“Caroline, apa kau tahu di mana Moreau? Dia tidak terlihat sejak tadi.” Barbara telah menyiapkan diri untuk melakukan perjalanan ke kantor. Pandangannya berpendar ke seluruh halaman rumah. Garasi juga tidak menunjukkan letak keberadaan mobil Moreau terparkir. Hal tersebut cukup ganjil sekadar menarik langkah yang menghentak keras meninggalkan teras depan. Hanya ada satu tujuan. Dia terburu menaiki undakan tangga. Sudah berjuang keras tidak terpengaruh, tetapi pintu kamar Moreau yang menutup terkadang seperti melepas hormon kecurigaan. Itu benar – benar membuat Barbara menyimpan satu keyakinan pasti dengan langsung menekan ganggang pintu. Ruang kosong yang hening langsung menyapa wajahnya. Tidak ada siapa pun. Barbara mendelik serius diliputi ekspresi wajah masam. Caroline menyusul di belakang dan mungkin sedikit mendapat reaksi yang sama saat tidak menemukan petunjuk di sana. “Sepertinya Nona Moreau tidak ada di rumah, Nyonya. Dia pasti sudah pergi
Kebutuhan paling nyata harus segera dia selesaikan hari ini adalah latihan. Tournamen sudah begitu dekat dan Anitta selalu mengingatkan supaya benar – benar serius. Semua tim ingin menang, demikian pula mereka, tetapi Moreau masih harus menunggu beberapa saat untuk meninggalkan kamar hotel. Satu atau dua—kurang dari jam tersebut barangkali. Dia masih menunggu kapan Abihirt akan menghentikan sambungan telepon, menatap lurus – lurus pada benda pipih di atas ranjang. Pada akhirnya ... tidak ada lagi getar, meski Moreau harus mendapati sebuah pesan muncul di layar. [Aku ingin bicara.] Moreau diam – diam menggeleng samar atas penolakan yang dia tahu Abihirt tak akan pernah melihatnya. Hanya karena pria itu tampan dan berperan sebagai seorang ayah sambung, bukan berarti hak istimewa dalam belenggu jiwa Moreau akan selalu patuh. Dia bukan gadis seperti itu. Tidak ingin berubah terhadap situasi tertentu. [Urus saja istrimu yang cerewet.]
Ekspresi datar dan terkadang terlalu dingin sekadar dimengerti menjadi satu – satunya hal paling menarik saat ini. Sumbu yang terbakar di benak Barbara mendadak seperti padam, tertiup oleh perbudakan cinta yang terlalu besar. Tidak. Dia masih menyimpan segenap pertanyaan yang harus Abihirt jawab. Di sini akan menjadi momen yang tepat. Bebebrapa saat Barbara menunggu Abihirt akan mengatakan sesuatu, walau akhirnya dia harus memulai lebih dulu ketika seorang pelayan restoran datang menghampiri pria itu. “Kau sudah baca berita, Abi?" Kali pertama Barbara mengajukan pertanyaan tersebut setelah hanya tersisa mereka berdua. Alis yang tumbuh tebal dan rapi terangkat, semacam suatu itikad baik agar dia menyatakan lebih jelas. “Maksudku, mengapa kau tidak bilang kalau ternyata kau akan membawa Moreau menemui si Smift itu?” Api seperti membara di balik suara Barbara. Dia merasa gersang, seolah telah terlalap habis dan mencoba
“Tidak juga, tapi ya ... model pria-nya sangat mirip dengan bentuk tubuhmu.” Ada semacam respons istimewa yang Barbara dapati. Dia tidak tahu apakah Abihirt akan tersenyum sebagai seringai samar saat itu: sesuatu yang benar – benar tidak pernah terjadi, atau hanya sebuah reaksi murni bahwa seharusnya Barbara tidak terlalu yakin. Tak ada penyangkalan seolah tidak terungkap bagian spesifik tentang Abihirt akan merasa gugup, yang bahkan sebenarnya ... tidak sama sekali. “Aku tidak ingat kapan terakhir kali kau mau diajak foto bersama,” ucap Barbara sekadar mencari celah di antara mereka. Bersikap pura - pura, maka dia dapat menjebak sang suami ke dalam perangkap pengakuan untuk menebus rasa curiganya. “Bahkan foto pernikahan kita tidak banyak. Kalaupun ada, kau memintaku untuk tidak mempublikasikan.” Barbara menambahkan dengan sedikit pernyataan agresif. Mungkin memang bukan bersama suaminya dia bisa meninggikan ekspektasi. Sedang berusaha ti
Kurang lebih seperti itu, seperti yang Samuel katakan dan Barbara hampir tidak bisa membayangkan bagaimana dia saat ini menghadapi Abihirt yang tiba – tiba diam cukup lama dan mendelik ke arahnya seolah sedang menahan sesuatu. “Terlalu besar. Aku tidak bisa.” Napas Barbara tercekat dalam keputusasaan yang besar. Rasanya dia tak bisa terima mendapati Abihirt seakan ingin melanjutkan adegan makan setelah penolakan yang pria itu berikan. “Kau bisa membayar biaya sewa panda, tapi kenapa tidak mau berikan uang kepadaku?” “Sejauh yang kutahu, kau tidak berniat buka cabang. Tiga juta euro seperti tunjangan membayar hutang. Aku merasa kau berusaha membohongiku." Seketika ... perasaan Barbara berada pada lingkaran terburuk. Dia seperti terjebak, tetapi juga berusaha mencari jalan keluar. Mencoba membayangkan bahwa Abihirt hanya mengatakan hal tersebut secara asal. Suaminya begitu kontradi
Selangkah, dua langkah, Moreau melewati undakan tangga dengan terburu, lalu berbelok ketikungan yang berlawanan arah dari kamar ibu dan ayah sambungnya. Gagang tembaga terasa licin ketika telapak tangan Moreau perlahan berpegangan erat di sana. Dia mendorong pintu secara perlahan diliputi firasat tertentu ... berusaha menyergap di antara puncak kebisingan yang hening—dan berdentum di kepala. Tidak tahu petunjuk seperti apa itu, Moreau harap dia tak berpikir terlalu jauh sekadar meyakini akan dihadapkan sesuatu yang besar. Bibirnya menipis tanpa sadar memastikan peristiwa nyaris tergantung di udara itu, segera dilakukan. Ya .... Moreau segera melenggang masuk. Tiba – tiba keberadaan Barbara secara mengejutkan seperti membawanya pada terapi kejut listrik, tetapi tanpa reaksi memuaskan. Dia setengah waspada menelusuri apa yang dilakukan wanita tersebut, dengan pintu lemari pakaian yang terbuka, dan sebentuk boneka panda kecil sedang berada di genggaman tangan.
“Model pria yang bersamamu Abi, kan?” Tepat seperti itu. Pada akhirnya ketakutan Moreau terjadi. Dia tahu ibunya tak bodoh untuk tidak mengenali bentuk lengan Abihirt, tetapi antisipasi sudah berada dalam rancangan utuh. Moreau menyadari ternyata dia akan belajar cara menjadi seperti ini. “Abi? Suami-mu?” tanyanya nyaris sengaja bersikap takjub. Percikan istimewa di benak Barbara perlu diyakinkan. Moreau sedang mencoba. Berharap tidak tersisip perjalanan rumit dan sesuatu yang mungkin akan terbakar mengenaskan. “Kau mengenal ibu-mu sendiri, Moreau.” Moreau menarik napas dalam, kemudian mengembuskan secara perlahan. “Itu sebabnya aku sedikit tak mengerti, kenapa kau membawa nama Abi di sini? Dia suami-mu. Seharusnya kau lebih mengenalnya, Mom,” ucapnya lambat. Sadar atau tidak, Barbara membuka bibir nyaris begitu samar. Suatu tindakan naluriah, barangkali. Moreau tidak bisa menebak dengan tepat apa yang sedang wanita itu pikirkan
“Bisakah serahkan kembali boneka itu kepadaku, Mom?” tanya Moreau sedikit hati – hati. Butuh terapis murni supaya mengetahui niat Barbara yang lainnya. Suatu kebiasaan yang tak dapat diubah terkadang menjadi permasalahan terbesar. Moreau harap kali ini dia tak menebak dengan tepat. Tidak ketika dia merasa berat hati menyaksikan Barbara merekatkan bulu – bulu boneka panda yang lembut pada sebelah wajah, bahkan bergiliran menyalurkan perasaan gemas di sana. “Mom, aku ingin kau letakkan kembali bonekaku ke tempatnya.” Moreau menyatakan sebuah hak serius, berpikir Barbara akan memahaminya, tetapi tidak. Wanita itu malah meninggalkan senyum dengan kesan mengerikan, yang secara khusus melibatkan kesan membujuk instan. Boneka panda tersebut akan berpindah kepemilikan. Sudah begitu jelas .... Moreau menggeleng tidak setuju. Dia ingin langsung merenggut. Hampir ... ya, pada akhirnya Barbara lebih dulu menyingkir. “Ini akan menj