Kamar yang tidak terlalu lebar. Ada satu kasur dengan sprei kumuh. Dinding yang sedikit berdebu. “200 ribu untuk kamar ini?” tanya Aluna. “What the…” Ethan menutup bibir Aluna. “Jangan mengumpat. Wanita sepertimu tidak boleh mengumpat.” Aluna menyingkirkan tangan Ethan. Tidak peduli apa yang diucapkan oleh pria itu. Karena ia merasa rugi telah membayar 200 ribu untuk satu malam di kamar yang benar-benar kumuh. Lihat saja lampunya—lampu itu berkelip seperti akan segera mati. “Memangnya apa yang kau harapkan dengan uang 200 ribu?” tanya Ethan. Pasrah karena biasanya ia merogoh kocek jutaan untuk sekali menginap di hotel. Jadi dia memang sudah tidak heran jika mendapat kamar seperti ini. Aluna mendekat. “Tapi ini tidak worth it sama sekali, Ethan. 200 ribu itu banyak loh. Kamu jangan pasrah seperti ini dong!” “Memangnya aku harus apa? Aku harus mengeluh? Nanti kau menganggapku bocah tantrum lagi.” Aluna mengerjap. Dari mana pria itu tah dirinya sering memangil E
Pagi harinya.. Aluna terbangun lebih dulu. Tubuh mereka sama-sama di bawah sebuah selimut tipis berwarna putih. Masih pukul 5 pagi sebelum mereka berangkat ke kantor. Namun baru saja ingin bangun. Tubuhnya ditarik kembali. “Ethan ayo bangun.” Aluna mengusap kepala Ethan. “Aku tidak ingin bangun.” Ethan menggeleng. Memeluk pinggang Aluna lebih erat. Tubuh mereka saling menempel. Ethan membuka mata—menatap Aluna yang tengah menatapnya juga. Jemarinya terangkat mengusap helaian rambut wanita itu. Ethan kembali memejamkan mata dan menunjuk pipi kanannya. “Ck!” Aluna berdecak. Namun ia tetap mendekat dan mencium pipi kanan Ethan. Ethan tertawa pelan. “Ada yang masih membuatku kesal.” “Apa?” “Aku tidak suka ada laki-laki lain yang tidur denganmu.” Aluna mengernyit. “Siapa? Aku tidak pernah tidur dengan pria lain selain kau.” “Ada.” “Siapa?” “Gio.” Aluna sempat terdiam. Jantungnya mendadak berdetak dengan cepat. ‘Karena dia anakmu!’ tidak mungkin Aluna
Kembali bekerja seperti sedia kala. Aluna berkutat dengan berkas di atas meja. Sedangkan Ethan di dalam ruangannya berkutat dengan dokumen yang harus ditandatangani. Aluna medongak saat mendengar suara ketukan langkah kaki. Seorang wanita yang berumur 50 tahunan. Wanita cantik meski umurnya tidak muda lagi. “Selamat siang, nyonya.” Aluna menunduk dengan hormat. Margaret, ibu Ethan. Wanita itu datang untuk bertemu sang putra. Margaret tidak langsung menjawab pertanyaan Aluna, melainkan menatap penampilan Aluna dari atas hingga bawah. “Sepertinya aku pernah melihatmu.” Deg! Aluna berdoa semoga ibu Ethan ini tidak lupa dengan dirinya. Kejadian di restoran beberapa waktu lalu sungguh memalukan baginya. Aluna hanya tersenyum. “Sudah berapa lama jadi asisten Ethan?” tanya Margaret dengan tangan yang bersindekap. Seolah sedang menyidang Aluna. “Hampir 2 bulan nyonya.” Menunjuk Aluna dengan jemarinya. “Aku tidak tahu Ethan memiliki selera yang bur
Di dalam ruangan. Ethan hanya melihat ibunya sekilas dan melanjutkan pekerjaannya. “Untuk apa ke mari?” tanya Ethan tanpa menatap ibunya. Margaret mengambil duduk di sofa. “Sebentar lagi ulang tahun perusahaan. Kamu sudah mulai mempersiapkannya?” “Bukan dari timku. Tapi tim Papa yang mempersiapkannya,” balas Ethan. Margaret bersandar. Dengan tenang ia melepaskan kaca mata hitamnya. “Sudah saatnya kamu mengambil alih.” “Nanti,” balas singkat Ethan. “Mama tidak suka kamu selalu menunda tugas kamu.” Margaret menatap Ethan. “Kamu harus melaksanakan tugas kamu segera mungkin.” “Termasuk menikah dengan Grace.” Ethan berhenti dari pekerjaannya. Mendongak dan menatap ibunya yang santai sekali duduk di sofa. “Grace sangat mencintai kamu. Dia anak yang baik, cantik, dari keluarga yang bagus. Asal-usulnya jelas. Kamu tidak usah repot-repot mencari tahu—” “Yang pasti, Grace sangat cocok menjadi menantu di keluarga Winston.” “Memangnya aku pernah bilang setuju?” tanya Etha
Aluna mendadak cemas sendiri. Biasanya Ethan akan mengirimnya pesan beruntun untuk segera kembali. Namun, sudah hampir 30 menit Ethan tidak menerornya dengan pesan. Aluna malah gelisah sendiri. Setelah menyelesaikan makanannya. Aluna segera kembali. “Sir.” Aluna mengetuk pintu. Dirasa tidak ada orang. Aluna masuk—alangkah terkejutnya melihat Ethan yang terduduk dengan tangan yang mengucurkan darah. “Ethan!” Aluna segera berlari mendekat. “Kenapa?” tanya Aluna melihat darah yang begitu banyak. Kaca yang hancur—serpihannya berhamburan di lantai. “Ayo ke rumah sakit.” Aluna menggeleng. “Tidak—aku panggilkan ambulan saja.” “Tidak!” Ethan menarik Aluna. Memeluk tubuh Aluna. Tidak peduli tangannya yang masih mengucurkan darah. Ia memeluk tubuh Aluna dengan erat. Membiarkan bercak darahnya mengenai kemeja putih yang digunakan Aluna. “Ethan..” lirih Aluna. “Tanganmu.. aku akan mengobatinya.” Ethan menggeleng. Memilih menyandarkan dagunya di bahu Aluna. “Aku lelah.” Akhirnya A
“Terserah!” Jawaban Ethan yang membawa bencana. Aluna mempunyai seribu ide yang diluar nalar. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantor. Aluna membawa Ethan ke sebuah taman hiburan. Tapi ternyata kok sepi sekali? “Kok sepi sekali sih?” tanya Aluna. “Hari ini hari kerja.” Ethan mengikuti Aluna malas. Aluna berjalan lebih dahulu memasuki taman hiburan tersebut. “Aluna, ayo pulang.” Ethan sungguh malas. Seperti anak kecil saja datang ke taman hiburan. Padahal waktu kecil Ethan juga tidak pernah datang ke tempat seperti ini. Meskipun kaya, bahkan bisa membeli tamannya sekalipun. Nyatanya, Ethan hanya tidak punya waktu bersama orang tuanya untuk sekedar datang ke taman seperti ini. “Ah gak asik!” keluh Aluna. “Kita baru datang.” Aluna menoleh ke belakang. Akhirnya ia mendekat. Memeluk lengan Ethan dari samping. “Bagaimana naik biang lala itu. Akan sangat bagus sembari melihat matahari yang mulai terbenam.” Ethan menatap bianglala yang dimaksud Aluna. S
Sore itu, mereka tertawa karena Aluna berusaha menghindar dari Ethan. Namun dengan mudah Ethan menangkap tubuh Aluna. “Kau tidak akan bisa lari dariku.” Ethan menggelitik pinggang Aluna. “Ah! Ethan hentikan!” Aluna mengeluh tapi juga tertawa. “Ethan berhenti haha..” Aluna menjauh lagi. “Aku belum puas balas dendam. Ke mari Aluna.” Ethan menggerakkan jarinya agar Aluna mendekat. “Tidak!” Aluna menjulurkan lidahnya. “Aku tidak akan ke sana sampai kamu mau naik bianglala.” Ethan berkacak pinggang. “Baiklah. Baiklah ayo naik wahana itu.” “Yey!” Aluna bersorak begitu senang. Ia mendekat. Tanpa disuruh pun, ia memeluk tubuh Ethan dengan senang. “Ayo naik.” Ethan tersenyum miring. Ia mendekatkan wajahnya. Menunjuk pipi kanannya. Aluna tertawa pelan. Ia berjinjit—bukannya mencium pipi Ethan. Aluna malah mencium bibir pria itu. Hanya ciuman singkat. Setelahnya Aluna menarik tangan Ethan. “Ayo naik!” sembari menarik Ethan tidak sabar ke arah wahana bianglala. Jangan
“Tapi bukankah pemandangannya sangat bagus.” Aluna memandang matahari yang hampir terbenam. “Udaranya juga bagus,” gumam Aluna. Cup! Aluna menoleh ketika mendapatkan ciuman dari samping. “Lebih bagus melihatmu tidak menggunakan apapun,” balas Ethan di luar nalar. Aluna memejamkan mata. Menahan kekesalannya sejenak. “Ah sudahlah lelah aku.” Aluna bersandar. Menarik tangannya yang peluk oleh Ethan. Ethan menatap Aluna dari samping. “Kau marah?” Sambil mencolek pipi Aluna. “Kau marah?” Menoel-noel pipi Aluna gemas. “IH!” Aluna melotot. “Eh-eh..!” mulai berputar lagi. Ethan sendiri yang heboh. Menarik lengan Aluna dan kembali memeluknya. Aluna tidak jadi marah karena melihat Ethan yang begitu konyol. “Jangan tertawa!” Ethan yang takut tapi berusaha galak. Bahkan tangannya semakin memeluk Aluna dengan erat. Aluna malah tertawa begitu lebar. “Menyenangkan!” Untuk sejenak Ethan menatap Aluna yang tertawa begitu lebar. Karena jarang sekali wanita itu terseny
21++ Vila di sini bentuknya berjajar. Menghadap ke laut. Tidak terlalu besar, hanya ada satu kasur yang berukuran besar. “Bagaimana?” tanya Gio sembari memeluk Agatha dari belakang. “Bukankah sangat bagus?” tanya Gio. Agatha mengangguk. “Bagus.” “Kita mau menginap di sini?” tanyanya. Gio mengernyit. “Memangnya mau ke mana? aku mengajakmu ke sini untuk menginap di sini.” Agatha mengangguk. “Baiklah aku akan memberitahu ibu dulu.” Gio menarik ponsel Agatha dan melemparkannya begitu saja. “Ibu akan mengerti.” sembari mengedipkan matanya. Menarik pinggang Agatha hingga tubuh mereka menempel. Gio menunduk dan menarik tengkuk Agatha. mencium bibir wanita itu pelan. Membawanya ke ranjang. membaringkan Agatha dengan hati-hati di atas ranjang. Gio melepaskan pangutan mereka, kemudian melepaskan kancing kemejanya. Membuka seluruh pakaian yang digunakannya. “Kamu tidak mau membantuku ya…” lirih Gio yang berada di atas Agatha. Agatha tertawa pelan. menggeleng, kemudia
Katanya ada wisata baru. Agatha tidak tahu kalau ternyata wisatanya memang indah. Area di sini memang pantai yang banyak tebingnya. Sehingga dibangunlah berbagai wisata yang berada di atas tebing. Ada restoran yang langsung mengarah ke laut. Ada beberapa permainan ekstrim yang dicoba orang-orang. Agatha dan Gio memutuskan untuk pergi ke restoran saja, menikmati langit senja yang perlahanmenghilang menjadi gelap. Agatha memejamkan mata menikmati udara yang berhembus. “Aku tidak menyangka hidup ibu seberat itu…” lirih Agatha. “Andai aku datang lebih cepat, aku pasti bisa menolongnya.” Gio mengusap pelan punggung Agatha. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya ibu sendirian…” Agatha menatap laut biru di hadapannya. “Aku berjanji tidak akan membiarkan hidp ibu susah lagi. Aku juga akan sering-sering berkunjung ke sini.” Gio mengangguk. “Dan aku akan selalu menemani kamu.” Agatha mendongak. “Bagaimana kalau membawa ibu ke kota saja?” Agatha berdecak. “Ib
Agatha ingin minta kejelasan pada ibunya. Semuanya. semuanya yang disembunyikan oleh ibunya. Saat ini mereka berada di rumah ibu Agatha. Rumah yang kini lebih baik. Usaha ibunya memang berkembang dengan baik sampai ibunya bisa merenovasi rumah. rumah ini menjadi nyaman ditinggali. “Jelaskan pada Agatha. kalau tidak, Agatha akan marah pada ibu. Agatha juga tidak akan pernah ke sini lagi kalau ibu masih tidak mau bercerita.” Ibu Agatha menggeleng. “Jangan. Ibu akan memberitahu kalian semuanya.” “Jadi kakek nenek pernah mengangkat anak. Sampai anak itu, yaitu almarhum paman kamu lulus sekolah saja. tapi kami masih berhubungan dengan baik meskipun pamanmu kembali pada keluarga aslinya…” “Ibu pernah kecelakaan. Ibu ditabrak oleh pengemudi motor yang mabuk…” Agatha memejamkan mata sebentar. Ia memang tidak tahu apapun selama ini. Ia merasa bersalah karena ia selalu menyalahkan ibunya yang tidak pernah menjenguknya. Padahal ibunya sendiri hidup sangat susah. “Ibu ha
“Kalian anaknya?” tanya pria itu sembari menatap ibu Agatha. Ibu Agatha menarik tangan pria itu. “Jangan bicara di sini.” Agatha langsung berdiri. “Tunggu!” Agatha mengejar ibunya dan pria itu yang keluar dari restoran. “Mintalah pada anakmu untuk membantu kami!” pria itu berteriak pada ibu Agatha. “Aku akan membantumu… jangan libatkan anak-anakku.” Agatha terdiam. Kemudian segera mendekat. “Apa hubungan ibu dengan pria ini?” tanya Agatha. Pria itu nampak masih muda. Agatha tidak yakin, hubungan apa yang dimiliki oleh ibunya dengan pria itu. Tidak mungkin kan kekasih ibunya. Agatha tidak masalah jika ibunya punya kekasih atau bahkan akan menikah lagi, tapi jangan pria yang terlalu muda seperti ini. “Agatha kamu kembali ke dalam..” Ibu Agatha mendorong pelan Agatha agar kembali. Agatha kekeh tidak mau. “Urusan ibu, urusanku juga. Jika ada yang menyakiti ibu, maka aku akan menyakitinya kembali.” Agatha malah memasang badan di depan pria itu. “Ada apa denganmu. Kena
Minggu selanjutnya. Agatha dan Gio pergi menemui ibu Agatha. Agatha menatap satu restoran yang begitu ramai. “Jadi ini restoran itu ya…” Gio mengangguk. “Sangat ramai… sepertinya ibu memang pintar mengelola restoran. Dia bahkan punya banyak pegawai.” “Agatha!” ibu Agatha keluar dengan bahagia. Ia masih menggunakan celemek tapi langsung memeluk putrinya dengan gembira. “Ibu..” Agatha membalas pelukan ibunya. “Bagaimana kabar kamu.” Ibu Agatha menatap perut sang putri. “Bagaimana calon cucu ibu?” Agatha tertawa pelan. “Agatha baik, Bu.” Agatha menatap ibunya dengan seksama. Ibunya terlihat semakin cantik. kulit ibunya yang semakin cerah. Wajah itu terlihat semakin bersih. Agatha yakin, Ibunya merawat diri dengan baik setelah memiliki restoran. Agatha juga bersyukur ibunya memiliki restoran sehingga tidak perlu lagi bekerja sebagai pengepul ikan. “Menantu ibu…” menatap Gio. “Semakin tampan kamu.” mengusap pelan bahu Gio. Gio menunduk dan memeluk ibu Agatha.
Aluna menyambut kedantangan anak dan menantunya dengan gembira. Jarang sekali mereka datang ke sini. Mereka sama-sama sibuk di kantor ia juga tidak heran… Agatha memeluk Aluna. “Bagaimana kabar mama?” tanya Agatha. Aluna mengangguk. “Mama baik. bagaimana dengan kamu?” tanyanya. “Agatha juga baik.” “Akhirnya kalian ke sini.” Ethan tersenyum kemudian mendekati Agatha. Memeluk menantunya seperti putrinya sendiri. “Kamu baik-baik saja? Gio tidak menyakiti kamu?” tanya Ethan pada Agatha. Agatha tertawa pelan. “Agatha baik, Pa.” “Pertanyaannya bisa lebih sopan?” tanya Gio yang memeluk pinggang Agatha dari samping. Ethan menepuk pelan bahu Gio. “Sudah dewasa ya kamu sekarang.” Gio mengangguk dengan bangga. “Sebentar lagi Gio juga akan menjadi ayah..” mengusap perut Agatha. “Wah..” Aluna berbinar. “Benarkah?” tanyanya. “Berapa bulan?” tanyanya. Ia mendekat—dan menyentuh perut menantunya. “Baru enam minggu,” balas Gio. Ethan memberikan jempolnya pada Gio. “Gerak c
Gio dan Agatha benar-benar membeli durian. Bahkan Agatha tidak sabar memakannya. Saat ini mereka berada di dalam mobil. Dengan seluruh jendela mobil yang dibuka. Agatha membuka buah durian yang siap makan. Langsung saja baunya memenuhi seluruh mobil. Gio menyipitkan mata—ia sendiri tidak sanggup dengan baunya, apalagi sampai memakannya. Gio semakin terheran melihat Agatha yang begitu lahap memakan durian itu. “Kamu suka?” tanya Gio. Agatha mengangguk. kemudian mengambil durian itu dan menyodorkannya pada Gio. “Ini.” Gio menolak dan menggeleng. “Tidak, kamu saja yang makan.” Agatha mengedikkan bahu dan memakannya dengan lahap. Sampai habis… Tidak tersisa…. Tersisa bijinya saja. Gio mengambil tisu dan diusapkannya di bibir Agatha. membukakan botol minum. “Minum perlahan…” Gio tersenyum. melihat Agatha yang bahagia, juga membuatnya bahagia meski ia tidak tahan dengan baunya durian. Agatha menatap Gio. “Aku kenyang.” “Yasudah tidur saja..” Gio menutup jende
Gio dan Agatha perjalanan pulang setelah bertemu dengan Julie dan Minjae. “Aku jadi kasihan ya.. pada Julie.” Menatap Gio yang berada di sampingnya. “Hm.” Gio hanya mengangguk. “Kamu bagaimana?” “Lumayan..” balas Gio. “Dia berkali-kali menunduk dan minta maaf. Aku jadi lumayan kasihan.” “Tapi kalau mengingat perbuatannya…” lirih Gio. Tangannya terulur mengambil tangan istrinya. “lumayan menyebalkan. Aku jadi tidak bisa menyentuhmu, tidak bisa tidur dengan tenang…” Agatha mengangguk. menyandarkan kepalanya di bahu Gio. “Tapi kalau dipikir itu bukan kesalahannya. Dia tidak tahu yang tidur dengan dia siapa…” “Dia harus menggugurkan kandungannya karena penyakit. Dia juga tidak bisa hamil lagi.” Agatha mengusap perutnya pelan. “Aku harap hidupnya bahagia bersama Minjae,” lirih Agatha. Gio mangut-mangut mendengar ocehan istrinya. “Sudah…” Gio mengusap pelan puncak kepala Agatha. “Jangan dipikirkan. Aku yakin Minjae akan membahagiakannya..” Agatha mendongak. mendadak b
Ketika pertama kali datang, Agatha langsung menarik Julie untuk berbicara berdua. Julie memandang Agatha yang sudah berada di hadapannya. “Aku minta maaf. Aku sungguh menyesali perbuatanku pada kalian…” Julie menunduk dalam meminta maaf dari Agatha. “Aku sudah tahu semuanya…” lirih Agatha. “Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu.” Julie mengangkat wajahnya. “Kau masih mencintai Gio?” tanya Agatha. Ya, Ia hanya ingin tahu apakah wanita ini masih mencintai suaminya atau tidak. Julie menggeleng. “Cinta ya…” Julie tersenyum. “Sekarang tidak lagi. memang dulu aku sangat mencintainya… itupun dulu. tapi saat aku bertemu kembali dengannya. rasanya biasa saja..….” lirih Julie. Agatha mengernyit. Apakah bisa dipercaya ucapan wanita ini. Tapi Agatha sepertinya tidak melihat Julie sedang berakting. “Seperti yang kau tahu. Aku dan Gio berkencan saat masih sekolah menengah. Kita berkencan dengan sehat. Tidak ada kontak fisik.. karena Gio yang menjaga diri sekali..” “Tapi sa