Cakra memperhatikan jam tangan dengan tali dari kulit berwarna coklat. Bentuk jamnya bulat. Angka 12, 3 dan 9 cukup besar dan satu bulatan kecil menunjukkan detik. Bingkainya terbuat dari platinum.
Rolex Perpetual 1908 adalah warisan turun temurun dari kakek. Bukan hanya karena jam itu harganya mahal tetapi sejarahnya. Kakeknya, Cakra mewarisi jam ini kepada ayahnya dan kembali diwariskan kepada Zayden. Kening Zayden berkerut. Matanya menyipit kemudian melotot. “It can’t be!” Ia berbisik. Zayden yang kini bernama Cakra berdiri. Berjalan cepat ke kamar mandi kemudian berkaca, melihat pantulan bayangannya di cermin oval yang menempel di dinding. Decakan kecil terdengar dari bibir Cakra. Ia lupa siapa nama oma buyutnya. Tetapi yang pasti opa buyutnya bernama… “Cakra!” ucapnya pelan dengan nada terkejut. Dibasuhnya wajah dengan saat wajah Arabella terlintas. Lagi-lagi Cakra menyadari sesuatu. Cukup lama Cakra memikirkan kemungkinan itu. Jika dilihat, memang Arabella dan Anne cukup mirip. Hanya saja Anne adalah versi bule dan judes Arabella. Sayangnya ia tidak tahu jawaban dari satu pertanyaan. “Kalau aku gak berhasil membuat Anne jatuh cinta, apa masa depan kami akan berubah? Apa aku benar-benar sudah meninggal makanya aku bisa masuk ke tubuh opa buyut?” gumam Cakra. “Aku hanya akan menawarkanmu sekali. Kalau kau tidak ke segera ke meja makan, aku tidak akan peduli meski kau kelaparan.” Suara Anne mengagetkan Cakra yang sedang melamun. Wangi melati dan parfum yang Anne pakai menyeruak ke hidung Cakra sehingga tanpa sadari, ia memperhatikan istrinya itu. “Aku akan mencongkel matamu jika kau terus melihatku seperti itu. Apa kau tidak pernah belajar sopan santun, hah?” hardik Anne. Ia berbalik masuk, meninggalkan Cakra sambil mengumpat dalam bahasa Belanda. Cakra memperhatikan punggung Anne yang berjalan menjauh. Mencari cara bagaimana menaklukkan macan betina seperti Anne. “Kau sepertinya hobi membuat orang menunggu layaknya orang penting. Sayangnya bukan!” Makan malam Pieter nyaris habis tanda kalau Cakra sudah benar-benar terlambat. “Sisa waktumu di rumah ini hanya tinggal satu minggu. Setelah itu, kau harus menceraikan Anne dan angkat kaki dari sini.” Suara kursi didorong terdengar. Pieter meninggalkan ruang makan. Suara kursi yang didorong, kembali terdengar. Kini, giliran Asih yang menyelesaikan makan malamnya. “Anne, mama harap kau melakukan hal yang benar. Jangan mencoreng muka papa!” Asih menyusul suami masuk ke dalam kamar. Meja makan diramaikan oleh suara garpu dan pisau yang saling beradu. Sedang sepasang suami istri menikmati makan malam mereka tanpa ada perbincangan. Sampai menjelang tidur, akhirnya Cakra bertanya, “Mijn lief, apa yang kau inginkan untuk hadiah ulang tahunmu?” Cakra duduk di sisi ranjang yang kosong. Menunggu jawaban Anne. “Aku ingin dua permata yang tak ternilai, satu tak terlihat, yang lainnya tak terpisahkan.” Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Anne memberikan jawaban. Gadis itu memiringkan tubuhnya. Memunggungi Cakra dan menarik selimutnya hingga dada. *** Meski belum tahu apa yang akan ia lakukan pada ladang warisan orang tuanya, Cakra tetap pergi ke tempat itu. Namun, sebelum ke ladang ia mampir ke sebuah toko jam tua di pasar. De Tijdreiziger, nama toko jam pilihan Cakra. Cling. Cling Lonceng berbunyi ketika Cakra mendorong pintunya. Sebuah etalase kaca panjang terpasang di tengah ruangan. Membelah ruangan itu menjadi dua. Bagian penjual di bagian dalam sedang bagian luar khusus pembeli. Jam-jam klasik terpajang di rak serta etalase kaca. Toko itu sangat ramai dengan denting suara dari jarum detik jam yang masih berfungsi dengan baik. Pemilik sekaligus penjaga toko adalah seorang pria paruh baya. Pipa cerutu terjepit di antara kedua bibirnya sedang tangannya sibuk membongkar sebuah jam tangan. “Ada yang bisa aku bantu, Anak muda?” Ia melirik Cakra dari kacamata bulatnya. Cakra mengeluarkan jam tangan dari kantong uang yang menggantung di pinggang. Meletakkannya di atas etalase kaca. Mengijinkan si pemilik toko melihat jam tangannya. Jam tangan Cakra rupanya lebih menarik daripada jam yang sedang ia kerjakan. Pria itu meletakkan jam tangan dan pipa cerutunya. Membetulkan posisi kacamata yang sedikit melorot. Mata Frans terpana melihat jam tangan yang ada di atas etalasenya bak menemukan harta karun. “Cantik sekali,” serunya penuh kekaguman. Dengan hati-hati Frans mengangkat jam tangan Cakra. Memperhatikan dengan seksama setiap senti bagian jam itu. “D-Dia berfungsi dengan baik.” Frans memperhatikan ketiga jarum jam Cakra. Ia menempelkan tali jam yang terbuat dari kulit ke hidung mancungnya. Mencium wanginya aroma kulit. “Dari mana kau mendapatkan barang ini, Anak muda? Ini bukan jam yang bisa kau temukan di sembarang tempat.” “Itu milikku.” Frans mendongak melihat Cakra. Matanya memindai pria pribumi berusia 25 tahun itu dengan tatapan penuh selidik. “Kau? Ini milikmu?” Melihat anggukan kepala Cakra, Frans melanjutkan. “Sebaiknya kau mengaku, Anak muda. Jika tidak, aku akan memanggil polisi. Aku yakin kau mencurinya.” “T-Tidak, Tuan. Jangan.” Cakra menoleh ke belakang. Memastikan tidak ada polisi yang datang. Ia tidak mau berurusan dengan polisi. Bisa-bisa ia gagal memberikan hadiah ulang tahun untuk Anne. “S-Sebenarnya jam itu milik —” Haruskah Cakra mengaku kalau jam itu berasal dari masa depan?“Aku sudah menjelajahi banyak waktu, Anak muda. Aku tahu jam ini tidak berasal dari sini.”Rahang Cakra terbuka. Kepalanya mendadak kosong untuk beberapa detik saking terkejutnya mendapati ada orang lain yang juga berpindah dimensi waktu seperti dirinya.“Jam ini tidak dijual di Kepulauan Melayu.” Tatapan tajam Frans membuat Cakra semakin grogi.“Katakan padaku, dari waktu mana kau berasal, Anak muda?” Frans menunduk. Melihat Cakra dari bingkai kacamata bulatnya.Tatapan Cakra belum berpindah dari Frans yang sejak tadi bicara sambil memeriksa jam tangannya. Ia mencari kebenaran atas ucapan pria paruh baya itu. Cakra menggigit bagian dalam bibirnya. Berpikir keras. Jawab yang ia siapkan sudah diujung lidah. Hanya tinggal mengucapkannya saja. Namun, Acara memilih jawaban lain karena tidak ingin dianggap gila. Tetapi yang terpenting dia belum percaya kepada Frans.“Aku hanya ingin menjual jam ini. Anda tidak perlu tahu asalnya dari mana,” jawabnya.Frans meletakkan jam Cakra di atas et
“Hajar dia!” Pria Belanda bernama Benjamins memberi perintah. Dengan mudah anak buah Benjamins melakukan perintah itu. Kedua tangan Cakra sejak tadi sudah dipegang. Pukulan demi pukulan Cakra terima tanpa bisa membalas. Mengaduh pun percuma karena algojo Tuan Benjamins dengan brutal memukulnya seperti sedang bermain dengan samsak tinju. “Berhenti!” Benjamins mengibaskan tangan setelah puas melihat Cakra dipukuli. Meminta anak buahnya menyingkir. “Dua hari!” serunya dalam bahasa Belanda. “Jika kau gagal, kau harus mengganti semua kerugianku dengan nyawamu!” Para pribumi yang menonton adegan itu bergidik ngeri mendengar ancaman tuan Benjamins. Mereka tahu pria berkulit putih itu selalu serius dengan ucapannya. Warga pribumi saling berbisik. Sebagian besar meledek Cakra karena kebodohannya menantang tuan Benjamins sedang beberapa orang kasihan dengan pria yatim piatu itu. Cakra masuk ke rumah dengan berjingkat. Seperti maling. Ia melebarkan pintu kamar Anne cukup untuknya m
“K-Kata bapak saya. Kata bapak saya begitu. Zaman bapak dulu, suami tidak punya muka kalau tidak menafkahi istrinya.” Cakra berharap Anne percaya pada ucapannya yang tidak sepenuhnya bohong. Papa memang pernah berpesan seperti itu. “Pikir dulu sebelum bicara! Orang bisa berpikir kalau kau itu tidak waras.” Anne menatap lembaran 500 gulden bergambar wayang di tangan Cakra. “Dari mana kau dapatkan uang itu? Kau mencuri?” tanyanya ketus. “Tidak, Nona. Aku menjual barang milikku yang paling berharga. Jadi tolong terima ini.” Cakra mengambil tangan Anne. Memberikan uang itu kepada sang istri. Sejenak manik mereka saling bersitatap. Beberapa detik yang membuat Cakra menyadari kalau mata Anne mirip dengan Arabella. Keduanya memiliki mata kecoklatan. Bulu mata tebal dan lentik serta sinar mata penuh kehangatan. “Lain kali tidak perlu melakukan apapun untukku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Anne tetap pada mode ketusnya. Ia mengambil uang dari Cakra dan menyimpannya di sebuah guci
Hindia atau Belanda? Pertanyaan itu terus saja muncul di kepala Cakra. Ia belum menentukan mana yang harus ia pilih. Sebagai pebisnis, tentu ia ingin keuntungan yang besar. Pilihannya akan jatuh kepada kepuasan tuan Benjamins yang ingin tanah dengan harga murah. Namun, melihat ada warga lain yang terusir dari rumahnya sendiri tanpa tahu kalau tanahnya telah dijual oleh orang lain, Cakra pun tidak tega. Ia tidak pernah main curang untuk mendapatkan keuntungan besar! Angin malam semakin dingin menyapu kulit Cakra. Ia menutup jendela kamar sekaligus gorden motif bunga. Lampu kamar juga sudah dimatikan hanya menyisakan lamour tidur temaram. Sudah hampir tengah malam tetapi Anne belum masuk kamar. “Apa Anne tidur di luar karena tidak ingin tidur denganku?” Cakra membatin. Rasa bersalah menyeruak membiarkan gadis tidur di luar sedangkan ia bisa nyaman tidur di atas kasur empuk. Disusulnya Anne keluar, tetapi Cakra tidak menemukan gadis yang mengaku sebagai istrinya itu di mana pun
“Apa Nona mau membantu saya?” Cakra mengutarakan idenya setelah Anne selesai berdandan.Gadis itu tidak memakai riasan wajah tebal. Rambut coklat kemerahannya disanggul rapi. Bagian poninya ia biarkan begitu saja. Menggunakan bedak tipis dan lipstik dengan warna lembut.Seperti noni lainnya, sehari-hari Anne mengenakan gaun katun sampai lutut. Kulitnya yang kuning khas Asia membuat gadis blasteran Belanda Hindia itu memiliki kecantikan yang berbeda dari noni Belanda lain.Anne tidak langsung menjawab. Ia menyelesaikan riasan wajah lalu memutar duduknya. Ia duduk berhadapan dengan Cakra yang duduk di sisi ranjang.Satu hembusan napas panjang keluar dari bibir tipis Anne. Dari caranya menatap, Cakra tahu kalau Anne terpaksa tetapi gadis itu tetap menolongnya.“Ini semua agar papa tidak punya kesempatan untuk menjodohkanku dengan Bimo.” Anne bangkit dari duduk. Bersama dengan Cakra ia menemui Tuan Van der Meer. Pria itu sedang duduk bersantai di teras belakang sambil membaca koran haria
“Usir saja dia. Tuan Benjamins tidak akan mau bertemu dengannya.” Penjaga yang lain memberi saran. Ia memukul-mukul tongkatnya ke arah Cakra. Mengusir pria itu seperti sedang mengusir anjing.Cakra berhasil menghindari pukulan penjaga pintu restoran. Ia menatap pengunjung yang sedang menikmati sarapan melalui jendela besar. Semua pengunjung Smakelijk Huis adalah orang asing. Dengan teliti ia mencoba mencari keberadaan tuan Benjamins.“Penjaga rumahnya bilang, Tuan Benjamins sedang sarapan di sini. Biarkan saya masuk! Saya sudah ada janji dengan tuan Benjamins.” Cakra mencoba menerobos kedua penjaga yang menghalanginya. Ia mendorong salah satu penjaga ke samping. Namun sayang, penjaga yang lain berhasil membaca gerakannya. Tangan Cakra dipegang. Ia ditarik dengan keras sampai kehilangan keseimbangan.“Ini bukan tempat untuk orang seperti dirimu! Ini tempat orang-orang berkelas,” pekik penjaga yang memiliki kumis. “Tapi saya sudah ada janji. Sampaikan saja pesan kepada Tuan Benjamins k
“Apa kau sedang memerasku, hah?” Benjamins, menggebrak meja setelah mendengar harga yang Cakra tawarkan untuknya. Pria itu melihat Cakra dengan tajam sementara dua wanita muda bumiputera memakai kebaya bunga-bunga sedang berusaha menenangkan sang meneer.ⁿ Salah satu dari mereka mengusap lembut lengan kekar Benjamins sedang wanita muda yang lain membantu Benjamins meminum teh olongnya. Cakra sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini di tahun 2024. Pengusaha ditemani oleh wanita-wanita bayaran hanya sekedar untuk gengsi. Ada juga yang memiliki wanita lain untuk menghilangkan stress pekerjaan. Iya tidak canggung dan tetap menatap lawan bicaranya. Gestur tubuhnya terlihat yakin. Sinar matanya menunjukkan keseriusan. Suaranya mantap tidak bergetar walau kadang para wanita Tuan Benjamins melakukan hal yang membuatnya gelisah. Benjamins lebih tenang setelah meminum tehnya. Ia menarik nafas panjang lalu berkata, “Bimo hanya memberiku harga f. 50 per bau. Sedang kau berani meminta
“Mana menantumu si petani singkong itu?!” Bimo berdiri di depan pintu rumah keluarga Van der Meer dengan muka tegang. Rahang pria itu mengeras. Kerutan di antara kedua alisnya begitu dalam. Ia sedang menatap Pieter dengan tajam.Pieter dan Asih saling tatap. Keduanya bingung melihat Bimo yang terbakar emosi. Tidak kunjung dipersilakan, Bimo yang tidak sabaran menerobos sambil berteriak memanggil Cakra dengan sebutan petani singkongCakra sedang berada di kamar berdua bersama Anne. Keduanya duduk di lantai dengan selembar kertas putih berada di antara mereka.Sekembalinya dari rumah Paimin, Anne menggambar desain toko untuk Tuan Benjamins. Sesuai kepribadian pria itu, Anne membuat desain yang sederhana dengan pilar-pilar kayu besar yang menggambarkan kekuasaan Tuan Benjamins.Sketsa bagian depan toko sudah selesai ia buat. Hanya perlu diberi warna agar terlihat lebih hidup. Cakra dengan sabar memperhatikan Anne menggambar garis demi garis. Sesekali ia mengoreksi jika gadis itu salah m
"Kau ingin ikut?" Cakra terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tatapan hitamnya bertemu dengan iris abu-abu Anne yang tampak berbinar penuh harap.Anne duduk di ranjang, menghadapnya. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanyanya, seolah tak mengerti kebingungan suaminya.Cakra menghela napas, mencoba membaca ekspresi istrinya. "Tapi tadi pagi kau bilang...""Benar." Anne mengangguk. "Jadi?"Cakra menggaruk kepalanya, frustrasi. Anne ingin bercerai, tetapi sekarang malah ingin ikut bersamanya ke Soerabaja. Aneh, bukan?Ia duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas dari Anne yang begitu bersemangat mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. Gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, sesekali bergumam pelan, mengingat apa saja yang harus dibawa."Nona Anne, aku akan berada di Soerabaja cukup lama," ujar Cakra, mencoba memberi peringatan halus.Alih-alih ragu, mata Anne justru semakin berbinar. "Benarkah?"Cakra menghela napas panjang. Semangat Anne begitu kentara,
“Kau lagi…” Franz mendesah berat begitu melihat Cakra melangkah masuk ke dalam toko jam miliknya. Dengan ekspresi jengah, ia melipat tangan di dada. “Dengar, kalau kau sampai membuat pelanggan-pelangganku pergi lagi, aku tidak akan segan-segan mengusirmu, Cakra.”Cakra hanya terkekeh, sama sekali tak merasa bersalah. “Santai saja, Franz. Kali ini aku tidak terburu-buru.”Tanpa menunggu undangan, Cakra menarik kursi di dekat jendela—tempat favorit Franz menikmati teh sorenya. Ia lalu menyeret kursi lain, menaruh kakinya di atasnya dengan santai, seolah toko itu adalah ruang tamunya sendiri.Franz menggeleng tak percaya. "Sungguh, kau tidak punya tata krama."Cakra mengabaikan komentar itu. Ia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya, membaca catatan yang sudah ia buat sebelumnya, lalu mulai menulis sesuatu dengan ekspresi serius.Franz menyipitkan mata, berusaha mengintip apa yang sedang Cakra tulis. Rasa penasaran mulai mengusiknya. Setelah pelanggan terakhirnya pergi, ia mendekat da
Semalaman, Cakra duduk di kursi goyang, menatap punggung Anne yang terlelap di ranjang. Pikirannya terus melayang pada ucapan gadis itu tadi."Kita menikah atas dasar kontrak, Cakra. Tidak lebih."Cakra menghela napas panjang. Tangannya menggenggam pegangan kursi, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaannya dengan gelisah."Aku tidak ingat sama sekali soal itu," gumamnya pelan, menggoyangkan kursinya dengan ritme lambat.Saat fajar merekah, Cakra tersentak bangun. Matanya langsung mencari sosok Anne, tetapi ranjang gadis itu sudah tertata rapi. Tidak ada jejak keberadaannya.Saat sarapan pun, Anne tidak tampak. Hanya ada Pieter yang duduk di ujung meja, menatap Cakra dengan sorot mata tajam penuh kebencian. Sebaliknya, Asih tampak lebih ramah setelah kejadian alergi Anne.Cakra menghela napas. Sepertinya Anne sengaja menghindar.Suara Pieter membuyarkan lamunannya."Dengar, aku tidak peduli soal taruhanmu dengan Bimo," kata Pieter dengan nada dingin. "Tidak ada yang berubah. Aku tetap akan
Bimo mendengus, menghentakkan tongkatnya ke lantai sekali lagi. “Tuan Van der Meer, kau tidak bisa menarik kata-katamu begitu saja! Aku telah menunggu terlalu lama untuk pertunangan ini! Aku telah membuktikan bahwa aku pantas! Kau sudah berjanji, dan sekarang kau ingin mengingkarinya?”Pieter Van der Meer menarik napas panjang. Ia menekan pelipisnya yang mulai berdenyut, merasa terjebak di antara tekanan Bimo, rengekan istrinya, dan air mata putrinya.“Bimo, aku—” Pieter mencoba berbicara, tetapi Bimo meninggalkan Pieter begitu saja. "Pa, apa kau tidak menyayangi putrimu?" Cakra menatap Pieter dengan sorot mata penuh harap. "Kita bisa mencari cara lain agar keluarga Benjamins mau menerima kalian kembali. Tidak harus seperti ini."Ia mencoba meredakan emosi mertuanya, berusaha menawarkan solusi tanpa mengorbankan kebahagiaan Anne. Cakra mengerti betapa pentingnya status bagi Pieter, tetapi apa gunanya jika itu berarti mengorbankan perasaan putrinya sendiri?Namun, bukannya mereda, ama
“Terima kasih, Tuan Benjamins. Saya pasti akan membalas semua kebaikan Anda,” ujar Cakra dengan penuh hormat. Matanya menatap pria di depannya dengan rasa terima kasih yang tulus. Tanpa bantuan Benjamins, ia mungkin masih terkurung di dalam sel, tak berdaya menyelamatkan Anne. Benjamins menyandarkan satu tangan di kemudi, menatap Cakra sekilas sebelum tersenyum tipis. “Tentu saja! Aku anggap ini utang.” Tanpa menunggu jawaban, ia langsung melajukan mobilnya, meninggalkan halaman rumah Pieter Van der Meer. Ia tidak ingin berlama-lama. Terutama jika sampai adiknya tahu bahwa ia ikut campur dalam masalah keluarga mereka. Namun, di dalam hatinya, Benjamins sudah mengambil keputusan. Melihat bagaimana Cakra mati-matian berjuang untuk Anne, dan bagaimana Bimo menunjukkan wataknya yang licik, ia semakin yakin—Bimo bukan pria yang pantas untuk keponakannya. Dan yang lebih penting, Cakra benar. Anne tidak seharusnya menanggung akibat dari kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Rasan
"Kau terlihat... berantakan," ejek Franz begitu ia memasuki ruang besuk. Cakra mendongak, menatap pria itu dengan sorot mata yang masih menyala meski tubuhnya lelah. Dua hari di dalam penjara telah mengubahnya—tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bahunya sakit luar biasa, mungkin terkilir. Wajah tampannya kini tampak lusuh dengan beberapa luka ringan akibat perlakuan kasar para petugas. Mereka memaksanya mengaku bahwa dia yang merusak meja dan kursi di restoran milik Bratz. Namun, meski ditekan, dihina, dan diperlakukan tidak adil, Cakra tetap diam. Ia tak akan memberi mereka kepuasan. "Terima kasih," jawabnya, suaranya serak namun penuh sindiran. Ia menyandarkan tubuhnya ke bangku panjang, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. "Bagaimana Anne?" Franz menghela napas, menarik kursi di depannya, lalu duduk dengan santai. “Dia baik-baik saja,” jawabnya akhirnya. “Setidaknya, lebih baik daripada kau sekarang.” Ca
Cakra tidak lagi peduli. Dengan satu gerakan kuat, ia mendorong Bimo menggunakan pundaknya hingga pria itu terhuyung ke belakang. Tanpa membuang waktu, ia berbalik dan melangkah cepat menuruni tangga, mengabaikan suara Bimo yang berteriak panik. "Keamanan! Seseorang menculik calon istriku!" seru Bimo dengan nada penuh amarah. Cakra mendengus tajam. Calon istri? Omong kosong! "Anne itu istriku, sialan!" umpatnya tanpa menoleh, langkahnya semakin cepat. Begitu sampai di lantai bawah, matanya langsung menangkap sosok Franz yang sedang asyik merokok di dekat pintu keluar. Tanpa memperlambat langkah, Cakra berseru, "Ayo, Franz!" Pria paruh baya itu menoleh, kaget melihat Cakra menggendong Anne yang masih sesak napas. Namun, tanpa bertanya lebih lanjut, Franz langsung membuang rokoknya dan mengikuti Cakra ke luar. Cakra melompat masuk ke dalam Wagon, sementara Franz segera mengambil posisi di kursi kemudi. Dengan cekatan, ia menyalakan mesin, lalu menekan pedal gas. Namun, sebelum m
“Pakai ini!” Franz menyerahkan bungkusan yang sejak tadi tergeletak di kursi belakang. Tangannya terulur santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting.Cakra menatap bungkusan itu dengan dahi berkerut, lalu mengambilnya dengan sedikit ragu. Ini bungkusan yang diberikan Asih sebelum mereka pergi. Dengan perlahan, ia membuka lipatan kertas coklatnya dan mengintip isinya.Mata Cakra sedikit membelalak. Di dalamnya, ada setelan rapi milik Pieter. Kemeja berwarna gelap dengan potongan elegan serta celana panjang yang jelas jauh lebih mahal dari pakaian yang dikenakannya sekarang. Ia menghela napas pelan. Jadi, ibu mertuanya sudah memperkirakan semuanya sejak awal.Asih tahu betul bahwa Cakra tidak akan bisa masuk ke restoran mewah dengan pakaian biasa seperti ini. Dia tahu menantunya akan dipandang sebelah mata, dan mungkin itu sebabnya dia sudah menyiapkan solusi bahkan sebelum masalah muncul.“Ck! Kalau aku tahu sejak tadi, aku tidak perlu menghadapi wanita itu.” Cakra mendecak kesal
“Kau harus menolongku, Tuan Benjamins,” kata Cakra dengan suara memohon. Wajahnya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. Ia mengayuh sepedanya secepat mungkin menuju kediaman Tuan Benjamins, yang tidak lain adalah paman Anne. Sesampainya di sana, Cakra tetap memelas, mengekori Benjamins masuk ke dalam rumah meski belum dipersilakan.“Kenapa? Kau bukan siapa-siapaku, Tuan Widjaya. Lagipula, aku tidak ada urusan dengan Pieter dan anggota keluarganya,” balas Benjamins dengan nada dingin. Wajahnya datar, sama sekali tidak menunjukkan empati.“Tapi dia keponakanmu, Tuan Benjamins! Dalam tubuh Anne mengalir darah yang sama denganmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?” seru Cakra, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Padahal, jika boleh, ia pasti sudah meninju pria itu.Benjamins terdiam. Jemarinya mengetuk perlahan permukaan meja kayu di sebelahnya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia menyesap brandinya, tapi kali ini rasanya tak sehangat biasanya. Kata-kata Cakra menu