“Bagaimana? Kamu siap?”
Diana tidak langsung menjawab, tangannya meremas ujung gaun pengantin yang dia kenakan sambil sesekali menggigit bibir bagian bawahnya sendiri kuat-kuat. Sebab, dia sama sekali tidak menyangka kalau hari ini akhirnya datang juga. Hari pernikahan yang sama sekali tidak dia sangka akan datang dalam hidupnya. Hari yang seharusnya menggembirakan tapi justru menjadi saat paling tidak membuatnya nyaman. Sepanjang dia hidup hampir dua puluh delapan tahun, belum pernah Diana merasa segugup ini.
Berulang kali dia menarik dan embuskan napas, bahkan saat perias memoles wajahnya menggunakan riasan, Diana tak berhenti gemetaran.
“Tidak apa-apa, semua pengantin selalu gugup di saat menjelang akad. Tapi nanti, kalau sudah sah menjadi suami dan istri pasti rasanya langsung plong.” Perias menepuk-nepuk pahu Diana.
Perempuan cantik dengan gaun putih itu hanya tersenyum, menatap sosok di depan cermin yang hampir tidak dia kenali sama sekali. Riasan pernikahan ini membuat Diana sangat berbeda. Padahal biasanya Diana hanya akan menggunakan pelembab dan tabir surya saja. Tidak ada lisptik merah tebal dan pipi kemerahan. Meskipun jujur saja ini bagus. Riasan ini dipesan langsung oleh Utari, calon mertuanya.
“Bagaimana? Sudah bisa keluar?” tanya Utari sambil berjalan mendekati Diana.
Perias mengangguk, lalu membantu Diana berdiri. Gaun pengantin yang indah ini agaknya sedikit menyulitkan pengantin. Sebab, ekor gaun lumayan panjang. “Pelan-pelan, Mbak Diana.”
Utari sangat kagum saat melihat tampilan calon menantunya, sampai-sampai dia menyeka air mata yang jatuh di pipinya. Bahagia.
“Cantik sekali kamu, Diana. Makasih ya Kak Selline sudah mau mendandani putri kami. Ini benar-benar sesuai ekspektasi saya.”
Selline mengangguk. “Sama-sama. Saya ikut senang kalau memang ini yang Bu Utari dan keluarga inginkan. Hanya saja yang lebih penting di sini adalah pendapat pengantin. Saya harap Mbak Diana bahagia dengan penampilannya di hari bahagia ini.”
“Bagaimana, Di? Kamu senang kan?”
Kalau ditanya apakah senang, sebenarnya Diana sendiri tidak paham. Sebab, dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan menikah dengan semewah ini. Satu-satunya pernikahan yang Diana inginkan sebelumnya adalah acara pernikahan sederhana di masjid, tanpa riasan apalagi gaun yang teramat merah begini. Namun, dia bisa apa?
Calon mertuanya tak akan mengizinkan acara pernikahan putra mereka berjalan biasa-biasa saja. Apa kata orang?
Evan adalah putra pengusaha papan atas di Indonesia, terlebih saat ini dia juga menjadi aktor untuk banyak film besar. Media menyoroti kehidupan mereka, tentu saja. Meskipun sebenarnya Evan belum mau menampilkan pernikahan ini ke banyak orang, sebab kontrak kerjanya belum selesai. Namun, tetap saja pernikahan mereka kali ini mengundang beberapa kolega besar.
Tidak banyak tamu yang diundang, tapi Diana tidak mengenal mereka. Hanya beberapa saja yang dia ketahui sebagai saudara dekat mertuanya. Dengan langkah perjalan, Diana berjalan digandeng oleh Utari mendekati meja ijab, tempat mempelai pria dan penghulu berada.
Semua mata kini menyorot ke arahnya, membuat jantung Diana serasa ingin lepas. Dia menarik napas panjang dan menelan ludah kasar, berulang kali. Terlebih saat melihat Evan berada di depannya, mengulurkan tangan sebagai bentuk formalitas acara.
Diana menyambut tangan Evan dan keduanya pun duduk di kursi ijab, lengkap dengan dua orang saksi di kiri dan kanannya. Saksi nikah mereka kali ini adalah dua orang paman Evan.
“Cantik sekali,” kata Pak Penghulu dengan nada bercanda. “Kalian sangat serasi.”
Mendengar pujian tersebut, Diana hanya tersenyum tapi begitu dia melirik ke arah calon suaminya, Evan masih saja memasang wajah lesu. Tidak bersemangat apalagi bahagia.
“Apakah bisa langsung kita mulai?”
“Silakan, Pak Penghulu.” Om Doni yang duduk di dekat Diana menjawab.
“Baiklah, sebelum saya menikahkan mereka berdua …, saya ingin bertanya kepada para hadirin apakah ada yang keberatan dengan pernikahan ini?”
Semua tamu kompak menjawab tidak, tapi Diana tahu pasti kalau satu-satunya orang yang ingin mengiyakan pertanyaan penghulu justru adalah Evan. Tatapan mempelai prianya itu kosong, seolah tak menyimpan harapan sama sekali. Pernikahan ini adalah kekosongan.
“Kalau tidak ada yang keberatan, maka Mas Evan silakan genggam tangan saya!”
Evan menarik tangannya yang sejak tadi ada di bawah meja untuk menjawab menggenggam tangan penghulu. Mata pria dua puluh lima tahun itu memerah.
“Bismillahirahmanirrahim, Evan bin Yudiatmo Diantoro saya nikahkan engkau dengan Diana Anindita binti Adi dengan mas kawin emas dua puluh delapan gram dan uang tunai dua ratus lima belas juta rupiah dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Diana Anindita binti Adi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah!”
Meskipun kini semua orang bersorak gembira, tapi Diana tahu pasti bahwa Evan sama sekali tidak. Pria yang baru saja menikahinya itu justru menangis kosong, bukan haru. Dia bersedih atau semacamnya. Bahkan sepanjang acara, Evan hanya terdiam.
Kalau bukan karena perempuan tua yang duduk di barisan depan dengan kursi roda itu, sudah pasti Evan tak bakal mau menikahi Diana. Begitu juga sebaliknya, Diana pun tak akan mau menikahi Evan jika bukan karena balas budi kepada Oma.
Oma adalah orang pertama yang bahagia dan memeluk keduanya setelah ijab. Lebih tepatnya, mereka yang menghampiri Oma.
“Syukurlah, kalian berdua sudah sah menjadi pasangan. Oma sangat bahagia,” ujar Oma sambil mengelus wajah keduanya. “Kalau begini, Oma bisa meninggal dengan tenang.”
“Oma bicara apa sih?” Evan menggenggam tangan neneknya penuh kasih dan menciumnya. “Oma kan sudah janji, kalau aku sama Diana menikah …, Oma akan melanjutkan pengobatan. Kami mau Oma sembuh.”
“Iya, Oma!” Diana ikut bicara. “Aku dan Evan nggak mau kehilangan Oma. Mulai sekarang, Oma harus semangat untuk fokus pengobatan. Memangnya Oma nggak mau sembuh? Memangnya Oma nggak mau melihat cicit Oma?”
Perempuan berambut putih itu tertawa, lalu mencium pipi kedua mempelai. Jelas kalau ada begitu banyak kebahagiaan di sana.
“Terus, kalian kapan punya anak?” Tante Miska, istri dari paman Evan menyahut.
Utari yang sejak tadi diam akhirnya bicara, “Kalau sekarang belum bisa, Mbak Yu. Karena Evan masih terikat kontrak kerja dengan agensi. Dia masih punya beberapa film lagi sebelum bisa mempublikasikan pernikahannya ke media.”
“Nanti kelamaan lho, Dik Ayu.”
“Tidak masalah,” Oma menyahut. “Evan sudah janji. Ya kan, Van?”
Evan mengangguk, lalu mencium tangan neneknya. “Evan janji akan segera melakukannya tapi Oma sabar ya. Oma harus sembuh. Harus sehat.”
“Iya, Sayang.” Oma kembali mengelus wajah Evan. “Tapi ingat, jangan lama-lama juga. Iya kalau Oma bisa sembuh, kalau sewaktu-waktu meninggal bagaimana?”
“Oma jangaan bercanda begitu. Nggak baik!” Evan memeluk neneknya erat.
Meskipun bukan cucu kandung, tetapi Diana sama cintanya dengan Oma. Dia sangat menyayangi Oma bahkan melebihi apapun di dunia ini. Karena kalau tak ada Oma, entah sudah jadi apa Diana.
Kedua orang tuanya membuang Diana begitu saja di gudang rumah sakit. Membuat Oma yang dua puluh delapan tahun lalu masih bekerja di rumah sakit sebagai perawat mau tak mau membawanya pulang dan merawatnya. Terlebih dulu, suami Oma baru meninggal. Dia kesepian. Terlebih Evan dan kedua orang tuanya kala itu masih tinggal di Amerika.
+_+
“Sabar, acaranya hampir selesai!” kata Diana pada suaminya yang tampak kesal karena mereka harus menyalami para tamu dan mengikuti serangkaian acara membosankan. Sebenarnya ini sama sekali tak membosankan, seandainya yang menikah adalah sepasang manusia yang sama-sama jatuh cinta.
Evan tidak menjawab dan hanya melirik Diana dengan ketus.
“Demi Oma,” lanjut Diana.
Sambil mengehela napas panjang, Evan akhirnya memutuskan duduk di bangku dekat mereka.
Meskipun mewah tapi pernikahan malam ini tidak ada dekor besar tempat memajang pengantin. Keduanya berbaur bersama para tamu di taman bunga yang indah, merasakan cahaya matahari menyentuh kulit mereka dengan sangat hangat. Matahari hampir tenggelam sempurna dan membuat suasana kian romantis.
“Van, Di, kalian nggak mau foto? Mumpung bagus.” Utari menyeret anak dan menantunya ke pojok acara guna pengambilan gambar membelakangi matahari.
Evan berkata, “Buat apa sih, Ma? Kan dari tadi sudah.”
“Dari tadi kalian belum ada foto berdua.”
Mau tak mau, keduanya menurut.
“Pengangan tangan!” Juru Kamera mengarahkan. “Sekalian, ciuman.”
“Heh?”
Evan dan Diana kompak memelototkan mata.
“Yang benar saja, Mas?”
“Lho, serius. Ini bagus. Lagian kan sudah sah jadi suami dan istri.”
“Tapi ….”
“Ayo, mumpung mataharinya belum hilang.”
Evan sebenarnya ingin menolak dan pergi dari sana tapi begitu menyaksikan Oma yang menatapnya dari kejauhan, mau tak mau dia menurut. Tangan Evan menyentuh pinggang Diana dan menariknya ke pelukan. Dia mencium bibir Diana dan sontak membuat perempuan itu kaget bukan kepalang.
Berulang kali Diana ingin melepaskan diri tapi Evan masih saja mengeratkan pelukan.
“Sudah!”
Begitu juru kamera mengatakan itu, Evan buru-buru melepaskan Diana dan meninggalkan lokasi. Membuat Diana kebingungan sekaligus malu. Wajahnya memerah.
“Suaminya kaku benar, Mbak!”
Diana tidak menanggapi dan segera menyusul Evan.
“Lo ngapain sih tadi?” kata Diana ketus. “Main cium segala.”
Evan masih teruss berjalan, menjauhi acara. “Lo juga apa-apaan, dari tadi diam saja. Masa gue terus yang bicara.”
“Terus? Lo mau gue gimana?”
“Paling nggak usaha, kek.”
“Usaha apa lagi?”
“Sikap lo yang aneh itu bisa bikin orang curiga.”
“Memangnya lo pikir keketusan lo nggak bakal bikin orang sama curiganya?”
“Ini memang karakter gue.”
“Ini juga karakter gue.”
Evan seketika diam, menatap Diana sebal. “Terus, ngapain lo mengikuti gue sampai ke sini?”
“Gue ….” Diana terdiam. Dia sebenarnya juga tak tahu kenapa harus mengikuti suaminya ke sini. Ralat! Suami pura-pura …, sebenarnya pernikahan ini sah secara agama dan hukum jadi apakah pantas disebut pura-pura?
“Lebih baik lo balik ke acara. Nanti dicariin Mama.”
“Lo sendiri? Ngapain di sini? Bakal aneh kalau gue ada di sana tapi lo nggak ada.”
“Bilang saja gue lagi ke toilet.” Evan merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan ponsel. “Gue mau ngabarin pacar gue. Dia pasti cemas.”
“Lo sudah ngasih tahu dia kalau kita nikah hari ini?”
Evan menaikkan sebelah alisnya. “Lo gila? Ya nggak mungkin lah. Bisa jantungan cewek gue.”
Entah bagaimana hati Diana mendadak nyeri saat mendengar jawaban itu. Padahal sebelumnya belum pernah begini. Atau lebih tepatnya, dia sama sekali belum pernah berinteraksi dengan Evan lebih dari dua menit, sebelumnya. Meskipun seenarnya jauh sejak mereka masih belia Diana diam-diam selalu menyukainya.
“Memangnya, lo pikir reaksi apa yang bakal diberikan sama Aira kalau dia tahu pacarnya nikah? Sama orang yang lebih tua pula.” Evan menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Ya, meskipun hanya beda dua tahun. Tetap saja, lo lebih tua dari gue. Malah kayaknya lo lebih pantas disebut tante angkat alih-alih kakak angkat gue. Ya nggak? Kan lo anak angkat Oma.”
Diana berdecih. “Gue nggak setua itu juga kali.”
“Kayak kesepakatan kita kemarin, setelah menikah kita bakal keluar dari rumah Mama. Karena kalau sampai kita tinggal di sana, bisa-bisa mereka tahu kalau gue belum putus dari Aira.”
“Oke.” Diana mengangguk-anggukkan kepalanya. “Rencana lo mau tinggal di mana?”
“Kalau di apartemen gue kayaknya jangan!”
“Kenapa?”
“Aira bakal kaget kalau lihat lo di sana. Dia sering menginap di apartemen gue, soalnya. Kalau kontrak gimana?”
Diana menggeleng. “Kalau begitu kita tinggal saja di rumah gue.”
“Lo punya rumah?”
“Ya. Hanya saja rumahnya kecil.”
“Nggak masalah yang penting kita bisa sembunyi dengan aman.”
Diana mengangguk kembali.
“Tapi, gimana cara ngomong ke Oma?”
Hai, maaf banget aku baru bisa nulis ulang cerita ini. Karena cerita yang kemarin kurang menarik. Semoga kalian suka ya.
Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah. Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja. Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu. Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan
Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin. “Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo ng
Menikah dengan Evan?Aku tersenyum mendengar lelucon yang dikatakan Oma. Bukan apa-apa, itu sangat mengada-ada dan membuatku geli sendiri. Membayangkan Evan yang pada masa kecilnya ikut aku asuh, malah menjadi pasanganku? Ah, meskipun sekadar membayangkan, sudah aneh sekali. Meskipun pada kenyataannya banyak pasangan di mana pihak perempuan beberapa tahun lebih dewasa daripada si lelaki tapi mengingat ini aku dan Evan ..., dia terlalu dini. Apa kata orang nantinya? Evan masih muda, tampan dan punya karier cemerlang. Pacarnya pun cantik sekali. Sementara aku? Memangnya siapa aku? Jarak tiga tahun di usia kami bahkan terasa terlalu jauh. Mungkin bisa-bisa aku disebut sebagai kakak atau malah adik Bu Nilam.Kulambaikan tangan begitu mendapati taksi melintas di kejauhan. Mobil berwarna biru itu menepi, berhenti dan memberiku kesempatan untuk masuk. “Panti asuhan Cahaya Bunda, Pak.”“Baik, Bu.”“Lewat jalan utama saja ya, Pak.”“Iya, Bu.”Hari semakin larut tapi kesibukan di Ibu Kota belum
Oma. Oma. Dan Oma.Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bis
Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma
Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani
Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa
Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija