“Akh!” Haven melotot sambil berpegang pada tangan Gaby. Haven menghela nafas dan melihat sekeliling. Saat ini mereka berada di bianglala dan mereka berada di atas. Gaby hanya tertawa melihat Haven yang ketakutan. “Mama pernah cerita, Papa dulu juga ketakutan. Seperti kamu saat ini.” Gaby tertawa karena Haven yang semakin kencang memeluk lengannya. “Aku hanya kawatir.” Haven tersenyum kaku. Gaby mengangguk saja. Ia melihat langit yang berwaran keunguan. “Mama bilang, kencan pertama bersama Papa di Bianglala adalah momen yang terbaik. Waktu itu aku tidak percaya, tapi aku merasakannya sendiri.” Gaby menatap Haven. “Melihat sunset di atas bianglala ternyata seru juga.” Haven mengusap rambut belakang Gaby. “Kamu terlihat sangat menyayangi mereka.” “Tentu saja. apalagi mendengar perjuangan mereka sebelum aku ada.” Gaby menoleh. “Mereka melalui hari-hari yang sulit sebelum akhirnya menikah, apalagi kak Gio yang sejak kecil harus terpisah dari Papa.” Haven mengernyit. “Aku tidak te
Setelah menaiki wahana, Gaby ingin berhenti dulu di sebuah kafe yang berada di dalam taman bermain. Membeli satu es krim dan satu cake yang cantik. “Waah…” Gaby begitu senang ketika pesananannya datang. Namun setelah melihat pesanan Haven ia mendesah kasar. “Kopi lagi kopi lagi..” keluhnya. Haven yang suka meminum kopi pahit tanpa gula. “Aku mengurangi makanan manis,” balas Haven. Gaby memakan es krimnya. “Cobalah, sedikit saja.” menyuapi Haven. Haven jelas menolaknya. Pria itu menggeleng dan menjauh. Gaby berdecak. “Enak loh…” sebal sekali menatap Haven yang menolaknya. Haven menunduk. “Kamu sungguh aku ingin makan?” Gaby mengangguk. “Cobalah.” Menyodorkan cake dan es krimnya. “Waktu kecil aku tidak boleh makan banyak-banyak karena gigiku yang bolong. Tapi sekarang aku tidak peduli,” ucap Gaby. Haven tertawa pelan. “Makan dulu. Aku akan memakannya nanti.” Gaby menyipitkan maka curiga. Curiga kalau Haven mengingkari janji. Baiklah kalau tidak mau makan. Ia akan menghab
Uang memang bisa membeli apapun. Dengan uang, Haven menyuruh karyawan yang berada di kafe pergi. Namun Haven sengaja tidak akan memberitahu Gaby. Ia tersenyum miring melihat wajah Gaby yang cemas. “Haven.. lakukan di tempat lain.” Gaby tidak bisa mencegah tangan Haven yang masuk ke dalam dressnya. Apalagi jemari pria itu telah lancang mengusap miliknya. “Ahh!” Gaby mendongak. Sial! Ia sendiri lupa diri jika seperti ini. Apalagi bibir pria itu menghisap buah dadanya dengan rakus. Sedangkan tangan pria itu memasuki miliknya yang sudah basah. Gaby hanya mengusap kepala Haven. Sedangkan bibirnya ini tidak bisa berhenti mendesah. “Haven ahh!” Gaby menggeleng ketika pria itu dengan mudah merobek dress mininya. “Jangan dirobek..” “Aku belikan yang lebih mahal dan lebih bagus,” bisik Haven tepat di samping leher Gaby. “Aku takut ada yang mendengar kita..” Gaby menekan kepala Haven. “Ah..Haven..” lirihnya. Lidah pria itu membelai puncak dadanya dengan
Gaby pasrah—justru menikmatinya meski merasa sedikit sakit dengan permainan kasar mereka. Haven meremas dengan kasar buah dada Gaby yang menggantung indah. “Haven..” Gaby menoleh ke belakang. “Belum saatnya babe..” Haven melepaskan miliknya. Ia memutar tubuh Gaby hingga mereka berhadapan. Mengangkat salah satu kaki Gaby dan memasukkan juniornya kembali ke dalam lubang milik Gaby. “Ahh!” Gaby mencengkram erat bahu Haven. “Bagaimana jika aahh!” tubuhnya terbentur beberapa kali dengan keras. “Akh! Sakit!” Haven tidak memedulikan teriakan Gaby. “Haven pela-pelan aahh!” kakinya terasa seperti jeli. Ia bahkan tidak bisa berdiri jika pinggangnya tidak dipegang oleh Haven. “Aku tidak bisa!” Haven mengusap dada Gaby kembali. Ia masih menggerakkan juniornya masuk dan keluar. “Haven aku ahh…” Tubuh Gaby bergetar seiring dengan kecepatan Haven yang semakin bertambah. Haven mempercepat gerakannya dan membiarkan Gaby menjemput kenikmatan. Tubuh Gaby bergetar. Dengan nafas
Kemarin Haven mengantarnya pulang. sebelum itu, pria itu memberinya sebuah buket yang begitu besar. Buket itu terbuat dari uang dollar. Gaby tidak tahu persis berapa jumlah uang yang ada di buket itu. Bukan hanya buket. Pagi-pagi sekali ada paket yang tiba-tiba datang. Saat ia membukanya, ternyata sebuah tas dari brand mewah yang jumlahnya terbatas. Sudah pasti harganya juga sangat mahal. “Apa sogokan lagi?” Gaby menghela nafas dan melempar tas itu ke kasurnya. “Sugar baby?” tanya Gaby pada dirinya yang menatap cermin. Tidak membutuhkan uang dari Haven!Gaby bahkan bisa membeli pabrik pembuatan tas itu jika mau. Bagaimana kalau Gaby ingin hubungan yang sehat antara dirinya dengan Haven. Bagaimana jika dirinya ingin hubungan ini dijalani dengan serius.Ini namanya kemakan omongan sendiri!Padahal dari awal dirinya yang ingin menjalin hubungan dengan pria dominan. Tapi setelah dijalani malah membuatnya tidak nyaman. Haven yang berkuasa dan berhak atas apapun tentang dirinya.
Brak! Ponsel itu tergeletak di lantai begitu saja. Haven mengatur nafasnya agar lebih tenang. Berurusan dengan perempuan yang jauh lebih muda membuat energinya benar-benar terkuras. Haven menarik kerah lehernya—kemudian berkacak pinggang dan duduk di pinggiran mejanya. “Pertemuan anda 30 menit lagi,” Galang mengucapkannya dengan hati-hati. Ia juga mengambil ponsel Haven. Mengusapnya perlahan dan menggenggamnya. “Kau pernah berkencan dengan perempuan yang usianya jauh di bawahmu?” tanya Haven pergi ke depan sebuah cermin. Galang menggeleng. “Tidak. Aku hanya berkencan dengan perempuan usiaku.” Haven menghela nafas lagi. “Jangan coba-coba berkencan dengan perempuan yang jauh lebih muda karena akan sangat menguras energi.” “Aku dengar juga seperti itu..” Galang mengangguk. “Kita sebagai yang lebih tua akan lebih ngemong.” Haven berbalik. “Apa kau pikir aku bisa ngemong?” Galang menggeleng dengan ragu. “Sepertinya tidak.” “Emosimu…kemarahanmu…” Galang bedecak sa
Telinga Haven terasa panas. “Aku tidak bisa.” Haven berdiri. Namun wanita itu malah mencekal pergelangan tangannya. “Beri aku kesempatan. oh bukan aku, tapi kita. Kita coba dulu jalani. Nanti kalau kau memang tidak suka denganku.” “Lepaskan.” Haven menatap tajam tangannya yang dipegang oleh wanita itu. Ada perasaan jijik yang tidak bisa diungkapkannya. Akhirnya wanita itu melepaskannya. Haven menarik tangannya dan berbalik. Namun ketika ia baru saja akan berjalan—ia malah mendapati seorang wanita yang baru saja masuk bersama beberapa orang. Gaby baru saja makan siang bersama rekan-rekannya di kantor. Sekaraang setelah makan mereka ingin nongki sebentar di kafe. Ada satu karyawan laki-laki yang begitu akrab dengannya. Axel membawakan tas Gaby, pria itu mencangklong tas Gaby di pundaknya seperti biasa. Gaby sempat terdiam saat baru saja masuk. Langkahnya terhenti saat melihat seorang pria yang bersama seorang wanita. “Kenapa berhenti Gab?” tanya Axel menyentuh b
Gaby baru saja selesai mengerjakan tugasnya. Sebenarnaya bisa saja ia leha-leha menyerahkan semuanya pada pegawainya. Namun ia sekarang ia sebagai mahasiswa magang, maka ia juga harus mengerjakan tugas selayaknya magang. Gaby mengambil tasnya dan keluar. Langkahnya terhenti ketika melihat sebuah mobil berwarna hitam. Mobil jeep keluaran terbaru. Tak lama seorang pria keluar dari mobil tersebut. Gaby menahan napasnya sejenak ketika melihat Haven yang sudah berdiri di hadapannya. “Ayo pulang,” ucap Haven. Gaby menyipitkan mata. “Tidak marah?” tanyanya. Haven diam—ia mendekat namun Gaby mundur. “Jaga jarak aman!” “Kenapa?” “Bisa dilihat orang!” Gaby mengedarkan pandangannya. Takut ada orang yang melihat mereka. Pokoknya hubungan mereka harus tetap privat dan hanya orang terdekatnya saja yang tahu. “Aku tidak peduli.” Selangkah Haven mendekat. Namun dua langkah Gaby mundur. Haven melangkah cepat dan menggendong tubuh Gaby. “Haven!” pekik Gaby ketika sudah
“Apa anda tahu siapa yang bertanggung jawab atas keamanan di rumah kakak ipar Agatha?” tanya Gio di sambungan telepon. Ia sedang melakukan panggilan dengan pak Rudi. Pak Rudi tidak datang menjenguk Agatha. karena Gio melarangnya, ia menyuruh pak Rudi untuk bersembunyi dan melindungi diri sendiri. Ia takut jika mereka menyakiti orang-orang yang membantu Agatha. “Iya aku tahu. Aku dan Agatha yang mengaturnya.” Gio berkacak pinggang. “Pastikan semua orang-orang yang menjaga di rumah itu semua berpihak pada Agatha. Jessika bilang, dia curiga pada ibu mertuanya.” “Bukankah mereka masih satu rumah?” “Iya. Aku akan mengaturnya,” balas Pak Rudi. “Kalau memang berbahaya. Aku akan menyiapkan tempat untuk mereka tinggal.” “Saya pastikan dulu, Sir. Nanti saya akan mengabari anda. Saya juga takut jika orang-orang itu mencelakai Jessika dan anak-anaknya.” Setelah itu Gio menutup sambungan telepon itu. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Anton yang kini sedang memilih es kr
Agatha mengalami koma. Kecelakaan itu berat. membuat hampir seluruh tubuh Agatha terluka. Gio berada di luar ruangan Agatha. menatap perempuan itu dari sebuah kaca. Gio berkacak pinggang. Menyalahkan diri sendiri karena tidak menangkap penjahat itu. seharusnya ia membawa penjahat itu, mengurungnya… Bukan malah menyerahkan pada polisi. Sehingga tahanan itu kabur. Gio mengangkat sambungan telepon. “Aku tidak mau tahu. Malam ini bajingan itu harus ketemu. Bawa bajingan itu ke tempat yang sudah aku kirimkan padamu.” “Baik sir. Saat ini anak buah saya masih mengejar pria itu.” Gio menutup sambungan teleponnya dan melihat Agatha sebentar sebelum duduk. Gio menunduk—mengusap wajahnya kasar. ada tangan mungil yang memberikannya sebuah es krim. Gio mengangkat kepalanya. menatap seorang anak laki-laki. Anak itu tersenyum. “Uncle jangan menangis.” bocah itu berbicara dengan jelas. Dilihat dari postur tubuhnya memang sudah besar, tapi masih terlihat anak kecil. “Bagaimana keadaan Ag
Agatha keluar dari rumah sakit. Setelah memastikan Gio beristirahat dengan tenang. Agatha berhenti pada sebuah cermin. Menatap lehernya yang memerah. Merogoh sebuah syal yang berada di tasnya. Kemudian melingkarnnya di lehernya. Bibirnya mengembangkan senyuman. Masih tergambar dengan jelas ciuman mereka tadi. Saling memangut dan meluapkan rasa rindu. Agatha kembali berjalan dan menaiki mobil untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Agatha tidak berhenti melamun. Ada banyak yang ia pikirkan. Meski ia sudah menjadi pemimpin…. Ada banyak hal yang belum ia selesaikan. Mencari pelaku yang membunuh ayah dan kakaknya. Mencari pelaku sebenarnya yang menyerang Gio. Mencari pelaku yang berusaha membunuhnya juga. Lalu… Pikirannya juga penuh memikirkan hubungannya dengan Gio setelah ini. Ia hampir mencapai tujuannya. Yang artinya perjanjian mereka akan segera berakhir. Lantas, jika berakhir. apakah hubungannya dengan Gio juga akan berakhir begitu saja. Seharusnya
“Bagaiamana keadaanmu.” Agatha menatap Gio. “Aku baik-baik saja. tapi aku harus kembali ke rumah sakit.” Gio mengambil tangan Agatha dan menggenggamnya. “Kau ikut denganku.” Agatha berhenti. “Aku tidak bisa bersamamu dulu.” “Aku tidak bisa menerimanya.” Gio tetap menggandeng tangan Agatha. Tapi Agatha tetap kekeh dengan ucapannya yang ia katakan pada keluarga Gio. “Tidak, Gio. Aku tidak bisa…” Agatha mendongak. “Aku akan menemuimu sampai keadaan benar-benar aman.” Gio menghela napas. “Sampai kapan?” “Besok? Lusa? Bulan depan?” tanya Gio. Agatha terdiam. karena dirinya sendiri juga tidak tahu. Tapi setidaknya sampai kekuasaan benar berada di dalam genggamannya. Sampai orang-orang yang mencelekainya ditangkap. “Aduh…” Gio memegang perutnya. “Bagaimana ini… perutku..” Gio menyipitkan mata. “Anda harus ke rumah sakit segera Sir..” dokter mendekat. ia juga khawatir dengan keadaan Gio. Namun diam-diam Gio memberi petunjuk bahwa ia sedang berpura-pura. “Adu duh..”
Beberapa hari yang lalu. Gio tersadar dari komanya. Pertama kali orang yang ia cari adalah Agatha. Ibunya bilang, Agatha pulang. Agatha berjanji tidak akan menemuinya sampai keadaan benar-benar aman. Marah. Tentu saja, neneknya yang membuat Agatha pergi. Gio masih membutuhkan perawatan intensif. Untuk bergerak saja ia tidak bisa. Untuk itu ia mengerahkan orang-orangnya untuk membantunya. Dari pada seperti ini, sudah terlanjur. Maka ia akan meneruskannya saja. Ia akan berpura-pura tidak berhubungan dengan Agatha dahulu sampai Rapat itu dimulai. Pada awalnya ia akan datang awal rapat. Tapi sekali lagi keadaannya tidak memungkinkan. Perutnya masih terasa keram. Alhasil ia datang terlambat—namun masih melihat perkembangan rapat itu lewat kamera kecil. Kamera itu terpasang di pakaian orang yang mewakilinya di sana. “Banyak orang yang menghianatiku juga.” Gio berada di dalam mobil. Melihat orang-orang yang tidak mengangkat tangan untuk Agatha. Orang-orang yang tela
“Tapi Agatha Ethelind Harper baru saja terjun ke dunia bisnis. kinerjanya di dalam perusahaan baru mencapai tahun pertama.” Agatha tersenyum sinis. Menggunakan pengalamannya yang baru sebentar untuk menjatuhkannya. Agatha masih menahan senyumnya—ingin tertawa padahal. Kekurangannya yang diumbar di depan banyak investor. Sedangkan kekuarangan Levin disembunyikan. Agatha menjadi satu-satunya wanita yang berada di dalam ruangan ini. “Siapa yang mendukung Agatha Harper Ethelind menjadi pemimpin sementara?” Satu persatu orang-orang yang mendukung Agatha mengangkat tangan. Sekitar 3… Lalu satu orang mengangkat tangannya… Ternyata Pak Beni… Pak Beni tersenyum sembari mengangguk pada Agatha. Sedangkan pak Robert? Jangan tanya. Pria itu bahkan tidak berani menatap Agatha. seolah tidak mengenal. Tidak seperti tadi… Ternyata… si Mafia itu tidak mendukungnya. Memang, di dalam dunia bisnis tidak bisa ditebak mana yang benar-benar teman. Dan mana yang musuh. Setidaknya
“maaf nona. Hal seperti ini saya pasti tidak akan terulang lagi.” satu bodyguard maju menghadap Agatha. Ada dua mobil yang dicoba dijalankan. Hanya satu yang remnya blong. Mobil yang selalu digunakan oleh Agatha. Agatha berkacak pinggang. ia tidak ingin menghabiskan energinya untuk hal tidak masuk akal seperti ini. Tapi semua ini menyangkut nyawanya. “Sebagai ketua. Kau harus mencari tahu siapa anak buahmu yang berhianat. Aku memberimu waktu sampai jam istirahat makan siang. jika kau tidak bisa menemukan penghianat itu.” Agatha menghela napas. “Ganti semua bodyguard yang mengawalku.” Akhirnya Agatha masuk ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, Agatha tidak berhenti cemas. Untuk siapapun yang berusaha membunuhnya. Agatha pastikan akan segera menangkap orang itu. Hidupnya tidak bisa tenang dan dihantui oleh kematian. Akhirnya mobil sampai juga di kantor. Dengan selamat! Agatha masuk ke dalam ruang—disambut oleh sekretarisnya. “Rapat akan dilaksanakan pukul 1
“Sial.” Agatha tidak berhenti mengumpat setelah keluar dari ruang penyidikan. “Aku yakin ada yang menyuruhnya untuk membunuhku.” Agatha mengatakannya pada polisi. Namun polisi itu menghela napas dan terlihat lelah. “Kami sudah menyelidikinya. Kami sudah datang ke tempat tinggalnya. Tidak ada tanda-tanda disuruh orang….” “Tidak mungkin.” Agatha menggeleng. “Pasti ada petunjuk… Aku sering diteror. Tidak mungkin kalau dia hanya menyukaiku. aku yakin dia memang punya niat buruk dan disuruh orang lain.” “Tenanglah..” polisi itu hanya menepuh pelan bahu Agatha. Agatha ingin melayangkan protes tapi ia ditarik oleh seseorang. Pengacara Gio. Akhirnya Agatha dan pengacara Gio berada di dalam mobil untuk berbicara. “tidak ada gunanya berbicara pada polisi. Bukti tidak ada. Mereka juga tidak akan menggap kasus ini serius.” Pengacara Gio memberikan dokumen pada Agatha. Agatha membukanya. Melihat isinya sembari dijelaskan. “Pria itu sudah 2 tahun belakangan mengincar wanita c
Agatha pulang. Berjalan gontai masuk ke dalam penthouse. Tadi.. di rumah sakit. Karena dirinya semuanya malah bertengkar. Orang tua Gio memang berpihak padanya. tapi tidak dengan nenek Gio yang begitu membencinya. Tadi di rumah sakit…. “Jangan lakukan hal itu, Mom.” Aluna lagi-lagi menarik margaret agar menjauh dari Agatha. “Gio bukan anak kecil. Dia dewasa dan dia bisa menentukan apa yang dia inginkan. Dia ingin melindungi Agatha. aku sebagai orang tua tidak bisa mencegahnya dan akan mendukungnya.” “Kamu gila? setelah melihat anakmuu sekarat kamu mengatakan hal ini?” tanya Margaret memegang lengan Aluna. “Sadarlah Aluna, Gio ditusuk pria yang mengincar wanita itu.” margaret menatap Agatha begitu benci. Aluna memijjit keningnya. “Jangan membahas hal ini lebih dulu. Kita tunggu Gio..” “Gio tahu apa yang harus dilakukannya.” Margaret menatap Ethan. “Apa yang kamu lakukan?” “Semua keputusan ada di tangan Gio. Aku sebagai orang tua tidak bisa memaksanya. Begitupun