“Tidak ada yang benar – benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau bisa tanyakan langsung kepada Abi. Aku akan ambilkan air supaya lukanya bisa dibersihkan."
Kendati Barbara terlihat tidak puas terhadap situasi yang mereka hadapi, wanita itu tidak berusaha membuat ketegangan terasa seperti kilat menyambar. Hanya hentakkan kaki—mulai meninggalkan ruang tamu. Moreau menelan ludah kasar menghadapi keheningan mendadak seperti gemuruh liar. Tidak ada sisa – sisa suara, tetapi keterdiam di antara mereka; Gloriya tampak tidak berusaha berkata apa – apa, atau ayah sambungnya yang sudah terlihat melampaui pucat, lemas, dan harus berjuang tetap dalam keadaan sadar, sementara satu tangan pria itu mulai begerak, merogoh ponsel di saku celananya. “Apa yang ingin kau lakukan, Abi?” Barangkali secara sadar Gloriya menyadari apa yang menjadi kemungkinan paling besar, sehingga wanita itu mengajukan pertanyaan dengan kekhawatiran meliputi suara di ujung tenggorokan. ““Dan kau menyelamatkan anjing-mu, begitu?” Semua masuk akal ketika Abihirt tidak lagi mengatakan apa pun. Pria itu memilih diam, selain mengamati setiap detil tindakan yang Moreau lakukan. Sedikit mengganggu. Dia gugup. Namun, tidak mengatakan protes agar iris kelabu—kelam—berhenti menatap wajahnya. Untunglah jika Abihirt mengerti untuk tidak meninggalkan kesan tertentu. Pria itu memalingkan separuh wajah, berusaha menatap luka di belakang bahu disertai warna pucat yang cukup mengkhawatirkan. “Lain kali cobalah untuk mementingkan dirimu sendiri. Bagaimana kalau Froy sampai melukai bagian tubuhmu yang fatal? Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Gloriya tidak bisakah kau hubungi Froy dan suruh dia kemari?” Segala bentuk nasihat Barbara diakhiri solusi yang ingin wanita tersebut selesaikan. Mungkin seharusnya seperti itu. Moreau tak ingin mencampuri hal – hal yang terikat, sementara dia juga akan mendapati Gloriya menghela napas putus asa. Sempat m
“Moreau, bisa kau panggilkan Abi sebentar? Dia mungkin masih di kamar. Atau kalau tidak, kau bisa sekalian mencarinya di halaman depan.” Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya Moreau bersikap setuju. Perlahan, meletakkan satu gelas kosong yang baru saja ditenggak ... ke atas meja bar. Perlu menggarisbawahi pernyataan Barbara; Abihirt mungkin masih di kamar. Dapat dipastikan akan ada pembicaraan serius setelah mereka menemukan Gloriya telah meninggalkan pedesaan, dan ... secara kebetulan pisau daging telah hilang dari tempat seharusnya. Sesuatu yang tentu menjadi ketakutan besar di benak Gloriya ketika wanita itu membayangkan barang bukti dapat menguatkan tuntutan hukum terhadap Froy. Moreau yakin hal demikian yang akan Barbara bicarakan. Ini penting untuk menegakkan keadilan. Dia segera melangkah meninggalkan dapur, sementara ibunya menyiapkan sarapan khusus sang suami. Paling tidak, perlu merasa sedikit lega bahwa Barbara tidak menaruh sedikitpun rasa curiga;
“Kau mungkin memang sayang kepada Chicao. Tapi, ibuku dan Bibi Gloriya benar. Bukankah terlalu berbahaya membiarkan Froy sampai melukai bahumu seperti kemarin? Bagaimana jika kapak yang Froy gunakan malah membuat tanganmu putus? Bagaimana kalau—“ “Kenapa? Kau takut tidak ada lagi yang akan memukul bokongmu dengan keras?” Suara Moreau tertahan di ujung tenggorokan. Sialan, sama sekali bukan itu yang dia maksud. Pertanyaan Abihirt barusan membuat bibirnya setengah terbuka, lalu merapat secara naluriah hampir tidak bisa menghadapi prospek terbaik sekadar membantah. Mungkin harus benar – benar menyiapkan diri, meski akhirnya akan sedikit menemukan jalan pintas. “Kau tahu bukan itu yang kumaksud. Atau kau memang tak peduli, tapi ibuku—“ Nyaris tidak ada peringatan ketika tiba – tiba satu kecupan mendarat di bibirnya. Moreau seketika terdiam. Cukup terkejut. Berusaha memahami hal yang tertinggal. Namun, sikap Abihirt masih terlalu tenang untuk memberinya petunjuk
Moreau menarik koper dengan hati – hati setelah melewati undakan tangan teratas. Sengaja berjalan lebih dulu membiarkan ibu dan ayah sambungnya tertinggal beberapa langkah di belakang. “Ingat kata Roger tadi. Jangan lupa habiskan antibiotik yang dia berikan dan ya, jangan terbiasa lakukan hal gila seperti kemarin, mengerti?” Suara Barbara terdengar dekat bahkan saat Moreau sampai di depan pintu kamar. Dia menoleh sebentar hanya untuk menyaksikan punggung kedua pasangan itu mulai jauh dari pandangannya. Tersisip beberapa ingatan tentang sebagian pertiwa di antara mereka. Abihirt sempat menyetir. Ya, sempat. Sebelum Barbara memaksa supaya mereka singgah ke rumah sakit. Ada desakan serius dari luka terbuka di bahu pria itu, sehingga butuh pendekatan medis—dengan beberapa jahitan, meski sempat terungkap penolakan, yang pada akhirnya membuat Barbara tidak dapat menahan diri lebih lama, lalu mengambil alih kemudi. Sedikit yang perlu disampaikan secara rinci. Ba
“Kau tahu istrimu harus selalu rapi di mana pun dia berada. Bukankah aku memintamu tidur?” Sambil mengajukan satu pertanyaan, Barbara menepis sisa jarak di antara mereka, lalu mengecup bibir yang tampak menggoda itu dengan lembut. “Kau seharusnya tidur, Darling. Tinggalkan pekerjaan-mu dulu. Aku tahu kau tidak suka kalau ternyata Gloriya membeberkan soal penyakit-mu, tapi itu lebih baik, karena kau mengambil keputusan yang salah jika tetap menyembunyikannya dariku.” Barbara tidak yakin mengenai keputusan untuk melampaui batas di antara mereka. Abihirt memang tidak mengatakan apa pun mengenai keikutsertaan-nya ketika di rumah sakit; tentang dia melibatkan diri pada hal – hal relevan; menunggu selama transfusi darah berlangsung. Akan tetapi dapat merasakan atmosfer sedikit telah berbeda; seperti saat membayangkan bahwa Abihirt berusaha tidak mengomentari apa pun dan masih dengan keputusan serupa. Tidak ada kesan tertentu di mana dia hanya mendapati pria itu tetap diam.
Melakukan negosiasi tidak akan cukup membuat situasi terasa buruk, karena Moreau mendeteksi tidak ada lagi yang ingin ayah sambungnya bicarakan. Abihirt hanya memilih duduk di pinggir ranjang; persis begitu dekat. Dia tidak punya pilihan selain menerima salep, dengan sesaat memutuskan untuk mengamati pola dari benang medis di bahu pria itu. Mula – mula jemari tangan Moreau memutar penutup yang masih begitu rapat. Hanya perlu membaluri krim—terasa dingin di tangan, pada pinggiran sisa – sisa yang masih memerah. Dia menelan ludah kasar sambil memikirkan suatu hal yang kemudian membentuk rasa penasaran di benaknya. “Kau sungguh akan memenjarakan Froy?” Pada akhirnya akan ada reaksi; di mana memberi Froy pelajaran adalah keputusan penting, yang tersirat meski Abihirt tidak mengajukan jawaban secara langsung. Pria itu hanya memalingkan separuh wajah saat Moreau mulai menempelkan ujung jemari pada bahunya. Membaluri krim dengan hati – hati, tetapi tidak akan menahan diri
Lagi. Abihirt bertanya seakan ingin memastikan sesuatu. Sesuatu yang Moreau yakini pria itu sudah menemukan jawabannya. Dia menggeleng terlalu samar sebagai respons pertama. Memang, cukup tertarik untuk membuat tato. Hanya saja, selalu ada batasan sekadar tidak melangkahi aturan. “Kau tahu ibuku tidak akan setuju. Dia akan marah saat tahu aku memiliki tato di tubuhku.” Mengenal prinsip Barbara merupakan salah satu bagian terpenting. Wanita itu berpakaian modern, tetapi cukup kolot jika sudah menyangkut sesuatu tentang dirinya. Moreau tak ingin mengambil risiko, meski rayuan di puncak kepala terasa masuk akal, sementara dia harus berusaha keras menyangkal. Tiba – tiba Abihirt beranjak bangun dan menatap lamat ke arahnya. Tersirat suatu hal yang sedang dipikirkan, tetapi masih terlalu samar untuk dimengerti, mengapa, ada apa; jauh lebih mengejutkan ketika pria itu mulai mengatakan sesuatu. “Buka bajumu.” Bibir Moreau tanpa sadar terbuka menafsirkan apa y
Tidak ada yang lebih buruk ketika pria itu mengambil peran. Moreau segera menggeleng tidak setuju. Membuka baju sendiri atau ditelanjangi oleh ayah sambungnya sama sekali bukan pilihan. Dia tak akan pernah mendapat kesempatan sekadar mengajukan keputusan. Percuma, andai, berusaha tetap menolak. “Kau bisa mundur beberapa meter di sana.” Dengan penuh tekad Moreau menyingkirkan lengan Abihirt. Sedikit tidak peduli jika pria itu akan menganggap tindakan demikian sebagai sikap kurang ajar. Suara ranjang bederak menengaskan bahwa Abihirt sepakat kembali menjulang tinggi. Perlu digaris bawahi kalau – kalau mata kelabu yang menatap tajam tidak pernah meninggalkan setiap detil tindakan Moreau; persis saat dia menggenggam ujung kain yang membalut di tubuhnya. “Bisa kau tutup sebentar mata-mu, Abi?” Tetap berharap ada toleransi tertentu ketika pemandangan untuk bertelanjang tak langsung dilahap habis oleh Abihirt. Moreau ingin sedikit privasi, meski pada akhirnya itu ak
Namun, pada akhirnya ... selalu bukan hal yang akan mengejutkan lagi di sana. Barbara menghela napas kasar mendapati Abihirt sedang duduk di pinggir ranjang. Hanya mengulik ponsel, seakan pria itu tidak memiliki minat menyiapkan diri terlebih dahulu. Ya, suaminya masih dengan pakaian yang sama; kekacauan tampak membuat setiap helai teracak – acak di rambut gelap Abihirt. Ada beberapa bagian berjatuhan di sekitar kening, menambah nilai estetika dari penampilan yang bisa disebut liar dan tampan secara bersamaan. Barbara tidak tahu bagaimana dia selalu mengagumi suaminya, tetapi juga sulit melepaskan Samuel atas keamanan tertentu. Paling tidak, untuk saat ini ... belum ada kesiapan untuk memilih salah satu. Dia masih tidak bersedia. Masih ada keinginan bersenang – senang, tetapi tidak mudah mendapatkan itu pada diri Abihirt. Apa yang bisa Barbara harapkan dari pria yang tak banyak bicara? Semua orang benar tahu bahwa suaminya terlalu kaku. Dia tak bisa membayangkan betapa h
Barbara mengerjap cepat, kemudian berkata, “Lalu, mengapa kemarin kau bilang tidak tahu tentang keberadaan Moreau?" "Aku tidak ingin kau khawatir, karena inilah yang akhirnya bisa kutebak. Kau sangat marah." Itu benar. Barbara pikir pernyataan Abihirt barusan terdengar cukup masuk akal. "Jadi kau bersungguh – sungguh jika tidak ada hubungan apa pun antara kau dan Moreau?” “Ya. Aku memesan dua kamar jika kau masih berpikiran buruk. Akan kutunjukkan kepadamu bukti transaksi hotel. Mungkin nanti kau yang perlu menjelaskan mengapa ada pria lain di sini.” Berikutnya selesai. Abihirt langsung melangkah pergi. Melewati Barbara; melewati tubuh Samuel di sana; meninggalkan sisa keheningan begitu pekat, hingga embusan napas Barbara berakhir kasar. Dia menatap bahu suaminya tanpa pernah bisa mengalihkan perhatian. Ada ketakutan tak berjarak dari pengetahuan Abihirt yang tak terduga. Barbara memikirkan segalanya. Namun bagaimanapun, harus menanam ketenangan
“Mengejutkan sekali kau masih mengingat kapan aku berulang tahun. Kupikir kau tidak pernah peduli terhadap apa pun lagi, selain berkencan dengan putriku.” Itu yang Barbara katakan. Betapa dengan sengaja menyindir. Dapat dipastikan wanita tersebut tidak akan berhenti sampai mereka mengakui sesuatu yang masih coba Abihirt tutupi. Secara diam – diam Moreau mengatur posisi supaya bisa sedikit mengintip bagaimana kondisi ibunya saat ini. Tidak banyak. Hanya mengetahui wajah Barbara yang masih begitu masam dan bagaimana wanita itu melipat kedua lengan di depan dada; seolah radar menantang terlalu pekat untuk dihindari. “Mengapa kau diam, Abi? Apa Moreau yang memberitahumu hari ulang tahunku? Jadi, kalian bisa mencari alasan supaya aku tidak merasa curiga?” “Kau mengatur tanggal ulang tahunmu sebagai kode pengaman di ponselku. Bagaimana aku akan lupa?” Tidak tahu apa yang bisa Moreau katakan. Dia terkejut, sekaligus merasa butuh waktu lebih lama agar memahami
Moreau tidak berusaha membantah. Rasa sakit dari tamparan Barbara masih meninggalkan efek tertentu seperti tak ingin hilang, tetapi dia berusaha menghindari sorot mata wanita yang menatap nyalang dan tiba - tiba pula menepis sentuhan Abihirt di lengannya. Nyaris—bahu Moreau mendadak tegang saat Barbara terduga akan kembali menyerang. Dia telah membuat tameng perlindungan dengan lengan terangkat menutup wajah. Namun, Abihirt segera menegahi; menjadi tembok tinggi untuk melindunginya di belakang. Benar – benar membuat Barbara terdiam—sepertinya wanita itu tak menyangka jika pria yang dinikahi ternyata akan melakukan pembelaan besar. “Tidak bisakah kau duduk tenang dan dengarkan penjelasanku terlebih dahulu?” Sekarang suara serak dan dalam Abihirt mengambil tempat. Pria itu selalu terdengar tenang, walau Moreau tidak tahu apa yang ingin ayah sambungnya jelaskan. “Tidak. Pelacur kecil sepertinya pantas diberi pelajaran.” Barbara menyangga tidak pada atura
Mereka sudah menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk sarapan pagi dan melakukan sisa – sisa perjalanan lain, tetapi Moreau tidak memahami motivasi ayah sambungnya terhadap apa pun yang telah berlalu tadi. Abihirt tidak banyak bicara. Tidak dimungkiri bahwa mereka sempat berkeliling hanya untuk mencarikan sesuatu, membeli perlengkapan yang Moreau yakin adalah kegemaran ibunya. Ya, seharusnya beberapa bagian tersebut akan cukup jelas. Dia hanya merasa masih terlalu ambigu, apalagi ketika sampai pada agenda pulang, Abihirt tidak bersikap seakan ada prospek spesifik mengenai apa yang akan terjadi. Meminta supaya mereka tetap di sini, terjebak sesaat di tengah gemuruh keheningan, sementara waktu terus memburu dan beranjak terlalu jauh. Dia tidak menginginkan itu. “Sekarang kita akan masuk?” Moreau tidak bisa menahan diri sekadar diam. Terlalu lama di mobil tidak membuat situasi terasa lebih baik. Ada begitu banyak keabsahan. Mereka tidak bisa meninggalkan bagi
Udara dari celah bibir Barbara berembus kasar. Dia menatap Samuel setengah enggan, tetapi merasa pria itu mungkin akan memberi solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Samuel biasanya cukup cakap. Ntah apa yang mungkin akan pria itu katakan. Hanya sedikit tidak siap jika ternyata muncul serentatan kalimat tak menyenangkan dan makin membuat dia didesak ketakutan. “Bukannya tadi kau dan suamimu baik – baik saja? Kenapa tiba – tiba kau ingin pulang dan mengatakan kalau Froy benar tentang hubungan rahasia suamimu bersama anak gadismu?” Bagaimanapun, Samuel menginginkan rangkaian cerita lebih runut. Membuat Barbara ntah harus kali ke berapa menekan segerombol perasaan tidak tenang. Dia masih sangat memikirkan pelbagai kemungkinan buruk. Ditambahkan sikap Abihirt yang dia tahu tidak akan mudah dipoles. Suaminya bahkan tidak menunjukkan itikad baik sekadar menjelaskan segala bentuk hal yang sedang menjadi permasalahan mereka. “Aku mendengar suara Moreau di telep
[Abi, boleh aku pinjam ponselmu untuk mengirim foto – fotoku yang ada di padang pasir ....] Rasanya sekujur tubuh Barbara mendidih membayangkan apa yang sedang logikanya uraikan. Abihirt berkata jika pria itu masih Dubai; akan segera pulang, tetapi sangat mengejutkan mengetahui suara Moreau menyelinap masuk di tengah pembicaraan mereka. Ini tidak dapat disesali. Betapa pun Barbara mencoba sekadar menyangkal. Dia telah menyaring segala sesuatu yang terjadi di sana, dengan jelas ... dengan sangat jelas bahwa Moreau butuh foto – foto di padang pasir untuk dikirim ke ponsel gadis itu. Barangkali juga tidak diharapkan penjelasan lebih tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, Barbara bahkan belum mengucapkan apa – apa dan menuntut Abihirt membicarakan semua yang telah suaminya sembunyikan, termasuk saat Abihirt mengaku tidak mengetahui keberadaan Moreau di kali terakhir dia menghubungi pria itu sambil membicarakan keberadaan putrinya yang tidak berkabar. Namun, pa
Namun, untuk beberapa saat Moreau menoleh ke arah ayah sambungnya ketika menyentuh gagang pintu. Abihirt terduga merenggut ponsel pria itu di atas nakas. Mungkin ada kesibukan penting, yang secara tidak langsung mengingatkan Moreau bahwa ada satu hal—lupa dia katakan kepada ayah sambungnya. Ini tidak akan lama. Dia hanya akan membasuh wajah dengan percikan air, kemudian kembali kepada pria itu. Memang tidak lama. Ketika Moreau menatap pantulan wajah di depan cermin, tindakan kali pertama dilakukan adalah menarik napas dalam – dalam. Semua perangkat di sini hanya milik Abihirt. Dia akan menggosok gigi, nanti, di rumah. Sekarang sebaiknya menghampiri pria itu di atas ranjang. Mendadak ledakan dalam diri Moreau menjadi antusias. Dia memang tidak sabar ingin mengirim foto – foto di padang pasir hari itu, setelah mulai mengoperasikan ponsel baru pemberian ayah sambungnya. Berharap Abihirt tidak keberatan saat dia mengatakan tujuan yang sedang berkecamuk liar. Mo
Walau ternyata tidak .... Moreau merasakan sesuatu yang berat menindih di sekitar tubuhnya. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyadari bahwa biasan cahaya dari jendela berusaha menembus masuk melalui tirai yang menjuntai. Sudah pagi. Sepertinya permintaan tidur semalam membuat dia terlelap nyenyak. Moreau tidak akan berkomentar apa – apa tentang hal tersebut. Semua sudah berlalu dan tidak perlu mengingat kembali sesuatu yang pada akhirnya selalu berujung tidak pasti. Sambil mencoba bergeser, dia menghirup udara sebanyak mungkin, sedikit ingin meregangkan tulang – tulang yang terasa kaku, tetapi segera menyadari jika hampir tidak ada ruang sekadar bergerak. Seseorang seperti membuatnya terperangkap; menghirup aroma maskulin yang menyerbu deras, hingga tanpa sengaja Moreau menyentuh helai rambut—terasa halus, dan dia tetap menyapukan telapak tangan dengan lembut di sana. Ini seperti meninggalkan sensasi tertentu, tidak tahu mengapa secara naluriah sudut bibi