“Apa yang terjadi kepadamu, Abi? Kenapa sampai berdarah seperti ini?”
Moreau masih dalam keadaan yang tenang memainkan ponsel ketika tiba – tiba suara ibunya—sarat nada khawatir, membuat situasi mendadak terasa mengejutkan. Dia ikut menoleh pada titik di mana Abihirt berjalan sambil memegangi bahu dan segumpal kain yang sepertinya tidak lagi dengan wujud bagus. Sebagian tubuh pria itu juga tampak berdarah – darah. Apa yang terjadi? Benak Moreau bertanya – tanya tak mengerti. Ada Chicao di belakang—persis mengekor di bawah kaki ayah sambungnya, tetapi Abihirt tidak mengatakan apa pun sekadar menanggapi reaksi Barbara. Hanya berjalan lurus—dapat diketahui bahwa kamar merupakan tujuan utama. “Siapa yang melakukan ini kepadamu?” Sekarang Moreau harus menelan ludah kasar mengamati ibunya telah berjalan mendatangi Abihirt. Barbara berusaha memberi sentuhan ringan; ada sedikit penolakan hingga wanita itu mengurung niat, memutuskan hanya menatap saat telapak tangan“Tidak ada yang benar – benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau bisa tanyakan langsung kepada Abi. Aku akan ambilkan air supaya lukanya bisa dibersihkan." Kendati Barbara terlihat tidak puas terhadap situasi yang mereka hadapi, wanita itu tidak berusaha membuat ketegangan terasa seperti kilat menyambar. Hanya hentakkan kaki—mulai meninggalkan ruang tamu. Moreau menelan ludah kasar menghadapi keheningan mendadak seperti gemuruh liar. Tidak ada sisa – sisa suara, tetapi keterdiam di antara mereka; Gloriya tampak tidak berusaha berkata apa – apa, atau ayah sambungnya yang sudah terlihat melampaui pucat, lemas, dan harus berjuang tetap dalam keadaan sadar, sementara satu tangan pria itu mulai begerak, merogoh ponsel di saku celananya. “Apa yang ingin kau lakukan, Abi?” Barangkali secara sadar Gloriya menyadari apa yang menjadi kemungkinan paling besar, sehingga wanita itu mengajukan pertanyaan dengan kekhawatiran meliputi suara di ujung tenggorokan. “
“Dan kau menyelamatkan anjing-mu, begitu?” Semua masuk akal ketika Abihirt tidak lagi mengatakan apa pun. Pria itu memilih diam, selain mengamati setiap detil tindakan yang Moreau lakukan. Sedikit mengganggu. Dia gugup. Namun, tidak mengatakan protes agar iris kelabu—kelam—berhenti menatap wajahnya. Untunglah jika Abihirt mengerti untuk tidak meninggalkan kesan tertentu. Pria itu memalingkan separuh wajah, berusaha menatap luka di belakang bahu disertai warna pucat yang cukup mengkhawatirkan. “Lain kali cobalah untuk mementingkan dirimu sendiri. Bagaimana kalau Froy sampai melukai bagian tubuhmu yang fatal? Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Gloriya tidak bisakah kau hubungi Froy dan suruh dia kemari?” Segala bentuk nasihat Barbara diakhiri solusi yang ingin wanita tersebut selesaikan. Mungkin seharusnya seperti itu. Moreau tak ingin mencampuri hal – hal yang terikat, sementara dia juga akan mendapati Gloriya menghela napas putus asa. Sempat m
“Moreau, bisa kau panggilkan Abi sebentar? Dia mungkin masih di kamar. Atau kalau tidak, kau bisa sekalian mencarinya di halaman depan.” Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya Moreau bersikap setuju. Perlahan, meletakkan satu gelas kosong yang baru saja ditenggak ... ke atas meja bar. Perlu menggarisbawahi pernyataan Barbara; Abihirt mungkin masih di kamar. Dapat dipastikan akan ada pembicaraan serius setelah mereka menemukan Gloriya telah meninggalkan pedesaan, dan ... secara kebetulan pisau daging telah hilang dari tempat seharusnya. Sesuatu yang tentu menjadi ketakutan besar di benak Gloriya ketika wanita itu membayangkan barang bukti dapat menguatkan tuntutan hukum terhadap Froy. Moreau yakin hal demikian yang akan Barbara bicarakan. Ini penting untuk menegakkan keadilan. Dia segera melangkah meninggalkan dapur, sementara ibunya menyiapkan sarapan khusus sang suami. Paling tidak, perlu merasa sedikit lega bahwa Barbara tidak menaruh sedikitpun rasa curiga;
“Kau mungkin memang sayang kepada Chicao. Tapi, ibuku dan Bibi Gloriya benar. Bukankah terlalu berbahaya membiarkan Froy sampai melukai bahumu seperti kemarin? Bagaimana jika kapak yang Froy gunakan malah membuat tanganmu putus? Bagaimana kalau—“ “Kenapa? Kau takut tidak ada lagi yang akan memukul bokongmu dengan keras?” Suara Moreau tertahan di ujung tenggorokan. Sialan, sama sekali bukan itu yang dia maksud. Pertanyaan Abihirt barusan membuat bibirnya setengah terbuka, lalu merapat secara naluriah hampir tidak bisa menghadapi prospek terbaik sekadar membantah. Mungkin harus benar – benar menyiapkan diri, meski akhirnya akan sedikit menemukan jalan pintas. “Kau tahu bukan itu yang kumaksud. Atau kau memang tak peduli, tapi ibuku—“ Nyaris tidak ada peringatan ketika tiba – tiba satu kecupan mendarat di bibirnya. Moreau seketika terdiam. Cukup terkejut. Berusaha memahami hal yang tertinggal. Namun, sikap Abihirt masih terlalu tenang untuk memberinya petunjuk
Moreau menarik koper dengan hati – hati setelah melewati undakan tangan teratas. Sengaja berjalan lebih dulu membiarkan ibu dan ayah sambungnya tertinggal beberapa langkah di belakang. “Ingat kata Roger tadi. Jangan lupa habiskan antibiotik yang dia berikan dan ya, jangan terbiasa lakukan hal gila seperti kemarin, mengerti?” Suara Barbara terdengar dekat bahkan saat Moreau sampai di depan pintu kamar. Dia menoleh sebentar hanya untuk menyaksikan punggung kedua pasangan itu mulai jauh dari pandangannya. Tersisip beberapa ingatan tentang sebagian pertiwa di antara mereka. Abihirt sempat menyetir. Ya, sempat. Sebelum Barbara memaksa supaya mereka singgah ke rumah sakit. Ada desakan serius dari luka terbuka di bahu pria itu, sehingga butuh pendekatan medis—dengan beberapa jahitan, meski sempat terungkap penolakan, yang pada akhirnya membuat Barbara tidak dapat menahan diri lebih lama, lalu mengambil alih kemudi. Sedikit yang perlu disampaikan secara rinci. Ba
“Kau tahu istrimu harus selalu rapi di mana pun dia berada. Bukankah aku memintamu tidur?” Sambil mengajukan satu pertanyaan, Barbara menepis sisa jarak di antara mereka, lalu mengecup bibir yang tampak menggoda itu dengan lembut. “Kau seharusnya tidur, Darling. Tinggalkan pekerjaan-mu dulu. Aku tahu kau tidak suka kalau ternyata Gloriya membeberkan soal penyakit-mu, tapi itu lebih baik, karena kau mengambil keputusan yang salah jika tetap menyembunyikannya dariku.” Barbara tidak yakin mengenai keputusan untuk melampaui batas di antara mereka. Abihirt memang tidak mengatakan apa pun mengenai keikutsertaan-nya ketika di rumah sakit; tentang dia melibatkan diri pada hal – hal relevan; menunggu selama transfusi darah berlangsung. Akan tetapi dapat merasakan atmosfer sedikit telah berbeda; seperti saat membayangkan bahwa Abihirt berusaha tidak mengomentari apa pun dan masih dengan keputusan serupa. Tidak ada kesan tertentu di mana dia hanya mendapati pria itu tetap diam.
Melakukan negosiasi tidak akan cukup membuat situasi terasa buruk, karena Moreau mendeteksi tidak ada lagi yang ingin ayah sambungnya bicarakan. Abihirt hanya memilih duduk di pinggir ranjang; persis begitu dekat. Dia tidak punya pilihan selain menerima salep, dengan sesaat memutuskan untuk mengamati pola dari benang medis di bahu pria itu. Mula – mula jemari tangan Moreau memutar penutup yang masih begitu rapat. Hanya perlu membaluri krim—terasa dingin di tangan, pada pinggiran sisa – sisa yang masih memerah. Dia menelan ludah kasar sambil memikirkan suatu hal yang kemudian membentuk rasa penasaran di benaknya. “Kau sungguh akan memenjarakan Froy?” Pada akhirnya akan ada reaksi; di mana memberi Froy pelajaran adalah keputusan penting, yang tersirat meski Abihirt tidak mengajukan jawaban secara langsung. Pria itu hanya memalingkan separuh wajah saat Moreau mulai menempelkan ujung jemari pada bahunya. Membaluri krim dengan hati – hati, tetapi tidak akan menahan diri
Lagi. Abihirt bertanya seakan ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang Moreau yakini pria itu sudah menemukan jawabannya. Dia menggeleng terlalu samar sebagai respons pertama. Memang, cukup tertarik untuk membuat tato. Hanya saja, selalu ada batasan sekadar tidak melangkahi aturan. “Kau tahu ibuku tidak akan setuju. Dia akan marah saat tahu aku memiliki tato di tubuhku.” Mengenal prinsip Barbara merupakan salah satu bagian terpenting. Wanita itu berpakaian modern, tetapi cukup kolot jika sudah menyangkut sesuatu tentang dirinya. Moreau tak ingin mengambil risiko, meski rayuan di puncak kepala terasa masuk akal, sementara dia harus berusaha keras menyangkal. Tiba – tiba Abihirt beranjak bangun dan menatap lamat ke arahnya. Tersirat suatu hal yang sedang dipikirkan, tetapi masih terlalu samar untuk dimengerti, mengapa, ada apa; jauh lebih mengejutkan ketika pria itu mulai mengatakan sesuatu. “Buka bajumu.” Bibir Moreau tanpa sadar terbuka menafsirkan apa y