Tiga bab yang kuupload di awal urutannya terbalik, ya. Gegara aku update pakai timer, jadi harusnya bab 'Perhatian' itu paling belakangan dengan urutan: 1. Antre. 2. Lebih Dekat. 3. Perhatian.
Suasana hati yang bagus dan pelbagai proses penyembuhan usai beberapa beberapa minggu berlalu, akhirnya membawa Moreau untuk bisa kembali melakukan sesi latihan bersama Juan. Dia bernapas dengan udara terasa menggebu di rongga dada. Ini bagian terakhir setelah melakukan segala bentuk gerakan indah secara berulang. “Aku rasa latihan hari ini sudah cukup.” Itu yang barusan Anitta katakan dan bagaimana Juan tampak begitu peduli, memastikan sebelah lengan pria tersebut bertaut di pinggung Moreau, hanya supaya mereka dapat berjalan bersama. Dia mengerti Juan ingin menjadi penopang saat memutuskan untuk berjalan dengan hati – hati. Berdua ... langkah mereka telah lebih dekat menghadap Anitta yang menunggu tidak jauh dari pinggir lapangan es. “Kau perlu beristirahat lebih sering, Moreau. Kaki-mu masih harus diperhatikan, kalau sakit katakan saja, jangan sampai kita tidak bisa ikut tournamen, karena kondisimu tidak benar – benar baik. Ingat, latihan kita sudah sampa
“Mr. Lincoln.” Segera. Dengan cepat suara Juan mengambil andil terhadap hening di antara mereka. Pria itu tersenyum mencari muka. Ancaman yang pernah diberikan rasanya sudah cukup membuat mata kelabu Abihirt menatap tajam. Tidak ada tanggapan sehingga Juan meringis tanpa sadar sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Sepertinya aku harus pergi, Amiga. Sampai jumpa besok.” Bibir Moreau setengah terbuka ketika dia menyaksikan Juan buru – buru melangkah pergi. Namun, tak satu pun hal terungkap dari ujung tenggorokan. Ya, dia tak bisa mengatakan apa pun selain memindahkan perhatian ke wajah tampan Abihirt. Tubuh tinggi ayah sambungnya seolah – olah memiliki radar tertentu, di mana Moreau merasa pria itu dilingkupi penuh dengan tujuan rahasia. “Kau akan membawaku ke rumahmu?” tanya Moreau dituntut kebutuhan naluriah untuk berjalan masuk ke kursi penumpang depan. Dia duduk mengenyakkan bahu di sandaran jok sambil memperhatikan setia
“Kau yakin kita akan menang?” Pertanyaan Juan secara teknikal menambahkan ketegangan yang mereka rasakan. Moreau menelan ludah kasar, hampir tidak ada tempat untuk menampung keraguan yang dia sendiri juga tidak bisa mengendalikan dengan baik. Namun, sebagai tim, mereka harus saling menaruh kepercayaan, terlepas proses latihan dan pelbagai usaha lainnya beberapa minggu terakhir. Semua memang sudah dengan persiapan terbaik. Bahkan kostum pilihan, karya Mrs. Smift, telah merekat indah di tubuh mereka, wanita itu kebetulan sudah melakukan sambungan video untuk memberi dukungan, mengingat Spanyol bukanlah tuan rumah. Hanya perlu menunggu giliran untuk tampil, dan rasanya Moreau benar – benar tak bisa menyingkirkan ketegangan di sekitar bahu dan pelbagai gal yang dia hadapi. “Kita pasti akan menang,” ucapnya nyaris menyerupai lirih. Tidak dimungkiri bahwa pasangan figure skatting yang membawa nama negara lain luar biasa hebat. “Ya, kalian pasti akan menang. Kalia
“Kita berhasil, Amigo. Aku mencintaimu.” Juan langsung berteriak antusias sambil menarik tubuh Moreau untuk berpelukan erat. Pria itu membuat wajahnya tenggelam di permukaan dada yang bergerak. Betapa dia bisa merasakan bagaimana napas Juan terus menggebu. Ini hanya perayaan singkat. Mereka belum benar – benar selesai. Bagaimanapun, sebagai pasangan yang telah tampil, tidak ada lagi ketegangan sekadar membuat semua terlalu mengerikan. Pelepasan ini sungguh menjadi sajian nikmat. Moreau tersenyum saat Juan mengendurkan sentuhan lengan, kemudian menuntun langkah mereka dengan sepatu yang menggesek di lapisan es untuk mendekati kelompok pendukung Tim Spanyol. Anitta sudah menunggu sambil merentangkan kedua tangan. Moreau dan Juan menyambut lewat ledakan perasaan gembira. Hanya sebentar, karena pelatih mereka segera mengatakan sesuatu persis sebuah pujian. “Kerja bagus. Setidaknya kalian telah menarik simpastisan penonton, tapi semua tetap berakhir pada keputus
“Kau akan ikut pulang bersamaku setelah semuanya telah selesai.” Hanya pernyataan demikian yang masih tersisa di benak Moreau saat dia sudah berada di sini. Duduk dengan tenang menghadapi perjalanan menuju pulang sambil sesekali memindahkan perhatian ke luar jendela. Sementara Abihirt berada di sisi lainnya, terlihat seperti membicarakan sesuatu yang serius bersama Gabriel. Mungkin terlalu penting sehingga nyaris tidak ada hal lain bisa pria itu lakukan, meski sesekali mata mereka akan bertemu, dan Moreau memutusukan untuk menyingkir lebih dulu. Sayangnya, dia tidak pernah mengira bahwa Abihirt akan muncul, mengambil posisi begitu dekat ketika urusan pria itu selesai. Aroma maskulin seketika menyerbak di sekitar wajahnya. Moreau ingin meresepi lebih dalam dengan membuat kebutuhan menarik napas menjadi tidak terlewatkan. Tiba – tiba dia merasakan sesuatu bergerak secara tentatif dan menyadari Abihirt sedang memegang bulatan medali emas yang memang masih dikal
“Kita sedang dalam perjalanan pulang, Abi.” Moreau berusaha mengingatkan, agar pria itu sadar dan berhenti melakukan tindakan seperti ini. Ada saat – saat di mana perlu menahan gairah. Menunggu sampai seharusnya menemukan waktu yang tepat. Bukan di sini. “Lepaskan medalimu.” Sial, Moreau sendiri tak kuasa menghadapi setiap perlakuan nyaris tanpa jeda dari ayah sambungnya. Bibir pria itu membisikkan sebuah permintaan dengan suara parau. Benar – benar meninggalkan sesuatu yang membuat jantung bertalu keras. “Untuk apa aku melepas medaliku?” “Aku ingin kau ke kamar.” Jet pribadi ini sudah dilengkapi fasilitas mentereng. Bahu Moreau mendadak tegang menghadapi hasrat telah membara di mata kelabu Abihirt. Pria itu memintanya untuk beranjak bangun. Dia mungkin tidak menolak, meski belum ada niat menyingkirkan medali yang masih menggantung di bagian leher. Mereka berjalan melewati kabin. Tidak lagi tersisa bantahan sekalipun Moreau tahu bahwa dia tidak pernah memiliki kebutuhan
Setelah sampai di Spanyol, di rumah mereka tinggal, Moreau langsung masuk ke dalam kamar sebagaimana dia butuh waktu – waktu panjang untuk beristirahat. Lelah dan diliputi rasa bersalah adalah dua paket kombo yang tidak dapat dipisahkan. Dia nyaris tak mengerti mengapa, bersama Abihirt ... membuat mereka lihai dalam menyembunyikan kebenaran. Masih tersisa ingatan tentang Barbara yang menyambut dengan antusias. Wanita itu bahkan terlampau tidak sabar saat ingin menyentuh medali emas miliknya. Tidak ada penolakan. Tentu. Moreau sempat membiarkan ujung jemari Barbara merasakan logam mulia dengan bentuk bulatan padat. Wanita itu tersenyum lebar, sebentar, walau tidak mengatakan apa pun lagi saat - saat trrsebut untuk diselesaikan. Reaksi euforia memang terlalu singkat. Lagi pula, tidak ada yang berharap adanya sikap berlebihan. Moreau menarik napas berulang kali sambil berusaha untuk tidur. Dia mulai memejam dan tiba – tiba suara ketukan pintu dari luar menarik seluruh perh
Satu tujuan Barbara adalah mendatangi sang suami. Dia tersenyum tipis saat sebentuk bahu besar, kokoh Abihirt sudah begitu dekat. Pria itu sibuk menemani anjing yang ditinggalkan selama beberapa waktu dengan sebelah tangan mengusap bulu sewarna kecokelatan yang lembut, meski terkadang perlu sandiwara besar supaya bisa mengambil perhatian suaminya. Dengan tidak sabar. Lengan Barbara langsung terulur menyentuh garis bahu itu. Dia melekukkan bibir lebih lebar saat Abihirt menengadah sebagai reaksi murni terhadap tindakan yang telah dilakukan. Naluri waspada selalu menjadi bagian dari tindakan pria tersebut. “Kau akan menemani Chicao sepanjang malam di sini?” tanya Barbara sekadar basa – basi. Betapa dia menginginkan suaminya. Sekarang mulai mengambil tindakan tersirat. Abihirt mungkin akan memahami, walau pria itu tidak menunjukkan secara spesifik. Hanya balas menyentuh punggung tangannya yang masih bertaut di bahu yang terasa padat. Barbara tidak tahu pemikiran seper
“Apa yang sedang kau pikirkan, Moreau?” Abihirt bertanya, sungguh? Perilaku ganjil telah membuat pria itu memikirkan banyak hal. Moreau tak pernah mengira akan ada satu momen di mana dia membiarkan bibirnya terbuka lebih lebar saat ibu jari Abihirt memberi sapuan ringan di sana. Bahkan pria itu mendorong masuk seluruh jempol yang terasa kasar dan besar supaya dia secara naluriah memberi isapan tak terduga. Mereka melakukan kontak mata. Iris kelabu itu benar – benar tampak dilingkupi gairah tertahan. Rasanya dia tak bisa menjabarkan bagaimana tatapan Abihirt terlalu lapar dan ingin melahapnya tanpa ampun. Tubuh Moreau segera tersentak begitu pria itu mendorong tubuhnya jatuh terduduk di atas ranjang. Tuntutan untuk menengadah mengungkapkan pemandangan murni dari cara Abihirt yang terburu ketika membuka jas dan bahkan merenggut ikatan dasi di kerah kemeja. Lengan pria itu menekan di atas ranjang diliputi wajah yang perlahan mencondong ke depan. Betapa Moreau h
“Aku tetap mau pulang. Ibuku akan mencariku nanti.” Dia berharap bisa mengatakan sesuatu yang lain, tetapi pengkhianatan dalam dirinya membiarkan ego melarang. Barangkali akan kelepasan dan membuat semua semakin runyam. “Ibumu tak akan mencarimu.” Lambat sekali suara serak dan dalam Abihirt mencuak ke permukaan seolah pria itu sedang mengusahakan upaya agar Moreau tidak memikirkan sesuatu melebihi apa yang seharusnya. “Kau sendiri yang bilang ibuku sudah menunggu. Dari mana kau tahu ibuku tidak akan mencariku?” dia bertanya sinis. Akan lebih adil jika Abihirt merasakan ketegangan yang coba dia besar – besarkan. “Ada kegiatan pameran busana. Ibumu akan menghabiskan banyak waktu di sana.” Sekarang Moreau tahu. Dia mengangguk – angguk tak acuh seolah ingin membuktikan kepada ayah sambungnya kalau – kalau apa pun yang sedang pria itu inginkan tidak akan dengan mudah terwujud. “Jadi, tadi kau membohongiku? Kupikir kau adalah suami cuek yang tida
“Keluarlah.” Sebuah perintah serius, sepertinya Moreau akan menghadapi masa sulit andai dia masih bersikap keras kepala untuk tidak menuruti setiap keinginan pria itu. Secara naluriah bahunya mengedik tak acuh. Lupakan bahwa ini adalah peringatan terakhir. Dia melipat lengan di depan dada tanpa mempedulikan Abihirt di sana. Ayah sambungnya akan mengerti jika tindakan tersebut masih menjadi bagian dari sikap tidak patuh dan seharusnya pria itu mengambil inisiatif sendiri sekadar melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah kalau – kalau memang hal demikian merupakan bagian dari daftar panjang yang tak terlewatkan. Celakalah, Moreau tidak pernah menduga jika ternyata Abihirt akan mengambil tindakan tak terduga dengan menarik tubuhnya secara paksa dan lagi ... pria itu mendekap persis diliputi cara di klub tadi, membuat dia terombang – ambing menahan sisa rasa pening nan pekat, sementara perutnya meninggalkan sensasi tidak menyenangkan—tertekan di garis bahu yang terasa kokoh
Tubuh Moreau terdesak ke depan ketika dia nyaris setengah terlelap. Mobil ditumpanginya menghadapi krisis tiba – tiba ... seolah itu memang suatu tindakan disengaja. Tidak tahu apa yang sedang berserang di puncak kepala Abihirt saat suami Barbara memutuskan untuk menginjak rem secara tak terduga. Barangkali hal tersebut tidak jauh dari motivasi sederhana ayah sambungnya supaya dia terbangun, sementara makhluk kaku itu tidak menemukan cara untuk menarik Moreau kembali ke permukaan. Menyedihkan. Secara naluriah dia menoleh ke wajah Abihirt. Pelbagai desakan telah menyumbat di puncak kepalanya sekadar meluapkan segala sesuatu yang tertahan. Mungkin keinginan tentang menghantam wajah tampan di sana ... dengan pukulan serius adalah gagasan paling potensial. Moreau harap bisa menuntaskan ide – ide yang berkeliaran bebas, hingga bergelantungan di belakang bahunya dengan cepat. Namun, di satu sisi tak terduga dia harus membayangkan bagaimana menjadi tenang tak tersentuh—
Moreau merasa sangat malu. Ironi. Dia tak punya cukup tenaga untuk memberontak. Kepalanya terasa pening karena alkohol dan sekarang semacam terombang – ambing di lautan berombak dahsyat, diliputi sengatan aroma tubuh ayah sambungnya yang memabukkan. “Moreau sudah bilang tak ingin kau ganggu, Rowan. Turunkan dia!” Mereka sudah separuh jalan menuju pintu keluar, kemudian suara Robby cukup lantang menghentikan Abihirt, lalu menarik perhatian pria itu untuk berbalik badan—di mana Moreau perlu berjuang memalingkan separuh wajah jika dia ingin tahu tentang apa yang akan Robby lakukan kepada ayah sambungnya. “Kau tidak perlu ikut campur terhadap urusanku.” Suara serak dan dalam Abihirt memang terdengar tenang, tetapi tersisip reaksi ganjil yang Moreau sadari coba pria itu tahan. Dia ingin tahu. Bertanya – tanya apakah keberadaan Robby telah memberi banyak pengaruh, meski ayah sambungnya masih berusaha tidak menunjukkan reaksi signifikan di antara mereka. Apakah mu
Mungkin ... yang tersisa di antara mereka adalah sikap Abihirt ... masih berusaha hati – hati saat pria itu menghadapi keputusan serupa. Moreau menggeleng tegas. Terlalu konyol jika mereka bertengkar di sini. Di hadapan banyak orang, apalagi sampai mereka tahu tentang status hubungan yang begitu konyol sekadar dimaklumi. Bagaimanapun Moreau tak bisa memungkiri bahwa sikap Abihirt terlihat seperti seorang pria dewasa yang enggan berbagi. “Jika kau ingin pulang, kau bisa pulang sendiri. Aku tidak butuh perhatian darimu.” Persetan! Meski sesuatu dalam diri Moreau mengingatkan supaya dia bersikap tenang, ada satu bagian lain yang bernama ego ... mendorong agar dia menunjukkan keberanian di hadapan pria itu. “Ibumu sudah menunggu di rumah.” Apa pedulinya? Haruskah Moreau katakan bahwa Abihirt sedang mengandalkan Barbara demi membujuknya? Tidak. Dia akan memastikan itu bukan prospek yang mempan. Lebih baik sudahi segala sesuatu yang membuat dia merasa lebih gila.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Moreau sarat nada sinis. Menyingkirkan keberadaan tangan Abihirt adalah kebutuhan dasar. Dia menepis pria itu dengan kuat. Sudah cukup membiarkan waktu berjalan beberapa saat. Keheningan memang sudah bergemuruh sejak terakhir kali tidak ada satu pun kata terucap dari bibir ayah sambungnya, tetapi Moreau muak menghadapi sikap pria itu. Abihirt sudah seringkali memberi tatapan tajam, seakan – akan demikianlah cara pria tersebut melakukan komunikasi intens. Tidak. Seharusnya pria itu mengerti kalau – kalau hal tersebut merupakan bentuk paling menyakitkan. “Aku ingin kau pulang.” Kali pertama bersuara, Moreau dapat mencerna betapa suara serak dan dalam itu terdengar dingin membekukan. Jika Abihirt mengira dia akan setuju begitu saja, suami ibunya salah—sangat salah. Untuk saat ini Moreau tidak menerima perintah. Dia segera menoleh ke wajah Robby, merasa hal tersebut merupakan prospek bagus sekadar memperlihatkan kepada Abihirt bahwa
[Aku tidak akan pergi ke mana pun untuk meletakkan bokongku di ranjangmu.] Itu adalah pesan terakhir yang Moreau kirimkan sebelum dia dan Juan akhirnya memutuskan untuk terjebak di tengah – tengah musik menggelegar. Tidak ada yang dilakukan di sini. Selain, sesekali menaruh minat serius apakah Abihirt akan membalas pesan terakhir darinya atau tidak. Ironi. Kenyataan bahwa Moreau harus mendapati pria itu bahkan sudah membaca, alih – alih meninggalkan sedikit jejak supaya dia tidak terus menebak – nebak suatu hal yang bahkan tidak mendekati pengetahuan murni di benaknya. Barangkali Abihirt tidak punya waktu lebih sekadar menaruh sedikit perhatian, atau paling tidak ... menanyakan ke mana dia telah pergi. Moreau yakin pria itu sedang bersama Barbara, karena apa pun alasan yang dia berikan kepada ibunya adalah prospek bagus untuk bisa berada di sini. Menghirup hiruk pikuk yang terasa memuakkan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat pelampiasan. “Kau dari tadi h
“Ada apa dengan kenalanku?” pria itu bertanya lambat, seolah pemikiran di benak Moreau telah sampai, kemudian membuat Juan mempertimbangkan sesuatu yang terasa begitu tiba – tiba di antara mereka. “Kau tidak pernah membicarakan tentang kenalanmu. Aku curiga kalau yang ingin kau pertemukan kepadaku ternyata satu spesies denganmu.” Sambil mengedikkan bahu tak acuh, sekarang Moreau mendapati ekspresi wajah Juan penuh selidik ke arahnya. “Apa maksudmu bicara seperti itu? Spesies apa, huh?” Pria itu sedang menuntut, tetapi jelas tak benar – benar serius. Sesuatu yang membuat Moreau nyaman untuk berada di samping Juan. Akan selalu begitu. “Aku yakin kau mengerti maksudku, Juan ....” Demikian yang dia katakan dan segera menerima respons decakan keras dari Juan—pria itu bahkan merangkul lehernya erat. Nyaris membuat Moreau benar – benar menunduk. Dia tertawa saat berusaha melepaskan diri. Terlalu menikmati momen kebebasan seperti ini hingga tidak pernah menyadari bahwa