Share

Rahasia

Penulis: Nandreans
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-03 10:23:08

Oma. Oma. Dan Oma.

Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.

“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.

Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bisa membaca kemacetan di luar mobil yang kami tumpangi. Ini adalah jam sibuk orang berangkat ke kantor tentu saja kepadatannya merayap. “Bagaimana kalau kita lewat jalan lain saja, Mbak?”

“Memangnya Bapak rutenya tahu?”

“Ya. Saya kalau mengantar Oma, bisanya lewat sana.”

“Kenapa tidak bilang dari tadi?”

“Jadi, boleh?”

“Tentu saja, Pak!”

“Tapi, agak jauh.”

“Tidak apa-apa, Pak!” tegasku. “Daripada kita mati kutu di sini?” Kami sudah membuang waktu selama beberapa jam di tempat ini. Matahari kian tinggai dan semua mungkin bisa menjadi lebih buruk lagi. Terlebih Bu Nilam sama sekali belum membalas pesan yang kukirimkan beberapa menit sebelumnya. Tentu saja ini membuatku semakin tak karuan. Khawatir terjadi apa-apa dengan Oma Rose.

Omong-omong kenapa Bu Nilam justru memintaku datang ke rumahnya? Dan, kenapa harus ada Evan dan Pak Bram? Apakah Evan akan memarahiku karena telah teledor dalam menjaga Oma? Atau justru ada permasalahan lainnya? Ini tak bisa berhenti membuatku cemas, terlebih setelah semua yang terjadi. Hanya saja kok rasanya terlalu buru-buru dan tidak masuk akal, mengingat hubungan Evan dengan Oma Rose sendiri tak begitu baik. Mereka bahkan sempat bertengkar hebat. Sebagaimana kukatakan sebelumnya, Oma tak kembali ke rumah pun salah satunya juga karena Evan.

Pak Sumari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan perumahan padat penduduk yang agak sesak. Terlalu banyak orang di sana sehingga kami perlu untuk menjaga dan memastikan bahwa tak ada penduduk yang terganggu. Maklum saja, ini tampaknya bukan jalanan utama. Namun, cukup luas untuk dilewati oleh mobil.

“Mbak Diana?” Pak Sumari kembali membuka pembicaraan setelah keheningan cukup lama menguasai kami.

Aku menoleh. “Ya?”

“Mbak Diana, apakah sudah punya pacar?”

“Heh?”

Aku agak kaget dengan pertanyaan ini, bagaimana tidak? Sama sekali aku belum pernah mendapatkannya sebelumnya, kecuali dari Akbar yang suka menggodaku. Yah, hanya dialah orang yang sempat menanyaiku dan itupun sekadar basa-basi saja. Meskipun usiaku sudah dua puluh enam tahun tapi, “Memangnya kenapa, Pak?”

“Tidak apa-apa kok, Mbak!” Pak Sumari hanya tersenyum kikuk. Tampaknya, beliau menyesal telah melontarkan pertanyaan itu kepadaku. Buru-buru dia mengembangkan senyum yang bisa kulihat melalui kaca di atasnya. “Mbak Diana kan cantik,” lanjutnya. “Siapa tahu Mbak Diana sudah punya pacar kan?”

Pernyataan lanjutan tersebut membuatku semakin kaget. “Memangnya siapa yang bilang saya cantik?”

“Saya.”

“Ah, Bapak bisa saja.”

“Memang benar kok.”

“Tapi, terima kasih.”

“Ini nggak bohong lho, Mbak Di.”

Aku hanya tersenyum saja. “Iya. Saya percaya, makanya saya bilang terima kasih kepada Bapak.” Kuarahkan pandanganku keluar jendela.

Mobil yang kami tumpangi kini telah keluar dari perkampungan, bersiap menyeberangi jalan utama untuk kembali meneruskan perjalanan. Yah, untuk memulai hubungan sebenarnya aku juga tak tahu apakah itu bisa terjadi. Maksudku, sebagai pengurus panti asuhan seluruh tenagaku dihabiskan di sana. Sangat jarang bagiku untuk bersosialisasi dengan pria lain. Meskipun Akbar sempat menyarankanku ikut kencan buta tapi itu sama sekali bukan gayaku. Memangnya siapa yang mau berhubungan dengan perempuan tanpa keluarga? Kebanyakan keluarga menganggap latar belakang pasangan ialah hal utama. Bukan hal yang patut disalahkan, tentu saja. Malah sangat wajar.

(

Kami sampai di rumah besar keluarga Wiyoko setengah jam sebelumnya. Pencapaian untuk masyarakat yang tinggal di Jakarta lengkap dengan permasalahan lalu lintasnya. Buru-buru aku keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Sumari, kemudian berlari kecil menuju pintu utama. Halaman rumah ini terlalu luas, sehingga perlu usaha ekstra bagiku untuk menjangkau terasnya.

“Permisi!” kataku pada Bu Siti, pengurus rumah –selain Mbak Idha –yang tengah menyapu di teras. “Bu Nilam ada, Bu?”

Bu Siti agak kaget saat melihatku tapi kemudian menunjuk ke dalam rumah. “Kamu sudah ditunggu sejak tadi. Cepat masuk.”

“Memangnya, ada apa ya?”

“Sudah! Masuk saja dulu, nanti juga tahu sendiri,” katanya sinis.

Aku menelan ludah yang kering guna membasahi tenggorokan. “Baiklah. Terima kasih!” ucapku sebelum akhirnya menerobos pintu dan mendapati suasana tegang di seluruh penjuru ruangan. Persis ketika kudapati Evan, Bu Nilam dan pengacara keluarganya duduk di sofa ruang tamu. Tampak air mata menggenangi mata wanita paruh baya itu. Wajah serius Pak Bram, seperti biasa seolah mengintimidasi. Serta Evan ..., dia memasang wajah peduh amarah. Mungkinkah dia marah karena mengira akulah penyebab Oma masuk rumah sakit?

Buru-buru kusalami mereka, hanya saja Evan menolak membalasnya. “Nggak usah pura-pura baik deh lo!”

Aku menunduk, meremas ujung pakaianku sembari mengatur napas. “Evan, saya minta maaf soal Oma. Saya sama sekali –”

“Diana!” Suara Bu Nilam amat lembut. “Kamu duduk dulu, Sayang. Sini!” Beliau menepuk bangku di sebelahnya sembari mengusap air matanya menggunakan sapu tangan.

“Baik, Bu!” Aku mengangguk.

Bu Nilam memaksakan senyum di bibirnya. Yah, aku bisa memahaminya kalau senyuman di wajah tuanya tersebut ialah kepalsuan semata. Sebagai orang dewasa, tentu saja aku bisa menerjemahkannya. Buru-buru kubertanya, “Ada apa sebenarnya ini, Bu? Apakah saya telah berbuat kesalahan yang tak saya sadari?”

Bu Nilam menggeleng. “Tidak, Sayang.”

“Lalu, kenapa Ibu menangis?”

“Mbak Diana!” Pak Bram yang sejak tadi diam akhirnya membuka pembicaraan. “Sebelumnya, saya ingin mengatakan sesuatu kepada Anda.”

Keningku mengerut. “Maksud, Bapak?”

“Nggak usah pura-pura tidak tahu deh!” cibir Evan. “Gue tahu ini hanya akal-akalan lo kan? Lo sendiri kan yang sudah memaksa Oma?” lanjutnya dengan nada meninggi.

Apa yang dia katakan?

“Dasar nggak tahu terima kasih!” lanjut Evan hampir membuat jantungku copot. Dia benar-benar marah saat itu, wajahnya memerah dan matanya melotot tajam. “Gue tahu isi kepala orang-orang seperti kalian. Lo mau uang kan?”

“Tunggu!” kataku bingung. “Kamu bicara apa sih, Van?”

“Halah!” Evan malah tertawa dengan kesan merendahkanku. “Memangnya lo kira gue nggak tahu kelicikan orang-orang kayak kalian? Gue bukan orang bodoh ya. Lo mungkin bisa –”

“EVAN!” Bu Nilam membentak putranya. “Cukup!”

“Tapi, Ma –”

“Mama bilang, cukup!” Bu Nilam semakin terisak. “Biarkan Pak Bram menjelaskan semuanya dahulu kepada Diana.”

“Dia pasti sudah –”

“EVAN!”

Seketika pria bertubuh besar itu bungkam, membuang muka ke arah lain dan memberikan Pak Bram ruang untuk meneruskan penjelasannya. Yah, pria berjas cokelat tersebut mengeluarkan map cokelat muda dari dalam tasnya, kemudian meletakkannya di atas meja. Ada helaan napas panjang sebelum beliau berkata-kata. “Mbak Diana?”

“Ya, Pak?”

“Selaman Bu Rose menghubungi saya untuk membicarakan sesuatu,” kata Pak Bram seolah berat untuk dikatakan. “Sebelumnya, saya ingin bertanya apakah Mbak Diana sudah punya pacar?”

“Kenapa tanya begitu ya, Pak?”

Tentu saja siapa yang tidak kaget kalau tiba-tiba ditanyai macam itu.

“Mbak Diana?”

“Eh.” Aku meremas tangan, memandang ke arah Bu Nilam dan Evan sebelum akhirnya menggeleng.

Pak Bram tersenyum tipis. “Bu Rose menginginkan Mbak Diana untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Apakah Mbak Diana bersedia?”

“TENTU SAJA DIA MAU!” sahut Evan lebih terdengar sebagai tuduhan. “Memangnya siapa yang tidak mau menjadi bagian dari salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Apalagi, dia bahkan tak punya keluarga.”

Yah, itu benar. Ucapan Evan benar. Aku memang tak punya keluarga.

“Diana!” Bu Nilam menggenggam tanganku kuat. “Saya minta tolong ke kamu,” lanjutnya masih dengan isak tangis. “Kamu mau ya menjadi bagian dari keluarga ini? Tolong bantu kami, Diana.”

“Tunggu!” Aku semakin tak paham dengan situasinya sekarang. “Bu Nilam!” Kubalas genggaman tangan itu lembut. “Ini sebenarnya kenapa? Bukankah saya memang sudah menjadi keluarga sebelumnya? Ibu adalah orang tua saya juga di panti. Ibu turut membesarkan saya selama ini. Lalu, ada apa ini sebenarnya?”

Bu Nilam menatap Pak Bram kembali.

“Pak, tolong jelaskan ada apa sebenarnya?”

Pak Bram menghela napas panjang. “Bu Rose meminta saya mengganti surat wasiatnya bahwa Mbak Diana lah yang akan mendapatkan hak untuk menjadi pewaris utama seluruh kekayaannnya jika beliau meninggal.”

“HAH?”

Mataku memelotot saking tak percayanya.

“Ba –bagaimana mungkin?”

“NGGAK USAH PURA-PURA DEH!” cibir Evan.

Aku menelan ludah kasar. “Pak Bram, kok bisa?”

“Tentu saja bisa. Sebagai pemilik kekayaan, Bu Rose memiliki hak untuk memberikan warisannya kepada siapa saja termasuk kepada Mbak Diana.”

“Tapi, saya bukan siapa-siapa beliau.”

“Iya, Mbak! Saya tahu.”

“Lalu, Evan dan Bu Nilam?”

Pak Bram membuka map-nya dan menunjukkan dokumen bertanda tangan di dalamnya kepadaku. “Di sini tertulis bahwasanya Mbak Diana lah satu-satunya penerima hak atas kekayaan Bu Rose setelah beliau meninggal. Hanya saja, Evan berhak mendapatkan setengah bagiannya kalau bersedia menikah dengan Mbak Diana.”

“HAH?”

Apa-apaan ini sebenarnya? Kenapa semakin tak masuk akal saja?

Bab terkait

  • Perjanjian Dua Cinta   Kecemasan

    Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-07
  • Perjanjian Dua Cinta   Racun

    Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-23
  • Perjanjian Dua Cinta   Baik dan Buruk

    Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-29
  • Perjanjian Dua Cinta   Evan?

    Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-13
  • Perjanjian Dua Cinta   Menikah! Cuma Sandiwara, Bukan Sebenarnya

    Hanya sementara.Hanya sampai Oma sembuh.Tidak lebih.Tidak kurang.Semua hanya demi Oma.Diana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Kini dia telah bersiap dengan gaun pernikahan berwarna putih dengan ornamen bunga-bunga di sepanjang garis dada, sementara rambut bergelombangnya dihiasi pita berwarna merah yang kontras. Membuat penampilannya sangat memesona, tampak seperti pengantin pada umumnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebimbangan besar.Meskipun dia mencintai Evan, tetapi Diana sama sekali tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi lelaki itu dengan cara seperti ini. Sebab, sama seperti kebanyakan perempuan, dia juga ingin dinikahi atas alasan cinta dan bukan semata-mata dianggap sebagai formalitas belaka.“Diana?”Suara Inggit, calon mertuanya membuat Diana menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup di belakangnya. “Masuk, Ma!”“Bagaimana? Kamu sudah siap?” tanya Inggit sambil membuka pintu. “Penghulunya sudah datang. Para tamu juga sudah berkumpul.”Diana m

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-21
  • Perjanjian Dua Cinta   1. Menikah

    “Bagaimana? Kamu siap?” Diana tidak langsung menjawab, tangannya meremas ujung gaun pengantin yang dia kenakan sambil sesekali menggigit bibir bagian bawahnya sendiri kuat-kuat. Sebab, dia sama sekali tidak menyangka kalau hari ini akhirnya datang juga. Hari pernikahan yang sama sekali tidak dia sangka akan datang dalam hidupnya. Hari yang seharusnya menggembirakan tapi justru menjadi saat paling tidak membuatnya nyaman. Sepanjang dia hidup hampir dua puluh delapan tahun, belum pernah Diana merasa segugup ini. Berulang kali dia menarik dan embuskan napas, bahkan saat perias memoles wajahnya menggunakan riasan, Diana tak berhenti gemetaran. “Tidak apa-apa, semua pengantin selalu gugup di saat menjelang akad. Tapi nanti, kalau sudah sah menjadi suami dan istri pasti rasanya langsung plong.” Perias menepuk-nepuk pahu Diana. Perempuan cantik dengan gaun putih itu hanya tersenyum, menatap sosok di depan cermin yang hampir tidak dia kenali sama sekali. Riasan pernikahan ini membuat Diana

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Perjanjian Dua Cinta   Pengantin Palsu

    Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah. Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja. Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu. Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Perjanjian Dua Cinta   Hujan Yang Tak Reda

    Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin. “Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo ng

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03

Bab terbaru

  • Perjanjian Dua Cinta   Menikah! Cuma Sandiwara, Bukan Sebenarnya

    Hanya sementara.Hanya sampai Oma sembuh.Tidak lebih.Tidak kurang.Semua hanya demi Oma.Diana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Kini dia telah bersiap dengan gaun pernikahan berwarna putih dengan ornamen bunga-bunga di sepanjang garis dada, sementara rambut bergelombangnya dihiasi pita berwarna merah yang kontras. Membuat penampilannya sangat memesona, tampak seperti pengantin pada umumnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebimbangan besar.Meskipun dia mencintai Evan, tetapi Diana sama sekali tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi lelaki itu dengan cara seperti ini. Sebab, sama seperti kebanyakan perempuan, dia juga ingin dinikahi atas alasan cinta dan bukan semata-mata dianggap sebagai formalitas belaka.“Diana?”Suara Inggit, calon mertuanya membuat Diana menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup di belakangnya. “Masuk, Ma!”“Bagaimana? Kamu sudah siap?” tanya Inggit sambil membuka pintu. “Penghulunya sudah datang. Para tamu juga sudah berkumpul.”Diana m

  • Perjanjian Dua Cinta   Evan?

    Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija

  • Perjanjian Dua Cinta   Baik dan Buruk

    Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa

  • Perjanjian Dua Cinta   Racun

    Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani

  • Perjanjian Dua Cinta   Kecemasan

    Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma

  • Perjanjian Dua Cinta   Rahasia

    Oma. Oma. Dan Oma.Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bis

  • Perjanjian Dua Cinta   Sebuah Rencana

    Menikah dengan Evan?Aku tersenyum mendengar lelucon yang dikatakan Oma. Bukan apa-apa, itu sangat mengada-ada dan membuatku geli sendiri. Membayangkan Evan yang pada masa kecilnya ikut aku asuh, malah menjadi pasanganku? Ah, meskipun sekadar membayangkan, sudah aneh sekali. Meskipun pada kenyataannya banyak pasangan di mana pihak perempuan beberapa tahun lebih dewasa daripada si lelaki tapi mengingat ini aku dan Evan ..., dia terlalu dini. Apa kata orang nantinya? Evan masih muda, tampan dan punya karier cemerlang. Pacarnya pun cantik sekali. Sementara aku? Memangnya siapa aku? Jarak tiga tahun di usia kami bahkan terasa terlalu jauh. Mungkin bisa-bisa aku disebut sebagai kakak atau malah adik Bu Nilam.Kulambaikan tangan begitu mendapati taksi melintas di kejauhan. Mobil berwarna biru itu menepi, berhenti dan memberiku kesempatan untuk masuk. “Panti asuhan Cahaya Bunda, Pak.”“Baik, Bu.”“Lewat jalan utama saja ya, Pak.”“Iya, Bu.”Hari semakin larut tapi kesibukan di Ibu Kota belum

  • Perjanjian Dua Cinta   Hujan Yang Tak Reda

    Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin. “Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo ng

  • Perjanjian Dua Cinta   Pengantin Palsu

    Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah. Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja. Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu. Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan

DMCA.com Protection Status