Menikah dengan Evan?
Aku tersenyum mendengar lelucon yang dikatakan Oma. Bukan apa-apa, itu sangat mengada-ada dan membuatku geli sendiri. Membayangkan Evan yang pada masa kecilnya ikut aku asuh, malah menjadi pasanganku? Ah, meskipun sekadar membayangkan, sudah aneh sekali. Meskipun pada kenyataannya banyak pasangan di mana pihak perempuan beberapa tahun lebih dewasa daripada si lelaki tapi mengingat ini aku dan Evan ..., dia terlalu dini. Apa kata orang nantinya? Evan masih muda, tampan dan punya karier cemerlang. Pacarnya pun cantik sekali. Sementara aku? Memangnya siapa aku? Jarak tiga tahun di usia kami bahkan terasa terlalu jauh. Mungkin bisa-bisa aku disebut sebagai kakak atau malah adik Bu Nilam.Kulambaikan tangan begitu mendapati taksi melintas di kejauhan. Mobil berwarna biru itu menepi, berhenti dan memberiku kesempatan untuk masuk. “Panti asuhan Cahaya Bunda, Pak.”“Baik, Bu.”“Lewat jalan utama saja ya, Pak.”“Iya, Bu.”Hari semakin larut tapi kesibukan di Ibu Kota belum juga surut. Malah mungkin semakin ramai. Tidak kusangka mendadak kepalaku berdenyut, mendadakan bahwa rasa kantuk tak tertahankan. Maklum saja, tadi pagi aku bangun setengah tiga dan sekarang sudah nyaris pukul dua dini hari. Itu artinya, dua puluh tiga jam sudah kuterjaga. Kalau Akbar sampai tahu sudah pasti dia akan mengomeliku dengan pernyataan-pernyataan mengenai bahaya terjaga sepanjang malam atau semacamnya. Meskipun sebetulnya apa yang dia bilang ada benarnya. Kondisi perutku tidak baik-baik saja, lambungku bisa kumat. Dan sebaiknya, di tengah kondisi seperti ini ada baiknya kujaga kesehatan sebab kalau sampai aku ambruk, nasib anak-anak bisa berantakan mengingat para pengurus panti baru akan kembali beberapa minggu lagi.Omong-omong Akbar, dia pasti sedang sibuk dengan pasiennya. Mengomel dan membicarakan betapa menyedihkannya orang-orang muda zaman sekarang, mereka terlalu banyak makan bubuk cabai sampai perutnya hancur. Salah satunya, aku juga sih. Lalu, kupandangi layar ponsel di tangan, berniat menghubunginya tapi langsung kuurungkan. Takut mengganggu. Itulah mengapa kini kugeser layar ponselku ke sosial media, tempat di mana warganet membicarakan hal-hal terkini, termasuk konser Evan di salah satu stasiun televisi yang mereka nilai dengan sangat baik.Banyak sekali orang memuja Evan, terlebih para perempuan muda. Terbukti dari banyaknya postingan tentang dirinya, atau malah beberapa kali saat kuberkunjung ke rumahnya tak jarang ada paket hadiah datang ditujukan kepada pria muda tersebut. Dengan pencapaian sebesar ini, lalu kenapa Oma justru membenci pilihan hidup Evan? Tak bisa kubayangkan kalau misalnya kami menikah, barangkali para gadis belia ini akan terkena serangan jantung. Evan pacaran dengan Aira saja banyak yang tak terima, apalagi kalau denganku?Sekali lagi, aku tersenyum sendiri. Barangkali Pak Sopir akan menganggapku kurang waras tapi perjalananku sudah tinggal sedikit lagi. Mobil berhenti di halaman, setelah mengucapkan terima kasih dan membayar sesuai kargo segera aku masuk ke ruang utama. Lampu-lampu telah dimatikan, menandakan bahwa bocah-bocah itu sudah terlelap sesuai perjanjian. Sebelum tidur, aku berencana membereskan badan, mandi serta berganti pakaian. Akan tetapi, belum juga aku naik ke tangga asrama karyawan kulihat gadis muda terduduk di ujung tangga.“Liana?"Gadis itu menoleh, agak kaget saat melihatku tapi segera menghambur. “Kak Diana? Bagaimana kondisi Oma? Apakah beliau akan meninggal?”“Heh?” Keningku mengerut mendengarnya. “Apa yang kamu bicarakan, Sayang?” Kueratkan pelukan pada tubuh mungilnya. “Oma akan baik-baik saja. Beliau sudah baik-baik saja. Kamu tenang ya.”Tangan Liana terlepas dari badanku. Mata bulatnya menatapku dalam. “Kak Diana nggak bohong kan?”“Buat apa sih Kakak bohong?” Meskipun lelah, tetapi aku harus terlihat baik-baik saja. Setidaknya di hadapan anak-anak ini. “Sekarang lebih baik kamu tidur dulu, besok pagi baru kita bicarakan lagi. Bagaimana?”“Aku khawatir, Kak.”“Kakak paham, Sayang!”“Tapi ....”“Liana, kakak tahu perasaan kamu.”Selama beberapa saat mata kami saling menatap tajam, tapi kemudian dia menghela napas panjang. Jelas kalau dia kecewa padaku dan itu pasti. Namun, bagaimana lagi? Kami sudah berusaha memulihkan kondisi Liana sejak ibunya bunuh diri beberapa tahun lalu, seorang ibu yang mengantarkan anaknya sendiri ke panti asuhan, lantas menengok saat dia hampir lulus sekolah menegah pertama“Sayang,” kataku lembut. “Kakak mohon kamu tidurlah dahulu. Istirahat. Nanti kamu malah ikut sakit lho. Pikirkan kesehatanmu.”Liana menggigit bibir bagian atasnya seperti biasa, menandakan bahwa dia berduka. Namun, akhirnya dia menurut dan turun ke asrama anak-anak. Langkahnya agak ragu-ragu tapi kemudian berbalik lagi. Tatapannya melelehkan hatiku.“Tidur, Liana!” pintaku. “Kakak ke atas dulu, kalau butuh apa-apa panggil saja. Paham?”????????????????????Aku bangun sedikit kesiangan hari ini, mengingat mata baru bisa terpejam pada pukul setengah tiga dini hari. Akibatnya kami cukup kelabakan untuk berberes dan mempersiapkan sarapan. Untung saja, anak-anak lelaki langsung sigap membersihkan taman depan, menyapu dedaunan kering dari pohon mangga besar nun rimbun itu penuh ketelatenan. Sementara para anak perempuan membantuku mengupas bahan makanan. Tugasku sendiri seperti biasanya memandikan para bayi sebelum akhirnya mengolah bahan-bahan yang sudah dipersiapkan menjadi sajian lezat untuk membuka pagi.Biasanya, Oma lah yang memasak tapi sekarang aku harus mengerjakannya sendirian. Tidak sabar rasanya menunggu liburan selesai supaya para pengurus lainnya segera kembali. Bukan hanya karena aku sendiri kelabakan hanya saja lebih kasihan anak-anak yang harus mengurus satu sama lain. Ini bukan tugas mereka, seharusnya. Maksudku untuk anak-anak yang masih kecil. Kalau yang besar, semua akan berguna saat mereka bertambah dewasa. Kemapuan domestik seperti perkataan Oma, merupakan kebutuhan setiap manusia.“Pakai baju dulu, Nak!” teriakku pada Joni dan Juna, sepasang bocah kembar usia lima tahun yang ditinggal meninggal oleh ibunya saat melahirkan. Oma mengambilnya di rumah lama keluarga setelah lima hari bertahan dengan jenazah ibunya. Akan tetapi, bukan dia fokus utamanya. “Juna, awas kalau lari-larian jatuh ya!”“AAAA!!!”“JANGAN KEJAR AKU!”“AAA!!!”Bukannya berhenti, namanya bocah, justru berlarian semakin seru. Kehidupan mereka seolah tanpa beban. Persis beginilah dahulu Evan kecil, dia selalu berlarian sepanjang lorong bersama pengasuh setia sekaligus asisten Bu Nilam sendiri, Mbak Idah. Anehnya, kenapa aku malah membahas Evan? Tampaknya pikiran semalam nyaris mengangguku. Terlalu lucu.“Apa, Sayang?” kataku pada bayi mungil yang kini menatapku dari atas kain gantinya. Kesya, bocah ini usianya masih dua minggu. Dia manis sekali. “Tunggu sebentar ya, Bu Diana pakaikan baju dulu, Sayang. Anak pintar.”Seolah paham dengan apa yang kukatakan, Kesya tersenyum lebar. Oh, manis sekali. Pipinya besar sekali, seperti bakpau.BRAK!Suara benturan keras dari belakang spontan membuatku menoleh. Benar saja, Joni tersungkur di atas lantai dengan mulut berdarah. Astaga! Tanpa berpikir panjang aku menggendog Kesya, memeluknya dengan tangan kanan dan segera menghampiri Joni untuk kemudian kugendong menggunakan tanganku yang lain. “Kan, apa Bu Diana bilang!” kataku. “Sudah! Tidak apa! Kita obati dulu ya.”Bukannya mereda, kini Juna yang mengekor di belakangku ikut menangis dan membuat Kesya juga turut menangis. Astaga! Suasana sangat buruk sekarang.“Liana! Lia! Bisa ke sini sebentar, Sayang?”Teriakanku mendapatkan respon cepat. “Kenapa?”“Tolong gendong Kesya dulu!”“Mana!” Liana dengan sigap meraih tubuh gemuk Kesya dan memberiku kesempatan mengambil betadine untuk mengobati lupa Joni. “Itu kenapa?”“Tersungkur, terkena pinggiran meja.”“Ya ampun, Joni.” Liana tertawa kecil. “Terus kalau Juna kenapa ikut nangis? Ini lagi bayi, kenapa malah nangis juga?”“Kaget, Sayang!” jawabku. “Oh iya, yang mengupas bahan makanan sudah siap?”Liana mengangguk sebelum mencium pipi bulat Kesya. “Oh iya, Kak, hampir saja aku lupa.”“Lupa apa?”“Di luar ada Mbak Idha.”“Mbak Idha? Pagi-pagi begini?”“Ya.”“Ada apa ya?”“Katanya, Mbak diminta langsung menemuinya sendiri. Katanya, penting.”????????????????????Ada apa lagi ini? Tumben-tumbuennya Mbak Idha mencariku sepagi ini, sekelibat pikiran menghantui kepalaku mengenai kondisi Oma Rose. Mungkinkah telah terjadi hal buruk pada Oma? Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Langkahku besar, terburu-buru menuju ruang depan tempat anak-anak yang lebih besar berkumpul dan mengolah bahan-bahan masakan. Bersamaan dengan itu, tercium aroma perkedel kentang yang sangat wangi. Tampaknya, mereka sudah cukup dewasa untuk membantuku mengurus panti.“Kak Di, kita masak perkedel ya?” Yulia dari sudut lorong seolah mengadu, memperlihatkan ember besar berisi adonan kentang. “Nggak apa-apa kan?”Aku mengangguk sekenanya. “Apinya jangan terlalu panas, Sayang.”“Siap!”“Oh iya, Bu Idha katanya ke sini?”“Di luar, Kak!” jawab Tania. “Lagi main sama Bagus. Dia rewel banget sejak semalam.”“Terima kasih ya!” ucapku sembari bergegas meninggalkan ruangan. Benar saja, dari seberang jendela kulihat wanita paruh baya itu tengah menggendong Bagus, mengajaknya bermain ayunan. “Mbak Idha? Mbak cari saya?”Perempuan berkulit cokelat itu menoleh. “Ya ampun Diana!”“Ada apa, Mbak?” tanyaku cemas. “Oh iya, sini Bagus biar aku gendong! Dia rewel ya?”“Sudah! Biar sama aku saja!” cegah Mbak Idha cepat. “Ini ada yang lebih gawat, Diana.”“Oma kenapa?”“Bukan tentang Bu Rose!” kata Mbak Idha dengan air muka cemas. “Lebih daripada Bu Rose. Di rumah tadi pagi ada geger besar, asal kamu tahu.”“Geger? Besar?” Keningku mengerut, tentu saja. Kebingungan. Apa yang sebenarnya dia bicarakan? “Memangnya ada apa, Mbak?”“Susah kalau aku yang ceritakan, lebih baik kamu sekarang ke sana. Itu sudah ditunggu sama Bu Nilam dan Mas Evan.”“Bu Nilam dan Mas Evan?”Mbak Idha lagi-lagi mengangguk. “Iya.”“Memangnya ada apa sih, Mbak? Sebenarnya ada masalah apa? Kok aku sampai dipanggil segala? Hah? Apa ada masalahnya dengan panti asuhan?”“Aku ini juga nggak tahu, Diana!” Mbak Idha yang kesal menekan kata-katanya. “Lebih baik kamu ke sana sendiri. Jangan ngeyel!”“Terus, anak-anak?”“Biar aku yang urus!” jawabnya. “Tapi ingat, perginya jangan pakai daster begitu. Nanti ada Pak Bram juga lho.”“Hah? Pak Bram pengacara?”“Memangnya siapa lagi?”“Kenapa ada pengacara segala, Mbak?” tanyaku panik.Mbak Idha menarik napas panjang dan dalam, kemudian menghelanya perlahan lewat mulut. “Kan aku sudah bilang kalau tak tahu apa-apa. Daripada banyak bicara, lebih baik kamu sekarang mandi, ganti baju dan berangkat ke sana sendiri buat tanya langsung. Kasihan itu Pak Sumari sudah menunggu di mobil.”Oma. Oma. Dan Oma.Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bis
Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma
Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani
Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa
Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija
Hanya sementara.Hanya sampai Oma sembuh.Tidak lebih.Tidak kurang.Semua hanya demi Oma.Diana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Kini dia telah bersiap dengan gaun pernikahan berwarna putih dengan ornamen bunga-bunga di sepanjang garis dada, sementara rambut bergelombangnya dihiasi pita berwarna merah yang kontras. Membuat penampilannya sangat memesona, tampak seperti pengantin pada umumnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebimbangan besar.Meskipun dia mencintai Evan, tetapi Diana sama sekali tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi lelaki itu dengan cara seperti ini. Sebab, sama seperti kebanyakan perempuan, dia juga ingin dinikahi atas alasan cinta dan bukan semata-mata dianggap sebagai formalitas belaka.“Diana?”Suara Inggit, calon mertuanya membuat Diana menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup di belakangnya. “Masuk, Ma!”“Bagaimana? Kamu sudah siap?” tanya Inggit sambil membuka pintu. “Penghulunya sudah datang. Para tamu juga sudah berkumpul.”Diana m
“Bagaimana? Kamu siap?” Diana tidak langsung menjawab, tangannya meremas ujung gaun pengantin yang dia kenakan sambil sesekali menggigit bibir bagian bawahnya sendiri kuat-kuat. Sebab, dia sama sekali tidak menyangka kalau hari ini akhirnya datang juga. Hari pernikahan yang sama sekali tidak dia sangka akan datang dalam hidupnya. Hari yang seharusnya menggembirakan tapi justru menjadi saat paling tidak membuatnya nyaman. Sepanjang dia hidup hampir dua puluh delapan tahun, belum pernah Diana merasa segugup ini. Berulang kali dia menarik dan embuskan napas, bahkan saat perias memoles wajahnya menggunakan riasan, Diana tak berhenti gemetaran. “Tidak apa-apa, semua pengantin selalu gugup di saat menjelang akad. Tapi nanti, kalau sudah sah menjadi suami dan istri pasti rasanya langsung plong.” Perias menepuk-nepuk pahu Diana. Perempuan cantik dengan gaun putih itu hanya tersenyum, menatap sosok di depan cermin yang hampir tidak dia kenali sama sekali. Riasan pernikahan ini membuat Diana
Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah. Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja. Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu. Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan
Hanya sementara.Hanya sampai Oma sembuh.Tidak lebih.Tidak kurang.Semua hanya demi Oma.Diana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Kini dia telah bersiap dengan gaun pernikahan berwarna putih dengan ornamen bunga-bunga di sepanjang garis dada, sementara rambut bergelombangnya dihiasi pita berwarna merah yang kontras. Membuat penampilannya sangat memesona, tampak seperti pengantin pada umumnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebimbangan besar.Meskipun dia mencintai Evan, tetapi Diana sama sekali tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi lelaki itu dengan cara seperti ini. Sebab, sama seperti kebanyakan perempuan, dia juga ingin dinikahi atas alasan cinta dan bukan semata-mata dianggap sebagai formalitas belaka.“Diana?”Suara Inggit, calon mertuanya membuat Diana menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup di belakangnya. “Masuk, Ma!”“Bagaimana? Kamu sudah siap?” tanya Inggit sambil membuka pintu. “Penghulunya sudah datang. Para tamu juga sudah berkumpul.”Diana m
Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija
Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa
Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani
Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma
Oma. Oma. Dan Oma.Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bis
Menikah dengan Evan?Aku tersenyum mendengar lelucon yang dikatakan Oma. Bukan apa-apa, itu sangat mengada-ada dan membuatku geli sendiri. Membayangkan Evan yang pada masa kecilnya ikut aku asuh, malah menjadi pasanganku? Ah, meskipun sekadar membayangkan, sudah aneh sekali. Meskipun pada kenyataannya banyak pasangan di mana pihak perempuan beberapa tahun lebih dewasa daripada si lelaki tapi mengingat ini aku dan Evan ..., dia terlalu dini. Apa kata orang nantinya? Evan masih muda, tampan dan punya karier cemerlang. Pacarnya pun cantik sekali. Sementara aku? Memangnya siapa aku? Jarak tiga tahun di usia kami bahkan terasa terlalu jauh. Mungkin bisa-bisa aku disebut sebagai kakak atau malah adik Bu Nilam.Kulambaikan tangan begitu mendapati taksi melintas di kejauhan. Mobil berwarna biru itu menepi, berhenti dan memberiku kesempatan untuk masuk. “Panti asuhan Cahaya Bunda, Pak.”“Baik, Bu.”“Lewat jalan utama saja ya, Pak.”“Iya, Bu.”Hari semakin larut tapi kesibukan di Ibu Kota belum
Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin. “Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo ng
Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah. Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja. Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu. Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan