“Nyonya. Nyonya Widjaya.” Cakra mengoreksi Bimo sambil membalas tangan Bimo.
Di masa depan, ia kehilangan istri karena kebodohannya. Lebih memilih wanita cantik yang ternyata hanya memanfaatkannya. Wanita sialan itu ternyata suruhan dari pesaing bisnisnya. Ia bukan hanya kehilangan istri tetapi juga perusahaan keluarga yang ia bangun dengan susah payah serta kerja keras. Setidaknya Zayden yang sekarang, tidak boleh lagi kehilangan istri apalagi karena orang ketiga. Semua orang boleh mengejeknya karena miskin, tetapi ia tidak terima jika istrinya didekati oleh pria lain. Pria dihadapan Cakra tersenyum ramah. Tidak merasa bersalah sama sekali sudah memanggil Anne seperti gadis lajang dan bukannya wanita bersuami. Dan itu justru membuat Cakra kesal. Keramahan yang dibuat-buat! Ia sengaja datang untuk menemui Anne setibanya di kota setelah pergi ke Batavia selama sebulan. Ia sungguh merindukan gadis itu. Namun, Bimo malah mendapatkan kabar buruk dan ingin melihatnya sendiri. Ia mendapat kabar kalau Anne sudah menikah. Bukan dengan bangsawan apalagi orang Belanda tetapi menikah dengan seorang pria yatim piatu miskin. “Anda mungkin belum tahu. Anne adalah istri saya.” Cakra menjelaskan. Ia menekankan setiap kata. Menunjuk dirinya sendiri. Mendramatisir informasi yang baru saja ia sampaikan. Pria itu bukan sadar kalau sudah membuat kesalahan dan meminta maaf malah merapikan jasnya lalu tersenyum ramah. “Saya tidak akan menganggap pernikahan tanpa restu sebagai sebuah pernikahan. Kau menikahi Anne agar lahan keluargamu tidak tergusur, bukan? Sedang Anne menikah denganmu karena emosinya. Dan sekarang, kami akan memperbaiki kesalahan itu.” Cakra tidak menyela. Ia membiarkan Bimo melanjutkan. “Seorang pria seharusnya bisa membahagiakan wanitanya,” sindir Bimo. Ia meletakkan ujung tongkat yang biasa dibawa oleh para bangsawan di pundak Cakra. Tongkat dengan ujung berlian besar. Bimo bukan orang sembarangan. Menekannya cukup keras sebagai simbol kalau posisinya jauh di bawah Bimo. “Sedang kau? Apa yang bisa kau berikan untuk Anne? Nona Van der Meer hidup mewah sejak kecil sedang kau bahkan tidak bisa memberikan sebuah sisir untuknya.” Bimo mengejek dengan wajah ramahnya. Senyum sopan terus mengembang di wajah pria itu. “Anne bisa menerima keadaan saya. Iya ‘kan, Mijn liefste¹? Sekarang saya mungkin miskin, tapi jangan khawatir saya berjanji, saya pasti bisa membuat Anne bahagia.” Cakra mengucapkannya dengan sangat manis. Senyumnya merekah. Menatap Anne penuh kerinduan. Matanya bersitatap dengan manik abu-abu Anne. Ia ingin melihat rona merah di pipi istrinya setelah mendengar perkataan manisnya. Namun, tidak ada! Anne tidak seperti istrinya kelak yang selalu tersipu setiap kali ia mengucapkan kata-kata cinta atau rayuan gombal. Anne malah menatapnya kesal merasa sikap Cakra berlebihan. Senyum menyebalkan Bimo kembali mengembang. Senyum mengejek, merendahkan Cakra. Pun begitu dengan tuan dan nyonya Van der Meer “Dengan apa?” tanyanya meremehkan Cakra. “Daun singkong?” tawa renyah Bimo mengisi ruang tamu. Kali Cakra tidak terima. Rahangnya mengeras menahan marah. Tatapan semakin tajam melihat Bimo seolah akan mengeluarkan laser dan menghancurkan pria sombong yang ada di hadapannya. “Sekarang saja kau menumpang di rumah kami. Makan pun ikut dengan kami. Kau bilang bisa membahagiakan putriku? Mimpi! Hidup Anne akan penuh air mata jika bersamamu.” Asih — ibu Anne ikut mengutarakan pendapatnya. “Beri saya waktu, Moeder. Saya pasti bisa. Apapun akan saya lakukan untuk Anne. Walau harus mengorbankan nyawa. Saya akan lakukan!” Tatapan Cakra melembut. Mata abu-abu dingin milik Anne kembali menjadi perhatiannya. Cakra tidak menggubris Asih yang mendecih tidak percaya dengan ucapannya. Cakra fokus pada wajah Anne yang tetap dingin. Mata Anne menyipit sedang membaca apa yang ada di kepala Cakra. “Apapun yang kau inginkan, Mijn liefste.” Cakra mempersilahkan Anne mengutarakan keinginannya. Wanita yang terlihat cantik dengan dress putih itu menatap Cakra bingung. Rambut coklat yang ia gelung khas seperti wanita tahun 1920an membuat kulit kuning langsatnya semakin bersinar. Karena blasteran, kecantikan Anne Marie van der Meer memang luar biasa. Ia mewarisi hidung mancung, mata abu-abu, bibir mungil serta warna rambut dari ayahnya. Sedang kulit eksotisnya warisan nyonya Asih yang adalah orang pribumi. Banyak yang ingin meminang Anne, tetapi gadis itu selalu menolak lamaran mereka. Mulai dari petinggi pemerintahan yang asli orang Belanda sampai bangsawan pribumi semua Anne tolak. Deheman Bimo membuyarkan lamunan Cakra. Pria itu berdiri tegak dengan dada membusung penuh percaya diri. Dikeluarkannya jam saku dari saku jasnya. Menutupnya cepat seakan teringat sesuatu. “Kalau tidak salah minggu depan adalah ulang tahun Anne?” Ia menoleh ke arah tuan Meer. Pria itu mengkonfirmasi pertanyaan Bimo dengan anggukan pelan. “Mari bertaruh. Kalau kado ulang tahun darimu bisa membuat Anne senang, aku akan memperhitungkanmu sebagai sainganku.” Cakra tidak langsung menjawab. Dengan hati-hati ia mencoba memaknai setiap kata yang Bimo ucapkan. Rasanya ada yang salah. “Bukankah seharusnya kau mundur dan menjauh dari Anne kalau kalah taruhan?” Akhirnya Cakra sadar. Bimo baru memperhitungkannya sebagai pesaing dan siap merebut Anne darinya. Pria ini terlalu meremehkannya! Ha-ha-ha! Suara tawa Bimo kembali mengisi ruang tamu. “Kau bukan sainganku! Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu kalau khayalanmu terlalu tinggi. Kau tidak pantas untuk Nona Van der Meer. Sampah tetap saja sampah walau ia ada di rumah mewah.” Bibir Cakra kembali menipis. Ia sedang menahan amarahnya. “Baik!” jawabnya. “Saya akan buktikan saya bisa membahagiakan Anne walau hanya dengan daun singkong.” Ia membalas sindiran Bimo tadi. Bimo memakai mengambil topi lalu menghampiri Anne. Ia mengulurkan tangan meminta tangan Anne. Dengan sopan, Bimo mengecup punggung tangan Anne dengan lembut. “Sampai jumpa minggu depan, Anne. Aku harap setelah pecundang ini kalah, ia tidak akan mengganggumu lagi.” Cakra harus menerima Anne yang memelototinya selama lima menit lebih setelah ruang tamu kosong dan hanya tinggal mereka berdua. “Apa kau sudah tidak waras? Je bent gek!²” pekiknya dengan suara tertahan. Ia tidak ingin orang tuanya mendengar pertengkaran mereka. “Kenapa kau bertaruh dengan Bimo? Apa kau tahu siapa dia, hah?!” “Aku tidak peduli siapa dia, Liefste³. Aku tidak gentar. Aku pasti menang.” Cakra tersenyum. “Aku bukan barang taruhan dan stop panggil aku sayang!” Anne berbalik meninggalkan Cakra. Malas mendengar kata-kata gombal pria itu. Dari ruang tamu Cakra bisa mendengar Anne menutup pintu kamarnya dengan keras. Sekarang Cakra menghadapi masalah lain. Ia tidak tahu barang apa yang bisa membuat Anne senang dan terpenting, bagaimana caranya ia mendapatkan uang untuk membeli hadiah? Ia mengambil kantong uang dari saku celananya. Mengeluarkan semua isinya. Hanya beberapa sen, setengah gulden dan… “Ini? Ini, kan…”Cakra memperhatikan jam tangan dengan tali dari kulit berwarna coklat. Bentuk jamnya bulat. Angka 12, 3 dan 9 cukup besar dan satu bulatan kecil menunjukkan detik. Bingkainya terbuat dari platinum.Rolex Perpetual 1908 adalah warisan turun temurun dari kakek. Bukan hanya karena jam itu harganya mahal tetapi sejarahnya. Kakeknya, Cakra mewarisi jam ini kepada ayahnya dan kembali diwariskan kepada Zayden.Kening Zayden berkerut. Matanya menyipit kemudian melotot.“It can’t be!” Ia berbisik. Zayden yang kini bernama Cakra berdiri. Berjalan cepat ke kamar mandi kemudian berkaca, melihat pantulan bayangannya di cermin oval yang menempel di dinding.Decakan kecil terdengar dari bibir Cakra. Ia lupa siapa nama oma buyutnya. Tetapi yang pasti opa buyutnya bernama…“Cakra!” ucapnya pelan dengan nada terkejut.Dibasuhnya wajah dengan saat wajah Arabella terlintas. Lagi-lagi Cakra menyadari sesuatu.Cukup lama Cakra memikirkan kemungkinan itu. Jika dilihat, memang Arabella dan Anne cukup mirip.
“Aku sudah menjelajahi banyak waktu, Anak muda. Aku tahu jam ini tidak berasal dari sini.”Rahang Cakra terbuka. Kepalanya mendadak kosong untuk beberapa detik saking terkejutnya mendapati ada orang lain yang juga berpindah dimensi waktu seperti dirinya.“Jam ini tidak dijual di Kepulauan Melayu.” Tatapan tajam Frans membuat Cakra semakin grogi.“Katakan padaku, dari waktu mana kau berasal, Anak muda?” Frans menunduk. Melihat Cakra dari bingkai kacamata bulatnya.Tatapan Cakra belum berpindah dari Frans yang sejak tadi bicara sambil memeriksa jam tangannya. Ia mencari kebenaran atas ucapan pria paruh baya itu. Cakra menggigit bagian dalam bibirnya. Berpikir keras. Jawab yang ia siapkan sudah diujung lidah. Hanya tinggal mengucapkannya saja. Namun, Acara memilih jawaban lain karena tidak ingin dianggap gila. Tetapi yang terpenting dia belum percaya kepada Frans.“Aku hanya ingin menjual jam ini. Anda tidak perlu tahu asalnya dari mana,” jawabnya.Frans meletakkan jam Cakra di atas et
“Hajar dia!” Pria Belanda bernama Benjamins memberi perintah. Dengan mudah anak buah Benjamins melakukan perintah itu. Kedua tangan Cakra sejak tadi sudah dipegang. Pukulan demi pukulan Cakra terima tanpa bisa membalas. Mengaduh pun percuma karena algojo Tuan Benjamins dengan brutal memukulnya seperti sedang bermain dengan samsak tinju. “Berhenti!” Benjamins mengibaskan tangan setelah puas melihat Cakra dipukuli. Meminta anak buahnya menyingkir. “Dua hari!” serunya dalam bahasa Belanda. “Jika kau gagal, kau harus mengganti semua kerugianku dengan nyawamu!” Para pribumi yang menonton adegan itu bergidik ngeri mendengar ancaman tuan Benjamins. Mereka tahu pria berkulit putih itu selalu serius dengan ucapannya. Warga pribumi saling berbisik. Sebagian besar meledek Cakra karena kebodohannya menantang tuan Benjamins sedang beberapa orang kasihan dengan pria yatim piatu itu. Cakra masuk ke rumah dengan berjingkat. Seperti maling. Ia melebarkan pintu kamar Anne cukup untuknya m
“K-Kata bapak saya. Kata bapak saya begitu. Zaman bapak dulu, suami tidak punya muka kalau tidak menafkahi istrinya.” Cakra berharap Anne percaya pada ucapannya yang tidak sepenuhnya bohong. Papa memang pernah berpesan seperti itu. “Pikir dulu sebelum bicara! Orang bisa berpikir kalau kau itu tidak waras.” Anne menatap lembaran 500 gulden bergambar wayang di tangan Cakra. “Dari mana kau dapatkan uang itu? Kau mencuri?” tanyanya ketus. “Tidak, Nona. Aku menjual barang milikku yang paling berharga. Jadi tolong terima ini.” Cakra mengambil tangan Anne. Memberikan uang itu kepada sang istri. Sejenak manik mereka saling bersitatap. Beberapa detik yang membuat Cakra menyadari kalau mata Anne mirip dengan Arabella. Keduanya memiliki mata kecoklatan. Bulu mata tebal dan lentik serta sinar mata penuh kehangatan. “Lain kali tidak perlu melakukan apapun untukku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Anne tetap pada mode ketusnya. Ia mengambil uang dari Cakra dan menyimpannya di sebuah guci
“Bangun! Kalau bukan karena terpaksa, aku tidak akan menikahi pria tidak berguna sepertimu.” Cakra memiringkan tubuh, mencari posisi ternyaman ketika merasakan kakinya ditendang. Sudah hampir dua minggu ia dibangunkan dengan kasar. Ia mulai terbiasa menerima perlakuan gadis yang mengaku sebagai istrinya. Cakra pikir ia akan meregang nyawa ketika Hendi menarik pelatuk pistolnya. Namun, entah bagaimana atau karena kekuatan apa, ia hidup kembali dan berpindah dimensi waktu! Zayden—nama Cakra di tahun 2024—terbangun di sebuah rumah bergaya klasik perpaduan Jawa dan kolonial. Orang-orang yang ia temui berpakaian aneh. Bahkan bangsawan dan orang Belanda tampak begitu ‘kuno’. Zayden, yang kini bernama Cakra, beristrikan seorang gadis blasteran Belanda-Jawa. Gadis kasar dan ketus yang sama sekali tidak menghormatinya sebagai suami. Kehidupannya berubah 180 derajat setelah ia pindah dimensi waktu. Tidak ada lagi Zayden yang kaya dan berpengaruh, hanya ada Cakra—seorang menantu payah dan m
“K-Kata bapak saya. Kata bapak saya begitu. Zaman bapak dulu, suami tidak punya muka kalau tidak menafkahi istrinya.” Cakra berharap Anne percaya pada ucapannya yang tidak sepenuhnya bohong. Papa memang pernah berpesan seperti itu. “Pikir dulu sebelum bicara! Orang bisa berpikir kalau kau itu tidak waras.” Anne menatap lembaran 500 gulden bergambar wayang di tangan Cakra. “Dari mana kau dapatkan uang itu? Kau mencuri?” tanyanya ketus. “Tidak, Nona. Aku menjual barang milikku yang paling berharga. Jadi tolong terima ini.” Cakra mengambil tangan Anne. Memberikan uang itu kepada sang istri. Sejenak manik mereka saling bersitatap. Beberapa detik yang membuat Cakra menyadari kalau mata Anne mirip dengan Arabella. Keduanya memiliki mata kecoklatan. Bulu mata tebal dan lentik serta sinar mata penuh kehangatan. “Lain kali tidak perlu melakukan apapun untukku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Anne tetap pada mode ketusnya. Ia mengambil uang dari Cakra dan menyimpannya di sebuah guci
“Hajar dia!” Pria Belanda bernama Benjamins memberi perintah. Dengan mudah anak buah Benjamins melakukan perintah itu. Kedua tangan Cakra sejak tadi sudah dipegang. Pukulan demi pukulan Cakra terima tanpa bisa membalas. Mengaduh pun percuma karena algojo Tuan Benjamins dengan brutal memukulnya seperti sedang bermain dengan samsak tinju. “Berhenti!” Benjamins mengibaskan tangan setelah puas melihat Cakra dipukuli. Meminta anak buahnya menyingkir. “Dua hari!” serunya dalam bahasa Belanda. “Jika kau gagal, kau harus mengganti semua kerugianku dengan nyawamu!” Para pribumi yang menonton adegan itu bergidik ngeri mendengar ancaman tuan Benjamins. Mereka tahu pria berkulit putih itu selalu serius dengan ucapannya. Warga pribumi saling berbisik. Sebagian besar meledek Cakra karena kebodohannya menantang tuan Benjamins sedang beberapa orang kasihan dengan pria yatim piatu itu. Cakra masuk ke rumah dengan berjingkat. Seperti maling. Ia melebarkan pintu kamar Anne cukup untuknya m
“Aku sudah menjelajahi banyak waktu, Anak muda. Aku tahu jam ini tidak berasal dari sini.”Rahang Cakra terbuka. Kepalanya mendadak kosong untuk beberapa detik saking terkejutnya mendapati ada orang lain yang juga berpindah dimensi waktu seperti dirinya.“Jam ini tidak dijual di Kepulauan Melayu.” Tatapan tajam Frans membuat Cakra semakin grogi.“Katakan padaku, dari waktu mana kau berasal, Anak muda?” Frans menunduk. Melihat Cakra dari bingkai kacamata bulatnya.Tatapan Cakra belum berpindah dari Frans yang sejak tadi bicara sambil memeriksa jam tangannya. Ia mencari kebenaran atas ucapan pria paruh baya itu. Cakra menggigit bagian dalam bibirnya. Berpikir keras. Jawab yang ia siapkan sudah diujung lidah. Hanya tinggal mengucapkannya saja. Namun, Acara memilih jawaban lain karena tidak ingin dianggap gila. Tetapi yang terpenting dia belum percaya kepada Frans.“Aku hanya ingin menjual jam ini. Anda tidak perlu tahu asalnya dari mana,” jawabnya.Frans meletakkan jam Cakra di atas et
Cakra memperhatikan jam tangan dengan tali dari kulit berwarna coklat. Bentuk jamnya bulat. Angka 12, 3 dan 9 cukup besar dan satu bulatan kecil menunjukkan detik. Bingkainya terbuat dari platinum.Rolex Perpetual 1908 adalah warisan turun temurun dari kakek. Bukan hanya karena jam itu harganya mahal tetapi sejarahnya. Kakeknya, Cakra mewarisi jam ini kepada ayahnya dan kembali diwariskan kepada Zayden.Kening Zayden berkerut. Matanya menyipit kemudian melotot.“It can’t be!” Ia berbisik. Zayden yang kini bernama Cakra berdiri. Berjalan cepat ke kamar mandi kemudian berkaca, melihat pantulan bayangannya di cermin oval yang menempel di dinding.Decakan kecil terdengar dari bibir Cakra. Ia lupa siapa nama oma buyutnya. Tetapi yang pasti opa buyutnya bernama…“Cakra!” ucapnya pelan dengan nada terkejut.Dibasuhnya wajah dengan saat wajah Arabella terlintas. Lagi-lagi Cakra menyadari sesuatu.Cukup lama Cakra memikirkan kemungkinan itu. Jika dilihat, memang Arabella dan Anne cukup mirip.
“Nyonya. Nyonya Widjaya.” Cakra mengoreksi Bimo sambil membalas tangan Bimo. Di masa depan, ia kehilangan istri karena kebodohannya. Lebih memilih wanita cantik yang ternyata hanya memanfaatkannya. Wanita sialan itu ternyata suruhan dari pesaing bisnisnya. Ia bukan hanya kehilangan istri tetapi juga perusahaan keluarga yang ia bangun dengan susah payah serta kerja keras. Setidaknya Zayden yang sekarang, tidak boleh lagi kehilangan istri apalagi karena orang ketiga. Semua orang boleh mengejeknya karena miskin, tetapi ia tidak terima jika istrinya didekati oleh pria lain. Pria dihadapan Cakra tersenyum ramah. Tidak merasa bersalah sama sekali sudah memanggil Anne seperti gadis lajang dan bukannya wanita bersuami. Dan itu justru membuat Cakra kesal. Keramahan yang dibuat-buat! Ia sengaja datang untuk menemui Anne setibanya di kota setelah pergi ke Batavia selama sebulan. Ia sungguh merindukan gadis itu. Namun, Bimo malah mendapatkan kabar buruk dan ingin melihatnya sendiri. Ia
“Bangun! Kalau bukan karena terpaksa, aku tidak akan menikahi pria tidak berguna sepertimu.” Cakra memiringkan tubuh, mencari posisi ternyaman ketika merasakan kakinya ditendang. Sudah hampir dua minggu ia dibangunkan dengan kasar. Ia mulai terbiasa menerima perlakuan gadis yang mengaku sebagai istrinya. Cakra pikir ia akan meregang nyawa ketika Hendi menarik pelatuk pistolnya. Namun, entah bagaimana atau karena kekuatan apa, ia hidup kembali dan berpindah dimensi waktu! Zayden—nama Cakra di tahun 2024—terbangun di sebuah rumah bergaya klasik perpaduan Jawa dan kolonial. Orang-orang yang ia temui berpakaian aneh. Bahkan bangsawan dan orang Belanda tampak begitu ‘kuno’. Zayden, yang kini bernama Cakra, beristrikan seorang gadis blasteran Belanda-Jawa. Gadis kasar dan ketus yang sama sekali tidak menghormatinya sebagai suami. Kehidupannya berubah 180 derajat setelah ia pindah dimensi waktu. Tidak ada lagi Zayden yang kaya dan berpengaruh, hanya ada Cakra—seorang menantu payah dan m