Aluna tertawa canggung. “Apa aku terlihat secantik itu?” Huh! Selamatkan Aluna. Aluna tidak terlalu nyaman sebenarnya. Tapi bagaimana lagi? Ia harus membereskan segera masalah ini. Gerald tersenyum tipis. “Kau mengira pasti aku sedang berbohong.” Aluna menyipitkan mata. “Omongan pria tidak boleh terlalu dipercaya.” “Kau cukup waspada juga.” Memesan menu yang sebenarnya Aluna juga tidak tahu. Yang ia tahu hanya steak. Itupun harganya sangat mahal. Ah sudahlah. Tidak perlu memikirkan harga. Yang terpenting adalah acara ini harus cepat selesai. Gerald itu tampan dan sangat mirip dengan Grace. Tapi Aluna tidak tertarik sama sekali. Ia juga takut berurusan terlalu dalam dengan keluarga mereka. Gerald baik. Tapi—Aluna tidak merasakan tertarik sebagai lawan jenis. Ia hanya bersikap baik dan menganggap pria itu temannya sendiri. “Sudah berapa lama kau bekerja di Winston?” tanya Gerald. “Baru sih..” Aluna berpikir. “Baru satu bulan.. aku dulu bekerja di perusahaan lai
“Apa yang mereka lakukan di sini?” tanya Aluna. Mendengar teriakan laki-laki membuat orang yang berada di restoran menoleh, termasuk Aluna dan Gerald. Mereka mendekati Ethan dan Bobby yang berada di ambang pintu. “Kenapa kalian di sini?” tanya Gerald. Ethan memijit dahinya pelan. Melirik Bobby dengan kesal. “Aku—” Bobby tersenyum. “Aku mengantar Ethan.” Tuk!Ethan menendang kaki Bobby. “Kami—kita..” sangat ambigu kan? Ethan berdecak dalam hati. “Kita akan bertemu dengan rekan bisnis di sini. kebetulan bertemu kalian.” “HA..HAHAHA..” tertawa dengan sumbang. Ethan terdiam kembali karena tidak ada yang tertawa. “Teruskan saja kegiatan kalian.” Ethan menatap Aluna. “Anggap saja aku dan Bobby tidak ada.” Aluna mengernyit.Dua orang ini tidak ada yang waras. Aluna yakin, Ethan ke sini karena ingin membuntutinya. “Baiklah kalian bisa di sini.” Aluna tersenyum. “Karena kami sudah selesai, kami akan pergi.” Hah? Ethan melongo. Tidak bisa. Tidak tentu saja. Perjuangannya sampai di
Entah dari mana, Ethan tahu Aluna suka cokelat. Hanya dengan satu kotak cokelat, kemarahan Aluna langsung luntur. Di dalam mobil, ia dengan senang memakan cokelat sedangkan Ethan menyetir. “Suka?” tanya Ethan. “Suka banget!” Aluna menoleh. “Makasih Ethan..” sambil tersenyum menampilkan lesung pipinya. Ethan membuang muka ke kanan sebentar. Hanya untuk tersenyum! Tidak kuat dengan Aluna yang menurutnya lucu. Kemudian kembali menatap lurus ke depan dengan ekspresi yang datar kembali. “Kalau begitu—” menunjuk pipi kirinya. Minta dicium. Aluna menyipitkan mata. Namun karena Ethan berbaik hati membelikannya cokelat, Aluna mendekat. saat bibirnya hampir menyentuh pipi Ethan. Ethan justru menoleh sehingga bibirnya mencium bibir Ethan secara tidak sengaja. “Ck!” Aluna berdecak. “Modus!” Ethan tertawa pelan. “Aku hanya ingin mencicipi cokelatmu.” Aluna mendengus. “Dari bibirku?” “Tentu saja.” Tangan Ethan terangkat mengusap puncak kepala Aluna. “Kau tidak keram
Tidak begitu lama Aluna dan Ethan berada di sebuah motel. Motel ya bukan Hotel. Yang jelas, motel itu versi mininya hotel. Karena keadaan yang hujan lebat juga. Ethan tidak bisa menyetir karena hujan yang memang begitu lebat. “Aku tidak yakin bisa tidur di sini. Lebih baik di mobil saja,” gumam Ethan. Aluna meliriknya tajam. “Satu kamar kak. Yang paling VVIP..” sambil melirik Ethan. “Kamar VVIP-nya habis kak. Adanya kamar yang biasa.” “Yasudah kak ambil yang itu.” Aluna mengadahkan tangannya. Meminta dompet Ethan. Untungnya pria itu peka dan menyerahkan dompetnya ke Aluna. Aluna mengambil dua lembar uang berwarna merah itu dan menyerahkannya pada kakak resepsionis. “Aku lapar,” bisik Ethan sambil menunduk. “Ada makanan kak? Atau mungkin ada yang jual makanan disini? Kantinnya di mana?” Kakak itu nampak bingung sesaat. Namun ia menunjuk sebuah kantin kecil yang menjual makanan ringan. “Bisa beli di sana kak.” Setelah mengambil kunci kamar mereka. Aluna berj
Kamar yang tidak terlalu lebar. Ada satu kasur dengan sprei kumuh. Dinding yang sedikit berdebu. “200 ribu untuk kamar ini?” tanya Aluna. “What the…” Ethan menutup bibir Aluna. “Jangan mengumpat. Wanita sepertimu tidak boleh mengumpat.” Aluna menyingkirkan tangan Ethan. Tidak peduli apa yang diucapkan oleh pria itu. Karena ia merasa rugi telah membayar 200 ribu untuk satu malam di kamar yang benar-benar kumuh. Lihat saja lampunya—lampu itu berkelip seperti akan segera mati. “Memangnya apa yang kau harapkan dengan uang 200 ribu?” tanya Ethan. Pasrah karena biasanya ia merogoh kocek jutaan untuk sekali menginap di hotel. Jadi dia memang sudah tidak heran jika mendapat kamar seperti ini. Aluna mendekat. “Tapi ini tidak worth it sama sekali, Ethan. 200 ribu itu banyak loh. Kamu jangan pasrah seperti ini dong!” “Memangnya aku harus apa? Aku harus mengeluh? Nanti kau menganggapku bocah tantrum lagi.” Aluna mengerjap. Dari mana pria itu tah dirinya sering memangil E
Pagi harinya.. Aluna terbangun lebih dulu. Tubuh mereka sama-sama di bawah sebuah selimut tipis berwarna putih. Masih pukul 5 pagi sebelum mereka berangkat ke kantor. Namun baru saja ingin bangun. Tubuhnya ditarik kembali. “Ethan ayo bangun.” Aluna mengusap kepala Ethan. “Aku tidak ingin bangun.” Ethan menggeleng. Memeluk pinggang Aluna lebih erat. Tubuh mereka saling menempel. Ethan membuka mata—menatap Aluna yang tengah menatapnya juga. Jemarinya terangkat mengusap helaian rambut wanita itu. Ethan kembali memejamkan mata dan menunjuk pipi kanannya. “Ck!” Aluna berdecak. Namun ia tetap mendekat dan mencium pipi kanan Ethan. Ethan tertawa pelan. “Ada yang masih membuatku kesal.” “Apa?” “Aku tidak suka ada laki-laki lain yang tidur denganmu.” Aluna mengernyit. “Siapa? Aku tidak pernah tidur dengan pria lain selain kau.” “Ada.” “Siapa?” “Gio.” Aluna sempat terdiam. Jantungnya mendadak berdetak dengan cepat. ‘Karena dia anakmu!’ tidak mungkin Aluna
Kembali bekerja seperti sedia kala. Aluna berkutat dengan berkas di atas meja. Sedangkan Ethan di dalam ruangannya berkutat dengan dokumen yang harus ditandatangani. Aluna medongak saat mendengar suara ketukan langkah kaki. Seorang wanita yang berumur 50 tahunan. Wanita cantik meski umurnya tidak muda lagi. “Selamat siang, nyonya.” Aluna menunduk dengan hormat. Margaret, ibu Ethan. Wanita itu datang untuk bertemu sang putra. Margaret tidak langsung menjawab pertanyaan Aluna, melainkan menatap penampilan Aluna dari atas hingga bawah. “Sepertinya aku pernah melihatmu.” Deg! Aluna berdoa semoga ibu Ethan ini tidak lupa dengan dirinya. Kejadian di restoran beberapa waktu lalu sungguh memalukan baginya. Aluna hanya tersenyum. “Sudah berapa lama jadi asisten Ethan?” tanya Margaret dengan tangan yang bersindekap. Seolah sedang menyidang Aluna. “Hampir 2 bulan nyonya.” Menunjuk Aluna dengan jemarinya. “Aku tidak tahu Ethan memiliki selera yang bur
Di dalam ruangan. Ethan hanya melihat ibunya sekilas dan melanjutkan pekerjaannya. “Untuk apa ke mari?” tanya Ethan tanpa menatap ibunya. Margaret mengambil duduk di sofa. “Sebentar lagi ulang tahun perusahaan. Kamu sudah mulai mempersiapkannya?” “Bukan dari timku. Tapi tim Papa yang mempersiapkannya,” balas Ethan. Margaret bersandar. Dengan tenang ia melepaskan kaca mata hitamnya. “Sudah saatnya kamu mengambil alih.” “Nanti,” balas singkat Ethan. “Mama tidak suka kamu selalu menunda tugas kamu.” Margaret menatap Ethan. “Kamu harus melaksanakan tugas kamu segera mungkin.” “Termasuk menikah dengan Grace.” Ethan berhenti dari pekerjaannya. Mendongak dan menatap ibunya yang santai sekali duduk di sofa. “Grace sangat mencintai kamu. Dia anak yang baik, cantik, dari keluarga yang bagus. Asal-usulnya jelas. Kamu tidak usah repot-repot mencari tahu—” “Yang pasti, Grace sangat cocok menjadi menantu di keluarga Winston.” “Memangnya aku pernah bilang setuju?” tanya Etha
Gio berada di dalam ruangan Agatha. Alat-alat medis itu tertancap di tubuh Agatha. Gio pun menggunakan pakaian khusus saat berada di dalam sana. Gio mengusap punggung tangan Agatha. “Banyak yang menyayangimu.” Gio menunduk. “Kau harus bangun…” Tidak ada pergerakan. Tubuh Agatha seakan kaku. Seperti mayat hidup. Gio mengecup beberapa kali punggung tangan Agatha. “Agatha…” lirih Gio. “Jangan tinggalkan aku.” Gio memejamkan mata. satu tetes air matanya keluar. Gio cepat-cepat mengusapnya. Takutnya Agatha melihatnya. “Aku mencintaimu.” Gio berdiri—mengecup dahi Agatha. “Aku mencintaimu. Dari dulu sampai sekarang. Dan tidak akan pernah berubah.” Gio tersenyum tipis. “Jangan lama-lama tidurnya.” Tangannya mengusap pipi Agatha pelan. Ia berhenti sampai ada bunyi dering ponselnya. Gio menjauh—merogoh saku celananya dan mengangkat siapa yang meneleponnya. “Kami sudah menangkapnya, Sir. Kami sudah membawa dia ke tempat yang anda inginkan.” “Aku akan ke sana.” Gio
“Apa anda tahu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di rumah kakak ipar Agatha?” tanya Gio di sambungan telepon. Ia sedang melakukan panggilan dengan pak Rudi. Pak Rudi tidak datang menjenguk Agatha. karena Gio melarangnya, ia menyuruh pak Rudi untuk bersembunyi dan melindungi diri sendiri. Ia takut jika mereka menyakiti orang-orang yang membantu Agatha. “Iya aku tahu. Aku dan Agatha yang mengaturnya.” Gio berkacak pinggang. “Pastikan semua orang-orang yang menjaga di rumah itu semua berpihak pada Agatha. Jessika bilang, dia curiga pada ibu mertuanya.” “Bukankah mereka masih satu rumah?” “Iya. Aku akan mengaturnya,” balas Pak Rudi. “Kalau memang berbahaya. Aku akan menyiapkan tempat untuk mereka tinggal.” “Saya pastikan dulu, Sir. Nanti saya akan mengabari anda. Saya juga takut jika orang-orang itu mencelakai Jessika dan anak-anaknya.” Setelah itu Gio menutup sambungan telepon itu. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Anton yang kini sedang memilih es kr
Agatha mengalami koma. Kecelakaan itu berat. membuat hampir seluruh tubuh Agatha terluka. Gio berada di luar ruangan Agatha. menatap perempuan itu dari sebuah kaca. Gio berkacak pinggang. Menyalahkan diri sendiri karena tidak menangkap penjahat itu. seharusnya ia membawa penjahat itu, mengurungnya… Bukan malah menyerahkan pada polisi. Sehingga tahanan itu kabur. Gio mengangkat sambungan telepon. “Aku tidak mau tahu. Malam ini bajingan itu harus ketemu. Bawa bajingan itu ke tempat yang sudah aku kirimkan padamu.” “Baik sir. Saat ini anak buah saya masih mengejar pria itu.” Gio menutup sambungan teleponnya dan melihat Agatha sebentar sebelum duduk. Gio menunduk—mengusap wajahnya kasar. ada tangan mungil yang memberikannya sebuah es krim. Gio mengangkat kepalanya. menatap seorang anak laki-laki. Anak itu tersenyum. “Uncle jangan menangis.” bocah itu berbicara dengan jelas. Dilihat dari postur tubuhnya memang sudah besar, tapi masih terlihat anak kecil. “Bagaimana keadaan Ag
Agatha keluar dari rumah sakit. Setelah memastikan Gio beristirahat dengan tenang. Agatha berhenti pada sebuah cermin. Menatap lehernya yang memerah. Merogoh sebuah syal yang berada di tasnya. Kemudian melingkarnnya di lehernya. Bibirnya mengembangkan senyuman. Masih tergambar dengan jelas ciuman mereka tadi. Saling memangut dan meluapkan rasa rindu. Agatha kembali berjalan dan menaiki mobil untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Agatha tidak berhenti melamun. Ada banyak yang ia pikirkan. Meski ia sudah menjadi pemimpin…. Ada banyak hal yang belum ia selesaikan. Mencari pelaku yang membunuh ayah dan kakaknya. Mencari pelaku sebenarnya yang menyerang Gio. Mencari pelaku yang berusaha membunuhnya juga. Lalu… Pikirannya juga penuh memikirkan hubungannya dengan Gio setelah ini. Ia hampir mencapai tujuannya. Yang artinya perjanjian mereka akan segera berakhir. Lantas, jika berakhir. apakah hubungannya dengan Gio juga akan berakhir begitu saja. Seharusnya
“Bagaiamana keadaanmu.” Agatha menatap Gio. “Aku baik-baik saja. tapi aku harus kembali ke rumah sakit.” Gio mengambil tangan Agatha dan menggenggamnya. “Kau ikut denganku.” Agatha berhenti. “Aku tidak bisa bersamamu dulu.” “Aku tidak bisa menerimanya.” Gio tetap menggandeng tangan Agatha. Tapi Agatha tetap kekeh dengan ucapannya yang ia katakan pada keluarga Gio. “Tidak, Gio. Aku tidak bisa…” Agatha mendongak. “Aku akan menemuimu sampai keadaan benar-benar aman.” Gio menghela napas. “Sampai kapan?” “Besok? Lusa? Bulan depan?” tanya Gio. Agatha terdiam. karena dirinya sendiri juga tidak tahu. Tapi setidaknya sampai kekuasaan benar berada di dalam genggamannya. Sampai orang-orang yang mencelekainya ditangkap. “Aduh…” Gio memegang perutnya. “Bagaimana ini… perutku..” Gio menyipitkan mata. “Anda harus ke rumah sakit segera Sir..” dokter mendekat. ia juga khawatir dengan keadaan Gio. Namun diam-diam Gio memberi petunjuk bahwa ia sedang berpura-pura. “Adu duh..”
Beberapa hari yang lalu. Gio tersadar dari komanya. Pertama kali orang yang ia cari adalah Agatha. Ibunya bilang, Agatha pulang. Agatha berjanji tidak akan menemuinya sampai keadaan benar-benar aman. Marah. Tentu saja, neneknya yang membuat Agatha pergi. Gio masih membutuhkan perawatan intensif. Untuk bergerak saja ia tidak bisa. Untuk itu ia mengerahkan orang-orangnya untuk membantunya. Dari pada seperti ini, sudah terlanjur. Maka ia akan meneruskannya saja. Ia akan berpura-pura tidak berhubungan dengan Agatha dahulu sampai Rapat itu dimulai. Pada awalnya ia akan datang awal rapat. Tapi sekali lagi keadaannya tidak memungkinkan. Perutnya masih terasa keram. Alhasil ia datang terlambat—namun masih melihat perkembangan rapat itu lewat kamera kecil. Kamera itu terpasang di pakaian orang yang mewakilinya di sana. “Banyak orang yang menghianatiku juga.” Gio berada di dalam mobil. Melihat orang-orang yang tidak mengangkat tangan untuk Agatha. Orang-orang yang tela
“Tapi Agatha Ethelind Harper baru saja terjun ke dunia bisnis. kinerjanya di dalam perusahaan baru mencapai tahun pertama.” Agatha tersenyum sinis. Menggunakan pengalamannya yang baru sebentar untuk menjatuhkannya. Agatha masih menahan senyumnya—ingin tertawa padahal. Kekurangannya yang diumbar di depan banyak investor. Sedangkan kekuarangan Levin disembunyikan. Agatha menjadi satu-satunya wanita yang berada di dalam ruangan ini. “Siapa yang mendukung Agatha Harper Ethelind menjadi pemimpin sementara?” Satu persatu orang-orang yang mendukung Agatha mengangkat tangan. Sekitar 3… Lalu satu orang mengangkat tangannya… Ternyata Pak Beni… Pak Beni tersenyum sembari mengangguk pada Agatha. Sedangkan pak Robert? Jangan tanya. Pria itu bahkan tidak berani menatap Agatha. seolah tidak mengenal. Tidak seperti tadi… Ternyata… si Mafia itu tidak mendukungnya. Memang, di dalam dunia bisnis tidak bisa ditebak mana yang benar-benar teman. Dan mana yang musuh. Setidaknya
“maaf nona. Hal seperti ini saya pasti tidak akan terulang lagi.” satu bodyguard maju menghadap Agatha. Ada dua mobil yang dicoba dijalankan. Hanya satu yang remnya blong. Mobil yang selalu digunakan oleh Agatha. Agatha berkacak pinggang. ia tidak ingin menghabiskan energinya untuk hal tidak masuk akal seperti ini. Tapi semua ini menyangkut nyawanya. “Sebagai ketua. Kau harus mencari tahu siapa anak buahmu yang berhianat. Aku memberimu waktu sampai jam istirahat makan siang. jika kau tidak bisa menemukan penghianat itu.” Agatha menghela napas. “Ganti semua bodyguard yang mengawalku.” Akhirnya Agatha masuk ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, Agatha tidak berhenti cemas. Untuk siapapun yang berusaha membunuhnya. Agatha pastikan akan segera menangkap orang itu. Hidupnya tidak bisa tenang dan dihantui oleh kematian. Akhirnya mobil sampai juga di kantor. Dengan selamat! Agatha masuk ke dalam ruang—disambut oleh sekretarisnya. “Rapat akan dilaksanakan pukul 1
“Sial.” Agatha tidak berhenti mengumpat setelah keluar dari ruang penyidikan. “Aku yakin ada yang menyuruhnya untuk membunuhku.” Agatha mengatakannya pada polisi. Namun polisi itu menghela napas dan terlihat lelah. “Kami sudah menyelidikinya. Kami sudah datang ke tempat tinggalnya. Tidak ada tanda-tanda disuruh orang….” “Tidak mungkin.” Agatha menggeleng. “Pasti ada petunjuk… Aku sering diteror. Tidak mungkin kalau dia hanya menyukaiku. aku yakin dia memang punya niat buruk dan disuruh orang lain.” “Tenanglah..” polisi itu hanya menepuh pelan bahu Agatha. Agatha ingin melayangkan protes tapi ia ditarik oleh seseorang. Pengacara Gio. Akhirnya Agatha dan pengacara Gio berada di dalam mobil untuk berbicara. “tidak ada gunanya berbicara pada polisi. Bukti tidak ada. Mereka juga tidak akan menggap kasus ini serius.” Pengacara Gio memberikan dokumen pada Agatha. Agatha membukanya. Melihat isinya sembari dijelaskan. “Pria itu sudah 2 tahun belakangan mengincar wanita c