Uang memang bisa membeli apapun. Dengan uang, Haven menyuruh karyawan yang berada di kafe pergi. Namun Haven sengaja tidak akan memberitahu Gaby. Ia tersenyum miring melihat wajah Gaby yang cemas. “Haven.. lakukan di tempat lain.” Gaby tidak bisa mencegah tangan Haven yang masuk ke dalam dressnya. Apalagi jemari pria itu telah lancang mengusap miliknya. “Ahh!” Gaby mendongak. Sial! Ia sendiri lupa diri jika seperti ini. Apalagi bibir pria itu menghisap buah dadanya dengan rakus. Sedangkan tangan pria itu memasuki miliknya yang sudah basah. Gaby hanya mengusap kepala Haven. Sedangkan bibirnya ini tidak bisa berhenti mendesah. “Haven ahh!” Gaby menggeleng ketika pria itu dengan mudah merobek dress mininya. “Jangan dirobek..” “Aku belikan yang lebih mahal dan lebih bagus,” bisik Haven tepat di samping leher Gaby. “Aku takut ada yang mendengar kita..” Gaby menekan kepala Haven. “Ah..Haven..” lirihnya. Lidah pria itu membelai puncak dadanya dengan
Gaby pasrah—justru menikmatinya meski merasa sedikit sakit dengan permainan kasar mereka. Haven meremas dengan kasar buah dada Gaby yang menggantung indah. “Haven..” Gaby menoleh ke belakang. “Belum saatnya babe..” Haven melepaskan miliknya. Ia memutar tubuh Gaby hingga mereka berhadapan. Mengangkat salah satu kaki Gaby dan memasukkan juniornya kembali ke dalam lubang milik Gaby. “Ahh!” Gaby mencengkram erat bahu Haven. “Bagaimana jika aahh!” tubuhnya terbentur beberapa kali dengan keras. “Akh! Sakit!” Haven tidak memedulikan teriakan Gaby. “Haven pela-pelan aahh!” kakinya terasa seperti jeli. Ia bahkan tidak bisa berdiri jika pinggangnya tidak dipegang oleh Haven. “Aku tidak bisa!” Haven mengusap dada Gaby kembali. Ia masih menggerakkan juniornya masuk dan keluar. “Haven aku ahh…” Tubuh Gaby bergetar seiring dengan kecepatan Haven yang semakin bertambah. Haven mempercepat gerakannya dan membiarkan Gaby menjemput kenikmatan. Tubuh Gaby bergetar. Dengan nafas
Kemarin Haven mengantarnya pulang. sebelum itu, pria itu memberinya sebuah buket yang begitu besar. Buket itu terbuat dari uang dollar. Gaby tidak tahu persis berapa jumlah uang yang ada di buket itu. Bukan hanya buket. Pagi-pagi sekali ada paket yang tiba-tiba datang. Saat ia membukanya, ternyata sebuah tas dari brand mewah yang jumlahnya terbatas. Sudah pasti harganya juga sangat mahal. “Apa sogokan lagi?” Gaby menghela nafas dan melempar tas itu ke kasurnya. “Sugar baby?” tanya Gaby pada dirinya yang menatap cermin. Tidak membutuhkan uang dari Haven!Gaby bahkan bisa membeli pabrik pembuatan tas itu jika mau. Bagaimana kalau Gaby ingin hubungan yang sehat antara dirinya dengan Haven. Bagaimana jika dirinya ingin hubungan ini dijalani dengan serius.Ini namanya kemakan omongan sendiri!Padahal dari awal dirinya yang ingin menjalin hubungan dengan pria dominan. Tapi setelah dijalani malah membuatnya tidak nyaman. Haven yang berkuasa dan berhak atas apapun tentang dirinya.
Brak! Ponsel itu tergeletak di lantai begitu saja. Haven mengatur nafasnya agar lebih tenang. Berurusan dengan perempuan yang jauh lebih muda membuat energinya benar-benar terkuras. Haven menarik kerah lehernya—kemudian berkacak pinggang dan duduk di pinggiran mejanya. “Pertemuan anda 30 menit lagi,” Galang mengucapkannya dengan hati-hati. Ia juga mengambil ponsel Haven. Mengusapnya perlahan dan menggenggamnya. “Kau pernah berkencan dengan perempuan yang usianya jauh di bawahmu?” tanya Haven pergi ke depan sebuah cermin. Galang menggeleng. “Tidak. Aku hanya berkencan dengan perempuan usiaku.” Haven menghela nafas lagi. “Jangan coba-coba berkencan dengan perempuan yang jauh lebih muda karena akan sangat menguras energi.” “Aku dengar juga seperti itu..” Galang mengangguk. “Kita sebagai yang lebih tua akan lebih ngemong.” Haven berbalik. “Apa kau pikir aku bisa ngemong?” Galang menggeleng dengan ragu. “Sepertinya tidak.” “Emosimu…kemarahanmu…” Galang bedecak sa
Telinga Haven terasa panas. “Aku tidak bisa.” Haven berdiri. Namun wanita itu malah mencekal pergelangan tangannya. “Beri aku kesempatan. oh bukan aku, tapi kita. Kita coba dulu jalani. Nanti kalau kau memang tidak suka denganku.” “Lepaskan.” Haven menatap tajam tangannya yang dipegang oleh wanita itu. Ada perasaan jijik yang tidak bisa diungkapkannya. Akhirnya wanita itu melepaskannya. Haven menarik tangannya dan berbalik. Namun ketika ia baru saja akan berjalan—ia malah mendapati seorang wanita yang baru saja masuk bersama beberapa orang. Gaby baru saja makan siang bersama rekan-rekannya di kantor. Sekaraang setelah makan mereka ingin nongki sebentar di kafe. Ada satu karyawan laki-laki yang begitu akrab dengannya. Axel membawakan tas Gaby, pria itu mencangklong tas Gaby di pundaknya seperti biasa. Gaby sempat terdiam saat baru saja masuk. Langkahnya terhenti saat melihat seorang pria yang bersama seorang wanita. “Kenapa berhenti Gab?” tanya Axel menyentuh b
Gaby baru saja selesai mengerjakan tugasnya. Sebenarnaya bisa saja ia leha-leha menyerahkan semuanya pada pegawainya. Namun ia sekarang ia sebagai mahasiswa magang, maka ia juga harus mengerjakan tugas selayaknya magang. Gaby mengambil tasnya dan keluar. Langkahnya terhenti ketika melihat sebuah mobil berwarna hitam. Mobil jeep keluaran terbaru. Tak lama seorang pria keluar dari mobil tersebut. Gaby menahan napasnya sejenak ketika melihat Haven yang sudah berdiri di hadapannya. “Ayo pulang,” ucap Haven. Gaby menyipitkan mata. “Tidak marah?” tanyanya. Haven diam—ia mendekat namun Gaby mundur. “Jaga jarak aman!” “Kenapa?” “Bisa dilihat orang!” Gaby mengedarkan pandangannya. Takut ada orang yang melihat mereka. Pokoknya hubungan mereka harus tetap privat dan hanya orang terdekatnya saja yang tahu. “Aku tidak peduli.” Selangkah Haven mendekat. Namun dua langkah Gaby mundur. Haven melangkah cepat dan menggendong tubuh Gaby. “Haven!” pekik Gaby ketika sudah
Haven berjalan sembari membuka jasnya. Gaby mengikuti pria itu dari belakang seperti anak kecil yang sedang mengikuti orang tuanya. Mereka tiba di ruang makan. Meja panjang itu sudah penuh dengan makanan. Gaby mengerjap. “Wow,” ucapnya kagum. Makanan lokal! Semuanya terisi makanan lokal dan itu adalah kesukaannya! “Makanan kesukaanmu bukan?” Haven meraih pinggang Gaby dari samping. Gaby mengangguk. “Duduklah dan makan.” Gaby mengambil duduk—ia kira Haven akan duduk di kursi tengah. Seperti yang dilakukan papanya di rumah. Tapi ternyata pria itu memilih duduk di sampingnya. “Makanlah jangan memandangiku.” Haven memasangkan sebuah kain di paha Gaby. Tingkahnya seperi seorang pangeran! Batin Gaby. Haven yang duduk dengan tenang. Makan dengan pelan dan berwibawa. Kenapa dirinya malah seperti bitch yang kelaparan. Gaby menggeleng pelan. Tidak peduli yang terpenting menjadi dirinya sendiri. “Ingin aku suapi?” tanya Haven. Uhuk! Gaby tersedak. “Pelan-pelan
“Bagaimana kalau aku bilang aku juga tidak suka melihatmu bersama wanita lain?” tanya Gaby mengalunkan tangannya di leher Haven. “Aku akan menjauhinya. Karena aku juga tidak suka wanita-wanita di luar sana,” balas enteng Haven. Gaby menyipitkan mata. “Benarkah?” Haven mengusap pipi Gaby. “Aku juga tidak mudah suka dengan wanita. Sejauh ini hanya kau yang aku sukai.” Gaby sedikit tersanjung. Namun ia tetap menyembunyikannya, menahan senyumnya. Pokoknya jangan tersenyum. Jangan menunjukkan kalau dirinya gampang luluh. “Baiklah, kesepakatan kita jangan dekat-dekat dengan lawan jenis.” Gaby mengulurkan tangannya. Namun Haven mendekat dan mencium bibirnya. Setelah ciuman singkat itu, Haven mengusap puncak kepalanya. “Setuju.” Haven mengusap pipi Gaby. “Jangan membantahku.” Gaby mendekat—mengecup rahang Haven dengan berani. “Jangan bersikap kasar padaku.” “Itu hukumanmu jika kamu membantahku.” Haven menatap Gaby dengan matanya yang penuh dengan kilatan tajam. “Ta