Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma
Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani
Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa
Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija
Hanya sementara.Hanya sampai Oma sembuh.Tidak lebih.Tidak kurang.Semua hanya demi Oma.Diana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Kini dia telah bersiap dengan gaun pernikahan berwarna putih dengan ornamen bunga-bunga di sepanjang garis dada, sementara rambut bergelombangnya dihiasi pita berwarna merah yang kontras. Membuat penampilannya sangat memesona, tampak seperti pengantin pada umumnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebimbangan besar.Meskipun dia mencintai Evan, tetapi Diana sama sekali tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi lelaki itu dengan cara seperti ini. Sebab, sama seperti kebanyakan perempuan, dia juga ingin dinikahi atas alasan cinta dan bukan semata-mata dianggap sebagai formalitas belaka.“Diana?”Suara Inggit, calon mertuanya membuat Diana menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup di belakangnya. “Masuk, Ma!”“Bagaimana? Kamu sudah siap?” tanya Inggit sambil membuka pintu. “Penghulunya sudah datang. Para tamu juga sudah berkumpul.”Diana m
“Bagaimana? Kamu siap?” Diana tidak langsung menjawab, tangannya meremas ujung gaun pengantin yang dia kenakan sambil sesekali menggigit bibir bagian bawahnya sendiri kuat-kuat. Sebab, dia sama sekali tidak menyangka kalau hari ini akhirnya datang juga. Hari pernikahan yang sama sekali tidak dia sangka akan datang dalam hidupnya. Hari yang seharusnya menggembirakan tapi justru menjadi saat paling tidak membuatnya nyaman. Sepanjang dia hidup hampir dua puluh delapan tahun, belum pernah Diana merasa segugup ini. Berulang kali dia menarik dan embuskan napas, bahkan saat perias memoles wajahnya menggunakan riasan, Diana tak berhenti gemetaran. “Tidak apa-apa, semua pengantin selalu gugup di saat menjelang akad. Tapi nanti, kalau sudah sah menjadi suami dan istri pasti rasanya langsung plong.” Perias menepuk-nepuk pahu Diana. Perempuan cantik dengan gaun putih itu hanya tersenyum, menatap sosok di depan cermin yang hampir tidak dia kenali sama sekali. Riasan pernikahan ini membuat Diana
Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah. Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja. Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu. Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan
Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin. “Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo ng