambutnya, seperti sedang melakukan pertimbangan saat sementara ... mula – mula pria itu memberi meremasan secara perlahan, yang akhirnya menjadi genggaman kasar. “Bicarakan nanti setelah kau selesai. Buka celanaku.” Moreau menatap terkejut. Dia ingin mengajukan protes atas sesuatu yang tidak pernah terpikirkan akan tersirat cDering ponsel di pagi hari menjadi satu – satunya hal yang membuat kening Moreau mengernyit. Harus berusaha keras membuka mata meski merasa sangat enggan. Dengan satu tangan terulur ke arah meja, dia mencoba untuk meraba benda pipih tersebut. Melihatnya singkat, tetapi dalam sekejap ... langsung terkejut mendapati nama ibunya tertera di sana. Ini bukan suatu kebiasaan. Barangkali ada sesuatu yang ingin disampaikan sehingga benak Moreau diliputi desakan keras, supaya tak ingin melewatkan apa pun, atau bahkan membuat ibunya menunggu. “Ya, Mom?” [Kau baru bangun tidur?] Moreau mengusap wajah kasar setelah kali pertama menyambut suara Barbara dari seberang sana. Wanita itu akan segera menduga dan mungkin sedang menyiapkan sesuatu lainnya sekadar memberi Moreau serentetan ocehan panjang. Cerewet.
“Apa yang kau masak, Caroline?” Moreau bertanya antusias sembari mengambil posisi duduk secara asal. “Saya membuatkan Tostada, Nona. Semoga Anda suka.” Caroline menggeser piring lebih dekat di hadapan Moreau. Aroma roti yang terpanggang sempurna segera menguar ke sekitar. Moreau memperhatikan lelehan minyak zaitun, dan parutan tomat di atasnya. Ternyata Caroline menambahkan keju manchego. “Ini kelihatan enak, Caroline. Aku akan menyukainya.” Dengan tangan kosong, Moreau mengambil sepotong roti yang dilengkapi toping. Mula – mula dia mencubit Tostada, memulai dari gigitan kecil hingga perlahan lanjut ke bagian tengah. “Makanlah bersamaku, Caroline.” Moreau bicara ketika dia menyadari Caroline sedang t
[Ke mana kau ingin mengajakku pergi memangnya?] Setelah balasan Juan yang begitu kilat. Moreau perlahan mengetuk sudut ponsel ke dagu sambil memikirkan ruang hiburan mana yang dapat dipilih untuk mereka datangi sore ini. Dia mendambakan satu tempat penuh kebebasan, melewati beberapa hal di mana kekangan ibunya terasa begitu mengikat. Kebetulan wanita itu tidak di sini. Moreau yakin Abihirt juga tidak akan melarang, atau berangkali mencampuri urusan yang sama sekali bukan termasuk ke dalam daftar minatnya. Dengan sulur – sulur senyum melekuk di sudut bibir, Moreau segera menggerakkan kedua ibu jari di layar ponsel. [Ada saran?] Dia ingin Juan memilih tempat. Sering kali pria itu lebih mahir memikirkan kesenangan bersama, meski terkadang pelbagai peringatan dari Barbara berusaha merusak beberapa bagian dari kebersamaan mereka. Moreau tahu, memaklumi ji
“Kau sudah pasti yakin, kalau Abi akan datang menyusul-mu ke Paris?” Barbara mengedikkan bahu sesaat untuk tidak langsung menanggapi pertanyaan Samuel. Dia berjalan tentatif, meliukkan pinggul di hadapan pria yang diliputi tatapan lapar. “Abi sudah berjanji tadi. Aku sangat mengenal suamiku, dia tak mungkin mengikarinya.” Sambil tersenyum, Barbara mengulurkan lengan sekadar memperbaiki kerah kemeja putih ketika Samuel siap melakukan perjalanan pulang. “Kau akan pergi sekarang?” tanyanya memastikan. Sebuah panggilan secara tiba – tiba, ‘harus’, dan cukup mengejutkan dari sisa urusan kantor yang tertunda. Ada sedikit masalah dari proyek besar di perusahaan Samuel, tetapi Barbara yakin pria itu akan menyelesaikan dengan baik. Sebagai ganti, mereka harus mengambil pili
“Sendirian saja, Cantik?” “Holly shit!” Seorang pria baru saja akan meletakkan bokong di samping kursi kosong. Namun, tiba – tiba mengumpat saat Moreau menoleh dengan serius. Apakah terdapat sesuatu krisis, dan pria itu tak mencoba mengurainya daripada sekadar memastikan keinginan barusan terpenuhi? Moreau bertanya – tanya tak mengerti. Berjuang keras tak memikirkan bagian yang dia rasa akan menjadi sulit. Sekarang, sengaja membiarkan pria itu telah begitu dekat. Tidak mengatakan apa pun yang tersisa, seolah memang terdapat gumpalan yang harus disembunyikan. “Mengapa kau melihatku seperti aku adalah monster?” Tidak tahan. Moreau akhirnya mengajukan pertanyaan, walau sesekali dia akan berpaling ke belakang mendapati Juan sedang menggerakkan tubuh dengan ekstrim, kemudian pria di sampingnya persis berusaha mencari sesuatu untuk diungkapkan.
“Mengejutkan sekali ternyata kau benar – benar datang. Kalau tidak, aku pasti sudah membawanya ke ranjangku. Rasanya aku hampir tidak bisa menahan gairahku saat menatap wajahnya yang sangat cantik dan manis.” Semacam sebuah kejutan khusus menyadari Abihirt sudah menjulang tinggi dengan ekspresi begitu tajam dan serius. Tidak ada respons ketika Roki menyelesaikan kalimat. Dia harus berdecak mengamati cara Abihirt menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutup di wajah Moreau. Begitu lembut hingga sentuhan itu berpindah pada lengan yang tergoler di atas meja. “Dia datang ke sini sendirian?” Kali pertama akhirnya Abihirt mengajukan pertanyaan, tetapi Roki hanya mengedikkan bahu, perlahan memindahkan pandangan ke satu arah. Juan sedang menghentakkan tubuh antusias bersama beberapa orang pria di bawah sana, terlalu menikmati dentuman musik hingga melupakan keberadaan yang lainnya di sini.
Tidak ada ingatan terbaik yang sanggup Moreau raih ketika dia baru terbangun, dan mengetahui tubuhnya sudah berada di tempat tidur. Pening di kepala terasa cukup menyiksa, bahkan saat Moreau mencoba untuk mengatur posisi duduk. Dia mengernyit. Atmosfer di sekitar kamar cenderung berbeda. Bodohnya, itu tidak langsung membuatnya sekadar mencari tahu, sehingga segera terkejut setelah menemukan Abihirt di sana, dalam keadaan tidur di sofa—masih begitu lelap. Apa yang terjadi semalam? Moreau bertanya – tanya nyaris tanpa petunjuk. Dia tidak pernah ingat kapan pria itu bersedia jauh dari ranjangnya. Abihirt bisa memilih tidur di antara sisa ruang di kasur sebelah, seperti tindakan yang sering kali dilakukan, dan ketika kali ini tidak ... itu cukup menjadi sesuatu yang ganjil di benak Moreau. Dia berusaha mencari jawaban, tetapi tidak ingin melampaui batas. Tidak ada hak istimew
Sudah Moreau duga. Akan tetapi, belum menemukan ungkapan yang pantas, selain sebenarnya ingin melampiaskan sesuatu yang menjadi beban di bahunya. “Hanya pergi bersenang – senang. Kenapa?” Dia berbalik tanya. Seperti biasa untuk menguji kesabaran Abihirt. “Kau pergi sendiri?” Sebelah alis Moreau terangkat nyaris begitu samar. Naluri murni dalam dirinya seolah mengerti ke mana tujuan dari rasa ingin tahu Abihirt. Dia harap pria itu tidak bertemu Juan, jika dan jika ... benar, Abihirt yang membawanya pulang. “Aku pergi bersama siapa saja, bukan urusanmu, Abi.” Alih – alih menjawab, Moreau berusaha menutupi kenyataan. Akan sangat buruk andai dia melibatkan Juan setelah sama sekali tidak menerima kabar. Salahnya, tidak mengambil ponsel
[Abi, boleh aku pinjam ponselmu untuk mengirim foto – fotoku yang ada di padang pasir ....] Rasanya sekujur tubuh Barbara mendidih membayangkan apa yang sedang logikanya uraikan. Abihirt berkata jika pria itu masih Dubai; akan segera pulang, tetapi sangat mengejutkan mengetahui suara Moreau menyelinap masuk di tengah pembicaraan mereka. Ini tidak dapat disesali. Betapa pun Barbara mencoba sekadar menyangkal. Dia telah menyaring segala sesuatu yang terjadi di sana, dengan jelas ... dengan sangat jelas bahwa Moreau butuh foto – foto di padang pasir untuk dikirim ke ponsel gadis itu. Barangkali juga tidak diharapkan penjelasan lebih tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, Barbara bahkan belum mengucapkan apa – apa dan menuntut Abihirt membicarakan semua yang telah suaminya sembunyikan, termasuk saat Abihirt mengaku tidak mengetahui keberadaan Moreau di kali terakhir dia menghubungi pria itu sambil membicarakan keberadaan putrinya yang tidak berkabar. Namun, pa
Namun, untuk beberapa saat Moreau menoleh ke arah ayah sambungnya ketika menyentuh gagang pintu. Abihirt terduga merenggut ponsel pria itu di atas nakas. Mungkin ada kesibukan penting, yang secara tidak langsung mengingatkan Moreau bahwa ada satu hal—lupa dia katakan kepada ayah sambungnya. Ini tidak akan lama. Dia hanya akan membasuh wajah dengan percikan air, kemudian kembali kepada pria itu. Memang tidak lama. Ketika Moreau menatap pantulan wajah di depan cermin, tindakan kali pertama dilakukan adalah menarik napas dalam – dalam. Semua perangkat di sini hanya milik Abihirt. Dia akan menggosok gigi, nanti, di rumah. Sekarang sebaiknya menghampiri pria itu di atas ranjang. Mendadak ledakan dalam diri Moreau menjadi antusias. Dia memang tidak sabar ingin mengirim foto – foto di padang pasir hari itu, setelah mulai mengoperasikan ponsel baru pemberian ayah sambungnya. Berharap Abihirt tidak keberatan saat dia mengatakan tujuan yang sedang berkecamuk liar. Mo
Walau ternyata tidak .... Moreau merasakan sesuatu yang berat menindih di sekitar tubuhnya. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyadari bahwa biasan cahaya dari jendela berusaha menembus masuk melalui tirai yang menjuntai. Sudah pagi. Sepertinya permintaan tidur semalam membuat dia terlelap nyenyak. Moreau tidak akan berkomentar apa – apa tentang hal tersebut. Semua sudah berlalu dan tidak perlu mengingat kembali sesuatu yang pada akhirnya selalu berujung tidak pasti. Sambil mencoba bergeser, dia menghirup udara sebanyak mungkin, sedikit ingin meregangkan tulang – tulang yang terasa kaku, tetapi segera menyadari jika hampir tidak ada ruang sekadar bergerak. Seseorang seperti membuatnya terperangkap; menghirup aroma maskulin yang menyerbu deras, hingga tanpa sengaja Moreau menyentuh helai rambut—terasa halus, dan dia tetap menyapukan telapak tangan dengan lembut di sana. Ini seperti meninggalkan sensasi tertentu, tidak tahu mengapa secara naluriah sudut bibi
“Kenapa kau terus menghimpitku seperti ini?” Butuh keberanian penuh tekad dan Moreau akhirnya mengajukan pertanyaan diliputi suara nyaris setengah berbisik. Ingin menoleh ke belakang, tetapi jelas keberadaan wajah Abihirt justru membuat pipi mereka bersentuhan. Pria itu dapat dipastikan tidak akan mengatakan apa – apa. Moreau secara naluriah mengembuskan napas kasar; membiarkan Abihirt mengatur posisi lebih baik dan sekarang wajah pria itu nyaris terperangkap di ceruk lehernya. Abihirt tidak tidur. Demikian yang setidaknya dapat Moreau rasakan. Mungkin juga tidak akan secepatnya terlelap, walau pria itu mengakui sendiri untuk tidak melakukan apa pun setelah mereka melakukan perjalanan jauh. Lagi pula, ada sisa hal di antara mereka yang tidak coba Moreau ungkap begitu saja. Masih tentang Froy dan dia akan mencoba mencari petunjuk. “Aku memikirkan sesuatu.” Mula – mula memulai dengan rasa waspada meningkat deras di benaknya. Ketika Abihirt masuk ke dala
Menyenangkan menggoda Abihirt. Demikian yang Moreau rasakan. Kali ini dia benar – benar berani. Benar – benar akan bersikap menantang ayah sambungnya dan secara tentatif merenggut kain yang dikenakan hingga menyisakan dalaman berenda yang kontras. Membiarkan jeda terjadi beberapa saat, kemudian ragu – ragu melirik Abihirt ketika harus dengan hati – hati menutup beberapa bagian tubuhnya di hadapan pria itu. Dia yang berusaha memancing sesuatu meledak dalam diri Abihirt, tetapi tidak ingin suami ibunya menjadi brutal dan tidak terselamatkan. Sekarang, begitu perlahan memasukkan tangan ke dalam bolongan kain—mengenakan kaus pemberian pria itu dengan tepat. Selesai. Tubuh Moreau terbungkus. Dia seperti tenggelam. Segera menunduk dan menyaksikan bagaimana ujung kain sungguh secara pasti menyentuh di pahanya. Abihirt menebak dengan tepat untuk tidak menambahkan celana. Cukup dengan dalaman satin tipis dan itu membuat Moreau merasa nyaman. “Aku akan tidur sekarang,
Moreau menunduk; tersadar bahwa perlu melakukan hal serupa, tetapi koper dan seluruh pakaian barunya—yang dipersiapkan ketika mereka hendak menuju Dubai, masih di mobil. Abihirt tidak memberikan petunjuk tentang barang – barang yang tertinggal di luar. Barangkali pria itu akan menyiapkan nanti, saat mereka telah begitu siap dan Moreau hanya perlu menunggu ayah sambungnya menyelesaikan bagian tersisa. Dia tidak akan diam begitu saja, segera menyusul bangun dan menerapkan perhatian pada kali terakhir bahu kokoh milik suami Barbara masih terlihat membelakanginya. Mungkin terlalu lancang. Ya. Namun, itu lebih baik daripada tidak pernah. Setiap detil tindakan Abihirt begitu tak terduga. Pria itu dalam sekejap telah berpakaian rapi di sana. Paling tidak, hal tersebut perlu digaris bawahi. Tidak ada yang perlu disesali, meski Moreau merasa sangat gugup saat mata kelabu itu menatap ke arahnya lamat. “Kau bilang masih mengantuk. Kenapa tidak tidur?” Suara serak dan dalam A
“Aku sangat mengantuk dan malas berjalan, bisa kau menggendongku saja?” Moreau tidak ingin menganggap ini berlebihan ketika dia hampir tidak bisa mengajukan protes kepada ayah sambungnya; mengenai keputusan pria itu untuk berada di sini, di halaman mansion mewah, alih – alih kembali ke rumah tempat mereka tinggal. Mungkin ini akan cukup pantas memberi pemahaman. Abihirt juga tidak menunjukkan sikap enggan sekadar menuruti apa yang baru saja coba dia mulai di antara mereka, yang diam – diam membuat Moreau melekukkan bibir tipis setelah mendeteksi bagaimana cara pria itu turun dari mobil, lalu mengambil sikap mengambil tubuhnya—mendekap erat dengan kedua tangan melekat penuh di sana. Moreau secara naluriah berpegangan di leher ayah sambungnya. Dia menengadah. Mengagumi setiap detil hal di wajah pria itu. Nyaris tidak ada yang bisa dilewatkan. Rasanya menyenangkan membayangkan seperti berkencan dan Abihirt sebagai kekasih baik, menuruti apa yang diinginkan. Wa
“Aku hanya penasaran bagaimana supaya bisa mengubah suamiku itu. Apa menurutmu dengan punya anak?” tanya Barbara lambat. Ada ekspresi penyesalan ketika dia mengatakan hal tersebut. Samuel tidak akan memahaminya dan dia tidak berniat bercerita lebih banyak. “Punya anak dariku atau Abi?” Alih – alih menyerahkan saran, pria itu malah berbalik tanya seolah – olah ada begitu banyak pilihan, tetapi Barbara perlu mengambil salah satu. Ya, hanya satu dan tak seorang pun dapat mengubah permainan yang akan dia mulai. “Sudah pasti Abi. Dia suamiku,” ucapnya tidak terbantahkan. “Tapi aku sering menyentuhmu.” Celakalah! Samuel memiliki pelbagai cara sekadar menjatuhkan harapan yang dia bangun bertingkat – tingkat. Barbara mengembuskan napas kasar; merasa perlu memunculkan prospek kenyataan untuk tidak terlupakan. “Meski kau sering menyentuhku. Tetap saja, Abi adalah suamiku. Dia juga menyentuhku. Kalian impas.” “Tidak impas. Kau sendiri yang mengakui ba
“Kau suka perjalanan di kapal persiar, Sayang?” Angin laut berembus deras di permukaan tubuh Barbara, meninggalkan kesan menyapu yang terlalu dipaksakan, tetapi dia begitu menikmati setiap serangkaian kegiatan di sini, bersama Samuel dan pria itu baru saja berbisik sangat lembut di wajahnya. Barbara tersenyum tipis merasakan lengan pria itu mendekap secara tentatif, hingga wajah yang bergerak telah menyeruk di sekitar lehernya. “Jangan kau lakukan itu, Sam!” ucap Barbara memperingati setelah mendeteksi Samuel akan mengambil satu tindakan berbahaya. Tidak ingin pria itu meninggalkan bekas kemerahan dan andai suatu waktu ada desakan pulang, dia takut tak bisa menyembunyikan tanda kemerahan dari pandangan Abihirt. Tidak ada kabar dari suaminya yang dingin setelah terakhir kali mereka melakukan percakapan di telepon. Bahkan Barbara butuh didorong perjuangan penuh tekad sampai kemudian Abihirt bersedia untuk menerima panggilan suara dan meskipun mereka bicara terlalu singkat. Di