“K-Kata bapak saya. Kata bapak saya begitu. Zaman bapak dulu, suami tidak punya muka kalau tidak menafkahi istrinya.”
Cakra berharap Anne percaya pada ucapannya yang tidak sepenuhnya bohong. Papa memang pernah berpesan seperti itu. “Pikir dulu sebelum bicara! Orang bisa berpikir kalau kau itu tidak waras.” Anne menatap lembaran 500 gulden bergambar wayang di tangan Cakra. “Dari mana kau dapatkan uang itu? Kau mencuri?” tanyanya ketus. “Tidak, Nona. Aku menjual barang milikku yang paling berharga. Jadi tolong terima ini.” Cakra mengambil tangan Anne. Memberikan uang itu kepada sang istri. Sejenak manik mereka saling bersitatap. Beberapa detik yang membuat Cakra menyadari kalau mata Anne mirip dengan Arabella. Keduanya memiliki mata kecoklatan. Bulu mata tebal dan lentik serta sinar mata penuh kehangatan. “Lain kali tidak perlu melakukan apapun untukku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Anne tetap pada mode ketusnya. Ia mengambil uang dari Cakra dan menyimpannya di sebuah guci kecil yang ada di atas meja rias. Wanita itu kemudian pergi. Cakra tidak menunda, sore itu juga ia mengelilingi kota. Meminjam sepeda milik tuan Pieter. Tentu saja, ia mendapat omelan panjang dari sang mertua sampai akhirnya diijinkan untuk membawa sepeda. Cakra mendatangi satu per satu tanah kosong. Mencari tahu pemiliknya. Pun begitu dengan rumah yang sepertinya tidak berpenghuni. Ia bertanya ke orang-orang sekitar sekiranya ada warga pribumi yang mau menjual rumahnya. “Pergi!” Seorang pria tua mengangkat tongkat yang ia buat sendiri. Ia mengayunkan tongkat hendak memukul Cakra. “Rumah saya tidak dijual! Kalian ini pengkhianat kenapa tidak pernah berhenti mengganggu kami!” Ia berteriak marah. Mengayun-ayunkan tongkatnya mengusir Cakra keluar dari pekarangan rumah. “Kau ini, bukannya membela saudara sebangsa malah menjual kami kepada kompeni!” Pria tua itu terus berteriak membuat orang-orang disekitar keluar rumah dan melihat apa yang terjadi. Beberapa kali Cakra terkena pukulan si pria tua. Kadang berhasil menghindari tongkat kayu yang terbuat dari dahan pohon. “A-Apa maksud, Bapak? Saya bukan pengkhianat?” “Gundulmu! Kamu pikir kami bodoh, hah?!” Warga sekitar masuk ke dalam halaman rumah pak tua. Pekarangan rumah diberi pagar dari bambu itu mendadak ramai dengan orang. Suara dukungan untuk bapak tua terdengar. Setuju kalau Cakra adalah pengkhianat. “Tenang! Tenang saudara-saudara! Saya tidak seperti itu. Saya pastikan kalau bapak akan mendapatkan harga yang pantas.” “Ini tanah saya. Saya lahir dan akan mati disini.” Cakra mengedarkan pandangannya. Melihat sekitar rumah itu. Lokasi rumah ini sangat cocok untuk usaha. Hanya lima menit dari pasar. Letaknya di tepi jalan yang menjadi penghubung dengan desa yang lain. Dekat juga dengan stasiun kereta hanya 30 menit dengan berjalan kaki. Selain itu tidak ada toko kain di sekitar sini. “Apa bapak tidak memikirkan cucu, Bapak?” Cakra melihat bayi yang dalam gendongan istri bapak tua. Melihat keadaan rumah yang sudah tidak layak, sangat buruk untuk perkembangan bayi mungil itu. Rumah bapak tua itu lebih mirip gubuk. Semi permanen, terbuat dari batu bata merah di bagian bawah yang tingginya kurang dari satu meter, sedang sisanya sampai atap terbuat dari anyaman bambu. “Saya bisa menawarkan harga yang bagus. Harga yang cukup untuk memulai hidup baru yang lebih layak.” Pria tua itu mendecih. Mengejek Cakra. Ia sudah sering mendengar rayuan seperti itu agar bersedia melepaskan rumah dan tanahnya. “Kami mungkin miskin, tetapi kami tidak bodoh. Semua ucapan indah itu hanya rayuan, kan? Seperti sebelumnya.” Seorang warga yang mendukung bapak tua ikut bersuara. Diikuti ucapan ‘betul’ oleh warga yang lainnya. Tebakan Cakra, sudah ada orang lain yang juga ingin menjual tanah milik si bapak tua atau setidaknya warga lain di daerah ini tetapi orang itu tidak benar-benar melaksanakan janjinya. Hanya omon-omon! “Begini saja, saya akan kembali besok pagi dengan harga terbaik yang bisa saya tawarkan. Setelah itu keputusannya terserah bapak. Bagaimana?” Cakra belum menyerah. Jiwa sales-nya meronta. Sudah ribuan unit rumah dan tanah yang berhasil ia jual dengan harga bagus. Ia tidak akan merusak rekor penjualannya sendiri. Dia adalah si raja properti di zamannya. Di tahun 2024. Urusan menjual beli tanah dan rumah adalah keahliannya. “Cih! Tidak usah berjanji. Buktikan ucapanmu.” Pria tua pemilik rumah mengambil batu kerikil dan melempar Cakra. Mengusirnya seperti mengusir anjing liar. Kata menyerah tidak ada di kamus Cakra. Mau diusir seperti apapun, ia akan mengusahakan sekuat tenaga sampai titik terakhir. Ia bisa memenangkan banyak tender. Jatuh bangun membangun perusahaan yang nyaris bangkrut, proyek hampir gagal karena kurang investor karena gigih. Setelah dari rumah bapak tua, Cakra mengunjungi kenalan barunya, Frans—si penjual jam. “Apa ada jam tangan lain yang ingin kau jual, Anak Muda?” Frans sedang duduk santai di salah satu meja yang ada di tokonya. Meja yang letaknya bersebelahan dengan jendela besar. Dari tempatnya duduk, Frans bisa melihat orang lalu lalang. Wangi melati dari teh menyeruak. Ternyata pria itu sedang menikmati teh sore sambil membaca buku. “Aku ingin bertanya sesuatu,” tanya Cakra langsung pada tujuan kedatangannya. Frans melirik Cakra dari balik kacamata. Lalu lanjut membaca, menunggu pertanyaan Cakra. “Apa kau tahu berapa harga tanah di daerah ini?” Pertanyaan Cakra menarik perhatian Frans. Pria itu menutup buku yang sedang ia baca lalu meletakkannya di meja. Pria itu bersandar santai pada kursi sambil mengamati Cakra. Frans menyesap teh dari cangkirnya dengan tata krama. “Entahlah. Tergantung lokasinya, aku rasa.” “Kau tahu, kabar sangat cepat menyebar di daerah ini. Dan, berita kalau seorang pribumi yang kebetulan adalah menantu Tuan Van Der Meer membuat Tuan Benjamins marah menjadi berita hangat beberapa jam belakangan.” “Katakan saja berapa harga yang pantas untuk sepetak tanah di daerah ini? Benjamins akan menjadi urusanku.” Cakra menarik kursi yang ada di hadapan Frans. Sikap seriusnya seperti sedang menangani proyek miliaran. “Pantas memiliki arti yang berbeda, Anak muda. Setiap kasta memiliki kepantasannya sendiri. Orang Belanda, Jepang dan pribumi. Masing-masing memiliki nilainya sendiri.” Cakra terbelalak. Tidak percaya kalau perbedaan kewarganegaraan sangat berpengaruh di tahun ini. Warna kulit dan asal muasal keluarga menjadi sangat penting dalam menentukan strata sosial. “Sekarang tinggal kau yang memilih. Kau berada di pihak siapa? Warga Melayu? Atau memilih pendatang seperti tuan Benjamins yang akan memberikan banyak uang asal kau bisa memenuhi keinginannya?”Hindia atau Belanda? Pertanyaan itu terus saja muncul di kepala Cakra. Ia belum menentukan mana yang harus ia pilih. Sebagai pebisnis, tentu ia ingin keuntungan yang besar. Pilihannya akan jatuh kepada kepuasan tuan Benjamins yang ingin tanah dengan harga murah. Namun, melihat ada warga lain yang terusir dari rumahnya sendiri tanpa tahu kalau tanahnya telah dijual oleh orang lain, Cakra pun tidak tega. Ia tidak pernah main curang untuk mendapatkan keuntungan besar! Angin malam semakin dingin menyapu kulit Cakra. Ia menutup jendela kamar sekaligus gorden motif bunga. Lampu kamar juga sudah dimatikan hanya menyisakan lamour tidur temaram. Sudah hampir tengah malam tetapi Anne belum masuk kamar. “Apa Anne tidur di luar karena tidak ingin tidur denganku?” Cakra membatin. Rasa bersalah menyeruak membiarkan gadis tidur di luar sedangkan ia bisa nyaman tidur di atas kasur empuk. Disusulnya Anne keluar, tetapi Cakra tidak menemukan gadis yang mengaku sebagai istrinya itu di mana pun
“Apa Nona mau membantu saya?” Cakra mengutarakan idenya setelah Anne selesai berdandan.Gadis itu tidak memakai riasan wajah tebal. Rambut coklat kemerahannya disanggul rapi. Bagian poninya ia biarkan begitu saja. Menggunakan bedak tipis dan lipstik dengan warna lembut.Seperti noni lainnya, sehari-hari Anne mengenakan gaun katun sampai lutut. Kulitnya yang kuning khas Asia membuat gadis blasteran Belanda Hindia itu memiliki kecantikan yang berbeda dari noni Belanda lain.Anne tidak langsung menjawab. Ia menyelesaikan riasan wajah lalu memutar duduknya. Ia duduk berhadapan dengan Cakra yang duduk di sisi ranjang.Satu hembusan napas panjang keluar dari bibir tipis Anne. Dari caranya menatap, Cakra tahu kalau Anne terpaksa tetapi gadis itu tetap menolongnya.“Ini semua agar papa tidak punya kesempatan untuk menjodohkanku dengan Bimo.” Anne bangkit dari duduk. Bersama dengan Cakra ia menemui Tuan Van der Meer. Pria itu sedang duduk bersantai di teras belakang sambil membaca koran haria
“Usir saja dia. Tuan Benjamins tidak akan mau bertemu dengannya.” Penjaga yang lain memberi saran. Ia memukul-mukul tongkatnya ke arah Cakra. Mengusir pria itu seperti sedang mengusir anjing.Cakra berhasil menghindari pukulan penjaga pintu restoran. Ia menatap pengunjung yang sedang menikmati sarapan melalui jendela besar. Semua pengunjung Smakelijk Huis adalah orang asing. Dengan teliti ia mencoba mencari keberadaan tuan Benjamins.“Penjaga rumahnya bilang, Tuan Benjamins sedang sarapan di sini. Biarkan saya masuk! Saya sudah ada janji dengan tuan Benjamins.” Cakra mencoba menerobos kedua penjaga yang menghalanginya. Ia mendorong salah satu penjaga ke samping. Namun sayang, penjaga yang lain berhasil membaca gerakannya. Tangan Cakra dipegang. Ia ditarik dengan keras sampai kehilangan keseimbangan.“Ini bukan tempat untuk orang seperti dirimu! Ini tempat orang-orang berkelas,” pekik penjaga yang memiliki kumis. “Tapi saya sudah ada janji. Sampaikan saja pesan kepada Tuan Benjamins k
“Apa kau sedang memerasku, hah?” Benjamins, menggebrak meja setelah mendengar harga yang Cakra tawarkan untuknya. Pria itu melihat Cakra dengan tajam sementara dua wanita muda bumiputera memakai kebaya bunga-bunga sedang berusaha menenangkan sang meneer.ⁿ Salah satu dari mereka mengusap lembut lengan kekar Benjamins sedang wanita muda yang lain membantu Benjamins meminum teh olongnya. Cakra sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini di tahun 2024. Pengusaha ditemani oleh wanita-wanita bayaran hanya sekedar untuk gengsi. Ada juga yang memiliki wanita lain untuk menghilangkan stress pekerjaan. Iya tidak canggung dan tetap menatap lawan bicaranya. Gestur tubuhnya terlihat yakin. Sinar matanya menunjukkan keseriusan. Suaranya mantap tidak bergetar walau kadang para wanita Tuan Benjamins melakukan hal yang membuatnya gelisah. Benjamins lebih tenang setelah meminum tehnya. Ia menarik nafas panjang lalu berkata, “Bimo hanya memberiku harga f. 50 per bau. Sedang kau berani meminta
“Mana menantumu si petani singkong itu?!” Bimo berdiri di depan pintu rumah keluarga Van der Meer dengan muka tegang. Rahang pria itu mengeras. Kerutan di antara kedua alisnya begitu dalam. Ia sedang menatap Pieter dengan tajam.Pieter dan Asih saling tatap. Keduanya bingung melihat Bimo yang terbakar emosi. Tidak kunjung dipersilakan, Bimo yang tidak sabaran menerobos sambil berteriak memanggil Cakra dengan sebutan petani singkongCakra sedang berada di kamar berdua bersama Anne. Keduanya duduk di lantai dengan selembar kertas putih berada di antara mereka.Sekembalinya dari rumah Paimin, Anne menggambar desain toko untuk Tuan Benjamins. Sesuai kepribadian pria itu, Anne membuat desain yang sederhana dengan pilar-pilar kayu besar yang menggambarkan kekuasaan Tuan Benjamins.Sketsa bagian depan toko sudah selesai ia buat. Hanya perlu diberi warna agar terlihat lebih hidup. Cakra dengan sabar memperhatikan Anne menggambar garis demi garis. Sesekali ia mengoreksi jika gadis itu salah m
Cakra masih betah memandangi wajah Anne yang tertidur lelap bak bayi di pelukan ibu. Mukanya bersinar. Kulit kuning langsatnya begitu kontras dengan rambut kecoklatan Anne. Ia mencari-cari kesamaan Anne dengan istrinya di tahun 2024. Apa mungkin Arabella juga berpindah dimensi sepertinya?Cakra tidak mungkin salah. Sebelum Hendi menarik pelatuk pistol semi otomatis, ia sempat mendengar dengan jelas kata-kata Arabella.“Bella tidak bisa bahasa Belanda,” gumamnya dalam hati. Ia sempat ragu pada dirinya sendiri tetapi kemudian menggeleng pelan. Tidak, ia yakin Bella berpesan begitu sebelum ia meregang nyawa.Cakra memiringkan kepala. Memperhatikan setiap lekukan pada wajah Anne. Alis tebal berwarna kecoklatan. Bibir penuh yang selalu berkata ketus. Mata bulat besar dengan bulu mata lentik yang begitu sempurna. Hanya suara dan sinar mata Anne yang serupa dengan Arabella; selebihnya, semuanya berbeda.Pesan Bella kembali terngiang di telinga Cakra. Apa hanya sebuah kebetulan? Cakra menat
"Jangan senang dulu," ujar Bimo dengan nada mencemooh, suaranya berat namun penuh ejekan yang tajam.Cakra menghentikan langkah, sepeda ontel yang ia dorong berderit pelan sebelum akhirnya berhenti. Ia memandangi Bimo, yang kini berdiri menghadang jalannya bersama Anne. Ada kesombongan di tubuh tegap pria itu, terpancar dari dagunya yang terangkat tinggi dan senyum mengejek yang menghiasi wajahnya.“Menjual satu tanah bukan berarti kau sudah sukses,” lanjut Bimo, suaranya semakin tajam. "Kau tetap petani singkong miskin yang tidak berguna." Ucapannya menggantung di udara, seolah sengaja ingin menusuk harga diri Cakra.Tatapan Bimo kemudian beralih kepada Anne, gadis yang berdiri diam di samping Cakra. Anne membuang pandangannya ke arah lain, matanya menatap kosong ke kejauhan. Tapi bagi Bimo, sikap itu bukanlah sebuah penolakan—lebih seperti tantangan.“Saya sudah menyiapkan hadiah untuk hari ulang tahun Anda, Nona Anne,” katanya dengan nada penuh percaya diri.Tangannya menggenggam j
"Jawaban apa yang kau harapkan, hah?" suara Frans meninggi, membelah keheningan ruangan. Tangannya dengan kasar mendorong tutup rak kaca, hingga menutup rak pajangan jam tangan dengan bunyi yang cukup keras. Dentumannya membuat Cakra sedikit terlonjak, meski ia berusaha untuk tetap tenang."Kau menutup paksa tokoku hanya untuk menanyakan hal bodoh ini, hah? Kau pikir aku paranormal? Cenayang?" gerutu Frans, nada bicaranya penuh kesal, seperti seseorang yang sudah terlalu sering diinterogasi tanpa hasil. Wajahnya merah, urat di lehernya terlihat menegang.Frans meraih sebuah kotak tua dari laci meja kasir dengan gerakan tergesa. Kotak itu usang, warnanya sudah pudar dimakan waktu, namun ia memegangnya seolah itu adalah barang berharga. Dengan cekatan, ia membuka tutupnya dan mengeluarkan sebuah pipa cerutu dari dalamnya. Jemarinya yang kasar mulai mengisi pipa itu dengan tembakau, gerakannya terlatih, seperti ritual yang telah ia lakukan ratusan kali.Saat api kecil dari korek menyentu
"Kau ingin ikut?" Cakra terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tatapan hitamnya bertemu dengan iris abu-abu Anne yang tampak berbinar penuh harap.Anne duduk di ranjang, menghadapnya. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanyanya, seolah tak mengerti kebingungan suaminya.Cakra menghela napas, mencoba membaca ekspresi istrinya. "Tapi tadi pagi kau bilang...""Benar." Anne mengangguk. "Jadi?"Cakra menggaruk kepalanya, frustrasi. Anne ingin bercerai, tetapi sekarang malah ingin ikut bersamanya ke Soerabaja. Aneh, bukan?Ia duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas dari Anne yang begitu bersemangat mengeluarkan pakaian dari dalam lemari. Gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, sesekali bergumam pelan, mengingat apa saja yang harus dibawa."Nona Anne, aku akan berada di Soerabaja cukup lama," ujar Cakra, mencoba memberi peringatan halus.Alih-alih ragu, mata Anne justru semakin berbinar. "Benarkah?"Cakra menghela napas panjang. Semangat Anne begitu kentara,
“Kau lagi…” Franz mendesah berat begitu melihat Cakra melangkah masuk ke dalam toko jam miliknya. Dengan ekspresi jengah, ia melipat tangan di dada. “Dengar, kalau kau sampai membuat pelanggan-pelangganku pergi lagi, aku tidak akan segan-segan mengusirmu, Cakra.”Cakra hanya terkekeh, sama sekali tak merasa bersalah. “Santai saja, Franz. Kali ini aku tidak terburu-buru.”Tanpa menunggu undangan, Cakra menarik kursi di dekat jendela—tempat favorit Franz menikmati teh sorenya. Ia lalu menyeret kursi lain, menaruh kakinya di atasnya dengan santai, seolah toko itu adalah ruang tamunya sendiri.Franz menggeleng tak percaya. "Sungguh, kau tidak punya tata krama."Cakra mengabaikan komentar itu. Ia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya, membaca catatan yang sudah ia buat sebelumnya, lalu mulai menulis sesuatu dengan ekspresi serius.Franz menyipitkan mata, berusaha mengintip apa yang sedang Cakra tulis. Rasa penasaran mulai mengusiknya. Setelah pelanggan terakhirnya pergi, ia mendekat da
Semalaman, Cakra duduk di kursi goyang, menatap punggung Anne yang terlelap di ranjang. Pikirannya terus melayang pada ucapan gadis itu tadi."Kita menikah atas dasar kontrak, Cakra. Tidak lebih."Cakra menghela napas panjang. Tangannya menggenggam pegangan kursi, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaannya dengan gelisah."Aku tidak ingat sama sekali soal itu," gumamnya pelan, menggoyangkan kursinya dengan ritme lambat.Saat fajar merekah, Cakra tersentak bangun. Matanya langsung mencari sosok Anne, tetapi ranjang gadis itu sudah tertata rapi. Tidak ada jejak keberadaannya.Saat sarapan pun, Anne tidak tampak. Hanya ada Pieter yang duduk di ujung meja, menatap Cakra dengan sorot mata tajam penuh kebencian. Sebaliknya, Asih tampak lebih ramah setelah kejadian alergi Anne.Cakra menghela napas. Sepertinya Anne sengaja menghindar.Suara Pieter membuyarkan lamunannya."Dengar, aku tidak peduli soal taruhanmu dengan Bimo," kata Pieter dengan nada dingin. "Tidak ada yang berubah. Aku tetap akan
Bimo mendengus, menghentakkan tongkatnya ke lantai sekali lagi. “Tuan Van der Meer, kau tidak bisa menarik kata-katamu begitu saja! Aku telah menunggu terlalu lama untuk pertunangan ini! Aku telah membuktikan bahwa aku pantas! Kau sudah berjanji, dan sekarang kau ingin mengingkarinya?”Pieter Van der Meer menarik napas panjang. Ia menekan pelipisnya yang mulai berdenyut, merasa terjebak di antara tekanan Bimo, rengekan istrinya, dan air mata putrinya.“Bimo, aku—” Pieter mencoba berbicara, tetapi Bimo meninggalkan Pieter begitu saja. "Pa, apa kau tidak menyayangi putrimu?" Cakra menatap Pieter dengan sorot mata penuh harap. "Kita bisa mencari cara lain agar keluarga Benjamins mau menerima kalian kembali. Tidak harus seperti ini."Ia mencoba meredakan emosi mertuanya, berusaha menawarkan solusi tanpa mengorbankan kebahagiaan Anne. Cakra mengerti betapa pentingnya status bagi Pieter, tetapi apa gunanya jika itu berarti mengorbankan perasaan putrinya sendiri?Namun, bukannya mereda, ama
“Terima kasih, Tuan Benjamins. Saya pasti akan membalas semua kebaikan Anda,” ujar Cakra dengan penuh hormat. Matanya menatap pria di depannya dengan rasa terima kasih yang tulus. Tanpa bantuan Benjamins, ia mungkin masih terkurung di dalam sel, tak berdaya menyelamatkan Anne. Benjamins menyandarkan satu tangan di kemudi, menatap Cakra sekilas sebelum tersenyum tipis. “Tentu saja! Aku anggap ini utang.” Tanpa menunggu jawaban, ia langsung melajukan mobilnya, meninggalkan halaman rumah Pieter Van der Meer. Ia tidak ingin berlama-lama. Terutama jika sampai adiknya tahu bahwa ia ikut campur dalam masalah keluarga mereka. Namun, di dalam hatinya, Benjamins sudah mengambil keputusan. Melihat bagaimana Cakra mati-matian berjuang untuk Anne, dan bagaimana Bimo menunjukkan wataknya yang licik, ia semakin yakin—Bimo bukan pria yang pantas untuk keponakannya. Dan yang lebih penting, Cakra benar. Anne tidak seharusnya menanggung akibat dari kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Rasan
"Kau terlihat... berantakan," ejek Franz begitu ia memasuki ruang besuk. Cakra mendongak, menatap pria itu dengan sorot mata yang masih menyala meski tubuhnya lelah. Dua hari di dalam penjara telah mengubahnya—tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bahunya sakit luar biasa, mungkin terkilir. Wajah tampannya kini tampak lusuh dengan beberapa luka ringan akibat perlakuan kasar para petugas. Mereka memaksanya mengaku bahwa dia yang merusak meja dan kursi di restoran milik Bratz. Namun, meski ditekan, dihina, dan diperlakukan tidak adil, Cakra tetap diam. Ia tak akan memberi mereka kepuasan. "Terima kasih," jawabnya, suaranya serak namun penuh sindiran. Ia menyandarkan tubuhnya ke bangku panjang, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. "Bagaimana Anne?" Franz menghela napas, menarik kursi di depannya, lalu duduk dengan santai. “Dia baik-baik saja,” jawabnya akhirnya. “Setidaknya, lebih baik daripada kau sekarang.” Ca
Cakra tidak lagi peduli. Dengan satu gerakan kuat, ia mendorong Bimo menggunakan pundaknya hingga pria itu terhuyung ke belakang. Tanpa membuang waktu, ia berbalik dan melangkah cepat menuruni tangga, mengabaikan suara Bimo yang berteriak panik. "Keamanan! Seseorang menculik calon istriku!" seru Bimo dengan nada penuh amarah. Cakra mendengus tajam. Calon istri? Omong kosong! "Anne itu istriku, sialan!" umpatnya tanpa menoleh, langkahnya semakin cepat. Begitu sampai di lantai bawah, matanya langsung menangkap sosok Franz yang sedang asyik merokok di dekat pintu keluar. Tanpa memperlambat langkah, Cakra berseru, "Ayo, Franz!" Pria paruh baya itu menoleh, kaget melihat Cakra menggendong Anne yang masih sesak napas. Namun, tanpa bertanya lebih lanjut, Franz langsung membuang rokoknya dan mengikuti Cakra ke luar. Cakra melompat masuk ke dalam Wagon, sementara Franz segera mengambil posisi di kursi kemudi. Dengan cekatan, ia menyalakan mesin, lalu menekan pedal gas. Namun, sebelum m
“Pakai ini!” Franz menyerahkan bungkusan yang sejak tadi tergeletak di kursi belakang. Tangannya terulur santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting.Cakra menatap bungkusan itu dengan dahi berkerut, lalu mengambilnya dengan sedikit ragu. Ini bungkusan yang diberikan Asih sebelum mereka pergi. Dengan perlahan, ia membuka lipatan kertas coklatnya dan mengintip isinya.Mata Cakra sedikit membelalak. Di dalamnya, ada setelan rapi milik Pieter. Kemeja berwarna gelap dengan potongan elegan serta celana panjang yang jelas jauh lebih mahal dari pakaian yang dikenakannya sekarang. Ia menghela napas pelan. Jadi, ibu mertuanya sudah memperkirakan semuanya sejak awal.Asih tahu betul bahwa Cakra tidak akan bisa masuk ke restoran mewah dengan pakaian biasa seperti ini. Dia tahu menantunya akan dipandang sebelah mata, dan mungkin itu sebabnya dia sudah menyiapkan solusi bahkan sebelum masalah muncul.“Ck! Kalau aku tahu sejak tadi, aku tidak perlu menghadapi wanita itu.” Cakra mendecak kesal
“Kau harus menolongku, Tuan Benjamins,” kata Cakra dengan suara memohon. Wajahnya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. Ia mengayuh sepedanya secepat mungkin menuju kediaman Tuan Benjamins, yang tidak lain adalah paman Anne. Sesampainya di sana, Cakra tetap memelas, mengekori Benjamins masuk ke dalam rumah meski belum dipersilakan.“Kenapa? Kau bukan siapa-siapaku, Tuan Widjaya. Lagipula, aku tidak ada urusan dengan Pieter dan anggota keluarganya,” balas Benjamins dengan nada dingin. Wajahnya datar, sama sekali tidak menunjukkan empati.“Tapi dia keponakanmu, Tuan Benjamins! Dalam tubuh Anne mengalir darah yang sama denganmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?” seru Cakra, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Padahal, jika boleh, ia pasti sudah meninju pria itu.Benjamins terdiam. Jemarinya mengetuk perlahan permukaan meja kayu di sebelahnya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia menyesap brandinya, tapi kali ini rasanya tak sehangat biasanya. Kata-kata Cakra menu