Aluna terdiam.
Dia tak menyangka akan mengucapkan demikian. Namun, bayangan Gio di rumah sakit lebih menekannya.Dan setelah mengucapkan itu, semua terasa berjalan dengan begitu cepat bagi Aluna.
Malam ini, wanita itu bahkan sudah berada di sebuah restoran. Duduk di bangku yang terletak di pinggir jendela–di hadapan kontrak dan Ethan yang mengenakan kemeja lengkap dengan jas. “Cepat! Aku tidak suka orang lelet!” ucap Ethan tidak sabar melihat Aluna yang sedari tadi hanya menatap dokumen perjanjian yang telah disiapkan. Aluna menghela napas. Dia baru saja membaca keseluruhan kontrak dari Ethan. Di sana, Ethan berhak atas apapun tentang Aluna. Dan Aluna akan mendapatkan jatah uang setiap bulan, serta fasilitas tempat tinggal. Semua itu akan berlangsung selama satu tahun. Dengan cepat, Aluna mengambil bolpoin dan menandatanganinya. “Sudah.” Aluna menyerahkan dokumen itu kembali. Hanya saja, dia ingin memastikan satu hal pada Ethan. “Sir, bolehkah saya—” “Apa?!” potong Ethan dengan cepat. “Kau tidak boleh berdekatan dengan pria lain! Apalagi sampai menjalin hubungan. Jika kau melakukannya, aku tidak akan ragu memotong lehermu.” Aluna langsung memegang lehernya. Mengusap lehernya dengan sayang, jangan sampai dipotong oleh Ethan. “Sir bukan itu. Saya ingin meminta jatah libur setiap bulan. Dan selama saya libur, anda tidak boleh mengganggu saya.” “Berapa lama?” tanya Ethan. “Dua sampai tiga hari, Sir. Selama itu anda tidak boleh mengganggu saya.” Ethan bersedekap. “Memangnya apa yang akan kau lakukan?” Aluna langsung mencari alasan yang masuk akal. Tidak mungkin ia bilang akan pulang untuk menjenguk anaknya, kan? “Sebenarnya saya ini sangat introvert. Jadi saya butuh waktu berhari-hari untuk mengisi baterai saya.” Ethan mengernyit–memeriksa kebenaran ucapan Aluna dengan menatap wanita itu lebih dalam. “Benar, Sir. Saya tidak tidak bohong.” Aluna menepuk dirinya sendiri. “Bukankah Anda sendiri tahu jika dulu saya tidak punya teman di sekolah? Saya menghindari semua orang karena saya ini introvert—” “Karena kau miskin. Kau tidak berteman dengan siapapun karena kau miskin,” potong Ethan, tak setuju. “Apapun itu terserah. Aku bukan diktaktor. Jadi, kau dapat libur, tapi tidak boleh melebihi 3 hari.” Aluna mengepalkan tangannya, menahan kesal. Namun, ia tak lupa menempelkan senyum karir di wajahnya. “Terima kasih, Sir.” Tak lama, Ethan pun berdiri. Melihat itu, Aluna pikir mereka akan pulang. Namun, ternyata tidak! Ethan justru menarik tangannya. “Sir kita akan ke mana?” tanya Aluna sambil mendongak. “Tempat tinggal barumu.” Ethan masuk ke dalam sebuah mobil. Diikuti oleh Aluna yang hanya bisa menurut bagai Kerbau dicucuk hidungnya. “Kau pernah berkencan?” tanya Ethan tiba-tiba. Aluna mengangguk pelan. “Pernah..” ucapnya, ragu. Bohong! Padahal Aluna tidak pernah berkencan. Di sisi lain, Ethan menoleh. Ia berdehem sebentar sebelum berbicara. “Tampan? Lebih tampan dari aku? Lebih hebat juga dariku?” “Apa maksud anda—” Aluna menggeleng. “Jangan membahas masa lalu, Sir. Meskipun dia hebat dan tampan, dia hanyalah mantan.” Ia terus berbohong untuk menyelematkan harga dirinya sendiri. Ethan seketika tertawa sumbang. “Hahahah! Pasti matamu sedang buram.” Pria itu lalu menepikan mobilnya di parkiran sebuah Apartemen. Namun sebelum turun, ia mendadak mendekatkan wajahnya ke Aluna. “Kau yakin mantanmu itu tampan?” tanyanya. Deg! Terlalu dekat. Aluna bahkan bisa menghirup aroma parfum Ethan yang maskulin. Jika saja dirinya dalam keadaan tidak sadar, dirinya akan menutup mata dan bersiap dicium. Namun, masalahnya, saat ini Aluna hanya diam sambil menatap wajah tampan Ethan. “Hm. Iya..” jawab Aluna pada akhirnya. “Kau yakin?” tanya Ethan sekali lagi. Tangannya terangkat mengusap pipi Aluna pelan. Pandangannya turun menatap bibir Aluna yang berwarna merah karena lipstik. Jari telunjuknya menekan dagu Aluna ke atas. “Tidak ada yang bisa menolak pesonaku, Aluna. Lama kelamaan kau pasti akan jatuh ke dalam pesonaku.” Nafas Aluna sontak tercekat. Posisi mereka terlalu intim. Orang lain yang melihat mereka dari luar pasti akan berpikir mereka sedang mesum. Tapi, Aluna penasaran satu hal. “Apa konsekuensinya jika aku jatuh ke dalam pesonamu, Sir?” Ethan menarik sudut bibirnya membentuk smirk. “Yang pastinya aku tidak akan bisa membalas perasaanmu. Mungkin kau akan jatuh sendirian.” “Bukankah itu konsekuensi yang harus ditanggung semua orang jika jatuh cinta sendirian. Lantas, jika bukan aku tapi anda yang harus jatuh sendiri. Bagaimana jika anda jatuh ke dalam pesonaku?” Ethan mundur kemudian tertawa. Tawa yang begitu lepas. “Kau cukup percaya diri.” Aluna tersenyum tipis. Dia sepertinya tahu apa yang ada di pikiran pria itu. Mungkin seperti … mana mungkin perempuan miskin yang dulu begitu takut dengannya berubah menjadi wanita yang lebih percaya diri? “Anda meragukan saya?” tanya Aluna kemudian.“Bagaimana caramu membuatku jatuh? Kau sendiri tidak terlalu menarik.” Ethan menatap Aluna sambil meremehkan.Membuat wanita itu mengerjap mata pelan. “Entahlah, akan kupikirkan nanti.” Segera, wanita itu melepaskan seatbeltnya. Dia tak tahan terlalu dekat dengan Ethan. Sebab, kepercayaan dirinya seringkali hilang di depan pria brengsek ini. Dan tentu saja, Aluna takut diterkam oleh Ethan. “Aku harus menyusun strategi yang tepat untuk membuat anda jatuh ke dalam pesonaku,” bohongnya sembari turun dari mobil. “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengantarkan ‘milikku.’” Sembari menekankan kata milikku, Ethan ternyata ikut keluar dari mobil. Pria itu mendekat—menyelipkan tangannya di pinggang Aluna yang ramping. Bibirnya bahkan berada tepat berada di samping telinga Aluna. “Kakimu bergetar. Tubuhmu pasti panas dingin bukan?” bisiknya dengan nada rendah. Muka Aluna sontak memerah. Bagaimana bisa Ethan tahu jika Aluna benar-benar tegang setengah mati? Untungnya, setelah kejadia
“Waah!” Bukannya terhina, bapak-bapak mesum itu malah mengambil uang yang dilempar Ethan. Mereka bahkan tidak ragu memungut uang yang berserakan di tanah.Tapi, tetap saja Aluna panik. Dia khawatir Ethan akan berbuat lebih dan semakin pamer. Bagaimana jika Ethan sampai membeberkan identitasnya sebagai wakil direktur Winston Corp? Bisa gawat!Jadi, didorongnya Ethan untuk segera kembali masuk ke dalam mobil!“Pulang, Sir pulang!” ucap Aluna menutup pintu mobil. “Heh Aluna!” teriak Ethan marah-marah di dalam mobil. “Aluna aku belum selesai!” Setelahnya, Aluna berlari menuju kost-annya.Sedangkan bapak-bapak yang di sana malah memberikan jempolnya pada Ethan yang masih berada di dalam mobil. “Bagus bos! Teruskan!” ucap bapak bersarung itu. “Saya akan mendukung partai anda, orang tampan dan kaya bebas melakukan apapun!” soraknya dengan keras. “Eh tapi memangnya ada partai seperti itu?” tanya bapak-bapak satunya lagi dengan bingung. “Ada mungkin.” Mereka mengangguk dengan serius.
Menjadi Asisten dan Sekretaris adalah pekerjaan yang sangat berbeda. Pagi hari—Aluna sudah berada di rumah Ethan. Menyiapkan segala keperluan atasannya itu. Aluna berjinjit, berusaha menggapai sebuah kemeja yang berada di dalam lemari.“Akh!” tiba-tiba sepasang tangan berada di pinggangnya dan mengangkat tubuhnya. Tidak perlu melihat pelakunya, tugas Aluna hanya mengambil kemeja itu. “Terima kasih, Sir.” Aluna memegang kemeja berwarna navy. Saat ia berbalik ia begitu terkejut sampai berteriak. “AAAAA!” Sambil gelagapan menutup wajahnya menggunakan kemeja Ethan. Ethan dengan santainya hanya memutar bola matanya malas. Tubuhnya yang shirtless hanya menggunakan celana dalam saja bertuliskan calvin clain. Menarik pinggang Aluna hingga menunduk. “Biasakan dirimu.” Ethan mengusap bibir bawah Aluna yang berwarna merah akibat lipstik. “Jangan pakai lipstik merah ini lagi.” Aluna mengerjap—kepalanya condong ke belakang. Berusaha menghindar dari atasannya tersebut. “Kenapa? Saya baru saja
“Ke mana Sir?” tanya Aluna bergegas karena Ethan sudah berjalan menjauh. Aluna berlari. “Sir, tunggu.” Aluna mengejar langkah Ethan yang begitu lebar. “Sir, jangan cepat-cepat..” keluh Aluna saat sampai di dekat bosnya itu. Nyatanya Ethan tidak peduli. Pria itu terus berjalan dengan langkahnya yang lebar, membuat Aluna kesusahan sampai ngos-ngosan. Sampai di parkiran, barulah Aluna bisa bernafas sejenak. “Sir kita akan ke mana?” “Ke rumahku.” Nyatanya, perkataan laki-laki itu tidak bisa sepenuhnya dipercaya. Katanya rumah, tapi ternyata Ethan membawa Aluna ke sebuah klub. Aluna tidak percaya, dirinya menginjakkan kaki di klub di umurnya yang ke-25 tahun. Memasuki ruangan yang langsung disambut oleh gemerlapnya lampu. Aroma rokok dan alkohol yang menjadi satu. Aluna tidak melihat kanan kiri lagi dan fokus pada satu punggung yang berjalan membelah para manusia. Menaiki sebuah tangga. Sampai akhirnya. Aluna terdiam di tempat. “Hei bro!” sapa Bobby pada Ethan yang baru s
Pintu toilet terbuka. Seorang pria menatap Aluna yang meringkuk di bawah. Ethan, ya pria itu memutuskan untuk menyusul Aluna. Ethan sempat melihat tangan Aluna yang tidak berhenti gemetar. “Aluna!” Ethan menyentuh bahu Aluna. “Apa yang terjadi?” Aluna menggeleng. “Sir…” lirihnya. Bibirnya pucat, Suhu tubuhnya meningkat. Mungkin juga karena efek alkohol untuk pertama kali di tubuh Aluna. “Tubuhmu panas?” tanya Ethan sembari menangkup wajah Aluna. “Apa yang kau rasakan? Tubuhmu terasa terbakar?” Aluna menggeleng. Tangannya terangkat menyentuh tangan Ethan yang berada di pipinya. “Tidak.” “Sir, aku ingin pulang.” Aluna memejamkan mata. Pandangannya mengabur dan semuanya gelap. Aluna pingsan. “Aluna!” teriak Ethan. "Aluna bangun." sembari menepuk pelan pipi Aluna. Bibir Aluna pucat dan suhu badannya tinggi. Ethan segera mengangkat tubuh Aluna. Menggendong tubuh Aluna dan mengabaikan teriakan tanya dari teman-temannya. "Kenapa?" heran Bobby. "Aluna pingsan?"Wiliam menatap
Ethan menoleh ke samping. Tidak bisa menahan senyumnya karena Aluna yang terlihat begitu lucu. “Tidak.” Ethan kembali merubah ekspresinya menjadi datar. “Aku hanya ingin menciummu.” Ethan menunduk dan mengambil ciuman lagi di bibir Aluna. “Tidak boleh? Tidak boleh aku menciummu? Kau milikku Aluna.” “Iya boleh.” Aluna mengangguk pasrah. Setelah puas mencium Aluna, Ethan menarik pinggang Aluna dan memeluknya. Aluna membiarkan Ethan tertidur di lengannya. Meskipun rasanya—begitu berat. Apalagi kaki Ethan yang menindih kakinya seperti guling. “Sir—” “Aluna..” gumam Ethan sambil mengusap wajahnya di dada Aluna. “E-Ethan,” panggil Aluna. “Hm. Kenapa?” Ethan sangat nyaman memeluk Aluna. Aroma tubuh Aluna begitu ia sukai. Padahal hidungnya termasuk sensitif terhadap bau. Apalagi parfum yang digunakan Aluna pasti murah. “Aku dulu tidak pernah memberitahukan perbuatan kalian pada guru di sekolah.” Sempat hening beberapa detik. “Aku tahu.” Ethan mengusap pinggang Aluna. “
“Aluna, aku dengar pak Ethan itu punya selingkuhan!” ucap Zara. Seorang pegawai dari tim pembantu Ethan. Mereka lumayan akrab karena sering bertemu di kantin saat jam makan siang. Aluna menoleh dan hampir tersedak dengan minumannya sendiri. “Kau tahu dari mana?” “Dari Asistennya pak Ethan dulu.” Zara menyeruput jus jeruk dengan santai. “Tapi Pak Ethan itu emang udah terkenal playboy dari dulu.” Zara mendekat. “Katanya pak Ethan punya sugar babby!” Uhuk! Uhuk! Benarkan Aluna begitu terkejut. Ia kira tidak ada yang tahu tentang dirinya dan Ethan. “Si-siapa yang bilang?” tanyanya sedikit gugup. Zara menepuk pelan bahu Aluna. “Biasalah.” Mengibaskan tangannya. “Di kantor ini punya mata-mata.” Aluna terdiam. ‘Aku harus lebih hati-hati mulai sekarang.’ “Kasihan Grace. Cantik, model. Tapi masih diselingkuhi. Tapi katanya mereka djodohkan, pantas saja sulit untuk bersama. Walaupun kelihatannya, Grace cinta mati pada pak Ethan. Tapi kalau pak Ethan tidak cinta ya gima
“Maria maria.” Bobby menirukan bagaimana Aluna menari. “Maria maria..” menyatukan tangan dan mengikuti gerakan yang Aluna lakukan. “Maria!” tertawa begitu puas sambil menunjuk Aluna yang membeku di tempatnya.“BOBBYYYYYYYY APA YANG KAU LAKUKAN!” teriak Aluna kepalang malu. “Akh!” Bobby kesakitan karena Ethan yang menendangnya. “Akh! Ethan sialan!” BRAK! Ethan menutup pintu. Kemudian menyeret Bobby dengan menarik kerah leher pria itu. Menariknya sampai keluar dari rumahnya. Menghempaskan Bobby begitu saja!“Pergi dari sini.” Ethan berkacak pinggang. Bobby menatap Ethan dengan curiga. “Waah kalian pasti akan bersenang-senang.” Menyipitkan mata. “Sebahagia itu kau dengan Aluna hah? Lihat bibirmu berkedut ingin tersenyum!” Ethan berusaha sedatar mungkin. Menahan bibirnya jangan sampai tersenyum. “Diam saja kau!” Ethan mendorong Bobby. “Bilang saja kau menyukainya!” menunjuk Ethan dengan telunjuknya. “Wajahmu itu berseri-seri persis orang jatuh cinta.” Ethan menggeleng. “Hah! Ap
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men