Perang dingin antara Keyna dan Louis masih sering berlangsung. Terutama saat Louis pernah mengingkari janji untuk tidak pulang pagi dari club malam. Keyna memprotes perilaku Louis sementara putra bungsu William itu terlihat tidak merasa bersalah.Pagi ini sarapan bersama pun diwarnai saling sahut-menyahut antara Keyna dan Louis. Keduanya lebih mirip kakak perempuan yang cerewet dengan adik lelaki yang jahil dan tidak senang diatur. Sementara William, Frederix dan Sacha hanya bisa geleng-geleng kepala.Keadaan lebih tenang saat Frederix dan Louis pamit untuk ke kantor. William dan Sacha akan mengantar Keyna ke rumah sakit untuk praktek. Setelah itu, mereka akan survey lokasi pabrik untuk brand kosmetik Sacha.“Telepon aku kalau mual, ya,” ucap Keyna pada suaminya.“Iya,” balas William singkat.“Kalau pusing, makan sesuatu. Makan sedikit-sedikit saja agar perutnya tidak terlalu penuh.”“Oke.”“Jangan terlalu lama menatap layar laptop. Itu juga bisa membuatmu pusing.”William mengembuska
Saat William dan Keyna telah kembali mesra dan selalu saling memperhatikan satu sama lain. Beda halnya dengan Sacha. Wanita muda cantik itu kini dilanda kesepian.Kalau boleh jujur, Sacha sebenarnya sangat kehilangan Cedric. Hubungan jarak jauh mereka terbilang tidak baik. Jarang berkomunikasi menyebabkan Sacha jadi merasa hidupnya kurang bergairah.Walaupun keluarganya sedang berkumpul ataupun pergi dengan Hanson, Sacha kerapkali mengecek notifikasi pada telepon genggamnya. Tidak pernah ada kabar baik melalui pesan singkat maupun email.“Jadi, Hanson tidak pernah menghubungimu?” tanya Hanson saat mereka sedang makan malam bersama.Sacha menggeleng lemah.Hanson memajukan tubuhnya ke arah Sacha dan berkata, “Dulu, saat aku menjalani pendidikan, aku juga tidak sempat memikirkan hal lain selain belajar.”“Masa mengirim pesan singkat saja tidak sempat?” Sacha mencebikkan bibirnya.“Bukan tidak sempat, Cha. Aku yakin, ada pertimbangan lain yang membuat Cedric jarang sekali mengabarimu.”“
“Louis pergi lagi, sayang?” tanya Keyna seraya mengerutkan keningnya.“Iya,” Willam menjawab singkat.“Pasti ia pulang pagi lagi. Kenapa kamu memberi izin?” tanya Keyna sambil memberengutkan wajah pada suaminya.“Karena besok malam Frederix dan Louis sudah akan kembali ke luar negeri. Jadi, biarkan anak muda itu menikmati kebersamaannya dengan teman-temannya di sini, Baby.”Keyna mengerti. Namun tetap saja ia kurang setuju, Louis sering berkumpul di club malam. Tempat yang menurutnya menyuguhkan banyak kesenangan sesaat.“Jangan terlalu keras pada Louis, Baby. Ingat, semakin dikerasi, anak itu akan semakin menjauh,” saran William.“Memangnya aku keras pada Louis?”William tersenyum simpul. “Sejak hamil, kamu sering marah-marah pada Louis. Kamu tidak sadar?”“Itu kan karena Louis tidak menurut.” Mulut Keyna mencebik kesal sambil tanga
"Daddy kenapa?" tanya Louis panik."Muntah-muntah terus. Kamu sudah selesai makan 'kan? Kita kembali ke rumah sakit. William juga sudah dalam perjalanan ke sana." Keyna berbicara sambil mengambil tasnya.Louis mengangguk. Dengan cepat keduanya berjalan ke tempat parkir. Lalu, meminta supir melajukan kendaran menuju rumah sakit.Dalam perjalanan, Keyna terus berbicara pada Frederix. William dikabarkan lemas dan mengeluh sakit kepala. Wanita hamil itu mengembuskan napas panjang berkali-kali untuk meredakan rasa khawatirnya."Daddy akan membaik jika sudah bertemu denganmu, Key. Kamu harus tenang," ucap Louis sambil mengusap-usap lengan Keyna untuk memberi rasa tenang.Keyna hanya bisa mengangguk. Tangannya mengelus-elus perut. Dengan tak sabar, ia menatap jalanan di depannya.Saat tiba di rumah sakit, William sudah terbaring di ruang perawatan VIP. Sebuah jarum infus terpasang di lengannya. Mata bilioner itu terpejam.
Keyna membuka amplop besar yang diberikan Hanson. Mengamati gambar berupa grafik dan foto rontgen. Setelah itu membaca tulisan yang tertera.“Hasil observasi pasca operasinya berhasil. Jantung Louis kini sudah berdetak normal.” Keyna menatap Hanson dan mengangguk puas.“Syukurlah.”“Terima kasih, Hanson.”“Kerja yang bagus.”Sacha, William dan Frederix langsung memuji Hanson. Louis hanya tersenyum senang. Keyna kembali mengusak kepala putra bungsu William tersebut yang langsung dibenahi Louis sambil memberengut.“Kenapa kamu tidak mnegucapkan terima kasih pada Hanson, Louis?” tegur William pada putranya.“Bosan, Dad. Tadi pagi setelah kontrol sudah bilang terima kasih. Hanson tau kok aku berterima kasih padanya meski tanpa kata-kata,” sahut Louis dengan santainya.“Oooh, jadi sekarang kamu percaya pada Hanson? Bukankah katamu, Hanson adalah dokter gadungan?”Louis mencebik mendengar pernyataan Sacha. Hanson menatapnya sedang pandangan tak suka.“Siapa dokter gadungan? Aku?” Hanson men
Esok paginya, Sacha berdandan modis untuk ke kampus. Celana pensil serta cardigan gombrong. Kakinya berbalut sepatu sneaker dari brand kenamaan. Rambutnya dibiarkan tergerai. Wajahnya hanya berpoles skincare dan riasan natural.“Aduuh, Cha!” jerit Keyna saat melihat Sacha datang ke ruang makan untuk sarapan bersama.“Eh, kenapa, Key?” tanya Sacha bingung.William pun tak kalah kaget dengan ekspresi Keyna. Mereka saling melirik dan menggeleng tak mengerti. Sementara Keyna menghampiri Sacha dan mengamati wanita itu dari ujung rambu hingga ujung kakinya.“Jangan cantik-cantik begini dong kalau ke kampus,” tukas Keyna.“Ya ampun, aku pikir kenapa. Memang begini salah?”“Hmm tidak sih. Tapi cantik banget. Wangi semerbak pula.” Keyna mengendus parfum Sacha.“Kamu bisa saja. Ini dandanan biasa saja kok.”Sekali lagi Keyna memperhatikan Sacha. Kepalanya mengangguk. Tetapi, kemudian menggeleng samar.“Pasti kamu akan jadi rebutan di kampus, Cha.” Keyna kembali ke kursinya di samping William.“
William mengelus punggung polos Keyna. Wanita itu masih berada di pangkuannya dan meletakkan kepala di dada William. Keyna memejamkan mata dan mendengarkan detak jantung suaminya."Apa bayi baik-baik saja?""Dia baik. Aku tidak."William spontan menjauhkan tubuh sang istri dari dadanya. Ia memperhatikan wajah Keyna dan mengecup dahinya."Kenapa? Perutnya terasa kencang seperti kram? Atau apa?""Perutnya kelaparan. Aku belum makan siang.""Ya Tuhan." William tergelak dan kembali menciumi wajah Keyna. "Bangun dulu dari pangkuanku."Namun kepala Keyna menggeleng. "Aku masih mau seperti ini."Wanita yang sedang bermanja di dada suaminya itu malah semakin mengeratkan pelukan. William membalas pelukan dan mengelus sayang kepala Keyna."Katanya lapar. Aku telepon Eddie untuk mengirimkan makanan, ya.""Tadi sebelum masuk ke ruanganmu, aku sudah memesan makanan melalui Eddie."William kemudian memgambil telepon genggamnya. Terdapat satu pesan dari Eddie. Pesan yang mengatakan makanan telah sia
"Itu dua kasus berbeda. Cedric memang brengsek saat memutuskanku, tetapi dia mendapat karma saat menikah dengan Laura yang temperamental.""Lagipula aku beruntung putus dari Cedric karena setelah itu bertemu denganmu," imbuh Keyna lagi."Tetap saja aku sulit mempercayainya," ucap William."Bagaimana jika Cedric benar-benar telah berubah?" tanya Keyna."Kamu percaya lelaki itu bisa berubah?""Seseorang yang bertemu dengan orang yang tepat akan berusaha menjadi lebih baik. Bukankah begitu?""Tidak dengan Cedric.""Kenapa kamu sangat tidak percaya bahwa Cedric bisa berubah? Atau ada hal lain yang menjadi pertimbanganmu?" selidik Keyna."Banyak hal yang memang memberatkanku untuk merestui mereka.""Berikan aku salah satu alasan terbaikmu," tantang Keyna."Sacha adalah putriku satu-satunya. Aku ingin ia mendapatkan lelaki yang terbaik.""Terbaik versi dirimu mungkin berbeda dengan versi Sacha," sungut Keyna.William memperhatikan istrinya. Dada wanita itu naik turun karena berusaha mempert