Selesai kuliah, Keyna berjalan pelan menuju pintu keluar. Ia sempat melambai pada Ferina yang sedang membantu Professor Airien. Ferina sekarang adalah asisten dosen tersebut.Keyna harus mengantri sebentar saat akan keluar. Ia sudah melihat sosok sang suami. Bibirnya tersenyum manis melihat penampakan William yang tampil bersahaja.Meski hanya mengenakan kemeja lengan panjang yang ditekuk hingga batas siku, celana bahan dan sepatu sport, William tetap terlihat mempesona. Ia sedang berbicara dengan rektor saat pintu ruang kelas terbuka. Beberapa mahasiswa-mahasiswi menunduk santun saat melewati William dan rektor."Cup." Tanpa malu, William mengecup kedua pipi Keyna."Kita pulang sekarang?" tanya William.Kepala Keyna mengangguk. William segera pamit pada rektor dan menggenggam tangam sang istri. Mereka melewati kerumunan orang-orang dengan santai.Ternyata keadaan tidak seramai saat Louis menjemput Keyna. Beberapa orang terlihat mengabadikan penampakan William dengan wanita yang dige
William berdiri menatap kedua putra-putrinya yang sedang asyik minum kopi dan cemilan. Sacha dan Louis segera berdiri. Dengan senyum di bibir masing-masing, mereka menggandeng tangan sang Daddy dan berjalan menuju ruang perawatan Frederix.“Kakak kalian sedang sakit dan kalian meninggalkannya sendirian,” cetus William.“Kami bosan di dalam kamar, Dad,” balas Louis.“Tapi kalian bisa pergi bergantian supaya tetap ada yang menemani Fred. Kasihan kakak kalian itu.”“Iya, Dad.” Akhirnya Sacha dan Louis mengangguk berbarengan.Berbeda dengan William yang dulu. Sekarang lelaki itu memang sangat perhatian pada putra-putrinya. Sementara dulu, hanya pengasuh mereka saja yang selalu mendidik dan menemani putra-putri keluarga Dalton.“Keyna di mana, Dad?” tanya Sacha.“Di kamar menemani Frederix.”Mereka masuk ke dalam ruang perawatan. Pemandangan di sana membuat William tersentak sedikit. Keyna sedang menyuapi putra sulungnya makan.“Kalian pergi lama sekali,” protes Frederix pada Louis dan Sac
“Jangan kasar begitu pada orang yang membantu kesembuhanku, Lou,” tukas Frederix.“Aku tidak suka Cedric. Kenapa Kak Fred tidak menolak saja waktu pertama kali ia datang dan memeriksa Kak Fred?” balas Louis.“Bagaimana bisa menolak sedangkan aku tidak sadarkan diri. Saat sadar pun langsung muntah di tubuh Cedric.”“Kakak memuntahi Cedric?”“Iya.”Louis tergelak senang. “Bagus! Aku suka itu.”“Apanya yang bagus. Aku malu jika mengingat hal itu. Bagaimana mungkin lelaki dewasa seperti aku tidak dapat menahan rasa mual itu.”“Mungkin mual saat melihat wajah Cedric.”Frederix menggeleng samar. Louis memang terlihat paling antipati pada Cedric. Itu terjadi sejak ia mengetahui kisah cinta yang lalu antara Keyna dan Cedric.Ketidaksukaan Louis selalu jelas terlihat saat bertemu Cedric. Rahangnya akan mengetat dan wajahnya berubah tidak ramah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya pun selalu ketus.“Memang kenapa sih kamu sangat tidak menyukai Cedric?”“Yaa … karena dia mantan Keyna.”“Memangny
"Kamu kenal? Siapa?" Hanson menatap pada wanita yang terbaring dan Cedric.Cedric menyeret Hanson keluar. Ia tidak ingin pernyataannya didengar oleh orang lain. Lelaki itu lalu membisiki Hanson."Apa? Dia? Kamu yakin?" desis Hanson."Yakin.""Kamu harus beritahu Keyna.""Aku tidak memiliki nomer teleponnya."Hanson lalu mengeluarkan telepon genggamnya. Ia menekan satu nomer. Tidak ada jawaban. Lalu, nomer lain. Tidak ada jawaban juga."Bagaimana?""William memang selalu mematikan teleponnya saat tidur. Satu-satunya nomer yang bisa kita hubungi adalah Bastian.""Ya sudah. Telepon Bastian sekarang. Minta sambungkan dengan William atau Keyna.""Masalahnya aku tidak memiliki nomer Bastian.""Mansion? Kalau kita menelepon mansion, siapa yang menjawab?""Kita coba."Hanson kembali sibuk dengan teleponnya. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Frustasi, ia mematikan teleponnya."Teleponku masuk ke sistem. Aku tidak memiliki kode darurat untuk dihubungkan dengan Bastian," keluh Hanson. Ia baru m
“Keyna?” suara lemah memanggil Keyna yang sejak tadi memegangi tangan sang mama.Keyna tersenyum dan mengangguk. Cedric mengatakan Wina, ibu kandung Keyna itu akan kesulitan berbicara saat siuman. Wanita berjas dokter itu melirik dada Wina yang terlihat sangat berusaha bernapas.“Iya, Ma. Ini, Key.”Wina memperhatikan wajah sang putri dengan pandangan mata sayu. Bibirnya tersenyum sedikit. Matanya bergerak menutup dan membuka sangat pelan.“Kamu kok cantik sekali sekarang?”“Keyna kan anak mama, ya, cantik dong.”Suara terkekeh itu terdengar aneh. Tak lama Wina malah terbatuk-batuk. Keyna tau, Mamanya sedang menahan rasa sakit yang sangat parah.“Jas putih itu sangat cocok kamu gunakan. Ternyata kamu berhasil menjadi dokter. Selamat ya, Key,” ucap Wina pelan.Keyna menggigit bibir bawahnya. Matanya sudah membendung air mata. Ia hanya tersenyum pada mengusap tangan keriput dalam genggamannya.“Mama ke mana saja selama ini?”Wina mengatur napasnya kembali dan menggeleng samar. “Mama ber
Sudah hampir satu minggu Keyna hanya mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar saat kuliah. Setelah pulang dari kampus, ia akan kembali ke kamar. William dengan sabar menemani masa berduka sang istri.Pagi ini, William ke ruang makan. Putra dan putrinya sedang sarapan bersama. Lelaki itu memperhatikan Bastian yang sedang menyiapkan sarapan untuk Keyna di kamar.“Aku kangen Keyna, Dad,” keluh Louis. “Ia jadi pendiam sekali sekarang.”“Aku juga kehilangan Keyna, Dad. Ia tidak pernah datang ke kamarku lagi.” Sacha ikut-ikutan mengeluh.Mungkin hanya Frederix yang lega Keyna berubah pendiam. Tiga hari yang lalu ia baru pulang dari rumah sakit. Ia tidak ingin Keyna memintanya meminum bermacam ramuan jus yang dipercaya untuk kesehatan atau mencecarnya dengan segala macam nasehat agar tidak bekerja keras.“Kalian yang sabar. Biarkan Keyna melewati dukanya dulu,” balas William.“Memang apa sih yang Keyna lakukan seharian di kamar?”William menanggapi pertanyaan putra bungsunya dengan senyum. I
“Kamu yatim piatu?” tanya Keyna.“Sejak kecil aku tinggal di panti asuhan. Entahlah di mana orang tuaku. Aku menganggap mereka tidak ada, otomatis aku yatim piatu, bukan?”“Kamu tidak pernah mencari?”“Pernah. Tapi sulit, jadi aku pasrah saja.”“Kamu masih mau berusaha mencari?”“Aku tidak tau harus mulai dari mana.”“Kalau kamu mau, aku bisa minta tolong detektif untuk mencarinya,” tawar Keyna.Ferina menggeleng keras. “Tidak, jangan! Aku tidak mau merepotkanmu,” tolak Ferina.Keyna lalu menjelaskan bahwa biasanya keluarga Dalton memiliki tim yang bisa mencari seseorang. Wanita itu tetap ingin Ferina mencari keberadaan orang tuanya. Hidup atau mati.“Tapi, biayanya pasti mahal sekali.” Sekali lagi Ferina menolak.“Tenang saja. Mereka mendapatkan gaji tiap bulan. Sekalian memberi kerjaan kan?” sanggah Keyna. Padahal ia tidak tau bagaimana sistem pembayaran para detektif yang seringkali disewa suaminya.“Entahlah, Key.”Mereka tidak melanjutkan perbincangan. Jam istirahat telah usai. K
Louis sedang berbicara dengan William di ruang kerja. Pemuda itu menjelaskan tentang rencananya pada penyerahan piala besok pagi. William mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kamu yakin, Lou?” “Iya, Dad. Aku yakin.” “Balap mobil ini memang hobimu sejak kecil, bukan?” “Dan aku sudah mendapatkan impian itu, Dad.” “Lalu, kamu akan melepaskannya? Karirmu masih cukup panjang di sirkuit.” “Tapi, aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan di dunia balap ini. Cukup bagiku. Biarkan penerus-penerusku yang mengambil alih.” “Apa keputusanmu ini ada hubungannya dengan yang terjadi pada Daddy saat kamu bertanding kemarin?” tebak William. Louis terdiam. Sejujurnya dugaan sang Daddy memang benar. Ia tidak mau membuat Daddynya jantungan lagi melihat aksinya di sirkuit. Diamnya Louis, membuat William tau jawaban sang putra. Walaupun Louis tidak menjawabnya dengan kata-kata. Biloner itu mendekati putra bungsunya. “Daddy sangat terharu kamu memutuskan berhenti menjadi pembalap karena Daddy. Hany
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s
“William,” panggil Keyna.Cepat, William menoleh. Tersenyum manis pada Keyna dan merengkuh bahunya.“Ya, Baby? Sudah selesai melihat-lihat kelas Princess-nya?”“Sudah. Princess sudah mau masuk sekolah,” ucap Keyna.Seorang wanita tersenyum dan menyapa Keyna. “Oh, ini Mommynya Princess, ya?”“Akh, ya. Kenalkan, ladies. Ini istriku, Keyna.” William kemudian menatap istrinya. “Baby, kenalkan ini ibu-ibu komite yang luar biasa kontribusinya pada sekolah.”Sambil memaksakan senyum, Keyna menyalami para ibu yang sejak tadi mengerubungi sang suami. Lalu ia memberi kode pada suaminya untuk pergi dan mengantar Princess kembali ke kelas.“Kami permisi dulu ke kelas Princess,” ucap Keyna dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal hatinya sangat kesal.“Oke. Setelah mengantar Princess, ke sini lagi, ya. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Jarang-jarang kan Mommy Keyna muncul di sekolah.”Ucapan salah satu wanita itu seolah menyindir Keyna. Dengan menggenggam tangan William, Keyna menatap satu per-sa
Setengah jam William berbincang dengan Chantal. Lelaki itu menutup teleponnya sambil tersenyum dan menggeleng samar. Ia kembali ke kamar, naik ke ranjang dan tidur.Pagi harinya, Keyna bangun lebih dulu. Ia mencium suaminya dan bergegas ke kamar Princess. Putri cantik itu sudah bangun, namun masih mengobrol di ranjang bersama Ferina.“Selamat pagi,” sapa Keyna.“Mommyy …. “Princess merentangkan tangannya meminta Keyna memeluknya.Ferina tersenyum menatap keduanya. “Aku ke kamar tamu dulu, ya. Mau mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.”“Oke, Auntie Ferina.”Ferina mencium pipi Princess sebelum keluar. Keyna menggenggam sekilas tangan sahabatnya. Pintu menutup dan langkah Ferina yang menjauh tak terdengar lagi.“Apa Princess Mommy tidur nyenyak hari ini?”“Iya. Tapi Princess bangun sebentar karena Auntie menangis.”“Auntie Ferina menangis?”“Iya, karena aku pakai selimut dari Uncle Hanson.”Keyna mengamati sekitar ranjang. Selimut dari Hanson tidak ada di sana. Ia lalu kembali menatap
“Bagaimana Ferina hari ini, Baby?” tanya William pada istrinya.Mereka sedang berbaring di ranjang. Berbincang tentang aktifitas padat yang William dan Keyna lakukan hari ini. Keyna meletakkan kepalanya pada dada William.“Matanya tidak bisa berbohong. Aku tau, ia masih sangat berduka. Walaupun ia bisa tersenyum pada semua orang yang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa,” jawab Keyna.“Aku lihat Ferina sangat berusaha untuk tegar. Ia melakukannya demi janin di rahimnya.”“Betul. Ferina bilang padaku, yang menguatkannya saat ini adalah adanya benih Hanson pada tubuhnya.”William mengembuskan napas berat. Tangannya mengelus rambut panjang sang istri. Sesekali ia mengecup rambut halus itu.“Apa Ferina sekarang masih tidur di kamar Princess?”“Masih.”“Apa putri kita terganggu?”Kepala Keyna mendongak menatap sang suami. “Kenapa terganggu?”“Siapa tau, Princess terbangun karena mendengar isak tangis Ferina di malam hari.”“Princess tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku asumsikan