Setelah tidur yang begitu panjang, Alice terbangun di siang hari. Ia merasakan tubuh yang begitu lemas. Dirinya berniat untuk mandi terlebih dahulu dan makan untuk memulihkan tenaga.
Sebelum itu, gadis berambut panjang tersebut melirik penampilannya sekilas di depan cermin. Sungguh, ia merasa terhina sekali. Tubuhnya yang dibalut dengan gaun merah seolah-olah tidak mencerminkan perilakunya. Alice yang kini sudah berantakan akhirnya mengakui kesalahan.
"Kenapa aku menerima tawaran itu? Kalau aku nggak menerimanya, pasti aku nggak akan seperti ini."
Untuk menghilangkan semua pikiran mengenai kejadian kemarin, Alice mengambil handuk dan segera bergegas ke kamar mandi. Ia tidak ingin kehidupannya membayangkan hal itu lagi. Ingatan Cavin berusaha dihilangkan meski rasanya sia-sia saja.
Setelah mandi, Alice memakai pakaian yang sesuai dengan selera. Gaun merah yang kemarin dipakai akhirnya disimpan di tempat pencucian. Di saat dirinya sudah tampil segar, ia mulai beranjak menuju dapur untuk makan.
Sesampainya di dapur, ternyata Tante Mona sudah berada di sana sambil menyiapkan makanan. Alice terkejut, tidak biasanya wanita itu menyiapkan makanan.
"Kamu sudah bangun? Sekarang, kamu harus makan! Kamu pasti sudah lapar, 'kan?" Tante Mona dengan semangatnya menyiapkan piring meski dengan nada terpaksa.
Alice merasa bahwa itu terjadi karena Tante Mona sudah menerima uang yang banyak dari Cavin. Mungkin juga karena itulah Tante Mona akan menjadi baik kepadanya. Lantas, gadis tersebut menghampiri meja makan yang penuh dengan makanan dengan antusias.
"Terima kasih, Tante. Tante baik juga hari ini," ucapnya dengan lembut.
Tante Mona terlihat senyum dengan paksaan. Ia melakukan semua itu karena ingin membuat Alice menerima tawaran kembali atau bahkan bisa menerima kontrak tetap dari Cavin.
"Silakan makan sepuasnya, anak pungut, karena permainan belum selesai," batin Tante Mona dengan senyuman yang masih terukir.
Kini, malam hari telah tiba. Alice akan bersiap-siap untuk tidur. Namun, tiba-tiba saja pintu terbuka. Tampak Tante Mona yang tersenyum ke arahnya.
Alice merasa bingung melihat ekspresi tantenya belakangan ini. Semenjak siang tadi, wanita itu selalu memasang senyuman yang baginya mengerikan. Entah, apa yang akan dilakukan olehnya di balik semua ini.
"Alice sayang, sekarang Tante mau minta sesuatu sama kamu?" Tante Mona mulai merayu, membuat gadis itu merasa tidak enak dan memiliki firasat buruk.
"Mau minta apa, Tante?"
Tiba-tiba, datanglah Cavin tepat di ambang pintu kamar. Hal itu membuat Alice semakin terperanjat. Ia berdiri, lalu mencoba menjauh.
"Hai, Sayang. Temani aku ke luar, yuk!" ajak Cavin dengan nadanya yang sama dengan yang kemarin.
Alice tidak menyangka jika pria itu akan datang kembali. Ia menggeleng sesering mungkin, membuat Tante Mona mulai menunjukkan muka masam.
Cavin mulai mendekatinya, tetapi Alice mulai menggeleng dengan keras. Ia berniat untuk lari dari kamar, tetapi Tante Mona berhasil menahan tubuhnya. Kini, gadis berpakaian piyama itu tidak bisa berkutik.
"Kamu harus terima dia. Apa pun yang dia mau, kamu harus turuti," bisik Tante Mona tepat di sebelah telinganya.
Alice menangis, ia merasa sakit tatkala tangannya digenggam dengan kuat oleh Tante Mona. Sementara, Cavin mendekat dan menggiringnya menuju tepi kasur.
"Kamu jangan takut, Sayang. Aku akan membuat kamu bersenang-senang malam ini juga. Kamu jangan khawatir!"
Hancur sudah harapan Alice untuk dapat melarikan diri. Ia harus menuruti keinginan tantenya beserta Cavin. Meski dirinya enggan, hal itu pastinya membuat mereka menjadi marah. Terlebih Tante Mona pasti menagih kembali uang makan dan tempat tinggal sebagai pengganti.
Kini, Alice didandani sama seperti kemarin. Cavin membelikan gaun baru untuknya. Gaun biru yang begitu indah dan berkilauan ketika diterpa cahaya lampu.
Alice sama sekali cocok memakainya. Hal itu membuat Cavin terkesima, ia tidak sia-sia mengajak perempuan itu untuk menemaninya setiap malam.
"Kamu cocok sekali memakai gaun itu." Cavin tersenyum dan menatapnya lebih lama.
Untuk kedua kali, Alice merasa malu. Ia melihat kedua lengan yang terbuka karena gaun tersebut. Dirinya merasa kedinginan karena tidak terbiasa. Namun, Tante Mona tidak peduli dengan hal itu. Ia langsung berkata kepada Cavin untuk mengajaknya keluar dan menikmati malam yang begitu indah.
Tanpa pikir panjang, Cavin menggenggam tangan Alice. Gadis itu mencoba untuk melepaskannya, tetapi genggaman pria yang memakai jas biru itu sangatlah kuat. Membuat Alice tidak berdaya dan tidak bisa menolak juga.
"Silakan masuk, Nona cantik!" Cavin membuka pintu mobil dan mempersilakan Alice untuk masuk.
Di ambang pintu rumah, Tante Mona terlihat melipat kedua tangan di depan dada. Ia akan segera memiliki banyak uang dengan memanfaatkan Alice. Sungguh, dirinya adalah seorang wanita yang hanya mementingkan diri demi keuntungan pribadi.
"Selamat tinggal, selamat menikmati malam kalian!" Tante Mona melambai tatkala mobil telah melaju meninggalkan tempat itu.
Alice hanya terdiam saja di dalam mobil. Amarah, kebencian, kesedihan, semuanya sudah bercampur aduk. Ia tidak bisa berkutik, apalagi melawan.
Cavin yang berada di samping hanya dapat melirik saja. Ia memanggil nama Alice beberapa kali, tetapi perempuan itu hanya diam saja.
"Kamu pasti nggak mau aku ajak ke tempat itu lagi, 'kan? Ya, sudah. Nggak apa-apa, kali ini aku mau ajak kamu ke rumah makan. Apa kamu mau?" tawar Cavin mencoba untuk bersikap lembut.
Tetap saja, Alice hanya terdiam dengan pandangan terus ke sisi kiri. Ia sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi nantinya. Dirinya berencana untuk kabur supaya terhindar dari sikap Cavin yang hanya memanfaatkannya.
Akhirnya, mobil pun berhenti di sebuah tempat makan yang mewah. Alice memandang ke arah sekitar. Ternyata, lelaki itu tidak berbohong. Ia membawakan dirinya ke rumah makan.
"Kita akan makan di sini, ya! Setelah ini, kita bersenang-senang lagi."
Alice terbelalak, rupanya hal itu merupakan peralihan supaya dirinya melunak dan mau menuruti kemauan Cavin. Namun, ia sudah tidak peduli. Rencana untuk kabur semakin menguat. Tidak akan ada yang menghalangi rencana tersebut.
Kini, Mereka berdua keluar dari mobil dan memasuki rumah makan. Mereka duduk tepat di meja sudut yang masih kosong. Alice merasa lebih tenang di rumah makan tersebut daripada di diskotik yang penuh dengan keramaian orang dan berbagai sikap dan perilaku aneh.
Cavin membuka sebuah menu untuk memilih makanan yang akan mereka pesan. Ia pun memesan sebuah minuman anggur untuk Alice. Dirinya pun memiliki sebuah ide untuk melakukan sesuatu.
"Alice, kamu tunggu di sini dulu, ya! Aku akan kembali sebentar lagi!" Tiba-tiba saja, Cavin bangkit dari duduknya dan menghampiri bagian pelayan.
Kini, kesempatan Alice untuk bisa kabur terbuka luas. Ia mencoba untuk lari dari tempat itu juga.
Alice mulai bangkit, ia mencoba untuk lari. Namun, langkahnya tiba-tiba saja dihentikan oleh seorang satpam yang bertugas di luar."Nona yang bernama Alice, 'kan?" Satpam tersebut tiba-tiba saja mengetahui namanya.Alice merasa terkejut, dari mana satpam itu tahu namanya? Satpam tersebut menjelaskan bahwa seorang pria kaya bernama Cavin telah memintanya supaya Alice tidak bisa keluar dari rumah makan itu."Nona segera masuk kembali, kalau tidak nanti Bos Cavin akan memarahi saya!" ungkap satpam tersebut.Ia menjadi tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Entah mengapa semua orang seolah-olah mengenal sosok Cavin. Apakah memang dirinya benar-benar orang yang terhormat dan terkaya di dunia ini? Apakah keinginan orang itu selalu terpenuhi?Alice pun dipaksa kembali untuk masuk ke rumah makan dan duduk di tempat makan kembali. Ia merasa heran dengan tingkah laku sendiri ataupun perilaku Cavin yang dinilai terlalu berlebihan.Di sisi lain, Cavin menghampiri seorang pelayan. Ia memesan dua
"Gak, Tante! Alice gak mau!" teriak seorang gadis terhadap wanita yang lebih tua darinya.Suasana rumah itu menjadi kacau tatkala gadis tersebut menolak tawaran dari tantenya. Sementara, wanita yang disebut sebagai tante itu pun mulai naik pitam."Kamu itu anak bandel, ya! Sudah untung aku kasih kamu makan. Sekarang, malah melawan pula! Kamu harus cari uang dengan menerima tawaran ini!"Perkataan tersebut menjadi tamparan bagi gadis bernama Alice. Ia disuruh untuk menjadi wanita kontrak semenjak terdapat seorang lelaki yang berkunjung di rumah beberapa jam lalu. Lelaki tersebut sangat terpesona dengan kecantikan Alice sehingga mengusulkannya menjadi wanita kontrak dan melayani dengan penuh hasrat.Alice tetap saja menolak tawaran tersebut. Selama ini, ia tidak ingin melakukan pekerjaan itu. Karena sudah melewati batas kesabaran, akhirnya tantenya pun menampar dengan keras."Tante Mona, hentikan!" rintih perempuan berambut panjang terurai itu dengan deraian air mata yang semakin deras.
Cavin terkejut ketika melihat reaksi Alice. Ia segera menarik kembali tangannya yang hampir saja menyentuh tangan putih milik Alice. Bukannya marah, lelaki itu tetap saja menggoda Alice yang saat itu sudah naik pitam."Kamu jangan marah-marah, Sayang. Nanti, kecantikan kamu bisa hilang," katanya dengan nada yang lemah lembut.Alice merasa jijik mendengarnya. Ia ingin sekali untuk cepat-cepat keluar dari mobil. Namun, dirinya tidak dapat melakukan hal itu. Perempuan tersebut mencoba untuk mengikuti jalan alurnya."Pak, Bapak bisa lakukan apa pun terhadap saya, tapi izinkan saya memberikan batasan untuk Bapak juga," kecam Alice dengan pandangan tetap mengarah ke depan.Cavin mengernyit, ia tahu jika perempuan itu belum mengerti mengenai kegiatan yang akan dilaluinya malam ini. Lantas, lelaki tersebut hanya mengiakan saja sembari tetap berfokus untuk menyetir mobil.Setengah jam kemudian, mobil tersebut telah sampai di suatu tempat. Tempat itu sangatlah ramai dengan berbagai lampu yang b
Di malam itu, Alice melayani Cavin dengan penuh hasrat. Di atas tempat tidur, Cavin merasa senang. Entah ke berapa kali Alice melayani kembali pria yang lebih tua darinya. Hal itu bertujuan supaya mendapatkan uang banyak yang telah dijanjikan Cavin sebelumnya.Setelah beberapa ronde mereka lalui, akhirnya permainan pun selesai. Cavin merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh Alice. Pria tersebut sedang mengancingkan kemeja dan memakai jas kembali.Jam telah menunjukkan pukul dua belas malam. Di waktu tersebut, Alice seharusnya sudah tidur. Namun, ternyata dirinya berada di tempat yang tidak diinginkan."Ayo, Sayang! Kita harus pulang."Perkataan Cavin membuat Alice merasa senang. Sudah lama dirinya menantikan hal itu. Ia muak dengan segala yang terjadi di diskotik, terlebih melayani Cavin terus-menerus.Mereka berdua turun dari lantai dua. Diskotik masih ramai akan pengunjung, mereka tidak lelah sama sekali untuk membuang waktu dan bersenang-senang.Sementara, Mami Bella mengha