“Asistenmu meneleponku,” ucap seorang pria yang memeriksa Ethan. Dokter pribadi keluarga Ethan. Satu-satunya dokter yang dipercaya keluarga Ethan. Umurnya masih begitu muda, bahkan hanya berjarak beberapa tahun saja dengan Ethan. “Dia berlebihan.” Ethan pasrah saat dokter itu memeriksanya. “Dia kawatir bosnya cepat meninggal.” Ethan berdecak. “Kau dokter apa yang mendoakan pasiennya meninggal?” tanyanya. Eric tertawa pelan. “Kau hanya panas ringan. Kau juga sudah meminum obat dengan benar. Tumben sekali kau mau minum obat tanpa paksaanku.” “Dan juga, luka ditanganmu diobati dengan baik. Apa kau pergi ke rumah sakit atau ada orang lain yang mengobatimu?” “Ada yang mengurusku,” balas Ethan dengan senyum yang mencurigakan. “Siapa? Pelayanmu…” Eric mencoba berpikir lebih dalam lagi. “Atau mungkin Grace..” Ethan berdecak pelan. “Aku sudah memberitahu ibumu tentang keadaanmu.” Ethan menyipitkan mata. “Kau memang selalu memberitahukan keadaanku pada keluargaku.” Eric
“Ethan aku membawa brownis kesukaan kamu.” Grace mengangkat paper bagnya. “Dari siapa aku suka brownis?” tanya Ethan. “Dari aunty.” Grace tersenyum. Ethan tersenyum miring. “Mama tidak tahu apa yang aku suka dan tidak aku suka. Jangan memberitahu orang sembarangan.” Margaret menatap Grace. “Aunty tinggal dulu. Kalian bicaralah berdua.” Grace yang kebingungan. Apakah brownis yang dibawanya kesukaan Ethan atau tidak. “Jadi kau tidak suka dengan brownis?” tanya Grace. “Buang saja.” Ethan meliriknya sekilas. Kemudian berjalan melewati Grace begitu saja. Ethan pergi ke dapur untuk mengambil air putih. “Tapi sayang….aku mengantri untuk mendapatkannya.” Grace mengerucutkan bibirnya mengikuti ke manapun Ethan pergi. “Memangnya kenapa kalau antri? Semua orang antri untuk mendapatkan makanan,” balas Ethan kelewat tajam. Setajam silet yang bisa membelah bumi. Ethan memang tidak peduli perkataannya menyakiti lawannya atau tidak. Kalau ia tidak suka ya tidak suka. “Baikl
Brukk! Suara benda terjatuh membuat Ethand an Grace menoleh. Sial! Aluna malah menjatuhkan barang disaat suasaan benar-benar tegang. Padahal rencananya adalah kabur dulu sebelum Grace melihatnya. Tapi sekarang mereka berdua telah melihatnya. “Aluna apa yang kau lakukan di sini?” tanya Grace mendekat. Ia menunduk—hanya melihat beberapa berkas yang dijatuhkan oleh Aluna di lantai. “Kau ingin Ethan melihat berkas-berkas ini?” tanya Grace. Aluna berlutut mengambil berkas. Ia mendongak sebentar. “I-iya..” Grace berkacak pinggang. “Aluna kau tidak mengerti?” Aluna berdiri dengan tangan yang penuh dengan berkas. “Huh?” “Ethan sedang sakit. Tidak seharusnya kau mengganggunya. Kau pegawainya dan seharusnya kau menghandle pekerjaan Ethan lebih dulu.” Grace berkacak pinggang. “Aluna jangan menyusahkan Ethan dengan membawa berkas-berkas itu.” menunjuk berkas yang Aluna pegang. “Oh… iya aku mengerti..” Aluna tersenyum. “Kalau begitu aku akan pergi.” A
“Cepat ke sini!” ucapan Ethan beberapa menit yang lalu. Tidak sampai 10 menit. Aluna kembali menginjakkan kaki di rumah Ethan. Ketika ia baru saja melewati pintu, tubuhnya lebih dulu dipeluk dengan tiba-tiba. “Kenapa..” lirih Aluna. Ethan hanya diam sembari menaruh kepalanya di ceruk leher Aluna. “Aku merindukanmu.” Aluna ingin tertawa. Namun ia berusaha menahannya. “Sungguh?” Ethan mengangguk. “Tapi kita masih bertemu beberapa jam yang lalu. Sungguh kamu merindukanku bukan hanya rayuan belaka?” Ethan melepaskan pelukannya. “Memangnya aku apa? Aku bukan pria perayu asal kau tahu.” Ethan berjalan memunggungi Aluna. Pria itu berjalan meninggalkan Aluna begitu saja. “Dia mau ke mana?” lirih Aluna dengan bingung. “Kenapa kau diam saja?” “Ya?” “Ikut denganku.” Aluna mengikuti Ethan berjalan dari belakang. Pria itu dari belakang saja tampan. Oh tidak, Ethan memang tampan dari dulu. Pantas saja selalu dikejar-kejar wanita. Ethan berhenti di depan seb
Aluna tidak tahu seberapa penting acara ulang tahun perusahaan. Tapi, katanya tim dari Peter, ayah Ethan benar-benar mempersiapkan acara dengan sekuat tenaga. Ada yang bilang acara ini sebagai ajang membuka relasi dari berbagai perwakilan perusahaan yang datang. Aluna berada di sebuah mall. Bersama Grace! Perempuan itu memaksanya untuk menemani memilih pakaian. “Aku lelah,” lirih Aluna. Di tangannya terdapat dua paper bag dari merek terkenal yang memiliki harga fantastis. Anggap saja Aluna sekarang menjadi pembantu Grace. Lihat saja, Aluna membawa barang-barang Grace seperti seorang pembantu yang membawa barang majikannya. Entah sudah berapa banyak store yang mereka kunjungi hanya untuk mencoba pakaian. “Aluna, lihat apa ini bagus?” tanya Grace keluar dari ruang ganti. Aluna mengangguk. “Kau bagus menggunakan apapun Grace. Karena tubuhmu memang benar-benar bagus.” Pujian yang diselingi lelah. Aluna duduk di sofa, Ada dua pegawai di sana yang melayani Grace s
Aluna begitu lelah sampai di Apartemen. Ia melihat tangannya yang memerah karena terlalu lama membawa belanjaan Grace. Sampai-sampai tali dari paper bag itu seperti cap di tangannya. Aluna membuka paper bag pemberian Grace. Warnanya hitam. Cantik dan sedikit memberikan kesan seksi.“Aku tidak bisa menggunakannya,” Aluna melempar dress itu di atas kasur. “Dari mana saja?” suara seseorang yang membuat Aluna hampir berteriak. Ethan berdiri di ujung pintu kamarnya yang terbuka. “Jangan mengagetkanku!” Aluna memegang dadanya. “Kau belum menjawab pertanyaanku!” Ethan memasukkan tangan di dalam saku. Pria itu mendekat. Sepertinya dari kantor langsung ke sini, bisa dilihat dari pakaian pria itu yang masih lengkap menggunakan kemeja dan jas. Ethan mendekat. Bukannya langsung menghampiri Aluna. Ethan malah duduk di sofa. menyulut rokoknya santai. “Katakan padaku dari mana saja kau? Ponselmu juga mati.” Ethan menghembuskan asap rokoknya ke atas. Aluna berdiam diri di tempatnya. Aur
“Tidak..” Ethan mengusap dahi Aluna yang berkeringat. “Kau harus dihukum agar mengerti posisimu.” Ethan menarik lepas kemeja yang digunakan Aluna. Bahkan tidak segan untuk merobek kemeja yang berwarna biru laut itu. Baru saja Aluna ingin protes, Ethan lebih dulu membungkam bibirnya dengan ciuman. Jemari Ethan masuk ke meremas dada Alunan dengan kasar. Tidak peduli meski akan menimbulkan jejak. “Ethan please..” lirih Aluna yang memohon akibat remasan kasar di dadanya. “No Aluna kau sedang dihukum.” Ethan menunduk—mencium puncak dada Aluna sebelum melumatnya. Lumatan kasar yang membawa perih sekaligus nikmat bagi Aluna. Aluna tidak berhenti menjerit karena ulah Ethan yang mengigit dadanya. “Lebih keras sayang.” Ethan tersenyum miring. “Supaya terdengar orang lain…” Aluna menepuk pelan bibirnya sendiri. “Ethan ayo bermain lembut saja ya..” Aluna mengalunkan tangannya di leher Ethan. Ethan tidak menjawab. Namun bibirnya melakukan tugas. Masih sama! Menyentuh
Sebuah ruang gedung mewah yang disulap sedemikian rupa. Menggantung lampu hias yang begitu cantik. Tatanan bunga dan meja kursi yang begitu rapi. Di sisi lain ada satu perempuan yang baru saja sampai. Aluna menghela nafas panjang sebelum masuk. Dress yang diberikan Ethan begitu tertutup. Sekali lagi, Aluna tidak boleh membantah. “Hei tunggu!” Bobby dari belakang menyusul Aluna. Aluna menoleh sebentar. “Kau sendirian?” tanyanya. Bobby menggeleng. “Kan aku bersamamu.” Dengan senyum menggoda. “Hih!” jijik Aluna. “Aku disuruh Ethan menjagamu.” Bobby memberikan jarinya yang membentuk love. “Apa?” Aluna menggeleng. “Tidak mungkin.” “Kau tidak percaya?” Bobby mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan pesan dari Ethan yang berbunyi. [Awasi Aluna, jangan sampai didekati pria lain] Aluna berdecak. “Bukan menjagaku, tapi memata-mataiku.” “Sama saja. Intinya aku disuruh menjagamu. Apalagi di sini banyak pria yang datang menebar jaring.” “Maksudmu?” tanya Aluna bingung.
Pergi ke rumah kakek dan nenek Gio. Agatha rasa dia sedikit gugup. Meski ia yakin bahwa hubungannya dengan nenek Gio membaik. Tapi tetap saja, belum sebaik dan seakrab yang ia inginkan. Agatha menggandeng lengan Gio. Mereka perlahan masuk ke dalam mansion. Ada kenangan yang buruk… Agatha masih mengingat kenangannya bekerja di sini. Maaf tapi Agatha tidak bisa melupakan kenangan buruk itu. Nenek dan kakek Gio keluar. Agatha jarang sekali melihat kakek Gio. “cucu kakek…” menyambut mereka berdua dengan hangat. Kakek terlihat sangart bahagia meliaht cucunya datang. “Apa yang membawa kalian kemari?” tanya kakek. Nenek menatap kedua cucunya itu bergantian. “Duduk dulu kalian…” Mereka mengambil duduk dengan santai. Gio dengan setia merangkul bahu Agatha dari samping. “Kami sebenarnya hanya ingin memberitahu kalian kalau Agatha hamil,” Ucap Gio. “Waah…” Kakek Gio nampak berbinar. “Sebentar lagi cicitku bertambah..” Nenek Gio menyenggol lengan kakek. “cicitku j
21++ Vila di sini bentuknya berjajar. Menghadap ke laut. Tidak terlalu besar, hanya ada satu kasur yang berukuran besar. “Bagaimana?” tanya Gio sembari memeluk Agatha dari belakang. “Bukankah sangat bagus?” tanya Gio. Agatha mengangguk. “Bagus.” “Kita mau menginap di sini?” tanyanya. Gio mengernyit. “Memangnya mau ke mana? aku mengajakmu ke sini untuk menginap di sini.” Agatha mengangguk. “Baiklah aku akan memberitahu ibu dulu.” Gio menarik ponsel Agatha dan melemparkannya begitu saja. “Ibu akan mengerti.” sembari mengedipkan matanya. Menarik pinggang Agatha hingga tubuh mereka menempel. Gio menunduk dan menarik tengkuk Agatha. mencium bibir wanita itu pelan. Membawanya ke ranjang. membaringkan Agatha dengan hati-hati di atas ranjang. Gio melepaskan pangutan mereka, kemudian melepaskan kancing kemejanya. Membuka seluruh pakaian yang digunakannya. “Kamu tidak mau membantuku ya…” lirih Gio yang berada di atas Agatha. Agatha tertawa pelan. menggeleng, kemudia
Katanya ada wisata baru. Agatha tidak tahu kalau ternyata wisatanya memang indah. Area di sini memang pantai yang banyak tebingnya. Sehingga dibangunlah berbagai wisata yang berada di atas tebing. Ada restoran yang langsung mengarah ke laut. Ada beberapa permainan ekstrim yang dicoba orang-orang. Agatha dan Gio memutuskan untuk pergi ke restoran saja, menikmati langit senja yang perlahanmenghilang menjadi gelap. Agatha memejamkan mata menikmati udara yang berhembus. “Aku tidak menyangka hidup ibu seberat itu…” lirih Agatha. “Andai aku datang lebih cepat, aku pasti bisa menolongnya.” Gio mengusap pelan punggung Agatha. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya ibu sendirian…” Agatha menatap laut biru di hadapannya. “Aku berjanji tidak akan membiarkan hidp ibu susah lagi. Aku juga akan sering-sering berkunjung ke sini.” Gio mengangguk. “Dan aku akan selalu menemani kamu.” Agatha mendongak. “Bagaimana kalau membawa ibu ke kota saja?” Agatha berdecak. “Ib
Agatha ingin minta kejelasan pada ibunya. Semuanya. semuanya yang disembunyikan oleh ibunya. Saat ini mereka berada di rumah ibu Agatha. Rumah yang kini lebih baik. Usaha ibunya memang berkembang dengan baik sampai ibunya bisa merenovasi rumah. rumah ini menjadi nyaman ditinggali. “Jelaskan pada Agatha. kalau tidak, Agatha akan marah pada ibu. Agatha juga tidak akan pernah ke sini lagi kalau ibu masih tidak mau bercerita.” Ibu Agatha menggeleng. “Jangan. Ibu akan memberitahu kalian semuanya.” “Jadi kakek nenek pernah mengangkat anak. Sampai anak itu, yaitu almarhum paman kamu lulus sekolah saja. tapi kami masih berhubungan dengan baik meskipun pamanmu kembali pada keluarga aslinya…” “Ibu pernah kecelakaan. Ibu ditabrak oleh pengemudi motor yang mabuk…” Agatha memejamkan mata sebentar. Ia memang tidak tahu apapun selama ini. Ia merasa bersalah karena ia selalu menyalahkan ibunya yang tidak pernah menjenguknya. Padahal ibunya sendiri hidup sangat susah. “Ibu ha
“Kalian anaknya?” tanya pria itu sembari menatap ibu Agatha. Ibu Agatha menarik tangan pria itu. “Jangan bicara di sini.” Agatha langsung berdiri. “Tunggu!” Agatha mengejar ibunya dan pria itu yang keluar dari restoran. “Mintalah pada anakmu untuk membantu kami!” pria itu berteriak pada ibu Agatha. “Aku akan membantumu… jangan libatkan anak-anakku.” Agatha terdiam. Kemudian segera mendekat. “Apa hubungan ibu dengan pria ini?” tanya Agatha. Pria itu nampak masih muda. Agatha tidak yakin, hubungan apa yang dimiliki oleh ibunya dengan pria itu. Tidak mungkin kan kekasih ibunya. Agatha tidak masalah jika ibunya punya kekasih atau bahkan akan menikah lagi, tapi jangan pria yang terlalu muda seperti ini. “Agatha kamu kembali ke dalam..” Ibu Agatha mendorong pelan Agatha agar kembali. Agatha kekeh tidak mau. “Urusan ibu, urusanku juga. Jika ada yang menyakiti ibu, maka aku akan menyakitinya kembali.” Agatha malah memasang badan di depan pria itu. “Ada apa denganmu. Kena
Minggu selanjutnya. Agatha dan Gio pergi menemui ibu Agatha. Agatha menatap satu restoran yang begitu ramai. “Jadi ini restoran itu ya…” Gio mengangguk. “Sangat ramai… sepertinya ibu memang pintar mengelola restoran. Dia bahkan punya banyak pegawai.” “Agatha!” ibu Agatha keluar dengan bahagia. Ia masih menggunakan celemek tapi langsung memeluk putrinya dengan gembira. “Ibu..” Agatha membalas pelukan ibunya. “Bagaimana kabar kamu.” Ibu Agatha menatap perut sang putri. “Bagaimana calon cucu ibu?” Agatha tertawa pelan. “Agatha baik, Bu.” Agatha menatap ibunya dengan seksama. Ibunya terlihat semakin cantik. kulit ibunya yang semakin cerah. Wajah itu terlihat semakin bersih. Agatha yakin, Ibunya merawat diri dengan baik setelah memiliki restoran. Agatha juga bersyukur ibunya memiliki restoran sehingga tidak perlu lagi bekerja sebagai pengepul ikan. “Menantu ibu…” menatap Gio. “Semakin tampan kamu.” mengusap pelan bahu Gio. Gio menunduk dan memeluk ibu Agatha.
Aluna menyambut kedantangan anak dan menantunya dengan gembira. Jarang sekali mereka datang ke sini. Mereka sama-sama sibuk di kantor ia juga tidak heran… Agatha memeluk Aluna. “Bagaimana kabar mama?” tanya Agatha. Aluna mengangguk. “Mama baik. bagaimana dengan kamu?” tanyanya. “Agatha juga baik.” “Akhirnya kalian ke sini.” Ethan tersenyum kemudian mendekati Agatha. Memeluk menantunya seperti putrinya sendiri. “Kamu baik-baik saja? Gio tidak menyakiti kamu?” tanya Ethan pada Agatha. Agatha tertawa pelan. “Agatha baik, Pa.” “Pertanyaannya bisa lebih sopan?” tanya Gio yang memeluk pinggang Agatha dari samping. Ethan menepuk pelan bahu Gio. “Sudah dewasa ya kamu sekarang.” Gio mengangguk dengan bangga. “Sebentar lagi Gio juga akan menjadi ayah..” mengusap perut Agatha. “Wah..” Aluna berbinar. “Benarkah?” tanyanya. “Berapa bulan?” tanyanya. Ia mendekat—dan menyentuh perut menantunya. “Baru enam minggu,” balas Gio. Ethan memberikan jempolnya pada Gio. “Gerak c
Gio dan Agatha benar-benar membeli durian. Bahkan Agatha tidak sabar memakannya. Saat ini mereka berada di dalam mobil. Dengan seluruh jendela mobil yang dibuka. Agatha membuka buah durian yang siap makan. Langsung saja baunya memenuhi seluruh mobil. Gio menyipitkan mata—ia sendiri tidak sanggup dengan baunya, apalagi sampai memakannya. Gio semakin terheran melihat Agatha yang begitu lahap memakan durian itu. “Kamu suka?” tanya Gio. Agatha mengangguk. kemudian mengambil durian itu dan menyodorkannya pada Gio. “Ini.” Gio menolak dan menggeleng. “Tidak, kamu saja yang makan.” Agatha mengedikkan bahu dan memakannya dengan lahap. Sampai habis… Tidak tersisa…. Tersisa bijinya saja. Gio mengambil tisu dan diusapkannya di bibir Agatha. membukakan botol minum. “Minum perlahan…” Gio tersenyum. melihat Agatha yang bahagia, juga membuatnya bahagia meski ia tidak tahan dengan baunya durian. Agatha menatap Gio. “Aku kenyang.” “Yasudah tidur saja..” Gio menutup jende
Gio dan Agatha perjalanan pulang setelah bertemu dengan Julie dan Minjae. “Aku jadi kasihan ya.. pada Julie.” Menatap Gio yang berada di sampingnya. “Hm.” Gio hanya mengangguk. “Kamu bagaimana?” “Lumayan..” balas Gio. “Dia berkali-kali menunduk dan minta maaf. Aku jadi lumayan kasihan.” “Tapi kalau mengingat perbuatannya…” lirih Gio. Tangannya terulur mengambil tangan istrinya. “lumayan menyebalkan. Aku jadi tidak bisa menyentuhmu, tidak bisa tidur dengan tenang…” Agatha mengangguk. menyandarkan kepalanya di bahu Gio. “Tapi kalau dipikir itu bukan kesalahannya. Dia tidak tahu yang tidur dengan dia siapa…” “Dia harus menggugurkan kandungannya karena penyakit. Dia juga tidak bisa hamil lagi.” Agatha mengusap perutnya pelan. “Aku harap hidupnya bahagia bersama Minjae,” lirih Agatha. Gio mangut-mangut mendengar ocehan istrinya. “Sudah…” Gio mengusap pelan puncak kepala Agatha. “Jangan dipikirkan. Aku yakin Minjae akan membahagiakannya..” Agatha mendongak. mendadak b