Mengintip. Mula – mula itu yang dilakukan, kemudian menahan napas menemukan Abihirt ada di ruang tamu bersama Roger dengan posisi saling berhadapan. Paling penting adalah ... ayah sambungnya mengambil posisi begitu pas untuk membelakangi dua kamar.
Ntahlah, sepertinya ada kebetulan yang dapat Moreau sampaikan. Dia menelusuri ekspresi serius Roger. Kebetulan, rambut pria itu terlihat sedang membasah lembab, segar, persis baru saja menyelesaikan ritual mandi. Sesaat, Moreau menelan ludah kasar. Tidak benar – benar yakin apakah perlu mengatakan sesuatu, yang membuat situasi terasa sayup – sayup dan tidak pula terlalu hening. Iris matanya cukup lama terpaku pada sebentuk bahu Abihirt; pada helai rambut yang disisir dengan rapi. Pria itu seperti memiliki daya tarik begitu dahsyat. Dia nyaris melupakan niat awal jika tidak segera sadar ke permukaan. Meski harus mengambil interupsi, tetapi tampaknya tidak akan cukup merusak perhatian dari dua pria yang sedang bermain caSebelah alis hitam tebal yang tumbuh dengan rapi terangkat hampir benar – benar samar. Moreau tidak tahu pemikiran seperti apa—sedang bersarang di puncak kepala ayah sambungnya, tetapi dia sungguh tidak pernah bisa mempelajari apa pun mengenai pria itu. Terlalu jauh. Terlalu penuh oleh barisan dinding tinggi. Atau sebaiknya dia menyadari bahwa kesalahan paling terjal di sini adalah tubuhnya secara tidak langsung menjabarkan keputusan Abihirt yang cenderung mencekik. Moreau segera mengerjap beberapa kali. Berusaha menghindari kontak mata, meski desakan di ujung tenggorokan mendorong agar mengatakan sesuatu. “Bolehkah aku?” Dia bertanya untuk kebutuhan yang masih relevan. Menunggu beberapa saat—cukup lama, kemudian suara serak dan dalam ayah sambungnya mencuak ke permukaan. “Masuklah.” Buru – buru bukan sikap yang Moreau harapkan. Dia tersenyum. Segera beranjak pergi ke kamar pilihan ibunya sambil mengetatkan sentuhan pada ujung lilitan di bagian dada. S
Moreau menengadah, gugup, menelan ludah kasar mendapati ayah sambungnya ternyata begitu dekat. Pria itu menjulang seperti tiang. Menatap diliputi sorot mata kelabu yang akan melahap. Ada sesuatu yang salahkah? Sambil bertanya – tanya ... tidak ada jawaban spesifik untuk melengkapi sisa ketegangan di antara mereka. Moreau merasa seolah dia akan terdampar di jurang terjal; tertahan; dan harus berpegangan erat supaya tidak makin tergelincir jauh. “Apa yang kau lihat tadi?” Suara serak dan dalam pria itu akhirnya bersuara, menyiratkan kesan tertentu yang tidak dapat Moreau pahami seutuhnya. Dia sedikit gelagapan dan berharap dapat menemukan jawaban dengan cepat. “Tidak ada.” Hanya itu, sambil memberi gestur berpegangan erat pada handur di depan dada. Namun, karena itulah Moreau sadar bahwa dia telah memancing perhatian Abihirt sehingga pria tersebut menatap lurus dengan wajah menunduk di sana. “Mengapa tidak kenakan pakaianmu saat bicara kepada Roger
“Abi, turunkan aku.” Moreau bersuara. Berharap ini tidak akan semakin buruk dari bayangannya. Tidak lebih buruk saat kekhawatiran terhadap langkah Abihirt sudah mendekati pintu kamar. Pria itu tak memberi tanggapan apa pun. Terus menderap hingga satu hal pasti terasa sangat mencolok. “Abi—“ Debaran bertalu – talu keras seakan ingin membuat jantung Moreau melompat keluar. Keputusan Abihirt untuk pergi ke kamarnya tidak termasuk ke dalam daftar, tetapi juga bukan hal yang mengasingkan. Seakan mereka butuh sesuatu dilampiaskan dan beranjak dengan harapan paling terjal. Kamar dikunci begitu instan—persis satu bagian yang tidak dapat Moreau bayangkan dengan baik. Dia masih tak berdaya saat Abihirt membawa mereka menuju ranjang. Tubuhnya jatuh telentang, sedangkan pria itu menjulang diliputi sorot mata yang tajam. “Kau mau apa?” tanya Moreau hati – hati. Dia berusaha beringsut mundur, tetapi celakalah ... lilitan handuk di tubuhnya segera tergoler lepas.
Pria itu tiba – tiba merampas bibirnya. Memberi sebuah ciuman panas; menggairahkan dengan pelbagai bentuk kepemilikan murni. Ya, terlalu lembut hingga Moreau tidak dapat membedakan mana yang keliru dan sesuatu yang dia mau. Iris mata mereka kembali memerangkap. Sentuhan ringan di sudut bibirnya meninggalkan kesan tak terjamah. Moreau tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Apakah dia akan terus menolak atau diam membiarkan lengan Abihirt secara kebetulan telah menyingkirkan sisa – sisa handuk yang menutup di tubuhnya. “Bagaimana jika ibuku pulang?” tanya Moreau diliputi ketidakpastian menggantung seperti tawaran melompat dari jurang. Dia takut membayangkan tiba – tiba hal kemarin kembali terungkap. Sayangnya Abihirt tidak mengatakan apa pun, selain tangan pria itu mulai mengambil peran; meremas di payudaranya dengan perhatian begitu penuh di sana. Lagi—kali ini Moreau menggigit bibir bawah tanpa sadar. Ingin Abihirt setidaknya berhenti. Namun, sepertinya dia me
Menyesal ... setidaknya itu yang Moreau rasakan; pendam; berusaha keras tidak membayangkan akan menjadi racun. Dia tak ingin berakhir dengan terjal; penuh rasa sakit, walau sebenarnya cukup mengerti ... jika dan jika akan sangat membutuhkan penawar yang menjadi bagian dari rasa sakit itu sendiri. “Ibuku, mungkin sebentar lagi akan pulang.” Moreau mengatakan hal serupa untuk kedua kali. Setengah memperhatikan keberadaan lengan Abihirt di kedua sisi wajahnya dengan singkat. Menduga pria itu masih diliputi kebutuhan yang sama. Diam. Betapa tak acuh. Tetapi lagi, dia punya kebiasaan menilai Abihirt lewat cara tidak tepat. Malah, perlahan merasakan sebuah sentuhan paling dasar; begitu tentatif—tanpa peringatan hingga berujung menekan di bibirnya. Tidak cukup lama, karena Moreau juga tidak mengerti mengapa pria itu menyingkir, meski sorot mata itu terasa tidak akan pernah berubah; selalu tajam; riskan; kemudian menyesuaikan, walau tiba – tiba Moreau dikejutkan oleh satu
Mereka berciuman lagi; nikmat; membakar dan tangan Moreau perlahan menyusuri wajah ayah sambungnya, merasakan rahang pria itu yang kasar, sedikit mengagumi, berharap selalu terbiasa dengan tektur indah di sana sekalipun harus terkejut merasakan Abihirt sengaja melebarkan kedua kakinya lebar. Pria itu mungkin tidak ingin seutuhnya bertelanjang sehingga memilih hanya melucuti separuh bagian dari celana kain, mengeluarkan kejantanan yang tampak membengkak keras. Moreau menelan ludah kasar saat pria itu bersiap akan memasukinya. Nyaris terlalu mudah dan begitu singkat untuk membuat dia gelisah; penuh; terutama ketika Abihirt mulai bergerak; mula – mula dengan tempo tentatif—perlahan beranjak menjadi tumbukan nikmat. Secara naluriah Moreau menggigit bibir bawah. Tindakan murni lainnya berakhir ingin menyentuh lengan pria itu. Hanya sesaat, karena Abihirt seperti terlalu sanksi membiarkan dia, mungkin, menancapkan kuku tangan sekadar meninggalkan bekas cakar. Sentu
“Darling, di mana cincinmu? Mengapa kau tidak memakainya?” Mereka sebenarnya nyaris menyelesaikan makan malam bersama, tetapi Barbara secara naluriah mengajukan pertanyaan di antara keheningan. Kening wanita itu mengernyit dalam. Barangkali baru menyadari selang beberapa jam bertemu pria yang tiba – tiba diam, seperti sedang memikirkan sesuatu, meski tidak pula terlihat cemas menghadapi hal yang terlalu dekat. Sikap yang sungguh bertolak belakang dari bagaimana Moreau mengendalikan diri. Sejak awal dia sudah berusaha keras untuk berbaur. Berusaha tidak terlihat mencolok, atau berharap tidak meninggalkan kesan ganjil di hadapan semua orang, hingga apa pun yang dilakukan terasa sangat membekukan. Hanya sedikit bersyukur bahwa Roger tidak terlihat di mana pun di dalam rumah saat Abihirt keluar dari kamarnya. Sekarang, bahkan pria itu terlihat santai memperhatikan percakapan sepihak—masih menggantung di udara. Pertanyaan Barbara harus segera menemukan jawaban, walau Morea
Nyaris tidak ada pun yang dapat ditemukan. Barangkali memang tidak tercecer di permukaan lantai. Dia langsung meletakkan satu tangan untuk menyentuh permukaan kasur. Bentuk ranjang setidaknya menjadi gambaran di mana perhatian singkat dapat dialihkan. Moreau memulai dengan menyingkirkan selimut tebal berserak, lalu mengangkat bantal demi mencari jawaban. Sedikit merasa aneh saat tidak menemukan sesuatu. Sekarang itu, perlahan membuatnya khawatir. Dapat dipastikan Barbara akan selalu mengajukan pertanyaan sampai wanita tersebut mendapati Abihirt telah menyematkan kembali cincin pernikahan mereka. Ada di mana prospek terbaik akan membawanya pada kelegaan? Moreau bertanya – tanya. Hampir tidak ada petunjuk. Dia mendengkus, setengah menegakkan tubuh dengan putus asa. Semestinya pencarian ini tidak menjadi bagian tersulit. Barangkali masih perlu pelbagai upaya, sementara benaknya terlalu mudah menyerah. Sambil perlahan mengembuskan napas kasar, dia sekali lagi me