Share

Rahasia

Oma. Oma. Dan Oma.

Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.

“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.

Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bisa membaca kemacetan di luar mobil yang kami tumpangi. Ini adalah jam sibuk orang berangkat ke kantor tentu saja kepadatannya merayap. “Bagaimana kalau kita lewat jalan lain saja, Mbak?”

“Memangnya Bapak rutenya tahu?”

“Ya. Saya kalau mengantar Oma, bisanya lewat sana.”

“Kenapa tidak bilang dari tadi?”

“Jadi, boleh?”

“Tentu saja, Pak!”

“Tapi, agak jauh.”

“Tidak apa-apa, Pak!” tegasku. “Daripada kita mati kutu di sini?” Kami sudah membuang waktu selama beberapa jam di tempat ini. Matahari kian tinggai dan semua mungkin bisa menjadi lebih buruk lagi. Terlebih Bu Nilam sama sekali belum membalas pesan yang kukirimkan beberapa menit sebelumnya. Tentu saja ini membuatku semakin tak karuan. Khawatir terjadi apa-apa dengan Oma Rose.

Omong-omong kenapa Bu Nilam justru memintaku datang ke rumahnya? Dan, kenapa harus ada Evan dan Pak Bram? Apakah Evan akan memarahiku karena telah teledor dalam menjaga Oma? Atau justru ada permasalahan lainnya? Ini tak bisa berhenti membuatku cemas, terlebih setelah semua yang terjadi. Hanya saja kok rasanya terlalu buru-buru dan tidak masuk akal, mengingat hubungan Evan dengan Oma Rose sendiri tak begitu baik. Mereka bahkan sempat bertengkar hebat. Sebagaimana kukatakan sebelumnya, Oma tak kembali ke rumah pun salah satunya juga karena Evan.

Pak Sumari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan perumahan padat penduduk yang agak sesak. Terlalu banyak orang di sana sehingga kami perlu untuk menjaga dan memastikan bahwa tak ada penduduk yang terganggu. Maklum saja, ini tampaknya bukan jalanan utama. Namun, cukup luas untuk dilewati oleh mobil.

“Mbak Diana?” Pak Sumari kembali membuka pembicaraan setelah keheningan cukup lama menguasai kami.

Aku menoleh. “Ya?”

“Mbak Diana, apakah sudah punya pacar?”

“Heh?”

Aku agak kaget dengan pertanyaan ini, bagaimana tidak? Sama sekali aku belum pernah mendapatkannya sebelumnya, kecuali dari Akbar yang suka menggodaku. Yah, hanya dialah orang yang sempat menanyaiku dan itupun sekadar basa-basi saja. Meskipun usiaku sudah dua puluh enam tahun tapi, “Memangnya kenapa, Pak?”

“Tidak apa-apa kok, Mbak!” Pak Sumari hanya tersenyum kikuk. Tampaknya, beliau menyesal telah melontarkan pertanyaan itu kepadaku. Buru-buru dia mengembangkan senyum yang bisa kulihat melalui kaca di atasnya. “Mbak Diana kan cantik,” lanjutnya. “Siapa tahu Mbak Diana sudah punya pacar kan?”

Pernyataan lanjutan tersebut membuatku semakin kaget. “Memangnya siapa yang bilang saya cantik?”

“Saya.”

“Ah, Bapak bisa saja.”

“Memang benar kok.”

“Tapi, terima kasih.”

“Ini nggak bohong lho, Mbak Di.”

Aku hanya tersenyum saja. “Iya. Saya percaya, makanya saya bilang terima kasih kepada Bapak.” Kuarahkan pandanganku keluar jendela.

Mobil yang kami tumpangi kini telah keluar dari perkampungan, bersiap menyeberangi jalan utama untuk kembali meneruskan perjalanan. Yah, untuk memulai hubungan sebenarnya aku juga tak tahu apakah itu bisa terjadi. Maksudku, sebagai pengurus panti asuhan seluruh tenagaku dihabiskan di sana. Sangat jarang bagiku untuk bersosialisasi dengan pria lain. Meskipun Akbar sempat menyarankanku ikut kencan buta tapi itu sama sekali bukan gayaku. Memangnya siapa yang mau berhubungan dengan perempuan tanpa keluarga? Kebanyakan keluarga menganggap latar belakang pasangan ialah hal utama. Bukan hal yang patut disalahkan, tentu saja. Malah sangat wajar.

(

Kami sampai di rumah besar keluarga Wiyoko setengah jam sebelumnya. Pencapaian untuk masyarakat yang tinggal di Jakarta lengkap dengan permasalahan lalu lintasnya. Buru-buru aku keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Sumari, kemudian berlari kecil menuju pintu utama. Halaman rumah ini terlalu luas, sehingga perlu usaha ekstra bagiku untuk menjangkau terasnya.

“Permisi!” kataku pada Bu Siti, pengurus rumah –selain Mbak Idha –yang tengah menyapu di teras. “Bu Nilam ada, Bu?”

Bu Siti agak kaget saat melihatku tapi kemudian menunjuk ke dalam rumah. “Kamu sudah ditunggu sejak tadi. Cepat masuk.”

“Memangnya, ada apa ya?”

“Sudah! Masuk saja dulu, nanti juga tahu sendiri,” katanya sinis.

Aku menelan ludah yang kering guna membasahi tenggorokan. “Baiklah. Terima kasih!” ucapku sebelum akhirnya menerobos pintu dan mendapati suasana tegang di seluruh penjuru ruangan. Persis ketika kudapati Evan, Bu Nilam dan pengacara keluarganya duduk di sofa ruang tamu. Tampak air mata menggenangi mata wanita paruh baya itu. Wajah serius Pak Bram, seperti biasa seolah mengintimidasi. Serta Evan ..., dia memasang wajah peduh amarah. Mungkinkah dia marah karena mengira akulah penyebab Oma masuk rumah sakit?

Buru-buru kusalami mereka, hanya saja Evan menolak membalasnya. “Nggak usah pura-pura baik deh lo!”

Aku menunduk, meremas ujung pakaianku sembari mengatur napas. “Evan, saya minta maaf soal Oma. Saya sama sekali –”

“Diana!” Suara Bu Nilam amat lembut. “Kamu duduk dulu, Sayang. Sini!” Beliau menepuk bangku di sebelahnya sembari mengusap air matanya menggunakan sapu tangan.

“Baik, Bu!” Aku mengangguk.

Bu Nilam memaksakan senyum di bibirnya. Yah, aku bisa memahaminya kalau senyuman di wajah tuanya tersebut ialah kepalsuan semata. Sebagai orang dewasa, tentu saja aku bisa menerjemahkannya. Buru-buru kubertanya, “Ada apa sebenarnya ini, Bu? Apakah saya telah berbuat kesalahan yang tak saya sadari?”

Bu Nilam menggeleng. “Tidak, Sayang.”

“Lalu, kenapa Ibu menangis?”

“Mbak Diana!” Pak Bram yang sejak tadi diam akhirnya membuka pembicaraan. “Sebelumnya, saya ingin mengatakan sesuatu kepada Anda.”

Keningku mengerut. “Maksud, Bapak?”

“Nggak usah pura-pura tidak tahu deh!” cibir Evan. “Gue tahu ini hanya akal-akalan lo kan? Lo sendiri kan yang sudah memaksa Oma?” lanjutnya dengan nada meninggi.

Apa yang dia katakan?

“Dasar nggak tahu terima kasih!” lanjut Evan hampir membuat jantungku copot. Dia benar-benar marah saat itu, wajahnya memerah dan matanya melotot tajam. “Gue tahu isi kepala orang-orang seperti kalian. Lo mau uang kan?”

“Tunggu!” kataku bingung. “Kamu bicara apa sih, Van?”

“Halah!” Evan malah tertawa dengan kesan merendahkanku. “Memangnya lo kira gue nggak tahu kelicikan orang-orang kayak kalian? Gue bukan orang bodoh ya. Lo mungkin bisa –”

“EVAN!” Bu Nilam membentak putranya. “Cukup!”

“Tapi, Ma –”

“Mama bilang, cukup!” Bu Nilam semakin terisak. “Biarkan Pak Bram menjelaskan semuanya dahulu kepada Diana.”

“Dia pasti sudah –”

“EVAN!”

Seketika pria bertubuh besar itu bungkam, membuang muka ke arah lain dan memberikan Pak Bram ruang untuk meneruskan penjelasannya. Yah, pria berjas cokelat tersebut mengeluarkan map cokelat muda dari dalam tasnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Ada helaan napas panjang sebelum beliau berkata-kata. “Mbak Diana?”

“Ya, Pak?”

“Selaman Bu Rose menghubungi saya untuk membicarakan sesuatu,” kata Pak Bram seolah berat untuk dikatakan. “Sebelumnya, saya ingin bertanya apakah Mbak Diana sudah punya pacar?”

“Kenapa tanya begitu ya, Pak?”

Tentu saja siapa yang tidak kaget kalau tiba-tiba ditanyai macam itu.

“Mbak Diana?”

“Eh.” Aku meremas tangan, memandang ke arah Bu Nilam dan Evan sebelum akhirnya menggeleng.

Pak Bram tersenyum tipis. “Bu Rose menginginkan Mbak Diana untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Apakah Mbak Diana bersedia?”

“TENTU SAJA DIA MAU!” sahut Evan lebih terdengar sebagai tuduhan. “Memangnya siapa yang tidak mau menjadi bagian dari salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Apalagi, dia bahkan tak punya keluarga.”

Yah, itu benar. Ucapan Evan benar. Aku memang tak punya keluarga.

“Diana!” Bu Nilam menggenggam tanganku kuat. “Saya minta tolong ke kamu,” lanjutnya masih dengan isak tangis. “Kamu mau ya menjadi bagian dari keluarga ini? Tolong bantu kami, Diana.”

“Tunggu!” Aku semakin tak paham dengan situasinya sekarang. “Bu Nilam!” Kubalas genggaman tangan itu lembut. “Ini sebenarnya kenapa? Bukankah saya memang sudah menjadi keluarga sebelumnya? Ibu adalah orang tua saya juga di panti. Ibu turut membesarkan saya selama ini. Lalu, ada apa ini sebenarnya?”

Bu Nilam menatap Pak Bram kembali.

“Pak, tolong jelaskan ada apa sebenarnya?”

Pak Bram menghela napas panjang. “Bu Rose meminta saya mengganti surat wasiatnya bahwa Mbak Diana lah yang akan mendapatkan hak untuk menjadi pewaris utama seluruh kekayaannnya jika beliau meninggal.”

“HAH?”

Mataku memelotot saking tak percayanya.

“Ba –bagaimana mungkin?”

“NGGAK USAH PURA-PURA DEH!” cibir Evan.

Aku menelan ludah kasar. “Pak Bram, kok bisa?”

“Tentu saja bisa. Sebagai pemilik kekayaan, Bu Rose memiliki hak untuk memberikan warisannya kepada siapa saja termasuk kepada Mbak Diana.”

“Tapi, saya bukan siapa-siapa beliau.”

“Iya, Mbak! Saya tahu.”

“Lalu, Evan dan Bu Nilam?”

Pak Bram membuka map-nya dan menunjukkan dokumen bertanda tangan di dalamnya kepadaku. “Di sini tertulis bahwasanya Mbak Diana lah satu-satunya penerima hak atas kekayaan Bu Rose setelah beliau meninggal. Hanya saja, Evan berhak mendapatkan setengah bagiannya kalau bersedia menikah dengan Mbak Diana.”

“HAH?”

Apa-apaan ini sebenarnya? Kenapa semakin tak masuk akal saja?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status