"Akulah pasangan yang pantas!" Maharini, puteri mahkota dari kerajaan Utara, berdiri dengan anggun di hadapan Dewi Anjani. Ia dikawal lima pendekar berwajah rupawan dan satu pendekar bertubuh bongsor dengan wajah sedikit merusak pemandangan. "Awalnya aku kira bidadari turun dari kahyangan," sindir Gentong Ketawa. "Pas lihat yang terakhir tenyata kalian adalah anggota kerajaan dari Utara." "Kau betul Gentong Ketawa, aku adalah puteri dari Ratu Ipritala," kata perempuan yang paling cantik dan paling mewah pakaiannya. "Aku datang bukan untuk melihat perutmu yang buncit, aku datang untuk mengambil calon pangeran kerajaan Utara." "Sejak kapan Cakra masuk dalam silsilah kerajaanmu?" sambar Dewi Anjani. "Aku heran begitu banyak puteri mahkota yang ingin menjadi pelakor." Maharini tersenyum sinis. "Jika Cakra calon suamimu, mengapa ia kabur dari penjemputan? Artinya ia tidak mau jadi pangeranmu, karena ia tahu siapa puteri paling cantik di daratan ini." Dewi Anjani memandang Cakra denga
"Empuk banget." Cakra duduk di kursi beludru berenda emas di dalam kereta. Tirai penutup jendela terbuat dari anyaman benang emas. Dinding kereta berlapis emas. Ada beberapa aksesori bertahtakan berlian. Sebuah kereta sangat mewah dan barangkali hanya dimiliki kerajaan. Prajurit yang terluka duduk di atas kuda menyaksikan Brajaseta dan anak buahnya mengepung lima pendekar cantik dari kerajaan Utara. Mereka mengandalkan selendang untuk menghadapi senjata pasukan pengawal kerajaan. "Selendang mereka sangat berbahaya," keluh Brajaseta. "Prajuritku sulit menandinginya." Berulang kali mereka terpelanting kena hantam selendang. Tiga prajurit terduduk kesakitan tanpa sanggup untuk bangkit. Kekalahan tinggal menunggu waktu. Gentong Ketawa sibuk meladeni Ratu Cermin. Ia kesal melihat Nirmala hanya diam menyaksikan, padahal tahu ia cukup kerepotan. Jika bukan dirinya, mungkin sudah mati konyol sejak tadi. Pukulan Ratu Cermin sungguh mematikan! Gentong Ketawa berseru dengan jengkel, "Kau s
"Roh juru kawih ternyata jail juga," kata Nirmala sambil memperhatikan kereta yang melaju dengan cepat. "Aku jadi ngeri." Gentong Ketawa terkejut mendengar tuduhan tak berdasar itu. Roh Hutan Gerimis tidak pernah merasuki jiwa makhluk lain. Mereka hanya bersenang-senang meramaikan malam. "Jadi menurutmu roh sinden tengah malam itu yang merasuki mereka?" pandang Gentong Ketawa muak. "Aku curiga roh kakakmu yang penari striptis itu pelakunya. Jadi kau takut sama roh kakak kandung sendiri?" "Jangan sembarangan ngomong!" sergah Nirmala. "Menurut keterangan lembaran suci kerajaan, roh penari striptis di kerangkeng di kawah siksa!" "Jadi roh sinden lolos dari kerangkeng? Bagaimana ia membuka pintu kerangkeng padahal pintu pertobatan terkunci?" "Ia bukan penari striptis!" "Lalu bagaimana ia bisa menari erotis saat merasuki mereka? Apakah di kawah siksa ada kursus?" Gentong Ketawa sebal dengan pikiran Nirmala yang mengada-ada. Roh menerima apa yang diperbuat semasa hidup. Jika hidupn
"Bercanda." Dewi Anjani tersenyum, udara semakin sejuk karenanya. "Aku tidak mau berendam di sungai suci dan menyucikan." "Jadi hukumannya cuma berendam di sungai?" ujar Cakra. "Aku kira terlalu remeh jika disebut cuma. Sungai suci sangat dingin dan bisa membuat kita mati beku. Hanya jejaka dan perawan yang bisa selamat." "Kenapa begitu?" "Untuk mereka ada pengampunan, begitu menurut lembaran suci. Ada adipati selingkuh dengan wakilnya. Mereka terperangkap di sungai suci sampai mati, padahal mereka berilmu tinggi." "Jadi kita ada pengampunan?" Dewi Anjani balik bertanya, "Kanda ingin bercinta sebelum ritual penyatuan?" Cakra tersenyum samar. "Berarti tawaranmu untuk tidur satu tenda hanya basa-basi." "Aku tidak basa-basi," sahut Dewi Anjani serius. "Sudah disiapkan dua tempat tidur di dalam tenda utama." "Oh, aku kira...." "Betapapun inginnya, kita harus menahan hasrat sebelum ritual penyatuan." Aku tidak ada keinginan denganmu, keluh Cakra dalam hati. Ia merasa tak ada g
Gerimis mulai mengguyur perkemahan. Penjaga di tenda utama bertahan untuk tidak berlindung. Prajurit piket masuk ke dalam tenda. Cakra duduk bersandar ke batang pohon. Ia tidak terkena gerimis karena daun yang rimbun. Cakra kasihan melihat prajurit penjaga terguyur hujan, ia berseru, "Berteduhlah kalian." "Siap, Tuan Muda." Prajurit segera mencari tempat berlindung, tapi tidak jauh dari tenda induk tempat puteri mahkota beristirahat. Tenda induk sebenarnya tidak perlu dijaga karena berada persis di depan Cakra, dan puteri mahkota sanggup melindungi diri sendiri. Tapi protokol kerajaan harus dilaksanakan. Gentong Ketawa datang dan duduk di dekatnya. Ia habis mengembalikan cawat Nirmala ke kereta jemur. "Boleh aku bertanya, Tuan Muda?" Cakra menoleh dengan acuh tak acuh. "Tanya apa?" "Tuan Muda dapat cawat dari mana? Kok pas betul?" "Mestinya berterima kasih kalau pas, bukan bertanya." "Terima kasih, Tuan Muda. Dipakainya enak lagi." Cakra menggunakan ilmu Cipta Saji Paripur
Bidasari memperhatikan pemuda yang duduk di dekatnya dengan tak percaya, dan bertanya untuk memastikan, "Apakah benar kau adalah Cakra Agusti Bimantara?" "Hanya puteri mahkota dari Nusa Kencana yang percaya aku adalah pangeran kedelapan," jawab Cakra. Bidasari memandang tak percaya. "Bagaimana mungkin! Kekuatan apa yang membuatmu jadi tokoh sakti mandraguna dalam tujuh bulan?" Cakra membetulkan letak topinya, pura-pura bingung. "Kekuatan apa ya?" Janji untuk pulang ke rumah adalah kekuatan yang membuat Cakra nekat minum air kehidupan sehingga ia jadi manusia abadi. Cakra pasti sulit hidup tenang di dunia manusia. Ia pasti jadi obyek penelitian para ilmuwan dari berbagai negara. Cakra hanya bisa hidup nyaman di jazirah ini. Apakah ini takdir untuk tinggal di Nusa Kencana? "Apa yang kamu lakukan pada calon suamiku?" Dewi Anjani berdiri di depan Bidasari. Matanya bersinar tajam laksana belati. Bidasari bangkit dari duduknya dan menjawab dengan tenang, "Aku hanya mampi
"Bangunkan semua prajurit!" perintah Dewi Anjani pada kepala penjaga tenda induk. "Kita segera pergi dari tempat ini!" "Kau begitu takutnya pada Pangeran Tengkorak," sindir Cakra santai. "Apa takut ketahuan lagi berduaan denganku?" Dewi Anjani menjawab dengan tegas, "Pangeran Tengkorak bukan untuk main-main, kanda. Ia raja dari kerajaan Timur yang sangat sakti. Kata kanda ada tiga pemuda mendatangi kita, berarti ia membawa pengawal utama. Kita berada dalam bahaya besar." "Ia berarti takut untuk pergi sendiri kalau bawa pengawal," kata Cakra seolah meremehkan. "Jangan-jangan takut ketemu roh Hutan Gerimis." Dewi Anjani berusaha menahan sabar. "Kanda, sekarang bukan waktu yang tepat untuk bergurau." Prajurit sudah berkumpul, Brajaseta datang menghadap. "Pasukan sudah siap berangkat, Tuan Puteri," lapornya. "Kalau boleh patik tahu, ada apa gerangan sehingga kita pergi dengan terburu-buru?" "Pangeran Tengkorak dan dua pengawalnya sedang menuju ke mari." Wajah Brajaseta pucat seketi
Pangeran Tengkorak mengeluarkan tiga buah pin dari balik jubah dan dilemparkan secara tiba-tiba disertai tenaga dalam penuh. Pin melesat di udara tanpa tertangkap oleh mata biasa saking cepatnya. Pin itu bergambar tengkorak dan merupakan senjata rahasia beracun, belum ada pendekar yang mampu menghindar dan berakhir dengan kematian. "Kau sangat merendahkan diriku," kata Cakra. "Jangan mimpi bisa menghabisi murid Ksatria Bayangan dalam sekali gebrak." Cakra dapat melihat gerakan tiga buah pin yang melesat di udara, tapi ia tidak berusaha mengelak, ia tangkap dengan mulut dan jepitan jari kedua tangannya. Gerakan kilat yang sungguh luar biasa dan mengundang kagum pasukan kerajaan Nusa Kencana dan pengawal Pangeran Tengkorak. Air kehidupan yang mengalir dalam darah Cakra menetralkan racun dari pin yang digigitnya sehingga mengeluarkan asap tipis. Cakra membuang ketiga pin ke tanah, dan berkata, "Aku heran kenapa pasukan kerajaan gentar pada durjana yang membawa mainan perempuan."