Saat sinar matahari yang hangat menerpa wajahnya melalui sela-sela jendela kaca, Diana membuka mata. Tanpa merapikan ranjang dia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebab, badannya sekarang benar-benar terasa gatal. Rambut dan bekas riasan di mukanya sudah terasa kaku, jika tidak segera dibersihkan tentu akan menimbulkan masalah.
Suasana pagi di kabin itu sangat indah dan tenang. Suara kicau burung di kejauhan seolah menjadi hiburan tersendiri, musik penyambut pagi yang sangat romantis untuk pengantin baru. Hanya saja, karena dia dan Evan bukan pengantin pada umumnya, semua terasa sia-sia saja.
Omong-omong soal Evan, Diana menoleh sebentar ke kabin bagian atas. Pintunya masih tertutup. Sepertinya, Evan belum bangun. Maka, buru-buru Diana melanjutkan rencana mandi paginya, sebelum dia harus berebut kamar mandi dengan suami palsunya itu.
Sementara di dalam kabin bagian atas, kini Evan sedang menonton video-video lamanya dengan Aira di gawai miliknya. Sebagai pasangan yang sudah menjalin hubungan sejak SMA, seharusnya Aira lah yang menjadi istrinya. Kalau saja kemarin dia menikahi Aira, pasti rasanya akan sangat membahagiakan. Malah mungkin, Evan sekarang masih tidur di atas kasur, meringkuk sambil memeluk tubuh mungil Aira yang beraroma susu.
Bukannya Evan membenci Diana, hanya saja dia tak mencintai perempuan itu sama sekali. Hubungan mereka sekarang hanya sebatas rekan demi membantu mewujudkan keinginan Oma. Setelah Oma sembuh, mereka akan segera bercerai. Lalu, Evan akan menikahi Aira dengan pesta yang lebih meriah. Dia akan menyewa Disney land jika perlu.
Evan tahu sefanatik apa Aira pada putri-putri Disney. Pas sekali dengan kepribadian dan kecantikannya yang sebelas dua belas dengan Cinderella.
Saat mendengar pintu kabin bagian bawah terbuka, Evan mengintip melalui jendela kaca. Dia tersenyum kecut sambil memandangi Diana yang sedang menjemur baju dalamannya di halaman kabin. Menurut Evan hal itu sangat menjijikkan, terlebih karena semalam Diana memarahinya hanya karena memakai dalaman, sementara kini perempuan itu malah memamerkan pakaian basahnya di depan umum.
Kalau itu Aira, dia tak mungkin menjemur dalaman di depan kabin. Pacarnya bakal menyimpan pakaian kotor dan mencucinya saat sudah sampai di rumah. Namun, sebelum menutup kembali kelambu yang menutupi jendela kaca itu, pandangan Evan seketika memubulat saat melihat ibunya berjalan sendirian dari arah Villa, sambil membawa senampan sarapan di atas nampan.
“Sialan!” umpat Evan.
Dengan terburu-buru Evan keluar dari ruangan itu sambil menenteng selimut tebal di tangan kanan. Menghampiri Diana dan pakaian dalamnya. Evan sudah tidak peduli lagi soal itu.
“Masuk! Cepat masuk kabin!” kata Evan.
“Eh?” Diana yang kebingungan segera ditarik paksa oleh Evan, sebelum akhirnya didorong ke atas kasur. “Lo kenapa sih, Van? Sakit tahu.”
“Sudah. Jangan banyak tanya.”
Sambil membetulkan kaos bergambar kucing yang dikenakannya, Diana menghela napas panjang, lalu mengintip ke luar jendela. Ketika dia menyadari alasan Evan, buru-buru dia menarik selimut di tangan pria itu dan menutupi badannya, berpura-pura tidur. Sementara Evan yang tak kalah panik juga melakukan hal yang sama di sebelah Diana.
“Selamat pagi!” Inggit mengetuk pintu kamar pelan. “Anak-anak, sarapan dulu! Evan! Diana! Mama bawakan makanan ini lho.” Karena tak mendapatkan jawaban, Inggit pun berinisiatif mengintip melalui sela-sela jendela.
Bibir wanita paruh baya itu tentu saja tersenyum. Sebab, apa yang dicemaskan anak dan suaminya tidak benar. Dia yakin sang anak akan bisa menerima Diana, sebagaimana dia dulu menerima suaminya.
“Kalau begitu, sarapannya Mama taruh di teras saja ya!” kata Inggit sambil berteriak. “Nanti kalian ikut makan siang bersama ya. Pagi ini, kalian nikmati saja dulu berdua. Kalau mau jalan-jalan, silakan.”
Lalu, wanita paruh baya berambut keriting itu meninggalkan tempat itu guna melaporkan kabar bahagia tersebut kepada anggota keluarganya yang lain. Suami dan anak perempuannya harus tahu kabar bahagia ini. Sebab, sejak awal mereka lah yang menentang keras pernikahan Evan dan Diana.
Bukan tanpa alasan, menurut Sandra adik lelakinya itu punya kehidupan pribadi yang tak seharusnya diatur oleh siapapun. Evan sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidupnya, begitu juga dengan Diana. Meskipun Diana adalah anak angkat neneknya, tetap saja mereka tak boleh memperlakukan Diana seperti itu karena akan terkesan seperti telah membeli harga diri Diana dengan semua yang telah mereka berikan selama ini. Menunut balas budi.
“Mama yakin?” tanya Handoyo. “Kalau memang benar apa yang Mama bilang, syukurlah. Mama harap mereka benar-benar bisa menjadi pasangan suami istri yang serasi dan langgeng sampai maut memisahkan seperti yang dicita-citakan oleh kita semua.”
Inggit mengaminkan ucapan suaminya, lalu memeluk lengan Handoyo dengan mesra. “Karena sekarang anak-anak sudah menikah, bagaimana kalau besok kita kembali ke Jakarta? Ibu kan pasti juga menunggu kedatangan kita.”
“Kita pulang ke Jakarta bareng Diana dan Evan sekalian.”
“Mereka kan masih butuh waktu buat bulan madu, Pa.”
“Mama, bulan madu kan bisa kapan-kapan. Lagian, kondisi kesehatan Ibu juga masih kayak begini. Kedatangan Diana dan Evan yang sudah menjadi suami dan istri pasti akan memberikan dampak yang bagus untuk kesembuhannya.”
Inggit mau tak mau mengangguk, padahal sebetulnya dia sudah sangat tidak sabar untuk melihat Evan dan Diana memiliki bayi. Sama seperti kebanyakan orang tua, saat anak mereka menikah, para orang tua akan langsung berdoa kepada Tuhan supaya lekas diberi cucu. Terlebih karena kondisi Sandra, anak sulungnya yang tak bisa hamil. Harapan Inggit hanya tinggal Evan dan Diana.
Namun, harapan mereka sepertinya akan sia-sia.
“Lo nggak mau sarapan dulu?” Diana yang melihat Evan meninggalkan kabin bertanya, lengkap dengan mulut penuh makanan.
Evan menjawab, “Nggak lapar.”
“Masa?” Diana menggigit roti isi daging di piring dengan rakus saking kelaparannya. Sebab, sejak kemarin dia memang belum makan apa-apa sama sekali. Hanya air putih. “Lo semalam nggak makan, bukan?”
Evan tidak menjawab dan menoleh kepada Diana. “Melihat lo makan saja sudah bikin gue mau muntah. Lagian, jadi cewek itu yang feminine sedikit dong. Makan berantakan banget. Jorok.”
“Gue kalau nggak kelaparan juga nggak akan begini, Van!” jawab Diana sebal.
“Halah, alasan! Kalau jorok ya jorok saja.”
Diana yang tidak suka dengan ucapan Evan malah memasukkan semua roti ke dalam mulutnya, lalu memamerkan hal itu. Dia memang berniat meledek. Lalu, untuk mendorong roti masuk ke kerongkongan, dia langsung meminum susu hangat di dalam gelas dengan sangat rakus. Seolah tidak minum berhari-hari.
“Cepat habiskan makanan itu, terus ikut gue!” kata Evan.
“Ke mana?” tanya Diana masih dengan mulut penuh makanan.
Evan yang bergidik ngeri menjawab, “Kita ambil foto jalan-jalan, buat ditunjukkan ke Oma.”
“Memangnya harus ya?”
“Ya harus lah. Biar Oma senang.”
“Ya sudah, sebentar.”
Diana segera masuk kembali ke dalam kabin untuk mengambil rok sepanjang lutut yang akan dia kenakan selama jalan-jalan, sebab sangat tidak mungkin dia berkeliaran di pedesaan dengan celana sangat pendek begitu. Hanya saja, Evan yang tak punya pilihan harus tetap mengenakan kemejanya semalam yang untungnya sudah lumayan kering.
Setelah berjalan cukup lama, mereka akhirnya berhenti di sebuah puncak bukit yang memiliki danau alami berair jernih.
“Kita ambil foto di danau ya,” kata Evan sambil mengarahkan kameranya ke sisi bukit. “Cepat sini! Lo berdiri di sebelah gue.”
“Gimana kalau lo gue fotokan saja?”
“Ya nggak bisa dong, Diana. Kan lo istri gue, ceritanya. Masa iya suami istri yang baru nikah nggak foto bersama?”
“Iya! Iya!” Diana yang cemberut akhirnya mendekati Evan, membiarkan pria tampan itu membidikkan kameranya menggunakan kamera depan. Tentu saja saat kamera menangkapnya, Diana tersenyum palsu dengan sangat lebar, sampai-sampai mampu menutupi kegalauan hatinya. “Sudah?”
“Belum! Kita ambil beberapa lagi.”
“Nggak kebanyakan?”
“Makin banyak makin bagus.”
Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin. “Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo ng
Menikah dengan Evan?Aku tersenyum mendengar lelucon yang dikatakan Oma. Bukan apa-apa, itu sangat mengada-ada dan membuatku geli sendiri. Membayangkan Evan yang pada masa kecilnya ikut aku asuh, malah menjadi pasanganku? Ah, meskipun sekadar membayangkan, sudah aneh sekali. Meskipun pada kenyataannya banyak pasangan di mana pihak perempuan beberapa tahun lebih dewasa daripada si lelaki tapi mengingat ini aku dan Evan ..., dia terlalu dini. Apa kata orang nantinya? Evan masih muda, tampan dan punya karier cemerlang. Pacarnya pun cantik sekali. Sementara aku? Memangnya siapa aku? Jarak tiga tahun di usia kami bahkan terasa terlalu jauh. Mungkin bisa-bisa aku disebut sebagai kakak atau malah adik Bu Nilam.Kulambaikan tangan begitu mendapati taksi melintas di kejauhan. Mobil berwarna biru itu menepi, berhenti dan memberiku kesempatan untuk masuk. “Panti asuhan Cahaya Bunda, Pak.”“Baik, Bu.”“Lewat jalan utama saja ya, Pak.”“Iya, Bu.”Hari semakin larut tapi kesibukan di Ibu Kota belum
Oma. Oma. Dan Oma.Pikiranku tak hentinya memikirkan hal tersebut, tentu saja. Satu-satunya kemungkinan tentang kejadian hari ini pastilah ada hubungannya dengan beliau. Mungkinkah Evan dan Oma Rose bertengkar kembali? Benarkah Evan tega itu kepada neneknya sendiri? Kalau memang benar, kurasa dia benar-benar sudah gila. Mengingat apapun yang dilakukan Oma –meskipun terkadang memang keterlaluan tapi semua juga demi Evan. Sebagai seorang nenek, Oma Rose amat menyayangi cucu semata wayangnya. Yah, setiap orang tua harusnya punya cara mereka sendiri untuk mengungkapkan rasa sayang kepada anak atau cucunya, meskipun terkadang mereka juga gagal membaca keinginan sang anak. Mungkin omonganku terlalu sok tahu tapi aku membacanya dari buku parenting yang dibelikan oleh Suster Joana beberapa minggu sebelum liburan.“Masih lama ya, Pak?” tanyaku pada Pak Sumari yang duduk di bangku kemudi.Pria berkumis tebal tersebut menoleh, menatapku penuh rasa bersalah kemudian menggeleng. Tentu saja aku bis
Evan menikah denganku?Apa yang sebenarnya ada di kepala Oma? Mengapa pula beliau memberikan persyaratan tidak masuk akal semacam ini? Apakah beliau tidak mempertimbangkan betapa akan sia-sianya masa depan pemuda ..., Evan terlalu muda untuk menikah denganku. Dia punya kehidupannya sendiri sementara diriku bahkan lebih pantas disebut sebagai kakak perempuannya daripada seorang istri.“Pak Bram, apakah suratnya bisa dibatalkan?”“Bisa.”“Bagaimana caranya, Pak?”“Kalau kalian berhasil membujuk Oma untukmembatalkannya.”“Baiklah. Kalau begitu saya akan membujuk beliau,” tegasku. “Bu Nilam, Anda tak perlu cemas. Kita bisa membujuk Oma untuk menariknya, bukan? Surat ini terlalu mengada-ada. Mana mungkin saya harus menikah dengan Evan kan?”“Harusnya gue yang bilang begitu,” sahut Evan ketus.Aku bisa memaklumi kemarahannya. Tentu saja sangat wajar bagi Evan untuk marah, tidak terima dengan keputusan neneknya tersebut. Yah, aku bukanlah siapa-siapa dalam keluarga mereka, tetapi kenapa Oma
Pernikahan adalah tanggung jawab seumur hidup. Tidak bisa dipermainkan, apalagi didasari oleh sesuatu yang sifatnya fana. Begitulah yang dahulu dikatakan Oma Rose kapadaku. Saat usiaku masih sangat muda, bergairah dan dipenuhi keinginan muluk-muluk soal masa depan. Tapi, kenapa sekarang beliau justru menyuruhku menikahi Evan yang jelas-jelas tak mencintaiku, dan tidak pula aku cintai? Kehidupan kami terlalu berbeda. Tidak mungkin di satukan. Evan dengan segala mimpi-mimpinya, sorak-sorak para penggemar yang menggilainya, lampu sorot yang tak berhenti menjadikannya pusat perhatian. Semua itu terlalu bergemilang untukku yang sekadar perempuan pengurus panti asuhan. Perempuan yang mungkin akan menghabiskan seumur hidup untuk mengabdikan diri pada anak-anak. Perempuan yang dipaksa menggendong anak berusia sebelas tahun dengan kondisi lemas sambil berlarian mencari angkutan kota. Kondisi Doni sudah lemas ketika aku datang, tubuhnya sangat pucat dan nyaris tidak sadarkan diri. Ditemani
Apa yang paling ditakutkan oleh anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan? Ketika aku dan Lia sampai di panti, anak-anak telah berkumpul di teras depan. Mereka berlari menghampiriku, memelukku dan menangis terisak-isak. Tampak jelas bahwa ada kecemasan di wajah polos mereka. “Bagaimana kondisi Doni? Apakah dia akan sembuh?” tanya Fito. Aku mengelus puncak kepala bocah itu dan mengangguk. Tidak lupa aku memasang senyuman selebar. “Kondisi Doni sudah stabil tapi dia masih harus dirawat beberapa hari ke depan, jadi kalian bermain dulu tanpa dia ya.” “Apakah kita bisa menjenguknya ke rumah sakit?” “Bu Diana, dengan siapa Doni akan tinggal di rumah sakit?” “Dia pasti kesepian.” Lia yang sejak tadi berdiri di sebelahku menunduk, menatap wajah Sasa, bocah berusia delapan tahun yang memang sahabat baik Doni, kemudian menerangkan, “Kalian tidak perlu cemas, karena Doni bersama Kak Akbar. Kalian belum lupa kan kalau Kak Akbar dokter yang sangat hebat?” Perlahan, aku bisa melihat kelegaa
Pagi yang cerah untuk memulai hari. Dikarenakan Mbak Nisa sudah kembali panti, aku bisa sedikit bernapas lega karena bisa menyerahkan urusan sarapan kepadanya. Sementara aku bertugas mengurus para balita, memandikan mereka dan dibantu oleh Lia, seperti biasa. Tapi paling tidak kami tak harus pontang-panting.Itulah kenapa kami bisa menyantap sarapan lebih pagi, meskipun hanya dengan tempe goreng tumis ayam suwir. Hanya ada itu di kulkas, aku belum belanja mingguan. Rencananya nanti siang aku akan mampir ke pasar, setelah menjenguk Doni kecilku yang malang.“Dia pasti sudah sangat menunggu kedatanganku.”Mbak Nisa yang sedang mengayun-ayunkan Aldi di gendongannya hanya menatapku heran. “Kamu apa nggak lelah, Diana? Dari semalam kamu tidak tidur lho.”“Nggak ada waktu buat capek, Mbak Nis.” Aku meraih tas jinjingku yang tadinya kuletakkan di meja, kemudian menoleh ke arah cermin di pintu lemari di ruang tamu untuk memastikan. Sebenarnya tadinya aku sudah dandan, hanya saja setelah dija
Hanya sementara.Hanya sampai Oma sembuh.Tidak lebih.Tidak kurang.Semua hanya demi Oma.Diana menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Kini dia telah bersiap dengan gaun pernikahan berwarna putih dengan ornamen bunga-bunga di sepanjang garis dada, sementara rambut bergelombangnya dihiasi pita berwarna merah yang kontras. Membuat penampilannya sangat memesona, tampak seperti pengantin pada umumnya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ada kebimbangan besar.Meskipun dia mencintai Evan, tetapi Diana sama sekali tak pernah membayangkan bahwa dia akan menikahi lelaki itu dengan cara seperti ini. Sebab, sama seperti kebanyakan perempuan, dia juga ingin dinikahi atas alasan cinta dan bukan semata-mata dianggap sebagai formalitas belaka.“Diana?”Suara Inggit, calon mertuanya membuat Diana menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup di belakangnya. “Masuk, Ma!”“Bagaimana? Kamu sudah siap?” tanya Inggit sambil membuka pintu. “Penghulunya sudah datang. Para tamu juga sudah berkumpul.”Diana m