Terbangun dengan tubuh yang benar-benar remuk. Gaby menoleh ke samping. Didapatinya sebuah punggung lebar seorang pria. Ia mencoba mengingat kembali tadi malam. Ia bercinta dengan Haven. Dan pria itu menyiksanya semalaman!Tubuh Haven yang bergerak membuat Gaby melotot panik. Belum sempat ia berpura-pura kembali tidur—tubuhnya ditarik oleh tangan pria itu. “Kau sudah bangun?” tanya Haven mengusap dahi Gaby dengan mata yang masih terpejam. “Tidak. Aku sudah mati.” Haven terkekeh pelan. “Masih ingin membatantahku hm?” Gaby mendadak menciut. Hukuman yang Haven berikan menyiksa meskipun pada akhirnya ia juga menikmati. Tapi sungguh melelahkan. Ia tidak suka pokoknya!Haven menarik pinggang Gaby hingga tubuh mereka saling menempel kembali. “Ingin dihukum lagi?” Haven membuka mata. Kedua bola matanya yang tajam menatap Gaby dengan intens. Gaby menggeleng pelan. “Darimana kamu? kenapa tiba-tiba datang dan tidak memberitahuku dulu?” “Karena aku ingin memberimu kejutan.” Haven ter
Bayangkan saja, pergi ke taman bermain bukanlah tempat kencan yang Gaby inginkan. Tapi si Haven ini malah mengajaknya ke taman bermain. “Aku tidak suka ke tempat seperti ini..” lirih Gaby ketika mereka sampai. “Kenapa?” Haven mengernyit. “Penuh dengan orang-orang. Aku tidak suka. Lagipula harus mengantri dulu untuk naik wahana. Aku paling tidak suka…” Gaby menghela nafas lelah.” Haven turun dari mobil. Membuka pintu mobil untuk Gaby. Setelah itu menarik perempuan itu keluar dari mobil. Mengajaknya masuk—Haven berhasil membawa Gaby masuk meski wanita itu mengeluh. Gaby menatap sekeliling. Taman ini begitu sepi. Ia melihat ponselnya. benar kok hari ini hari weekend dan seharusnya taman itu sedang ramai-ramainya. “Kok sepi?” Haven hanya mengedikkan bahu. Gaby membuka kacamata hitamnya. “Jangan bilang kamu menyewa taman bermain ini?” tanyanya dengan mata yang melebar. Haven mengangguk. Gaby menutup mulutnya tidak percaya. “Sungguh?” Haven mengusap puncak
“Akh!” Haven melotot sambil berpegang pada tangan Gaby. Haven menghela nafas dan melihat sekeliling. Saat ini mereka berada di bianglala dan mereka berada di atas. Gaby hanya tertawa melihat Haven yang ketakutan. “Mama pernah cerita, Papa dulu juga ketakutan. Seperti kamu saat ini.” Gaby tertawa karena Haven yang semakin kencang memeluk lengannya. “Aku hanya kawatir.” Haven tersenyum kaku. Gaby mengangguk saja. Ia melihat langit yang berwaran keunguan. “Mama bilang, kencan pertama bersama Papa di Bianglala adalah momen yang terbaik. Waktu itu aku tidak percaya, tapi aku merasakannya sendiri.” Gaby menatap Haven. “Melihat sunset di atas bianglala ternyata seru juga.” Haven mengusap rambut belakang Gaby. “Kamu terlihat sangat menyayangi mereka.” “Tentu saja. apalagi mendengar perjuangan mereka sebelum aku ada.” Gaby menoleh. “Mereka melalui hari-hari yang sulit sebelum akhirnya menikah, apalagi kak Gio yang sejak kecil harus terpisah dari Papa.” Haven mengernyit. “Aku tidak te
Setelah menaiki wahana, Gaby ingin berhenti dulu di sebuah kafe yang berada di dalam taman bermain. Membeli satu es krim dan satu cake yang cantik. “Waah…” Gaby begitu senang ketika pesananannya datang. Namun setelah melihat pesanan Haven ia mendesah kasar. “Kopi lagi kopi lagi..” keluhnya. Haven yang suka meminum kopi pahit tanpa gula. “Aku mengurangi makanan manis,” balas Haven. Gaby memakan es krimnya. “Cobalah, sedikit saja.” menyuapi Haven. Haven jelas menolaknya. Pria itu menggeleng dan menjauh. Gaby berdecak. “Enak loh…” sebal sekali menatap Haven yang menolaknya. Haven menunduk. “Kamu sungguh aku ingin makan?” Gaby mengangguk. “Cobalah.” Menyodorkan cake dan es krimnya. “Waktu kecil aku tidak boleh makan banyak-banyak karena gigiku yang bolong. Tapi sekarang aku tidak peduli,” ucap Gaby. Haven tertawa pelan. “Makan dulu. Aku akan memakannya nanti.” Gaby menyipitkan maka curiga. Curiga kalau Haven mengingkari janji. Baiklah kalau tidak mau makan. Ia akan menghab
Uang memang bisa membeli apapun. Dengan uang, Haven menyuruh karyawan yang berada di kafe pergi. Namun Haven sengaja tidak akan memberitahu Gaby. Ia tersenyum miring melihat wajah Gaby yang cemas. “Haven.. lakukan di tempat lain.” Gaby tidak bisa mencegah tangan Haven yang masuk ke dalam dressnya. Apalagi jemari pria itu telah lancang mengusap miliknya. “Ahh!” Gaby mendongak. Sial! Ia sendiri lupa diri jika seperti ini. Apalagi bibir pria itu menghisap buah dadanya dengan rakus. Sedangkan tangan pria itu memasuki miliknya yang sudah basah. Gaby hanya mengusap kepala Haven. Sedangkan bibirnya ini tidak bisa berhenti mendesah. “Haven ahh!” Gaby menggeleng ketika pria itu dengan mudah merobek dress mininya. “Jangan dirobek..” “Aku belikan yang lebih mahal dan lebih bagus,” bisik Haven tepat di samping leher Gaby. “Aku takut ada yang mendengar kita..” Gaby menekan kepala Haven. “Ah..Haven..” lirihnya. Lidah pria itu membelai puncak dadanya dengan
Gaby pasrah—justru menikmatinya meski merasa sedikit sakit dengan permainan kasar mereka. Haven meremas dengan kasar buah dada Gaby yang menggantung indah. “Haven..” Gaby menoleh ke belakang. “Belum saatnya babe..” Haven melepaskan miliknya. Ia memutar tubuh Gaby hingga mereka berhadapan. Mengangkat salah satu kaki Gaby dan memasukkan juniornya kembali ke dalam lubang milik Gaby. “Ahh!” Gaby mencengkram erat bahu Haven. “Bagaimana jika aahh!” tubuhnya terbentur beberapa kali dengan keras. “Akh! Sakit!” Haven tidak memedulikan teriakan Gaby. “Haven pela-pelan aahh!” kakinya terasa seperti jeli. Ia bahkan tidak bisa berdiri jika pinggangnya tidak dipegang oleh Haven. “Aku tidak bisa!” Haven mengusap dada Gaby kembali. Ia masih menggerakkan juniornya masuk dan keluar. “Haven aku ahh…” Tubuh Gaby bergetar seiring dengan kecepatan Haven yang semakin bertambah. Haven mempercepat gerakannya dan membiarkan Gaby menjemput kenikmatan. Tubuh Gaby bergetar. Dengan nafas
Kemarin Haven mengantarnya pulang. sebelum itu, pria itu memberinya sebuah buket yang begitu besar. Buket itu terbuat dari uang dollar. Gaby tidak tahu persis berapa jumlah uang yang ada di buket itu. Bukan hanya buket. Pagi-pagi sekali ada paket yang tiba-tiba datang. Saat ia membukanya, ternyata sebuah tas dari brand mewah yang jumlahnya terbatas. Sudah pasti harganya juga sangat mahal. “Apa sogokan lagi?” Gaby menghela nafas dan melempar tas itu ke kasurnya. “Sugar baby?” tanya Gaby pada dirinya yang menatap cermin. Tidak membutuhkan uang dari Haven!Gaby bahkan bisa membeli pabrik pembuatan tas itu jika mau. Bagaimana kalau Gaby ingin hubungan yang sehat antara dirinya dengan Haven. Bagaimana jika dirinya ingin hubungan ini dijalani dengan serius.Ini namanya kemakan omongan sendiri!Padahal dari awal dirinya yang ingin menjalin hubungan dengan pria dominan. Tapi setelah dijalani malah membuatnya tidak nyaman. Haven yang berkuasa dan berhak atas apapun tentang dirinya.
Brak! Ponsel itu tergeletak di lantai begitu saja. Haven mengatur nafasnya agar lebih tenang. Berurusan dengan perempuan yang jauh lebih muda membuat energinya benar-benar terkuras. Haven menarik kerah lehernya—kemudian berkacak pinggang dan duduk di pinggiran mejanya. “Pertemuan anda 30 menit lagi,” Galang mengucapkannya dengan hati-hati. Ia juga mengambil ponsel Haven. Mengusapnya perlahan dan menggenggamnya. “Kau pernah berkencan dengan perempuan yang usianya jauh di bawahmu?” tanya Haven pergi ke depan sebuah cermin. Galang menggeleng. “Tidak. Aku hanya berkencan dengan perempuan usiaku.” Haven menghela nafas lagi. “Jangan coba-coba berkencan dengan perempuan yang jauh lebih muda karena akan sangat menguras energi.” “Aku dengar juga seperti itu..” Galang mengangguk. “Kita sebagai yang lebih tua akan lebih ngemong.” Haven berbalik. “Apa kau pikir aku bisa ngemong?” Galang menggeleng dengan ragu. “Sepertinya tidak.” “Emosimu…kemarahanmu…” Galang bedecak sa