“Aku harus pergi. Emma akan datang menemui sebentar lagi.”
Tidak ada yang sanggup Moreau raih. Dia tak bisa menendang kebisuan, apa lagi hanya terpaku menatap bahu ayah sambungnya telah menjauh. Abihirt nyata – nyata sedang terburu dari cara membuka pintu kamar, yang kemudian dirapatkan kembali. Hanya perlu waktu seperkian detik, maka secara bergilir ... seorang wanita paruh baya masuk menyerahkan senyum ramah, dan membuat Moreau menyimpulkan pertanyaan di benaknya. “Selamat pagi, Nona. Saya Emma. Tuan Abi ingin Anda menikmati sarapan di sini.” Tidak salah lagi. Moreau sedikit gugup menatap wanita paruh baya di hadapannya, tetapi dia tak menolak saat Emma datang mendekat sambil membawa sarapan pagi di atas nampan, lengkap diliputi tindakan hati – hati saat menyerahkan sepiring roti panggang dengan tomat dan serrano ham. Sebuah hindangan yang tampaknya lezat. Moreau hampir lupa bagaimana cara mengalihkan pandangan. Dia mengerjap, lalu memaJadwal latihan terduga sedikit berbeda dari semestinya, karena secara mendadak Anitta mengatakan mereka akan pergi melakukan pengukuran pakaian. Moreau dan Juan butuh balutan yang pas di tubuh, maupun mengenai sesuatu yang relavan terhadap konsep yang mereka bawa ke turnamen. Awalnya pelatih mereka meminta pendapat, bahkan menawarkan Barbara sebagai pilihan paling pertama dari daftar beberapa designer, yang jelas – jelas sulit Moreau terima. Dia tahu ibunya. Andai pertengkaran seperti kemarin kembali terjadi di kemudian hari, maka dapat dipastikan selalu muncul ancaman dari mulut wanita itu. Moreau tidak ingin ditempatkan pada risiko riskan, dan pada akhirnya menyerahkan Mrs. Smift sebagai pengajuan alternatif. Cukup lega ternyata Anitta tak menolak. Sebelumnya, semua kesepakatan harus dibicarakan kepada pihak manajemen. Tidak sebegitu rumit kali ini, karena izin segera dikantongi untuk berada di sini. Moreau yang kali antusias disambut Mrs. Smift. Kemarin dia b
Benaknya cukup penasaran bagaimana jika dia membuat pernyataan menantang; atau yang tak benar – benar akan dilakukan? Akankah menemukan Abihirt mengutarakan reaksi spesifik. Barangkali yang paling dasar adalah sedikit merasa terancam seperti saat – saat pria itu tak pernah menunjukkan secara terang – terangan? [Bagaimana jika kukatakan kepada ibuku kalau aku bersamamu untuk beberapa waktu dan tidur di kamar-mu semalaman?] Pesan itu tidak dapat diundur ketika secara ajaib Abihirt telah membacanya. Terlalu singkat, andai mereka berusaha tidak terlihat mencolok. Namun, ini sudah dilakukan supaya profil tetap terjaga aman. [Itu akan menjadi urusanmu.] Tampaknya Moreau yang mulai merasa tertantang dari serangkaian kalimat singkat Abihirt. Dia nyaris menambahkan balasan ... seketika tersadar oles beberapa pasang mata menatap ke arahnya. Wajah Mrs. Smift paling signifikan, menyimpan rasa ingin tahu yang membludak terhadap apa yang Moreau lakukan dengan ponselnya. B
Demi Tuhan: seperti ada sesuatu yang Moreau lupakan. Dia tak yakin mengenai apa yang dilalui semalam: nyaris tak menatap dirinya terlalu lama di depan cermin, selain hanya menyisir rambut dan melangkah pergi ketika mobil Juan menunggu di halaman depan gedung mentereng ayah sambungnya. Abihirt terduga meninggalkan banyak bekas kemerahan. Namun, ajakan Anitta juga terlalu tiba – tiba. Moreau tidak bisa mengendalikan yang tersisa, kecuali dia mengajukan perhatian yang gugup supaya tidak melakukan apa pun. Mrs. Smift terus menatap ke arahnya dengan ekspresi wajah menunggu yang panjang, hingga bicara diliputi decakan samar. “Aku tidak akan mendapat ukuran yang pas jika kau masih mengenakan pakaian ini.” Moreau langsung menunduk mengamati kain di tubuhnya. Pakaian panjang ini beserta kerah leher yang tinggi merupakan pemberian Abihirt. Dia tidak tahu dari mana pria itu mendapat inisiatif memberikan pakaian serba tertutup. Tidak cukup ketat,
“Ibumu tahu kau punya pacar?” tanya wanita itu setelah menemukan angka, kemudian mencatatnya di atas lembaran kosong. “Tidak.” Barbara akan cukup sanksi mengenai apa pun yang Moreau ambil sebagai keputusan hidup. Dia lebih senang melakukan segala sesuatu di belakang ibunya. Bukan karena Abihirt adalah pria terlarang dari sudut pandang mana pun, tetapi itulah yang selalu Moreau hadapi. Dia bahkan tak berniat memperkenalkan Froy, terutama saat Barbara akan tahu hubungan seperti apa antara Abihirt dan mantan kekasihnya. “Wanita berang – berang itu pasti akan marah kalau tahu kau berpacaran. Tadinya kupikir hubunganmu dan Juan, yang sebatas sahabat adalah peluang untukku menjodohkanmu dengan putraku. Tapi ternyata kau sudah punya pria lain.” Moreau tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Mrs. Smift. Mereka membutuhkan dimensi bra dan harus melakukan pengukuran di bawah payudara. Itu sedang dikerjakan ketika Moreau mencari jawaban yang tepat.
“Aku pikir kau sudah lupa arah jalan pulang.” Moreau baru menginjakan kaki di ruang tamu, tetapi dia harus mendapati ibunya di sana, sedang menunggu seolah waktu yang wanita itu miliki hanya didedikasikan untuk satu hal. “Ke mana saja kau tadi malam?” Kali ini pertanyaan langsung dibiarkan ngambang di sekitar udara. Moreau tidak tahu apakah perlu memastikan kapan saat – saat yang tepat mengatakan jawaban. Barangkali dia tidak akan pernah mendapat kesempatan jika mengabaikan segala hal di sini. “Ke mana saja, yang penting menjadi tempat untukku tidur dengan nyaman.” Keberanian di balik suara Moreau sepertinya mengatur reaksi Barbara dengan telak. Wanita itu segera bangun dan melipat tangan di depan dada. “Kau tinggal mengatakan secara spesifik ke mana kau semalam. Aku tahu kau tidak pergi ke kediaman Juan, bukan berarti harus membiarkanku berpikir terlalu jauh,” ucap wanita itu. Ekspresi wajah masam yang kentara terungkap sangat jelas, semacam per
Moreau bisa menebak yang sebenarnya. Sebuah korelasi antara Samuel dan Barbara. Rasa penasaran mendadak muncul; dia setengah memikirkan siapa yang paling penting untuk disalahkan. Ibunya jelas – jelas memiliki hubungan terselubung dengan Samuel. Apakah pria itu juga orang yang sama dilihatnya di ponsel Abihirt? Masuk akal jika pemikiran tersebut nyatanya menghadapi pendekatan nyaris tak berjarak. Moreau menggeleng samar ... begitulah yang harus dia katakan. “Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, Mom. Tapi kau tidak becanda, kan?” Sudut bibir Barbara berkedut tipis, tepatnya hampir berdecih, tetapi masih sedikit menahan diri. “Tidak. Aku tak sedang becanda. Jika kau setuju, aku akan mengatur jadwal pertemuan kalian.” “Kau tak perlu repot – repot mengatur jadwal kami. Aku tak akan pernah setuju,” bantah Moreau tegas. Ini yang ingin Barbaca bicarakan, dan tidak baginya. Andai Moreau tahu akan ada permintaan lagi, alih – alih wanita
Suara pintu kamar terbuka mengingatkan Moreau bahwa dia sedang tidak sendirian dengan pikiran yang berkecamuk. Tubuhnya segera bergeser waspada setelah diliputi posisi menelungkup dan memeluk bantal sembari memainkan ponsel tanpa minat. Mengungkit – ungkit bukan suatu tindakan yang Moreau masukkan ke dalam daftar kebiasaan, tetapi Barbara telah membiarkannya melakukan tersebut. Ntah hal apa lagi yang wanita itu lakukan, sehingga secara mengejutkan Abihirt muncul; berhenti sekian jengkal jarak sekadar memandanginya di atas ranjang. Terserah jika pria itu akan terjebak di sana. Moreau tak berniat mengatakan sesuatu. Belakangan dia cukup mengenal ayah sambungnya untuk mengetahui kebutuhan pria itu akan cukup signifikan. Abihirt tidak mungkin datang tanpa tujuan. “Ibumu memintamu ke dapur untuk makan malam.” Sesuatu yang lain mengambil alih. Ini hampir tidak pernah menjadi bagian dari sepetak sikap ibunya. Gagasan Barbara mengenai makan malam usai segala sesuatu yang selalu membuat m
“Benarkah? Aku rasa tadi kau terkejut.” Moreau mendengkus. Mereka benar – benar tidak pernah akur sehingga tak perlu memikirkannya terlalu jauh. Biarkan Barbara bicara dan dia tidak akan memasukkannya sebagai kata – kata yang menyinggung, meski tahu bahwa sebenarnya Barbara sedang menyindir: bahwa sesuatu yang Moreau pikir spesial, ternyata tidak seistimewa yang dibayangkan. Dia hanya pilihan ketika ibunya selalu menjadi yang utama. “Abi bilang dia tidak punya maksud apa – apa saat memilih gelang itu untukmu.” Itu pula yang Abihirt katakan. Moreau mengerti ... ibunya tak perlu bersusah payah merunut lebih jelas. Tidak. Walau secara mengejutkan Abihirt mulai bersuara. “Sudahlah, Barbara.” “Kenapa? Moreau juga harus tahu.” “Kita sedang di meja makan. Bisakah kau tutup mulutmu dan gunakan itu untuk menyelesaikan makanan di sana?” Rasanya sudah cukup. Moreau tak ingin mendenga
Moreau tidak memiliki banyak kesiapan ketika tiba – tiba dia harus mendapati ibunya membuka pintu kamar, kemudian langkah wanita itu terdengar kasar mendekati kaki ranjang. Makan malam baru selesai dan dia akui bahwa memang tuntutan untuk tidak terlibat merupakan kebutuhan terpenting pada saat – saat tertentu. Moreau sungguh tidak pernah menduga bahwa ibunya akan muncul sepaket dengan nampan tergenggam erat di tangan. Ekspresi wajah wanita itu datar usai meletakkan benda tersebut di atas nakas. Hanya mengambil beberapa langkah mundur ke belakang, kemudian Barbara melipat tangan di depan dada. “Caroline bilang kau tidak mau turun ikut makan bersama. Jadi, kubawakan makan malam untukmu.” Kali pertama bicara, suara wanita itu terdengar sinis. Moreau tidak tahu apa yang mempengaruhi suasana hati ibunya, sehingga dia merasakan dampak sebagai seseorang paling dekat untuk saat ini. Bertanya – tanya apakah ini berkaitan langsung tentang kecurigaan Barbara yang mungkin belum
Semua harus dilakukan dengan hati – hati. Barbara tidak ingin mengambil risiko. Dia akan mempertimbangkan andai Abihirt mau bekerja sama. “Sedang kupikirkan.” Tidak ada kepastian dari jawaban singkat suaminya. Barbara harap dia tidak mencelupkan diri ke dalam kesalahan besar ketika memutuskan untuk ... perlahan menarik napas kemudian mengembuskan secara kasar. “Itu punya Samuel,” ucapnya, cukup tak berani menatap ke wajah Abihirt. Ya, memalingkan wajah ke dinding kamar menjadi keputusan terbaik. Barbara akan menunggu. Beberapa saat lebih lama tidak apa – apa. Dia memejam sebentar. Mencoba menghitung dalam hati. Namun, sepertinya keterdiaman Abihirt sudah melampaui batas. Dia tidak akan pernah tahu apa pun, jika menempatkan dirinya pada ancaman berbahaya. Akhirnya ... setengah enggan, Barbara menjatuhkan perhatian di wajah pria itu. Tatapan dingin seperti akan membuatnya menjadi kepingan membeku. Apa yang sedang Abihirt pikirkan? Dia mungkin bisa menduga – duga te
“Hanya berjalan keluar sebentar.” Abihirt tetap tenang saat sorot mata Barbara menyerupai kilatan menyambar. Wanita itu bahkan tidak tahu betapa ini akan lebih buruk dari perdebatan yang pernah mereka hadapi. Tidak perlu terburu – buru mengeksekusi satu bagian yang berada tepat di depan mata. Satu langkah mendekat, Abihirt benar – benar menyingkirkan sisa jarak membatas. Barbara terlihat menunjukkan sikap waspada. Kedua tangan wanita itu masih terikat di kepala ranjang. Samar sekali sudut bibir Abihirt berkedut. Membiarkan wajah mereka perlahan mendekat. Napas Barbara mulai memberat, semacam suatu petanda bahwa ini akan segera dimulai. Abihirt memberi kecupan samar di sudut bibir wanita itu. Keterkejutan bukan sesuatu yang sepenuhnya dapat digerakkan dengan baik. “Hanya untuk menunggumu benar – benar siap. Bukan karena ada sesuatu yang sedang kusembunyikan,” dia berbisik lambat sekadar memberi Barbara kepastian. Nyaris memberi wanita itu sentuhan bibir yang leb
Tidak terlalu lama sebenarnya, tetapi Barbara tidak menyukai saat – saat dia harus dibuat begitu penasaran terhadap sesuatu yang tidak berusaha Abihirt ungkapkan secara gamblang. Rasanya seperti membiarkan dirinya terpanggang di dalam oven, sementara pria itu pergi berkeliling ke suatu tempat untuk kemudian muncul kembali tanpa peringatan. Hanya suara ranjang berderak dan membuat Barbara berusaha menahan separuh kekesalan yang bertumpuk di benaknya. Dia tidak ingin lepas begitu saja. Mereka sudah cukup puas bertengkar semalam. Meski tidak dimungkiri bahwa cara Abihirt meninggalkannya dengan situasi seperti ini menyerahkan begitu banyak gambaran tidak masuk akal. Dorongan implusif seakan memberi tahu agar dia dapat berpikir lebih jernih untuk mencurigai suaminya. “Kau dari mana saja?” tanya Barbara setelah merasakan betapa jarak antara dia dan bagaimana Abihirt sudah begitu dekat, lalu membuka ikatan dasi di yang menutup di matanya. Aroma maskulin—khas dari tubuh pria it
Moreau mendengar segala sesuatu di sana. Suara tautan bibir; perintah Abihirt; dan bagaimana Barbara kemudian bersuara. Semuanya merupakan prospek yang jelas memberi dia petunjuk tentang apa yang telah terjadi di atas kepalanya saat ini, di mana ranjang sesekali terdengar berderak dan .... Ya, cukup sakit membayangkan Abihirt saat ini sedang mencumbu Barbara; memberi wanita itu kepuasan—apa pun, yang berkaitan dengan kebutuhan meluapkan hasrat bersama. Sementara dia harus bersembunyi seperti seseorang yang baru saja memborong kebodohan. Hanya berharap tidak pernah ketahuan. Berharap dengan bersembunyi bisa menghindari masalah lebih besar. Mungkin terlalu naif jika dia masih mendambakan pertolongan secepatnya. Tidak ada yang tahan untuk berada di sini lebih lama; ditumbuk oleh pelbagai kenyataan paling getir bahwa betapa pun dia terjebak pada situasi yang tak dapat dikendalikan, itu masih tergolong ke dalam keputusan paling salah. Seharusnya tidak membiarkan Abihirt menye
“Apa yang ingin kau lakukan, Abi?” tanya Barbara dengan kewaspadaan merangkak cepat ke permukaan. Dia berusaha beringsut mundur saat mengetahui suaminya telah mencondongkan tubuh dan menepis sisa jarak di antara mereka. Wajah pria itu benar – benar mendekat. Sesuatu yang menyebarkan beberapa tanda tanya besar. Barbara harus menghadapi desakan tak terduga di mana Abihirt telah merampas bibirnya dengan begitu terburu. Dia masih cukup terkejut, tetapi segera mengendalikan diri untuk mengimbangi apa pun yang terasa masih sangat mendadak. Sedikit senyum di balik ciuman mereka—Barbara tidak akan bersikap terancam andai dia tahu inilah yang kemudian Abihirt lakukan. Paling tidak, bukan lagi tentang kemarahan, perdebatan semalam dan hal – hal yang terasa menjengkelkan. Hanya kemudian Barbara terkesiap ketika tangan Abihirt mendorongnya kasar supaya beringsut ke belakang. Pria tersebut ingin dia bersandar di kepala ranjang, maka itulah yang dia lakukan. “Kau benar – be
Napas Barbara berembus kasar kali pertama mendapati suaminya sudah ada di kamar. Dia masih menyentuh gagang pintu dan segera menutup kamar dengan rapat. Posisi Abihirt persis begitu tenang duduk di pinggir ranjang. Kedua tangan pria itu berpangku pada kaki yang menapak di lantai, bentuk posisi yang tampak benar – benar tidak memberi banyak pengaruh, walau Barbara harus mengakui bahwa suaminya perlu sedikit membungkuk sembari melakukan kontak mata berdua. Rasanya sudah cukup—semalam mereka menghadapi pertengkaran hebat dan berakhir dengan Abihirt meninggalkan pelbagai ketakutan di benaknya. Barbara sudah begitu khawatir ketika pria itu tidak memberi kabar. Dia hampir tidak tidur semalam, tetapi tidak dimungkiri bahwa urusan kantor tidak bisa ditinggal hanya karena butuh terlelap lebih lama, meski kebutuhan tersebut seakan telah lenyap tak bersisa. Mungkin ini saatnya. Setiap detil bagian dari tindakan Abihirt tidak luput dari perhatian Barbara, termasuk saat dia harus
“Kau lihat saja, aku akan memotong penismu jika sampai ibuku mengetahui bekas yang kau tinggalkan.” Moreau tidak benar – benar mengancam, tetapi dia yakin itu akan cukup menunjukkan betapa dia merasa kesal kepada ayah sambungnya. Kedutan samar di sudut bibir Abihirt memperlihatkan respons signifikan bahwa sebenarnya pria itu sedikit terhibur oleh sesuatu yang mungkin membuat ketegangan mereka selama beberapa hari meluap begitu saja. “Kau akan membawa pakaian kering ini ke kamarku?" Hanya kebetulan hening berusaha mengambil tempat dan tiba – tiba sayup suara Barbara menyelinap di sekitar udara. Dapat dipastikan wanita itu sedang berbicara kepada Caroline. Barangkali secara kebetulan mereka bertemu di lorong lantai dua, tetapi bagian tersebut adalah petunjuk bahwa Barbara akan segera menginjakkan kaki ke kamar; tidak perlu mengetuk sekadar beranjak masuk masuk; cukup dengan menekan gagang pintu andai Abihirt lupa mengunci dari dalam. Dia tak benar – benar mengamat
“Kalau bukan apa – apa, kau tidak akan bersikap berlebih setelah mendengar penjelasanku.” Tidak ingin menyerah, Moreau mengatakan penyangkalan dalam dirinya begitu saja. Itu adalah reaksi murni yang sungguh tidak dia inginkan, jika pada akhirnya akan cukup mengerikan mendapati iris kelabu Abihirt secara mendadak menyerupai ujung pedang yang tajam. Sorot mata pria itu terlalu kelam. Dia hampir lupa bagaimana tetap berpegangan ketika hampir terhanyut dan terombang ambing di sana. “Aku benar, kan? Kau tidak biasanya bersikap seperti ini.” Sial. Bentuk pemberontakkan dalam diri Moreau terlalu murni. Dia tak bohong ternyata cukup kewalahan sekadar memisahkan mana bagian paling penting ketika perlu menjadi benar – benar berani dan tidak. Abihirt punya ruang penuh untuk menghukumnya dengan cara apa pun. Bahkan kenyataan sebenarnya mengatakan bahwa dia masih terjerembab dalam perangkap pria itu. Dia tak harus lupa jika borgol yang menjerat pada salah satu pergelangan tangan a