Setelah momen kegaduhan selesai. Kini Fania pun beranjak dari kursi untuk memulai peresmian toko bunganya. Fania memberi nama tokonya bernama ‘Tifflower’. Dan harapan Fania, dibukanya usaha ini bisa mempermudah banyak orang yang ingin belajar mengikuti kelas merangkai.Tujuannya untuk mempermudah orang lain, yang belum menguasai ilmu membuat berbagai motif buket karangan bunga untuk beberapa acara penting. Seperti kado pernikahan, wisuda, acara ulang tahun. Atau hadiah untuk orang terkasih.Pemotongan pita pun telah Fania lakukan. Dan Fania kini memberikan beberapa sambutan untuk para tamu undangan. Setelah sambutan selesai, kini acara ditutup dengan kegiatan merangkai bunga, untuk beberapa tamu undangan yang ingin tahu bagaimana cara merangkai atau membuat buket.“Silakan ruangannya di sini,” unjuk Fania kepada beberapa tamu yang meminat belajar merangkai.Ada sekitar sepuluh orang yang ikut belajar merangkai. Dan Fania menunjuk Lily untuk menjadi mentor sebagai arahan pembelajaranny
Satu hari setelah peresmian toko bunga Fania. Fania kini disibukkan kegiatan di tokonya. Meski terbilang toko baru. Namun, toko Fania ramai di kunjungi oleh banyak orang untuk memesan karangan bunga, atau buket bunga. Apalagi beberapa hari lagi adalah hari Valentine di mana orang selalu memberikan hadiah untuk orang terkasih.“Kak, ini ada pesanan tiga buket bunga mawar merah berukuran besar,” kata Sani yang mendekat ke arah Fania yang sedang menyusun bunga.“Untuk hari apa, San?”“Besok, Bu.” Sani menjawab dengan memberikan ponsel khusus toko menunjukkan pesan dari seseorang.“Haduh, besok, ya? Masalahnya yang pesanan hari banyak banget, ambil nggak, ya? Tapi, nggak enak kalau menolak.” Fania bergumam bingung. Karena ia baru saja memulai usaha, dan ia tidak ingin mengecewakan pelanggan barunya.Setelah menimbang cukup lama. Fania pun mengangguk. “Ya, sudah. Kita ambil saja, kalian lembur malam ini mau ‘kan?” tanya Fania kenapa dua pegawainya.Lily dan Sani mengangguk bersamaan. “Iya,
Malam harinya. Fania sampai di apartemen sekitar pukul 10 malam. Itu pun Devan yang menjemput ke toko untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Kamu pasti lelah banget, ya?” tanya Devan saat istrinya bersandar di atas d**anya.Fania mengangguk lemas. “Banget, Mas. Hari ini pesanan membludak melebihi target. Tapi, senang sih, Mas. Banyak pelanggan baru yang mempercayakan pesanan buket di tokoku,” sahutnya dengan mata yang memejam.Devan tersenyum. Tangan kirinya dengan pelan membelai surai hitam sang istri, lalu berkata, “Bagus lah, aku senang jika usahamu maju dan ramai. Itu artinya banyak orang yang menyukai hasil karangan bunga yang kamu buat.”“Iya, Mas. Benar banget, terima kasih, ya, Mas. Ini semua berkat dukunganmu, membuat impianku terwujud.” Fania mengangkat kepalanya, menatap suaminya.“Iya, sama-sama. Jika kamu bahagia, itu sudah membuat diriku bahagia juga.” Devan mengelus pipi mulus istrinya dengan lembut.Dan ia pun menceritakan tentang pengalihan saham yang sudah ia ber
Seorang pria menyunggingkan bibirnya saat menatap ke arah wanita yang memegang buket bunga berisi mawar putih 100 tangkai.“Kenapa? Apa kamu terkejut melihatku?” tanya pria itu sinis.“Tidak.” Fania menggeleng. Ia berpura-pura untuk tetap bersikap biasa saja.“Oh, begitukah. Aku kira kamu akan terkejut.” Pria itu tersenyum tipis seraya mengulurkan tangannya ke wajah Fania. Untung saja Fania dengan cepat menghindar.“Jaga sikapmu!” bentak Fania. Ia pun segera mengulurkan buket bunga mawar putih ke hadapan pria yang kini menatapnya dengan tak biasa.Namun, sekian detik pria itu langsung menodong Fania dengan menyekap wajahnya menggunakan sapu tangan. Tubuh Fania kini tak berdaya dan ia pun terjulai lemas sampai buket mawar putih itu jatuh ke lantai berbarengan dengan ambruknya tubuh Fania yang tak sadarkan diri.Pria itu segera membopong tubuh Fania untuk memindahkan ke kamarnya. Ia juga melihat wajah cantik Fania yang selama ini tidak pernah ia lihat. Untung saja, niat jahatnya terali
Setelah panggilan terputus. Devan segera beranjak dari kursi membuat Alya yang baru masuk ke ruang VIP terkejut akan kepergian mantannya itu.“Mas, kamu mau ke mana? Makanan belum datang, lho?” cegah Alya menahan kepergian Devan.“Kita batalkan saja, aku ada urusan yang lebih penting.” Devan berusaha menerobos Alya yang menghalangi.“Nggak, Mas. Kamu nggak boleh pergi! Sebentar lagi makanan akan datang, kita makan sebentar, oke?” bujuk Alya lagi memohon.“Sekali aku bilang enggak, ya , enggak, Alya! Kamu bisa ngerti nggak, sih?” bentak Devan. Lalu ia meninggalkan ruang VIP begitu saja.Alya yang tak dapat mencegah mantan kekasihnya itu, ia hanya bisa menghentakkan kakinya sebagai pelampiasan kekesalannya. Karena makan siang yang sudah ia rancang sebaik mungkin gagal total.“Argh ... Kenapa jadi gagal kaya gini, sih!” berang Alya begitu emosi. Ia pun segera menghubungi Riko untuk tetap menyekap Fania sebagai pelampiasannya kembali.Sementara itu, Devan melajukan mobilnya begitu kenca
Hati Devan begitu gelisah memikirkan keadaan Fania. Setelah ia melakukan perjalanan yang terbilang cukup ramai. Akhirnya, kini ia sampai juga di lokasi yang di tuju.Ia memarkirkan mobilnya di halaman apartemen sesuai dengan nama lokasi yang diberikan oleh Reihan maupun Lily. Saat mobil sudah terparkir, ia langsung melihat keberadaan Reihan yang sudah lebih dulu sampai darinya.“Gimana, Rei?” todong Devan saat ia sudah menghampiri asistennya itu yang sedang duduk di sofa tepatnya di lobi apartemen.“Kata petugas keamanan pihak apartemen. Mereka memang melihat wanita membawa buket mawar putih naik ke lantai atas. Aku sedang meminta izin mengecek CCTV apartemen khusus hari ini. Nanti pihak keamanan akan memberitahu informasinya ke kita, Tuan.” Reihan menerangkan kepada bosnya.Namun, Devan yang sudah tidak sabar, ia main menerobos masuk ke dalam ruang CCTV. Mau tidak mau, Reihan pun ikut mengekori bosnya yang terlihat gelisah.“Cepat, Pak. Apa sudah menemukan?” cecar Devan membuat petu
“Aku serius, Kak. Tadi aja, pas aku sampai apartemen. Di sana ada Reihan bersama dua petugas keamanan. Gimana dong ini, Kak. Masalahnya Riko sekarang di bawa ke kantor polisi?” Shanum begitu gelisah.Alya sendiri dibuat bingung, rencana yang seharusnya berjalan lancar. Kini malah berantakan. Harusnya dia sedang bersenang-senang dengan Devan di kamar hotel yang sudah ia pesan dan ia rias secantik mungkin. Dan Alya juga sudah menyuruh pihak pelayan hotel yang mengantar makanannya untuk memberikan obat perangsang ke minuman Devan.Alya bahkan sudah membayangkan betapa indahnya bisa bermalam dengan sang mantan kekasih. Entah takdir sedang mempermainkan atau tidak berpihak padanya. Semuanya gagal, dan tidak sesuai dengan harapan yang ia buat.“Ya, sudah. Aku akan ke kantor polisi sekarang. Kamu tunggu di sana, ya!” ucap Alya, sebelum panggilan itu terputus.Tidak lama, mobil Shanum sampai di halaman kantor polisi daerah Jakarta Barat. Ia langsung turun mengikuti ke empat pria di depannya y
Di rumah sakit tepatnya Fania di rawat. Kesadaran Fania masih belum pulih total. Apalagi ditambah rasa trauma yang Fania alami. Membuat ia sering teriak histeris jika terbangun.Devan sudah menghubungi bagian psikiater untuk menangani istrinya. Melihat keadaan istrinya seperti ini, hatinya terasa hancur dan merasa gagal menjadi seorang suami yang tak bisa menjaga istrinya dengan baik.Tanpa ia sadari ponselnya kini berdering berulang kali. Membuat ia langsung menjawab panggilan itu.“Halo, Dev,” sapa Sam di seberang sana.“Iya, Pah.” Devan menjawab dengan lemas.“Bagaimana kondisi Fania?” tanya Sam. Ia khawatir saat mendengar kabar buruk menimpa menantunya itu.“Sudah lebih baik, Pah. Sepertinya, aku dan Fania tidak bisa menghormati acara pernikahan, Papah. Masalahnya Fania harus mendapatkan penanganan yang lebih serius,” terang Devan membuat Sam tidak mempermasalahkan.“Tidak apa, Dev. Yang penting Fania harus pulih terlebih dahulu,” ungkap Sam mengerti. Ia juga tidak ingin membebank
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Devan menaruh ponselnya di jasnya kembali. Disaat itu pula Fania mendekat dan bertanya siapa yang menghubungi.“Pak Gunawan yang menelpon tadi, Sayang.” Devan berkata seraya mendekat ke arah istrinya.Fania hanya mengangguk meski sebenarnya dia ingin bertanya lagi, tetapi dia urungkan. Sebab, melihat ibunya yang begitu terpuruk saat ini, ia merasa kasihan. Ada sedikit rasa cemburu, kenapa ibunya begitu kehilangan Bisma dibandingkan saat ayahnya tiada.Banyak sekali yang ingin Fania ketahui, tetapi ia tidak mau membuka masa lalu ibunya kembali.“Ibu, yakin tidak apa-apa?” tanya Fania ikut berjongkok. Elfina pun mengangguk.“Benar, Nak. Ibu tak apa-apa, kok. Hayo kita pulang, sepertinya bakalan hujan,” sahut Elfina dengan menatap ke atas melihat awan yang kini sudah berubah menjadi awan gelap.Fania mengangguk. Di perjalanan menuju kediaman rumah Bisma. Elfina menatap ke arah wanita paruh baya dan ia pun berterima kasih karena sudah mau mengantarkan dirinya ke makam teman lamanya itu.“
Bab 103. Berkunjung ke rumah Bisma Devan mengangguk saat istrinya bertanya tentang dirinya yang sudah melaporkan Angela. Sebenarnya, Devan bukan hanya melaporkan Angela, tetapi dia juga melaporkan Shanum dan juga Beni. Dia ingin memberi peringatan kepada Angela agar dia sadar jika dirinya adalah otak dibalik rencana melenyapkan Alnando. “Terus, apa yang kamu katakan kepada Shanum, Mas? Apa kamu mengabulkan belas kasihnya, saat dia mengemis padamu?” tanya Fania lagi penasaran. Devan menggeleng. “Tidak, aku tidak menanggapi, Sayang. Aku sudah memperingatkan Shanum, jika dia mau memohon pun aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku. Karena nyawa harus dibalas dengan nyawa juga!” tegas Devan. Fania tersenyum kali ini. “Baguslah, Mas. Harusnya seperti itu. Biar ibu tiriku jera juga. Aku sudah muak juga dengan sandiwara Angela,” ucap Fania. Dengan berani menyebut nama ibu tirinya kepada Devan. Devan yang mendengar dia tertawa renyah kali ini. Bukan karena mengejek, tetapi mendengar is
Jujur saja Shanum sangat syok mendengar ucapan dari pak Gunawan. Setelah itu, dia pun bertanya siapa yang melaporkan ibunya. Karena ia ingin menemui orang itu agar bisa mempertimbangkan tuntutannya kepada sang ibu.Pak Gunawan akhirnya memberitahu Shanum siapa orang yang telah melaporkan ibunya itu.Dan kini Shanum yang berada di dalam mobilnya dibuat gusar. Ia tak menduga jika yang melaporkan ibunya adalah suami adik tirinya.“Aku harus menemui Devan sekarang. Aku harus membebaskan, Mamah,” ucap Shanum. Namun, sebelum dia melajukan mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang telah menghubunginya.Setelah membaca nama di layar ponsel. Shanum pun segera mengangkat.“Mamah, sekarang sedang ditahan di kantor polisi. Apa kamu punya cara agar Mamah bisa bebas?” tanya Shanum setelah menyapa.“Apa? Di tahan?” tanya Beni terkejut.“Iya, ada yang diam-diam menaruh kamera pengintai di seluruh ruangan rumah, dan Mamah dinyatakan bersalah karena ada bukti yang kuat saat Mamah m